Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM ACARA PTUN DAN MK

“Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ( SKLN )”

Disusun Oleh :

Andika Nanda Wijaya 1921020642


Fajar Nugroho 1921020623
Fia Monica Puri 1921020674
Hafizal Amin 1921020655
Hasyim Trio Andika 1921020662
Refita Aprelia 1921020648
Selvia Ayu Fahwati 1921020666

Semester/Kelas : VI / HTN L
Dosen Pengampu : Dani Amran Hakim, S.H.,M.H

PRODI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADIN INTAN LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT,Karena atas berkat dan rahmat-Nya penyusun
dapat menyelesaikan penyusunan makalah Hukum Acara PTUN dan MK ini. Dengan kami
harapkan kiranya makalah yang telah kami susun dapat bermanfaat bagi para pembaca atau pihak
lain yang membutuhkan penjelasan dalam makalah yang bertemakan“Hukum Acara Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara”. Dalam makalah ini terdapat banyak sekali informasi mengenai
nilai-nilai yang berkaitan dan menjadi informasi bagi pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kata sempurna,untuk itu kami
berbesar hati untuk menerima segala kritik dan saran dari berbagai pihak. Kami juga tidak lupa
menyampaikan ucapan terimakasih kepada teman - teman yang telah bersedia membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini.

Akhir kata kami mohon maaf atas kekurangan serta kejanggalan baik isi maupun dalam
teknik penyusunannya. Terimakasih .

Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................................... 1


KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii
BAB I ............................................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 3
A. Latar Belakang ................................................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................................... 3
C. Tujuan .............................................................................................................................................. 3
BAB II .......................................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .......................................................................................................................................... 4
A. Lembaga Negara Pasca Amandemen ............................................................................................ 4
B. Pengertian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ( SKLN ) ................................................. 5
C. Pemohon, Pihak Terkait, Penjadwalan Sidang ............................................................................ 5
D. Pembuktian dan Putusan ............................................................................................................... 7
E. Akibat Hukum dan Pelaksanaan Putusan .................................................................................... 9
BAB III....................................................................................................................................................... 13
PENUTUP .................................................................................................................................................. 13
A. Kesimpulan .................................................................................................................................... 13
B. Saran .............................................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sengketa kewenangan Lembaga negara dapat terjadi apabila terdapat perselisihan yang
berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih Lembaga negara.
Berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat ( 1 ) Undang – undang dasar 1945, kewenangan
untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD terdapat pada Mahkamah Konstitusi .

B. Rumusan Masalah

a) Bagaimana Lembaga Negara Pasca Amandemen


b) Apa Pengertian SKLN
c) Bagaimana Pemohon, Pihak Terkait, Penjadwalan Sidang
d) Bagaimana Pembuktian dan Putusan
e) Bagaimana Akibat Hukum dan Pelaksanaan Putusan

C. Tujuan

a) Untuk Mengetahui Lembaga Negara Pasca Amandemen


b) Untuk Mengetahui Pengertian SKLN
c) Untuk Mengetahui Pemohon, Pihak Terkait, dan Penjadwalan Sidang
d) Untuk Mengetahui Akibat Hukum dan Pelaksanaan Putusan

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Lembaga Negara Pasca Amandemen


Amandemen pertama UUD 1945 ditetapkan dalam Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 (SU MPR 1999). Dalam sidang ini MPR telah merubah 9
pasal UUD 1945, yaitu pasal 5 ayat (1), pasal 7, pasal 9, pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), pasal 14,
pasal 15, pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), pasal 20 dan pasal 21. Pergeseran ini telah membuat UUD
1945 menganut paradigma baru dalam hal pengaturan kekuasaan negara, yaitu dari paradigma
pembagian kekuasaan (division of fower/distribution of fower) menjadi pemisahan kekuasaan
(separation of fower). 1
Amandemen kedua UUD 1945 dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tahun 2000 ( ST MPR 2000 ). Dalam sidang ini MPR telah mengubah atau menambah 25
pasal dan 5 bab. Yang terpenting dari perubahan kedua ini adalah penegasan prinsip otonomi
daerah, penegasan mengenai hak-hak DPR dan anggota DPR, serta penerimaan pasal-pasal tentang
hak asasi manusia.
Amandemen ketiga UUD 1945 dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat tahun 2001 (ST MPR 2001) yang berlangsung pada tanggal 3 sampai 9 november 2001.
Dalam sidang ini MPR telah mengubah atau menambah 23 pasal dan 3 bab. Materi yang terpenting
adalah penerimaan pasal tentang pemilihan presiden secara langsung pada putaran pertama (first
round), penerimaan pasal tentang pemberhentian presiden (impeachment), pengaturan tentang
Pemilihan Umum, dan disetujuinya pasal-pasal tentang pembentukan lembaga-lembaga baru, yaitu
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
Selanjutnya, amandemen keempat UUD 1945 dicapai dalam Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2002 ( ST MPR 2002 ) yang berlangsung pada tanggal 1 sampai
11 Agustus 2002. Perubahan terpenting yang dicapai dalam sidang pamungkas proses perubahan
UUD 1945 ini adalah MPR terdiri dari DPR dan DPD saja, pemilihan presiden putaran kedua
(second round) yang dikembalikan kepada rakyat bila pada putaran pertama (first round) tidak ada
calon yang memenuhi persyaratan perolehan suara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) dan penghapusan penjelaasan UUD 1945.

1
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

4
Lembaga – Lembaga negara pasca amandemen yaitu :
a) MPR c) DPD e) MA g) BPK
b) DPR d) Presiden dan Wakil Presiden f) MK h) KY

B. Pengertian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ( SKLN )


Sengketa merupakan perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek yang sama
yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan di antara mereka. Jika dikaitkan dengan hubungan
antar lembaga negara, sengketa kewenangan lembaga negara dapat terjadi apabila terdapat perselisihan
yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara. 2Apabila terjadi
sengketa kewenangan lembaga negara, maka diperlukan suatu lembaga negara yang memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait sengketa kewenangan lembaga negara.
Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi
terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

C. Pemohon, Pihak Terkait, Penjadwalan Sidang

a) Pemohon dan Termohon


Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya
diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga negara adalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. 3Kewenangan lembaga negara yang sumbernya
diperoleh dari UUD 1945 inilah yang disebut dengan kewenangan konstitusional.
Kewenangan konstitusional lembaga negara ini dapat berupa wewenang/hak dan

2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
3
Pasal 1 angka 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.

5
tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945. Di dalam Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara diatur, bahwa
lembaga negara yang dapat menjadi pemohon dalam perkara sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara adalah :
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Adanya rumusan hukum tentang pengertian ‘lembaga negara lain’ menunjukkan, bahwa
kemungkinan pemohon lain di luar yang telah disebutkan di atas masih terbuka atau ada,
tergantung pada hakim. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat misalnya, dapat saja menjadi
pemohon dalam perkara SKLN, tergantung pada bagaimana hakim menafsirkannya.
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan. Yang dimaksud dengan kewenangan yang dipersengketakan ini adalah
kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.4

b) Pihak Terkait
Pasal 65 UU MK secara tegas menyatakan, bahwa Mahkamah Agung tidak dapat
ditarik menjadi termohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara semacam ini.
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006
juga mengatur, bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai
pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial).
5
Akan tetapi, di luar sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial), Mahkamah
Agung dapat menjadi pihak dalam perkara SKLN. Apabila ketentuan dalam UU MK
dan PMK di atas dicermati, secara yuridis-formal, memang MA tidak dapat menjadi
pihak sepanjang kewenangan yang dipersengketakan itu terkait

4
Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.
5
Lihat Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.

6
dengan fungsi dan teknis peradilan (yudisial), baik sebagai pemohon ataupun termohon
dalam perkara SKLN, akan tetapi ini tidak berarti, bahwa Mahkamah Agung tidak akan
mungkin bersengketa dengan lembaga negara lainnya. Misalnya:
1. Sengketa Kewenangan antara KY dengan MA tentang pengangkatan hakim;
2. Sengketa Kewenangan antara KY dengan MA tentang pengawasan dan penjatuhan
sanksi terhadap hakim;
3. Sengketa Kewenangan antara DPR dengan MA tentang pengangkatan hakim.

c) Penjadwalan Sidang
Berkas permohonan yang sudah diregistrasi selanjutnya disampaikan oleh Panitera kepada
Ketua Mahkamah Konstitusi untuk ditetapkan susunan Panel Hakimnya. Selanjutnya,
Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama
tersebut diberitahukan kepada pemohon dan termohon, serta diumumkan kepada
masyarakat. Pengumuman dapat dilakukan melalui papan pengumuman Mahkamah
Konstitusi yang khusus dibuat untuk itu dan situs Mahkamah
(www.mahkamahkonstitusi.go.id), serta media lainnya. 6Panggilan sidang harus sudah
diterima oleh pemohon dan termohon dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sebelum hari persidangan. Panggilan sidang tersebut ditandatangani oleh Panitera dan
disampaikan secara resmi oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara panggilan
serta dapat dibantu media komunikasi lainnya, seperti telepon,
faksimili, dan surat elektronik (e-mail). Dalam rangka panggilan sidang, Panitera dapat
meminta bantuan pemanggilan kepada pejabat negara di daerah.

D. Pembuktian dan Putusan


Pembuktian merupakan kegiatan yustisial yang amat penting sekali dalam
rangkaian kegiatan memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara hukum. 7Oleh
karena itu hampir di setiap Hukum Acara apapun, ketentuan tentang pembuktian ini selalu

6
Lihat Pasal 9 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.

7
Lihat Pasal 11 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.

7
diatur. Di dalam Hukum Acara SKLN, ketentuan tentang pembuktian diatur dalam Pasal
16 dan Pasal 17 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006. Pasal 16 ayat (1)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 menyatakan, beban pembuktian
berada pada pihak pemohon. Apabila terdapat alasan yang cukup kuat, Majelis Hakim
dapat membebankan pembuktian kepada pihak termohon. Dalam rangka pembuktian ini,
Majelis Hakim juga dapat meminta pihak terkait untuk memberikan keterangan dan/atau
mengajukan alat bukti lainnya.
Dalam Hukum Acara SKLN, alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh pemohon, termohon,
dan pihak terkait langsung dapat berupa :
a. surat atau tulisan,
b. keterangan saksi,
c. keterangan ahli,
d. keterangan para pihak, dan
e. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Alat-alat bukti
sebagaimana tersebut di atas, harus dapat dipertanggungjawabkan
perolehannya secara sah menurut hukum. Penentuan sah tidaknya alat bukti dan
perolehannya dilakukan oleh Majelis Hakim dalam persidangan Pleno atau Panel. Apabila
dipandang perlu Majelis Hakim dapat melakukan pemeriksaan setempat, dengan dihadiri
oleh para pihak.
Hukum Acara SKLN mengenal beberapa jenis putusan apabila dilihat dari tujuan
dan motivasinya, diantaranya adalah putusan penarikan kembali permohonan, putusan sela,
8
dan putusan akhir. Putusan penarikan kembali permohonan merupakan putusan
Mahkamah Konstitusi yang diambil berkaitan dengan adanya permohonan penarikan
kembali permohonan oleh Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi pada saat sebelum atau
selama persidangan. Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum
putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan objek yang dipersengketakan (objectum litis) yang hasilnya akan
dipertimbangkan dalam putusan akhir. Hukum Acara SKLN mengatur ketentuan tentang

8
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi 2003-
2008, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hal. 553-554.

8
putusan sela ini dalam Pasal 12-13 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.
Putusan sela dapat ditetapkan atas permintaan pemohon dan juga dapat ditetapkan atas
inisiatif Majelis Hakim demi kepentingan hukum. Putusan sela sebagaimana dimaksud
diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dan dibacakan dalam sidang terbuka
untuk umum. Putusan sela yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada
putusan Mahkamah Konstitusi, dapat diambil atau dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi
setelah pemeriksaan pendahuluan dilakukan. Pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan yang dimaksud di sini adalah berupa tindakan, baik tindakan nyata
maupun tindakan hukum, yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan. Putusan sela yang menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan
yang dipersengketakan dapat dijatuhkan apabila :
a. Terdapat kepentingan hukum yang mendesak yang, apabila pokok permohonan
dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serius;
b. Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

E. Akibat Hukum dan Pelaksanaan Putusan


Berbeda dengan putusan sela, maka putusan akhir diambil dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH) yang khusus diadakan untuk itu dan dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Dalam RPH untuk pengambilan keputusan
mengenai putusan akhir, setiap hakim wajib menyampaikan pendapat hukum secara
tertulis. Pendapat hukum sebagaimana dimaksud merupakan bagian dari berkas asli yang
bersifat rahasia dan dihimpun oleh Panitera sebelum perancangan putusan. Putusan akhir
Mahkamah Konstitusi atas perkara SKLN memiliki sifat atau karakteristik yang sama
dengan putusan pengadilan umumnya. Putusan diambil berdasarkan ketentuan UUD
1945 menurut keyakinan Hakim dengan didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh
sekurang - kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Putusan bersifat final dan mengikat.
Sejak tahun 2003 hingga April 2010, Mahkamah Konstitusi telah memutus 6 perkara
SKLN dengan rekapitulasi sebagai berikut. Setiap putusan wajib memuat fakta yang

9
terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.
Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan akan meliputi pertimbangan hukum
tentang kewenangan MK, apakah permohonan yang diajukan termasuk kewenangan MK?
Dan apabila setelah dipertimbangkan bahwa permohonan yang diajukan itu memang
termasuk kewenangan MK, masih harus dipertimbangkan apakah pemohon memiliki
kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan di depan MK yang
akan dilihat dari ada tidaknya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
dirugikan. Setelah jelas bahwa pemohon memiliki legal standing dimaksud maka dapat
dipertimbangkan pokok permasalahan atau pokok perkara. Pertimbangan hukum yang
mendasarkan diri pada konstitusi melalui proses penemuan hukum akan sampai pada
kesimpulan apakah dalil permohonan dipandang terbukti dan secara konstitusional
beralasan dimana MK akan menyatakan mengabulkan permohonan. Namun jika
sebaliknya maka permohonan akan dinyatakan ditolak. Apabila dipandang bahwa
kewenangan dan legal standing tidak dipenuhi maka permohonan akan dinyatakan tidak
dapat diterima. Amar putusan akan menegaskan semua pertimbangan dimaksud yang
dipandang merupakan hal yang bersifat declaratoir dan/atau constitutief atau menciptakan
maupun meniadakan satu keadaan hukum. Ada 2 (dua) hal yang menjadi bagian dari
pertimbangan hukum, yaitu : (1) ratio decidendi; dan (2) obiter dictum. Ratio decidendi
merupakan bagian pertimbangan sebagai dasar atau alasan yang menentukan diambilnya
putusan yang dirumuskan dalam amar. Bagian pertimbangan ini tidak dapat dipisahkan
dari amar putusan dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum yang dapat
dirumuskan sebagai kaidah hukum. Di pihak lain ada bagian pertimbangan yang tidak
mempunyai kaitan langsung dengan masalah hukum yang dihadapi dan karenanya juga
tidak berkaitan dengan amar putusan. Hal demikian sering dilakukan karena digunakan
sebagai ilustrasi atau analogi dalam menyusun argumen pertimbangan hukum. Bagian ini
disebut sebagai obiter dictum yang tidak mempunyai kekuatan mengikat. Hukum Acara
SKLN menentukan, bahwa syarat putusan itu harus sekurang-kurangnya
terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut :
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” :
b. identitas pemohon dan termohon;

10
c. ringkasan permohonon;
d. ringkasan keterangan dan/atau tanggapan termohon;
e. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
f. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
g. amar putusan; 9
h. pendapat berbeda atau alasan berbeda dari hakim; dan
i. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim, serta panitera.
Amar putusan dapat menyatakan:
a. permohonan tidak dapat diterima;
b. permohonan dikabulkan; atau
c. permohonan ditolak. Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
apabila pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 5 ayat (1)Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006.
Permohonan dikabulkan dalam hal permohonan beralasan, sedangkan Permohonan ditolak
dalam hal permohonan tidak beralasan. 10Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan
menyatakan dengan tegas bahwa pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan
yang dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan. Hakim yang turut serta dalam
pengambilan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dicantumkan namanya di
dalam putusan. Dalam hal terdapat pendapat berbeda dari Hakim yang dimuat di dalam
putusan, sedangkan Hakim yang bersangkutan tidak hadir dalam sidang pleno pengucapan
putusan, pendapat berbeda tersebut tidak dibacakan. Putusan ditandatangani oleh Ketua
Majelis dan Hakim Anggota yang hadir dalam sidang pleno pengucapan putusan serta
panitera yang mendampingi. Dalam hal isi amar putusan sebagaimana dimaksud pada Pasal
27 ayat (3), termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima oleh termohon. Apabila putusan tersebut
tidak dilaksanakan oleh termohon maka pelaksanaan kewenangan termohon batal demi
hukum. Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada pemohon,

9
I. Gde Pantja Astawa dan Firdaus Arifin, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2021), halaman 40.
10
I. Gde Pantja Astawa dan Firdaus Arifin, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2021), halaman 40.

11
termohon, dan pihak-pihak terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak putusan diucapkan. Putusan Mahkamah disampaikan kepada DPR, DPD, dan
Presiden, serta lembaga negara lain apabila dipandang perlu. Putusan mempunyai
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk
umum.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sengketa merupakan perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek
yang sama yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan di antara mereka. Jika
dikaitkan dengan hubungan antar lembaga negara, sengketa kewenangan lembaga negara
dapat terjadi apabila terdapat perselisihan yang berkaitan dengan pelaksanaan
kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara. Apabila terjadi sengketa kewenangan
lembaga negara, maka diperlukan suatu lembaga negara yang memiliki kewenangan
untuk menyelesaikan permasalahan terkait sengketa kewenangan lembaga negara.

B. Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dari
penulisan ataupun pembacaannya. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk
mendorong kelancaran dalam penulisan ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Ikhtisar Putusan


Mahkamah Konstitusi 2003-2008, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2008), hal. 553-554.
Tim Penulis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Analisis Gaya Sengketa,
https://elearning.menlhk.go.id/pluginfile.php/900/mod_resource/content/1/a_pengertian_s
engketa.html, diakses pada tanggal 20 Mei 2022.
I. Gde Pantja Astawa dan Firdaus Arifin, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di
Mahkamah Konstitusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2021), halaman 40.
I. Gde Pantja Astawa dan Firdaus Arifin, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di
Mahkamah Konstitusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2021), halaman 40.

14

Anda mungkin juga menyukai