Anda di halaman 1dari 11

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. 1


BAB I .......................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................... 2
A. LATAR BELAKANG................................................................................................................... 2
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................... 2
BAB II ........................................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 3
A. Pelanggaran Pemilu ...................................................................................................................... 3
B. Sengketa Pemilu ............................................................................................................................ 3
C. Sengketa Hasil Pemilu .................................................................................................................. 4
D. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu .......................... 5
E. Alur Dan Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu 6
F. Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi .................................................... 8
BAB III ..................................................................................................................................................... 10
PENUTUP ................................................................................................................................................ 10
A. KESIMPULAN ........................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 10

1
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang mempunyai kewajiban menjaga tegaknya
konstitusi dan demokrasi semakin penting. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan
Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jis
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi
(MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan pemilukada. Pasal 236C Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 menetapkan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara
pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18
(delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Kemudian pada 29 Oktober 2008, Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan
Wewenang Mengadili, sebagai pelaksanaan Pasal 236C undang-undang tersebut. Dengan demikian,
secara formil kewenangan Mahkamah Konstitusi bertambah, di samping menyelesaikan perkara
perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
perselisihan hasil pemilukada di Indonesia.

Selanjutnya, dalam rangka melengkapi pengaturan tentang mekanisme persidangan dalam


penyelesaian sengketa/perselisihan Pemilukada itu, Mahkamah Konstitusi kemudian membentuk
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dengan demikian, di samping terdapat Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi (sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi) yang menjadi landasan hukum umum bagi penyelesaian perkara perselisihan
hasil pemilukada, juga terdapat Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada (sebagaimana
diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008) yang menjadi landasan hukum
yang bersifat khusus bagi Mahkamah Konstitusi. Bagaimana sebenarnya Hukum Acara Penyelesaian
Perselisihan Hasil Pemilukada itu mengatur mekanisme penyelesaian sengketa atau perselisihan hasil
pemilukada di Indonesia ? Tulisan kecil ini akan membahasnya.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut1: (1) Menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (2) Memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, (3) Memutus pembubaran partai politik, dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum, serta satu kewajibannya adalah Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Pelanggaran Pemilu ?


2. Apa yang dimaksud dengan Sengketa Pemilu ?
3. Apa yang dimaksud dengan Sengketa Hasil Pemilu ?
4. Bagaimana Alur Proses Peradilan MK dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu ?
5. Bagaimana mekanisme Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi ?

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pelanggaran Pemilu

Pelanggaran pemilu adalah semua tindakan yang menurut Undang-undang pemilu telah keluar dari
apa yang telah digariskan oleh Undang-undang tersebut. Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-
pelanggaran terhadap Undang-undang Pemilu yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) :

1. Pelanggaran pidana adalah tindakan-tindakan yang menurut Undang-undang Pemilu ditetapkan


sebagai tindakan kriminal dan berakibat pada hukuman penjara dan/atau denda.
2. Pelanggaran Administratif adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan dan persyaratan
yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilu dan tidak didefinisikan sebagai tindakan
kriminal dan tidak berkaitan dengan hukuman dan/atau denda.

Konsekwensi dari pelanggaran Administratif adalah tidak diikutsertakannya DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kab/Kota sebagai peserta Pemilu. Pelanggaran Pemilu diselesaikan oleh Panwaslu
atau KPU sebagai penyelenggara Pemilu.

B. Sengketa Pemilu

Hasil pemilihan umum berupa penetapan final hasil penghitingan suara yang di ikuti oleh pembagian
kursi yand di perabutkan, yang di umumkan secara resmi oleh lembaga penyelenggara pemilhan umum
serng kali tidak memuaskan peserta pemilihan umum yang tidak berhasil tampil sebagai pemenang.
Sengketa Pemilu adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran
antar pihak atau suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa
hukum atau kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat
penolakan, pengakuan yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam
penyelenggaraan Pemilu.

Ada beberapa pihak yang ikut terlibat dalam sangketa Pemilu, yaitu diantaranya adalah:

a. Penyelenggara Pemilu.
b. Partai politik peserta Pemilu, yaitu Dewan Pimpinan Tingkat Nasional, Dewan Pimpinan
Tingkat Propinsi, Dewan Pimpinan Tingkat Kab/Kota, dst.
c. Peserta Pemilu perseorangan untuk pemilihan anggota DPD.
d. Anggota dan/atau pengurus partai politik peserta Pemilu.
e. Warga Negara yang memiliki hak pilih.
f. Pemantau Pemilu.

Proses penyelesaian sengketa pemilu di Panitia Pengawas Pemilu adalah sebagai berikut :

a. Penetapan berkas laporan sebagai sengketa Pemilu oleh Panitia Pengawas Penerima Laporan.
b. Penyerahan berkas laporan sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu penerima laporan kepada
Pengawas Pemilu yang berwenang.
c. Pengkajian dan pemeriksaan berkas laporan tentang sengketa pemilu oleh Pengawas Pemilu
yang berwenang.
d. Pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa oleh Pengawas Pemilu yang
berwenang.

Apabila pertemuan pihak-pihak yang bersengketa untuk musyawarah dan mufakat tercapai, maka
dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Secara Musyawarah dan Mufakat.

3
a. Apabila tidak tercapai musyawarah dan mufakat, maka Pengawas Pemilu yang berwenang
menawarkan alternatif penyelesaian kepada phak-pihak yang bersengketa, dan apabila disetujui,
maka dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Alternatif
Penyelesaian Pengawas Pemilu.
b. Apabila tawaran alternatif penyelesaian tidak diterima oleh salah satu atau kedua belah pihak
yang bersengketa, maka Pengawas Pemilu memberikan putusan final dan mengikat, yang
dituangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu Melalui Putusan Pengawas
Pemilu.

Suatu sengketa pemilu yang ditangani oleh pengawas pemilu telah selesai, apabila:

a. Dicapainya Musyawarah dan Mufakat sebagaimana dimaksud dalam butir 5 (sebagaimana


penjelasannya diatas) yang ditandai dengan dibuatnya Berita Acara Penyelesaian Sengketa
Pemilu secara Masyawarah dan Mufakat.
b. Diterimanya Alternatif Penyelesaian dari Pengawas Pemilu oleh pihak-pihak yang bersengketa
sebagaimana dimaksud dalam butir 6 yang ditandai dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa
Pemilu melalui Alternatif penyelesaian Pengawas Pemilu.
c. Diberikannya Putusan Pengawas Pemilu sebagaimana dimaksud dalam angka 7 yang ditandai
dengan Berita Acara Penyelesaian Sengketa Pemilu melalui Putusan Pengawas Pemilu.

Adapun tenggang waktu yang Penyelesaian Sengketa Pemilu di Panwaslu ini adalah sebagai berikut:
a. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah
laporan diterima.
b. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 2 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah
angka 1 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah
angka 1 (satu) dilakukan).
c. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 3 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah
angka 2 dilakukan.
d. Proses sebagaimana yang disebutkan pada angka 4 diselesaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah
angka 3 dilakukan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari setelah
angka 3 (tiga) dilakukan).
e. Pertemuan sebagaimana yang dimaksud pada angka 5 dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari
setelah angka 4 diselesaikan (untuk daerah yang sulit sekali dijangkau paling lama 7 (tujuh) hari
setelah angka 3 (tiga) dilakukan).
f. Proses sebagaimana disebutkan pada angka 5, 6, dan 7 diselesaikan paling lama 14 (empat
belas) hari setelah angka 5 dilakukan.

Permohonan sengketa penyelesaian sengketa pemilu gugur, apabila:

a. Permohonan gugur bila pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam pertemuan
pertama setelah 3 (tiga) kali dipanggil secara patut oleh Pengawas Pemilu yang berwenang
dalam Berita “Berita Acara Gugurnya Sengketa”.
b. Permohonan penyelesaian sengketa pemilu dapat dicabut kembali setelah pertemuan pertama,
yang dituangkan dalam “Berita Acara Pencabutan Permohonan Penyelesaian Sengketa Pemilu”.
c. Permohonan yang gugur dapat diajukan kembali paling lama 7 (tujuh) hari setelah terjadinya
sengketa.

C. Sengketa Hasil Pemilu

Dalam sejarah kehidupan ketatanegeraan Indonesia, Bangsa Indonesia telah melakukan 10 (sepuluh)
kali Pemilihan Umum (1945-2010), dimana pemilihan umum itu merupakan salah bentuk dari pesta
demokrasi. Dalam waktu yang relatif cukup panjang tersebut, segala bentuk kecurangan dan/atau
manipulasi yang berujung pada sengketa Pemilu, yang merupakan persoalan yang cukup mendasar dan
menjadi perhatian serius kita semua, mengingat asas Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia
(LUBER) serta Jujur dan Adil (JURDIL) selalu saja diciderai dengan tindakan-tindakan curang oleh
Partai Politik tertentu yang menimbulkan pelanggaran atau sengketa dalam menjalankan Pemilu
4
tersebut.

Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang berkaitan dengan
hasil Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi pada hasil pemilu.

Penyelesaian tentang perkara sengketa hasil pemilu merupakan salah satu wewenang Mahkamah
Konstitusi. Dimana wewenang itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

D. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan
kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat
sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-
21 yang membentuk lembaga ini.

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga
negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu
Komisi Yudisial (KY) . Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain
Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi
perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan Negara dan kehidupan politik. Dengan
demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-
kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara
objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian
and The Interpreter of The Constitution.

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

a. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
b. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-
Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun


1945
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945
c. Memutus pembubaran partai politik
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945.
5
Dalam beberapa wewenang tersebut diatas, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan setelah
melakukan pengujian atas gugatan dan juga perkara yang masuk dalam buku registrasi Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan putusan selambat-lambatnya tiga hari setelah
perkara tersebut masuk dalam buku registrasi Mahkamah Konstitusi.

Kewajiban dari Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang dilakukan
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945.

E. Alur Dan Proses Peradilan Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa


Pemilu

Pada Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memerintahkan penyusunan dengan
segera Undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur hal-hal yang bersifat
teknis, administratif yang meliputi antara lain: prosedur pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dan Ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi.

Menurut ketentuan Pasal 24 C ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang selengkapnya
menyatakan, sebagai berikut “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-undang”.

Para pihak yang dapat berperkara atau legal standing untuk dapat mengajukan permohonan
perselisihan hasil pemilihan umum, yang berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana yang dijabarkan
dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004, ditentukan sebagai berikut:

1. Pemohon
a. Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Peserta Pemilihan Umum
b. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden,
c. Partai Politik pserta Pemilihan Umum

Sedangkan selain dari 3 (tiga) pihak diatas, maka tidak memiliki legal standing dan tentunya
tidak berhak untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi,
akan tetapi tidak semua sengketa yang berkaitan dengan pemilihan umum berada dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Karena bisa jadi sengketa Pemilu tersebut masuk dalam kewenangan panitia
pengawas Pemilu.

Permohonan sengketa pemilu yang dapat diajukan kehadapan Mahkamah Konsitusi, adalah hanya
dapat diajukan penetapan hasil pemilihan umum yang ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan
Umum, yang dapat mempengaruhi:

a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)


b. Penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada putaran kedua
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
c. Perolehan kursi yang dimenangkan oleh partai politik peserta pemilihan umum disuatu Daerah
Pemilihan.

Tiga poin yang dapat mempengaruhi penetapan hasil pemilihan umum secara nasional diatas,
merupakan materi permohonan dan tentunya harus dipenuhi oleh setiap pemohon, sehingga sengketa
hasil pemilihan umum tersebut dapat dibawa kedepan persidangan Mahkamah Konstitusi, dan apabila
6
ke- 3 (tiga) poin tersebut tidak terpenuhi, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh Mahkamah
Konstitusi. Adapun posisi Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini, adalah menjadi pihak termohon.

Adapun alur dari proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :

1. Pengajuan Permohonan pasca Penetapan KPU


a. Permohonan yang dinyatakan lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK
b. Permohonan yang tidak lengkap dan tidak memenuhi syarat diberitahu pada Pemohon untuk
diperbaiki 1 x 24 jam
c. Salinan Permohonan dikirmkan ke KPU dikirimkan paling lambat 3 hari kerja disertai
permintaan jawaban tertulisdan bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan.

2. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang


a. Mahkamah menetapkan hari sidang pertama, paling lambat 7 hari sejak permohonan dicatat
di BRPK
b. Jawaban paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan
c. Penetapan hari sidang pertama diberitahu kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 hari
sebelum hari sidang;

3. Pemeriksaan Pendahuluan
a. Jumlah Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri 3 (tiga) orang hakim;
b. Panel Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan;
c. Panel Hakim memberi nasihat untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan
apabila terdapat kekurangan;
d. Pemohon wajib melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya dalam waktu 1x24 jam

4. Pemeriksaan Persidangan
a. Pemeriksaan dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim dan/atau Pleno
Hakim dan dilakukan setelah selesainya pemeriksaan pendahuluan;
b. Tahapan pemeriksaan meliputi:
 Jawaban Termohon;
 Keterangan Pihak Terkait;
 Pembuktian oleh Pemohon, Turut Termohon, Pihak Terkait; dan
 Kesimpulan;
c. Untuk kepentingan pembuktian, Mahkamah dapat memanggil:
 KPU Provinsi;
 KPU Kabupaten/ Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota;
d. Mahkamah dapat menetapkan Putusan Sela;

5. Pembuktian
a. Surat atau Tulisan;
 Berita Acara dan Salinan Pengumuman Hasil Pemungutan Suara Partai Politik Peserta
Pemilu dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD di tempat Pemungutan Suara (TPS);
 Berita Acara dan salinan Rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta Pemilu dan
Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan;
 Berita Acara dan salinan Rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik peserta
Pemilu dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dari KPU Kabupaten/ Kota;
 Berita Acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPR, DPRD
Kabupaten/ Kota;
 Berita Acara dan salinan Rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU Provinsi;
 Berita Acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara Anggota DPRD provinsi;
 Berita Acara dan salinan Rekapitulasi penghitungan suara dari KPU;
 Berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara nasional Anggota
DPR, DPD dan DPRD dari KPU
 Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
7
mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta pemilu dan calon anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi dan/atau DPRD kabupaten/ kota;
 Dokumen tertulis lainnya;
 Bukti Surat atau tulisan tersebut memiliki keterkaitan langsung dengan obyek
perselisihan hasil pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah
b. Keterangan saksi;
 Saksi resmi peserta Pemilu;
 Saksi Pemantau Pemilu bersertifikat;
 Saksi lain yang dipanggil Mahkamah;
Saksi dimaksud harus melihat, mendengar atau mengalami sendiri proses penghitungan
suara yang dimaksud;
c. Keterangan Ahli;
d. Keterangan Para Pihak;
e. Petunjuk; dan
f. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eelektronik;

6. Rapat Permusyawaratan Hakim


7. Putusan
Ada beberapa jenis putusan, yaitu sebagai berikut:
a. Permohonan tidak dapat diterima
Alasannya: permohonan tidak memenuhi sayarat sebagiaman disebut dalam pasal 3 ayat (1)
dan/ atau Pasal 5 dan/atau Pasal 6 ayat (1);
b. Permohonan ditolak
Alasannya permohonan terbukti tidak beralasan
c. Permohonan diterima
Alasannya permohonan terbukti beralasan dan selanjytnya Mahkamah membatalkan hasil
penghitungan suara Kpu seerta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar

F. Prosedur Pengajuan Perselisihan di Mahkamah Konstitusi

Para pihak atau yang disebut sebagai pemohon yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana
yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat mengajukan permohonan tersebut yang secara administrasi
ditujukan kepada bagian kepeniteraan Mahkamah Konstitusi, yang memeriksa kelengkapan administrasi,
misalnya keterangan lengkap dari pemohon, yang ditulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap, menguraikan secara jelas perihal yang menjadi
dasar permohonannya dan hal-hal lain yang diminta untuk diputuskan.

Untuk kepentingan itu, sebagaimana dijelaskan lebih rinci oleh pasal 5 ayat (4) Peraturan
Mahkamah Konstitusi No.04/PMK/2004. tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum yang menyatakan bahwa:

1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya
dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh:
a. calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum atau kuasanya
b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum dan kuasanya
c. Ketua umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan sejenisnya dari pengurus pusat partai
politik atau kuasanya.
Permohonan diatas harus memuat antaranya:
 Identitas pemohon, yang meliputi: nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan,
kewarganegaraan, alamat lengkap, nomor telepon/faksimili/telepon seluler/email. Yang
dihampiri dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain meliputi; foto copy KTP, terdaftar
sebagai pemilih yang dibuktikan dengan kartu pemilih, terdaftar sebagai peserta Pemilihan
Umum (bagi partai politik dan perseorangan calon anggota DPD).

2. Permohonan yang diajukan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat dilakukan melalui

8
faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud diatas sudah
harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktuu 3 (tiga) hari terhitung sejak
habisnya tenggat.

3. Uraian yang jelas tentang:


a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan
hasil penghitungan yang benar menurut pemohon
b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi
Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.

4. Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut,
antara lain alat bukti surat, misalnya foto copy sertifikat hasil penghitungan suara, foto copy
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dalam setiap jenjang penghitungan, atau foto
copy dokumen-dokumen tertulis lainnya dalam rangkap 12 (dua belas) setelah 1 (satu) rangkap
dibubuhi materai cukup dilegalisasi. Apabila pemohon berkehendak mengajukan saksi dan/atau
ahli, daftar dan curriculum vitae saksi dan/atau ahli dilampirkan bersama-sama permohonannya.
5. Permohonan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3X24 jam (tiga kali dua
puluh empat) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum
secara nasional. Pasal 74 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 5 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 04/PMK/2004. Namun, karena jangka waktu pengajuan permohonan
yang sangat singkat itu, maka cara pengajuannya juga dimudahkan yaitu dapat melalui faksimili
atau e-mail, dengan ketentuan bahwa permohonan aslinya sudah harus diterima oleh Mahkamah
Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat waktu.
Permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera Mahkamah
Konstitusi.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 UU tahun 2003, dimana dalam pasal
tersebut, diatur bagaimana tata tertib beracara di Mahkamah Konstitusi dan bagaimana mengajukan
perkara oleh para pemohon yang ingin mengajukan permohonan, baik dalam kasus yang bersifat
konstitusional maupun kasus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang diatur dalam UUD 1945.

Dalam pelaksanaan wewenangnya sebagai lembaga Negara yang memutuskan perkara ditingkat
awal dan pada tingkat akhir yang putusannya bersifat final dan mengikat, Mahkamah Konstitusi.

9
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Pelanggaran Pemilu

Pelanggaran Pemilu adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-undang Pemilu yang dapat


diklasifikasikan menjadi 2 (dua) pelanggaran yakni pelanggaran pidana dan pelanggaran administrasi.

2. Sengketa Pemilu

Adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih karena adanya perbedaan penafsiran antar pihak atau
suatu ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan atau peristiwa hukum atau
kebijakan, dimana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapat penolakan, pengakuan
yang berbeda, penghindaran dari pihak yang lain, yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu.

3. Sengketa Hasil Pemilu

Sengketa hasil pemilu adalah merupakan sengketa antar lembaga Negara yang berkaitan dengan hasil
Pemilu, dimana terjadinya salah penafsiran atau manipulasi pada hasil pemilu.

4. Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-
perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan Negara dan kehidupan politik. Proses Peradilan
Mahkamah Konstitusi dalam Menyelesaikan Sengketa Pemilu.

DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,Jakarta, rajawali pers, 2010 Maruarar Siahaan,
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press, 2005 Nurtjahjo, Hendra, Politik Hukum
TataNegara Indonesia, Jakarta, PSHTN-FHUI,2004
Soedarsosno, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi: Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu
2004 Oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekeretariat Jendra Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI, 2005
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 1998

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.

10
MAKALAH

HUKUM ACARA PERSELISIHAN


HASIL PEMILU

Disusun oleh :
HANIF FIRJATULLAH
1603101010080

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2019

11

Anda mungkin juga menyukai