INDONESIA
MODUL MATA KULIAH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
Disusun Oleh :
Tim Pembuat Modul
Dosen Pengampu Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia
A. Pendahuluan .............................…………………………………………. 58
B. Azas Dan Ruang Lingkup ……………………………………………… 61
C. Sumber Hukum ………………………………………………………… 61
DAFTAR REFERENSI
MATERI VII HUKUM KETENAGAKERJAAN …………………… 65
A. Hakikat Hukum Ketenagakerjaan .............................……………………. 66
B. Subyek Hukum Ketenagakerjaan ……………………………………….. 70
C. Azas-Azas Yang Melandasi Hukum Ketenagakerjaan …………………. 71
D. Sumber Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia …………………………. 71
E. Landasan, Asas-Asas Hukum, Dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia 72
F. Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia ………………….. 74
G. Latihan Kelas …………………………………………………………… 75
H. Evaluasi …………………………………………………………………… 76
DAFTAR PUSTAKA
MATERI VIII HUKUM PIDANA ……………………………………….. 80
A. Pengantar Hukum Pidana .............................…………………………… 80
1. Sejarah Hukum Pidana ……………………………………………. 80
2. Pengertian Hukum Pidana …………………………………………. 82
3. Pembagian Hukum Pidana …………………………………………. 82
4. Tujuan Hukum Pidana …………………………………………… 83
5. Fungsi Hukum Pidana …………………………………………… 85
B. Asas-Asas Dalam Hukum Pidana ……………………………………….. 85
C. Sistematika KUHP ……………………………………………………… 86
D. Perbuatan Yang Dapat Dihukum ……………………………………….. 87
E. Macam-Macam Delik …………………………………………………… 87
DAFTAR PUSTAKA
MATERI IX HUKUM ACARA PIDANA …………………………… 90
A. Pengertian, Tujuan Dan Fungsi .............................………………………. 90
1. Pengertian Menurut Beberapa Ahli ………………………………… 90
2. Tujuan Dan Fungsi …………………………………………………. 91
B. Sumber Dan Dasar Hukum Acara Pidana ……………………………… 92
1. Undang-Undang Dasar 1945 ……………………………………….. 92
2. Peraturan Undang-Undang ………………………………………….. 93
C. Asas Dan Prinsip Hukum Acara Pidana ……………………………….. 93
MODUL PENGANTAR HUKUM INDONESIA 2021 iii
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI
CPKU1 = Mampu menyusun karya ilmiah hukum yang bebas plagiasi sesuai
dengan metode ilmiah dengan menggunakan pola pikir logis, kritis,
kreatif dan inovatif dalam Bahasa Indonesia dan salah satu bahasa
asing, serta memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk
dapat mengkomunikasikan ide dan pemikirannya terhadap suatu
permasalahan hukum terbatas dalam komunitas ilmiah (Low).
CPKU2 = Mampu bekerja secara mandiri maupun bekerjasama dalam tim untuk
menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya (Low).
CPS = Memiliki karakter dan sikap yang sesuai dengan trikrama trisakti,
berjiwa kewirausahaan, berkebangsaan, berdemokrasi, menghormati
hak asasi manusia, toleran, taat hukum dengan menjunjung etika
profesi, untuk dapat mengembangkan kepribadian dalam berkarir,
menunjang pembelajaran sepanjang hayat dan berkehidupan di
masyarakat (Low).
Materi pemaparan dosen berupa power point; buku teks; perundang-undangan; kamus,
encyclopedia, hasil penulisan para ahli dalam bentuk jurnal ilmiah, laporan kerja,
handphone, laptop, class whatsapp group, email, Pusat Pembelajaran Daring Trisakti
(PPDT).
MATERI I
PENGERTIAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Oleh: Dr. Bambang Sucondro, S.H., M.H.
Sikap politik hukum Indonesia yang menetapkan tata hukum Indonesia tercanuk
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut “Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia …. Disusunlah
kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia”.
Hukum Perdata (BW) dan Hukum Dagang (WvK) yang mulai berlaku di
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848, sedangkan Hukum Pidana (WvS) mulai berlaku di
Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1918 da berlaku umum untuk semua golongan
penduduk Hindia Belanda. Berlainan dengan Hukum Pidana (WvS) yang di Hindia
Belanda diberlakukan terhadap semua golongan penduduk (secara umum) tetapi untuk
Hukum Perdata Barat (BW dan Wvk) tidak demikian, berlakunya didasarkan pada
perbedaan golongan penduduk di Hindia Belanda. Mengenai Pembagian Golongan
penduduk Hindia Belanda diatur dalam pasal 163 IS (indische staatsregeling) yaitu :
1. Golongan Eropa terdiri dari :
a. Semua orang Belanda;
b. Semua orang yang beraal dari eropa yag tidak termasuk orang Belanda;
c. Semua orang Jepang, dan smua orang yang berasal dari tempat lain yang tidak
termasuk apa yang disebut dalam 1 dan 2, yang di negaranya mempunyai
hukum keluarga yang asasnya sama dengan hukum Belanda;
d. Anak dari mereka yang disebut dalam 2 dan 3 yang dilahirkan di Indonesia
secara sah menurut undang-undang diakui.
2. Golongan Pribumi (Bumi Putera) terdiri dari :
a. Mereka yang termasuk penganut Pribumi (Indonesia) asli yang tidak pindah
golongan lain;
b. Mereka yang awalnya golongan lain tetapi telah meleburkan diri ke golongan
Pribumi.
3. Golongan Timur Asing terdiri dari mereka yang tidak termasuk golongan Eropa
dan Bumi Putra, misalnya: Orang Tionghoa, Mesir, Sudan, Nigeria, Arab, India,
Pakistan.
B. PENGERTIAN HUKUM.
Istilah “Hukum “ di Indonesia berasal dari Bahasa Arab qonun atau ahkam atau
hukum yang mempunyai arti “hukum”. Istilah hukum di Indonesia disebut law (Inggris)
dan recht (Belanda dan Jerman). Istilah recht berasal dari bahasa Latin rectum artinya
tuntunan atau bimbingan, pemerintah atau pemerintahan. Rectum dalam bahasa
Romawi adalah rex yang berarti Raja atau perintah Raja.
Istilah law (Inggris) dari bahasa Latin lex atau dari kata lesere yang berarti
mengumpulkan atau mengundang orang-orang untuk diberi perintah. Lex juga dari
istilah legi berarti peraturan atau Undang-undang.
Istilah hukum dalam bahasa Latin juga disebut ius dari kata iubere, artinya
mengatur atau memerintah atau hukum. Perkataan mengatur dan memerintah
bersumber pada kekuasaan negara atau pemerintah. Istilah hukum (ius) sangat erat
dengan tujuan hukum, yaitu keadilan atau iustitia. Iustitia atau justitia adalah dewi
“keadilan” bangsa Yunani dan Romawi kuno. Iuris atau juris (Belanda) berarti
“hukum”atau kewenangan (hak). Dan jurist (Inggris dan Belanda) adalah ahli hukum
atau hakim. Istilah jurisprudence (Inggris) berasal dari kata iuris merupakan bentuk
jamak dari ius yang berarti “hukum” yang dibuat oleh masyarakat atau sebagai hukum
kebiasaan, atau berarti “hak” dan “prudensi” berarti melihat ke depan atau mempunyai
keahlian. Dengan demikian, jurisprudence mempunyai arti ilmu pengetahuan hukum,
ilmu hukum, atau ilmu yang mempelajari hukum.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa politik hukum merupakan policy atau
kebijakan negara di bidang hukum yang sedang dan akan berlaku dalam suatu negara.
Dengan adanya politik hukum negara negara dapat menentukan jenis-jenis atau
macam-macam hukum, bentuk hukum, materi, dan atau sumber hukum yang berlaku
dalam suatu negara pada saat ini dan yang akan datang.
Apabila dihubungkan dengan pengertian “politik hukum“ dan “nasional”, maka
politik hukum nasional merupakan policy atau kebijakan dasar penyelenggara negara
dalam bidang hukum nasional, baik yang sedamg berlaku maupun yang akan datang
guna pencapaian tujuan bangsa dan negara yang diamanatkan oleh UUD 1945. Di
dalam UUDS 1950, terdapat salah satu pasal yang memuat tentang politik hukum
negara Republik Indonesia dalam Pasal 102 yang berbunyi :
Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil, maupun hukum
pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan
kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab
hukum, kecuali jika pengundang-undang menganggap perlu untuk mengatur
beberapa hal dalam undang-undang tersendiri.
Sejak tahun 1973 setelah ada ketetapan MPR No. IV Tahun 1973, dapat ditemukan
rumusan Politik Hukum (Nasional) Negara Republik Indonesia sebagai berikut dalam
(GBHN) :
I. Pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia adalah berdasar
atas landasan sumber tertib hukum negara, yaitu cita-cita yang terkandung pada
pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur
yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari Bangsa Indonesia yang
dipadatkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
II. Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran rakyat hukum yang
berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan
di segala bidang sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai
prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembina kesatuan bangsa
sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan
pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan :
a. Peningkatan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain
mengadakan pembaruan, kodifikasi serta komunifiksi hukum di bidang-
bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam
masyarakat.
b. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-
masing.
c. Peningkatan kemampuan dan kewajiban penegak hukum.
III. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap pada
pengusaha dan para pejabat pemerintah kearah penegak hukum.
MATERI II
POLITIK HUKUM DAN SEJARAH HUKUM INDONESIA
Oleh: Dr. Drs. Trubus Rahadiansyah, M.S., S.H.
A. POLITIK HUKUM.
Bila ditelusuri lebih jauh, istilah politik hukum (rechtspolitiek) dapat digunakan
dalam 2 (dua) arti yang berbeda, yakni dalam arti luas dan teoritis, yaitu sebagai ilmu
politik (tentang) hukum (politics of law), dan dalam arti yang lebih sempit dan praktis,
yaitu sebagai kebijakan hukum (legal policy). Sebagaimana dalam skema berdasarkan
pembagian ini, maka politik hukum dalam arti ilmu politik hukum merupakan bagian
dari ilmu politik yang meneliti perubahan-perubahan yang diperlukan terhadap hukum
agar sesuai dengan perkembangan politik Negara. Sementara politik hukum dalam arti
kebijaksanaan hukum berarti memilih cita-cita tentang hukum tertentu dan berupaya
dengan segala daya yang ada untuk mencapai cita-cita tentang hukum tertentu itu.
Dapat pula dikatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan tentang arah
perkembangan hukum. Jadi, politik hukum berkenaan dengan hukum yang dicita-
citakan, hukum yang akan dibentuk atau ius constituendum.1
Dalam perspektif lain, politik hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan
dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan
oleh masyarakat tertentu. Bila diskemakan dalam disiplin hukum sebagai berikut :2
1
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 2014),
hal. 200-201.
2
Soedjono Dirdjosisworo. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 48-49.
Ilmu
Hukum
Ilmu
Kaidah
Disiplin Ilmu
Hukum Kenyataan
Pembentukan Hukum
Filsafat
Hukum
Penciptaan
Lingkungan Hukum
Kebijakan
Kebijakan
Hukum Pembaruan
Pembuat dan Hukum
Pelaksana
Kebijakan
Pengembangan
Hukum
Kebijakan
berijtihad (menemukan sebuah hukum). Sehingga, di kalangan ahli ushûl fiqh terdapat
adigium al-ijtihâd munzhir li al-ahkâm wa laisa bi musbhit (ijtihad itu menemukan
hukum dan bukan menetapkannya).
Berdasarkan hal ini, maka politik hukum (rechtpolitiek) merupakan proses
pembentukan ius constitutum (hukum positif) dari ius constituendum (hukum yang
akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan
masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa politik hukum sebagai kebijakan publik (public
policy), atau dalam istilah lain kebijakan sosial (social policy) yang menyatu dan tidak
terpisahkan dari perlindungan masyarakat (social welfare) dan social defence policy.
Sementara itu, bila melihat politik hukum dalam arti kebijakan hukum (legal
policy) dapat ditemukan dalam :
1. Rencana pembangunan dan/atau rencana kerja pemerintah, khususnya dalam
bagian hukum.
2. Secara lebih khusus, politik hukum dapat juga dibaca dari bagian “menimbang”
dan “penjelasan umum” dari suatu undang-undang. Dalam bagian “menimbang”
dan “penjelasan umum” suatu undang-undang dapat diketahui politik hukum
berkenaan dengan materi yang diatur dalam undang- undang yang bersangkutan.
Dari pemahaman ini pula, kebijakan publik yang dilakukan oleh penguasa dalam
persoalan legislasi merupakan bagian dari pemahaman bahwa politik mempengaruhi
hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan
penegakan hukum. Di sisi lain, politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang
akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik hukum meneliti
perubahan-perubahan apa yang harus dilakukan dalam hukum sekarang berlaku,
supaya sesuai dengan sociale werklijkheid. Sederhananya, politik hukum meneruskan
perkembangan hukum dengan berusaha melenyapkan sebanyak-banyaknya ketegangan
antara positiviteit dan sociale werklijkheid. Politik hukum membuat suatu ius
constitutum dan berusaha agar ius constituendum pada kemudian hari bisa berlaku
sebagai ius constitutum baru.
Bila melihat lebih jauh, pada hakikatnya yang dapat menjalankan politik hukum
hanya ruling class dalam masyarakat. Seperti halnya dengan Negara bila ditinjau dari
segi politik maka hukum positif tertulis dan sebagian dari hukum positif yang terdapat
dalam yurisprudensi dan dalam pendapat para ahli, pada hakikatnya merupakan suatu
alat pemerintah yang dikuasai oleh suatu golongan tertentu dalam masyarakat, yaitu
golongan yang menjadi ruling class. Hukum keagamaan-pun (terutama tafsiran) boleh
dilihat sebagai suatu alat memerintah dari suatu ruling class, yaitu mereka yang
memimpin benar-benar suatu kaum agama. Sehingga, politik hukum membayangkan
kepada kita tindakan manusia yang seharusnya (dunia yang dicita-citakan, hetgeen
wenselijk is).
Terminologi politik hukum yang lebih operasional, adalah pernyataan Teuku M.
Radhie mengungkapkan bahwa politik hukum adalah pernyataan kehendak penguasa
negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah ke mana
hukum dikembangkan. Sejalan juga dengan pernyataan Baqir Manan bahwa politik
hukum mencakup 4 (empat) hal yakni politik pembentukan hukum, politik penentuan
hukum, dan politik penerapan serta penegakan hukum. Dari berbagai definisi hukum
yang ditulis, tampaknya disini lebih menitikberatkan pada definisi politik hukum yang
disampaikan Hikmahanto Juwono, yang mencakup 2 (dua) dimensi, yakni basic
policy dan enacment policy. Basic policy atau kebijakan dasar adalah politik hukum
yang menjadi dasar diadakan peraturan perundang-undangan. Enacment policy atau
kebijakan pemberlakuan adalah tujuan dan alasan yang muncul di balik pemberlakuan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan definisi semua yang sudah dijelaskan maka secara ringkas yang
dimaksud politik hukum di sini yakni proses penetapan hukum yang harus ditetapkan,
dan dapat dijadikan sebagai kebijakan publik atau kebijakan sosial. Penjelasan
etimologis di atas tentu tidak memuaskan karena masih begitu sederhana, sehingga
dalam banyak hal dapat membingungkan dan merancukan pemahaman tentang apa itu
politik hukum. Guna melengkapi uraian di atas disini disajikan definisi-definisi politik
hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yang selama ini cukup concern
mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, yaitu :
1. LJ. van Appeldoorn dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum” menyebut dengan
istilah politik perundang-undangan. Dalam bahasa Indonesia kata recht berarti
hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya
ahkam), yang berarti putusan, ketetapan, perintah, kekuasaan, hukuman dan lain-
lain. Berkaitan dengan istilah ini, belum ada kesatuan pendapat di kalangan para
teoretisi hukum tentang apa batasan dan arti hukum yang sebenarnya. Perbedaan
pendapat terjadi karena sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang luas serta
perbedaan sudut pandang para ahli dalam memandang dan memahami apa yang
disebut dengan hukum itu. Namun, sebagai pedoman, secara sederhana kita dapat
mengatakan bahwa hukum adalah seperangakat aturan tingkah laku yang berlaku
dalam masyarakat.
2. Teuku Muhammad Radhie mengkonsepsi politik hukum sebagai pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayah suatu negara
dan mengenai arah kemana hukum hendak dikembangkan.
3. Abdul Hakim Garuda Nusantara yang menyatakan bahwa politik hukum sama
dengan politik pembangunan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan
oleh suatu pemerintah negara tertentu.
4. Sunaryati Hartono tidak mendefinisikan politik hukum secara eksplisif, namun ia
melihat bahwa politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah
yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang
dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita
bangsa Indonesia.
5. Moh. Mahfud MD menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy atau
garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai
tujuan negara.
Dari pengertian politik hukum menurut para ahli hukum di atas maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan politik hukum adalah serangkaian
konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang
mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik
penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para
penegak hukum untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk,
hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang
dibangun serta untuk mencapai tujuan negara.
1. Fase Pra-Kolonial.
Fase Pra-Kolonial biasa disebut dengan fase sebelum penjajahan, dahulu
Indonesia sebelum adanya penjajahan menganut sistem kerajaan, diantara lain
kerajaan maja pahit, kerajaan sriwijaya, kerajaan mataram dan sebagainya. Pada
saat itu berarti masih menerapkan hukum sistem antar masing-masing wilayah
kerajaan.
Terdapat 2 (dua) zaman kerajaan yaitu kerajaan Hindu-Budha dan zaman
kerajaan Islam.
2. Fase Kolonial.
Fase kolonial biasa disebut dengan fase penjajahan, semenjak Belanda
menjajah Indonesia, banyak sekali perubahan terutama dalam sistem hukum di
Indonesia. Sejak masa VOC berlangsung pada abad XVII, tatanan hukumnya
dikualifikasikan sebagai tatanan hukum represif in optima forma. Tatanan hukum
yang berlaku saat itu menguntungkan bangsa Belanda dan merugikan bangsa
Indonesia terutama dalam bidang ekonomi.
4. Fase Kemerdekaan.
Di fase kemerdekaan ini terdapat 3 (tiga) masa yaitu masa orde lama, masa orde
baru dan masa reformasi.
a. Masa Orde Lama.
Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh bangsa
Indonesia sendiri atau Negara Indonesia. Orde Lama dipimpin Presiden
Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta. Sejak tanggal 18 Agustus 1945 tata
hukum positif di Indonesia adalah sistem hukum yang tersusun atas subsistem
hukum adat, subsistem hukum Islam, dan subsistem hukum Barat. Dinamika
politik pada masa ini mengalami pasang surut.
b. Masa Orde Baru.
Setelah Kudeta G.30.S/PKI digagalkan, kemudian sejak terbitnya Surat
Perintah 11 Maret 1966 yang sering dikenal sebagai “Supersemar”, maka
dimulailah suatu babak baru dalam perjalanan sejarah kehidupan bangsa
Indonesia, yang kemudian menyebut diri sebagai pemerintahan Orde Baru.
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde
Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan
pemerintahan. Diantaranya UU Pokok Agraria (UUPA), yang bersamaan
dengan dibuatnya UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, UU
Pertambangan.
DAFTAR PUSTAKA.
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
Rajawali Press.
MATERI III
PENGANTAR HUKUM TATA NEGARA
Oleh: Dr. Andari Yurikosari, S.H., M.H.
3. Mahasiswa dapat melakukan kerjasama kelompok membuat tugas dari dosen dan
mempresentasikan serta merevisi tugas berdasarkan umpan balik dosen maupun
teman.
BAHAN KAJIAN : Hukum Tata Negara (pengertian HTN; ruang lingkup HTN;
sumber hukum formal; azas-azas).
MATERI
mereka. Tata hidup dan peraturan-peraturan hidup mulanya tidak tertulis dan
hanya merupakan adat kebiasaan saja. Kemudian peraturan-peraturan hidup itu
dibuat secara permanen dalam bentuk tanda-tanda tertentu yang kemudian dibuat
secara tertulis. Jumlah mereka makin banyak, kepentingan-kepentingan dalam
kelompok makin luas dan kompleks, kesulitan dan bahaya-bahaya dari dalam
maupun dari luar 2 (dua) muncul, maka diperlukan adanya suatu organisasi yang
lebih teratur dan lebih berkekuasaan. Suatu organisasi sangat diperlukan untuk
melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan hidup agar berjalan
dengan tertib. Organisasi yang dibentuk dan memiliki kekuasaan itulah yang
dinamakan Negara.
menaklukan daerah lain, agar daerah itu tetap dikuasai, maka dibentuklah
suatu organisasi yang berupa Negara.
Definisi Negara :
a. Aristoteles: Negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa guna
memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.
b. Jean Bodin: Negara adalah suatu perkumpulan daripada keluarga-keluarga
dengans segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang
berdaulat.
c. Hugo de Groot: Negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari
orangorang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum.
d. Hans Kelsen: Negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan
tata paksa.
e. Kranen Burg: Negara adalah suatu sistem dari tugas-tugas umum dan
organisasi-organisasi yang diatur dalam usaha Negara untuk mencapai
tujuannya, yang juga menjadi tujuan rakyat / masyarakat, maka harus ada
pemerintah yang berdaulat.
f. J.H.A. Logemann: Negara adalah suatu organisasi kekuasaan / kewibawaan.
g. R. Djoko Sutono: Negara adalah suatu organisasi manusia yang berada di
bawah suatu pemerintah yang sama.
h. G. Pringgodigdo: Negara adalah suatu organisasi kekuasaan / organisasi
kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu yaitu,
pemerintah yang berdaulat, wilayah tertentu, rakyat yang hidup dengan teratur
sehingga merupakan suatu bangsa.
i. Sri Sumantri: Negara adalah organisasi kekuasaan, oleh karenanya dalam
setiap organisasi yang bernama Negara kita jumpai adanya organ atau alat
perlengkapan yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
kehendaknya kepada siapapun juga bertempat tinggal didalam wilayah
kekuasaannya.
a.d.2. Rakyat. Rakyat suatu Negara adalah semua orang yang berada di wilayah
Negara itu dan tunduk pada kekuasaan Negara tersebut. Awalnya yang
menjadi dasar menjadi rakyat dari pada suatu Negara adalah Asas
Keturunan (Ius Sanguinis), yaitu satu keturunan, satu nenek moyang atau
suatu pertalian darah.
Kemudian jarak antar Negara makin dekat, dan terjadi perbauran tidak
dapat dihindarkan dan bertempat tingga, maka asas tempat tinggal / tempat
kelahiran atau Ius Soli.
a.d.3. Pemerintahan, ada pemerintahan yang berdaulat kedalam dan keluar ada
pemerintah sebagai alat / organ yang menjalankan tugas dan fungsi
pemerintah.
dan taat pada hukum, hanya hukumlah yang berkuasa dalam Negara (Rule of
Law).
f. Negara Kesejahteraan (Welfare State = Social Service State). Tujuan Negara
adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Negara sebagai alat untuk
tercapinya tujuan bersama yaitu kemakmuran, kebahagian dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat. Disamping itu bermacam-macam tujuan Negara yaitu :
1) Untuk memperluas kekuasaan.
2) Untuk tercapainya kejayaan (seperti Kerajaan Sriwidjaya dan Kerajaan
Majapahit).
of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi
dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita
negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.
6. Lembaga Negara.
Lembaga Negara adalah lembaga pemerintahan atau "Civilizated
Organization" di mana lembaga tersebut dibuat oleh negara, dari negara, dan
untuk negara di mana bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Lembaga
negara terbagi dalam beberapa macam dan mempunyai tugas masing-masing yaitu
sesuai umpan balik dari dosen dan teman di kelas (tugas ini mengukur
keterampilan kerjasama tim dan komunikasi lisan dan tulisan mengunakan
technology, serta mengukur penguasaan materi).
▪ Berdasarkan capaian pembelajaran yang harus diraih mahasiswa, berikut tugas
mahasiwa yang harus dibuat secara kelompok untuk mengevaluasi sejauh mana
keberhasilan mahasiswa mencapai apa yang menjadi capaian pembelajaran pada
unit ini.
▪ Kelompok terdiri dari 5 (lima) mahasiswa.
▪ Dalam laporan kerja secara tertulis: jelaskan siapa yang menjadi ketua kelompok
dan bagaimana ketua berperan; jelaskan konstribusi masing-masing anggota;
jelaskan bagaimana aturan atau kesepakatan dalam kelompok dibuat (tentang
penentuan ketua, tugas masing-masing anggota maupun ketua dalam pencarian
bahan referensi), tentang penulisan, tentang penugasan presentasi di kelas, tentang
penugasan revisi tugas; jelaskan bagaimana diskusi kelompok dilaksanakan.
▪ Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secara tertulis sebagai tugas kelompok
yang akan dipresentasikan secara random di kelas. Feedback dosen terhadap
pekerjaan 1 (satu) kelompok bisa menjadi feedback bagi pekerjaan kelompok
lainnya. Perhatikan apa yang menjadi feedback dosen.
▪ Hasil kerja awal dan hasil revisi diserahkan pada dosen menurut arahan dosen.
▪ Pertanyaan :
1. Jelaskan Konsep Negara.
2. Jelaskan Teori-teori tentang Negara.
3. Jelaskan Tujuan Terbentuknya Negara.
4. Jelaskan Apa yang dimaksud dengan Konsep Welfare State.
5. Jelaskan Konsep Konstitusi.
6. Jelaskan Pengertian Hukum Tata Negara.
7. Bukalah UUD 1945 :
a. Jelaskan yang menjadi isi dari preambule-nya;
b. Sebutkan apa yang menjadi topik dari masing-masing Bab yang berada di
dalam UUD 1945, mulai dari Bab I hingga Bab XVI.
8. Bukalah UUD 1945: jelaskan lembaga-lembaga negara di Indonesia yang
diatur didalamnya, sertakan pasal-pasal yang mendasarinya dalam UUD 1945.
9. Jelaskan tentang Konstitusi dan keberadaan lembaga-lembaga Negara di
Indonesia.
10. Azas-azas apakah yang anda jumpai dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (5);
Pasal 33 ayat (1) dan (4); bagian Pembukaan.
11. Setelah membaca seluruh bagian dari UUD 1945, apa yang Anda pahami bila
mengaitkannya dengan konsep konstitusi?
DAFTAR PUSTAKA.
BUKU.
Artati, Sri Untari Indah, 2017. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Universitas Trisakti.
PERUNDANG-UNDANGAN.
Undang-Undang Dasar 1945.
INTERNET.
https://www.mkri.id/index.php
What Is a Constitution? 2014. Principles and Concepts.
https://constitutionnet.org/
MATERI IV
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Oleh: Dr. Listyowati Sumanto, S.H., M.H.
A. PENGERTIAN.
Istilah hukum dalam bahasa Latin iuris. Istilah administrasi berasal dari bahasa
Latin admistrare. Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam bahasa Belanda disebut
dengan Administratief Recht atau Bestuurrecht, di Perancis disebut Droit Administratif,
di Jerman disebut Verwaltungsrecht, di Inggris dan Amerika Serikat disebut
Administrative Law. Di Indonesia penyebutan istilah Hukum Administrasi Negara
belum ada keseragaman, ada yang menggunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan,
Hukum Tata Usaha Pemerintahan atau Hukum Tata Usaha Negara. Perbedaan istilah
ini disebabkan Hukum Administrasi Negara merupakan bidang hukum yang relatif
muda, bila dibandingkan dengan bidang-bidang hukum yang lain. Philipus M. Hadjon
menganggap istilah Hukum Administrasi Negara di Indonesia tidak relevan, karena :
1. Ilmu Administrasi Negara pengertiannya luas yakni meliputi kegiatan administasi
dibidang eksekutif, yudikatif dan legislatif. Padahal Hukum Administrasi Negara
sebenarnya hanya mempelajari kegiatan administrasi (eksekutif).
2. Alasan terminology (bahasa), dalam ilmu pengetahuan di dunia tidak dikenal
istilah Negara (State), dalam Administrasi yang ada hanya Administrative Law
atau Administratief Recht yang artinya Hukum Administrasi.
3. Konsep dalam “Hukum Administrasi” sudah mengandung konotasi Negara atau
publik, sehingga tidak perlu ada atribut istilah “Negara” atau publik, hal tersebut
janggal.
B. TEORI RESIDU.
Teori Residu dari Cornelis Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek Van Het
Administratief Recht” menjelaskan bahwa, lapangan Hukum Administrasi Negara
adalah "sisa atau residu" dari lapangan hukum setelah dikurangi hukum tata negara,
hukum pidana materiil dan hukum perdata materiil. Menurut Moh. Mahfud MD,
Hukum Administrasi Negara adalah sisa dari keseluruhan dari hukum nasional suatu
negara setelah dikurangi dengan hukum tata negara materiil, hukum perdata materiil,
dan hukum pidana materiil.
Van Vollenhoven terkait dengan teori residu menyatakan, “segala yang tidak
termasuk fungsi perundang-undangan (legislatif) dan fungsi peradilan (yudisial) ialah
fungsi pemerintahan”. Berdasarkan teori residu tersebut Van Vollenhoven membagi
kekuasaan / fungsi pemerintah menjadi 4 (empat) dikenal dengan Teori Catur Praja
yaitu: 1) Fungsi memerintah (Bestuur); 2) Fungsi polisi (Politie); 3) Fungsi mengadili
(Justitie); 4) Fungsi mengatur (Regelaar). Teori tersebut berkaitan erat dengan sejarah
lahirnya hukum administrasi bahwa hukum administrasi baru memperoleh bentuknya
sejak terjadinya pemisahan kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) kekuasaan / Trias
Politica (eksekutif, legislatif, yudikatif), sehingga bidang hukum administrasi
mengatur di luar kekuasaan legislatif dan yudikatif yang berarti tidak sekedar
kekuasaan eksekutif, tetapi lebih luas dari itu karena menyangkut seluruh tindakan
pemerintahan.
pemerintahan, meliputi :
1) Azas Kepastian Hukum adalah azas dalam Negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Pemerintah.
2) Azas Tertib Penyelenggaran Negara adalah azas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggaraan Negara.
3) Azas Kepentingan Umum adalah azas yang mendahulukan kesejahteraan
umum, dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4) Azas Keterbukaan adalah azas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia Negara.
5) Azas Proporsionalitas adalah azas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
6) Azas Profesionalitas adalah azas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
7) Azas Akuntabilitas adalah azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
F. SUSUNAN PEMERINTAHAN.
Susunan organisasi negara Indonesia terdiri dari 2 (dua) susunan utama, yaitu
susunan pemerintahan tingkat pusat dan susunan pemerintahan tingkat Daerah.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Pemerintah Pusat adalah Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud
dalam UUD RI 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah
Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
UUD RI 1945.
Hubungan diantara tingkat-tingkat pemerintahan terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:
hubungan vertikal (pengawasan, kontrol) yang dilaksanakan oleh badan-badan
pemerintah yang bertingkat lebih tinggi terhadap badan-badan yang lebih rendah, serta
hubungan horisontal (kerjasama) antara badan pemerintah yang sejajar. Hubungan
antara pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah propinsi serta pemerintah daerah
kabupaten / kota yaitu :
1. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah. Presiden memegang
tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2. Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki
2. Menteri.
Berdasarkan Pasal 17 UUD 1945, Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri mempunyai
tugas memimpin kementerian, menentukan kebijakan di bidang pemerintahan
yang secara fungsional berada dibawahnya, membina dan melaksanakan
kerjasama dengan kementerian, instansi dan organisasi negara lainnya.
Presiden. Lembaga ini berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada
Presiden melalui menteri atau pejabat setingkat menteri yang mengkoordinasikan.
Misalnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Intelijen Negara
(BIN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan lain-lain.
pilihan. Termasuk ke dalam urusan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan pelayanan dasar (pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan
hidup minimal, prasarana lingkungan dasar). Sedangkan urusan pemerintahan yang
bersifat pilihan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah (kelautan dan
perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral,
perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi).
DAFTAR REFERENSI.
Moh Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta:
Rineka Cipta.
Safri Nugraha, et.al., 2007. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
MATERI V
HUKUM AGRARIA
Oleh: Dr. Listyowati Sumanto, S.H., M.H., dan Dr. Sri Untari Indah Artati, S.H., M.H.
A. PENGERTIAN.
Agraria dalam bahasa Latin berasal dari kata ager yang berarti tanah atau sebidang
tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. Dalam bahasa Indonesia
agraria berati urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.
Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut agrarian yang selalu diartikan tanah dan
dihubungkan dengan usaha pertanian.
Pengertian Hukum Agraria terdiri atas Hukum Agraria dalam arti luas dan Hukum
Agraria dalam arti sempit. Pengertian Hukum Agraria menurut Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan pengertian
dalam arti yang luas yaitu merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum positif
yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang
meliputi bumi air dan kekayan alam yang terkandung didalamnya serta ruang angkasa
dalam batas-batas tertentu. Kelompok bidang hukum itu terdiri dari :
1. Hukum Tanah unsur sumber daya alam berupa tanah.
2. Hukum Air unsur sumber daya alam berupa air.
3. Hukum Pertambangan unsur sumber daya alam berupa bahan galian.
4. Hukum Perikanan unsur sumber daya alam berupa ikan dan hasil laut lainnya.
5. Hukum Kehutanan unsur sumber daya alam berupa hutan.
6. Hukum Penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yang dapat
digunakan untuk memelihara dan memper-kembangkan kesuburan bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Pengertian Hukum Agraria dalam arti sempit (Hukum Tanah) yaitu bidang hukum
positif yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Unsur sumber daya alam
berupa tanah.
Di kalangan administrasi negara, hukum agraria dipakai dalam arti yang sangat
sempit. Hanya meliputi hukum tanah administrasitif yaitu ketentuan-ketentuan hukum
yang memberi wewenang khusus kepada eksekutif untuk melaksanakan kebijakan dan
tugasnya di bidang pertanahan.
Pada pendidikan hukum, yamg dimaksud dengan hukum agraria hanya meliputi
Hukum Tanah, yaitu keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, ada yang tertulis ada
pula yang tidak tertulis, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-
lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan hukum konkret, beraspek publik dan
perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya
menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.
5. Hukum tanah antar golongan, yang terdiri atas asas-asas dan ketentuan untuk
menyelesaikan kasus-kasus hukum antar golongan, sebagai akibat adanya
dualisme di bidang hukum tanah dengan berlakunya secara bersamaan hukum
tanah adat dan hukum tanah barat.
Sehingga dengan adanya UUPA maka tercapailah unifikasi di bidang hukum tanah
di Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan UUPA.
Tujuan pokok UUPA adalah :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Fungsi UUPA :
1.
2.
3.
8. Azas kemanusiaan yang adil dan beradab dalam penyelesaian masalah masalah
pertanahan sesuai dengan sila kedua Pancasila (Pasal 11 UUPA).
9. Azas subyek hak atas tanah : Persyaratan subjek hak atas tanah ditetapkan
berdasarkan asas dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA, “Tiap-tiap Warga Negara
Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) UUPA
menetapkan :
a. Status hukum subjek menentukan status tanah yang boleh dikuasainya (Pasal
21 ayat (1), 30 ayat (1), 42, 45 UUPA).
b. Status hukum subjek menentukan kelangsungan hak atas tanahnya (Pasal 21
ayat (3), 26 ayat (2), 30 ayat (2), 36 ayat (2) UUPA).
10. Azas kepemilikan bangunan dan tanaman di atas tanah asas pemisahan horizontal
(horizontale scheiding) artinya bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian
dari tanah yang bersangkutan, bukan satu kesatuan dengan tanahnya, maka hak
atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi
bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Akan tetapi dalam praktek
dimungkinkan bangunan atau tanaman dijual berikut tanahnya jika dipenuhi
syarat :
a. Bangunan dan tanaman tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanahnya
(bangunan berpondasi atau permanen, tanaman keras).
b. Bangunan dan tanaman tersebut milik yang punya tanah.
c. Secara tegas dinyatakan dalam Akta Jual Beli-nya.
merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan sumber bagi hak
menguasai negara dan hak-hak perorangan atas tanah, karena seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang telah
bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa bumi, air dan ruang
angkasa dalam wilayah Republik Indonesia sebagai keseluruhan, menjadi hak pula
dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya
saja. Hak Bangsa mengandung 2 (dua) unsur yaitu :
a. Unsur kepunyaan (aspek perdata): bahwa tanah-tanah di seluruh wilayah
negara kesatuan RI adalah milik seluruh bangsa Indonesia.
b. Unsur kewenangan mengatur (aspek publik): Seluruh rakyat Indonesia
membentuk suatu organisasi kekuasaan yakni Negara untuk mengatur tanah-
tanah di seluruh wilayah Indonesia dan dilaksanakan dengan “Hak Menguasai
Negara” sebagai tafsiran otentik Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 3 UUPA terhadap hak ulayat yang masih ada, diakui
eksistensinya oleh UUPA sepanjang hak ulayat itu masih hidup.
a. Hak-hak Individual / Perorangan :
1) Hak-hak atas tanah (Pasal 4).
a) Hak-hak atas tanah primer yaitu hak atas tanah yang bersumber
langsung pada Hak Bangsa Indonesia. Cara memperolehnya
melalui permohonan hak kepada Negara (Kementerian Agraria
dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional). Hak-hak atas tanah
primer terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai yang diberikan oleh negara (Pasal 16).
b) Hak-hak atas tanah sekunder yaitu hak atas tanah yang bersumber
tidak langsung pada Hak Bangsa Indonesia. Cara memperolehnya
melalui perjanjian dengan pemilik tanahnya, berarti hak atas tanah
sekunder selalu berada di atas tanah Hak Milik orang lain. Hak-
hak atas tanah sekunder terdiri dari Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa
tanah pertanian (Pasal 37, 41 dan 53 UUPA).
2) Wakaf (Pasal 49 UUPA).
Wakaf bukan merupakan hak atas tanah, tetapi adalah perbuatan
hukum yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik
Jangka waktu hak pakai atas tanah negara 30 (tiga puluh) tahun dan dapat
diperpanjang 20 (dua puluh) tahun (Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja jo. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan,
Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah).
5. Hak Sewa adalah hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain dengan
membayar sewa kepada pemiliknya uang sebagai sewa.
6. Hak Gadai adalah hak untuk menggunakan tanah kepunyaan orang lain yang
mempunyai hutang kepadanya (Pasal 53 UUPA jo. Pasal 7 UU No. 56 Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian).
7. Hak Usaha Bagi Hasil adalah hak untuk mengusahakan tanah pertanahan
berdasarkan perjanjian antara pemiliknya dengan seseorang atau sesuatu badan
hukum, yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap
diperkenankan oleh pemilik untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah
yang bersangkutan, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak sesuai
dengan perjanjian yang diadakan sebelumnya (UU No. 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Usaha Bagi Hasil).
8. Hak Menumpang adalah hak adat untuk, dengan ijin lisan dari pemiliknya,
mempunyai rumah di atas tanah milik orang lain, yang bukan hak guna bangunan
dan hak sewa. Pemegang hak menumpang tidak membayar sesuatu kepada pemilik
tanah.
DAFTAR REFERENSI.
BUKU.
Boedi Harsono, 2007. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Usaha Bagi Hasil.
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
4. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
5. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
6. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
7. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf.
MATERI VI
PENGANTAR HUKUM LINGKUNGAN
Oleh: Dr. Sri Untari Indah Artati, S.H., M.H., dan Dr. Metty Soletri, S.H., M.Kn.
A. PENDAHULUAN.
Dalam kehidupan, semua makhluk hidup selalu saling berhubungan secara timbal
balik dan saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti antara
manusia dengan manusia, manusia dengan hewan dan tumbuhan dan antara manusia
dengan lingkungannya termasuk jasad renik dan benda-benda mati yang ada disekitar
manusia, seperti tanah, air, udara, batu-batuan dan sebagainya. Hubungan timbal
balik yang saling membutuhkan dalam suatu sistem secara teratur dinamakan
ekosistem.3
Pengertian ekosistem telah ditegaskan dalam Pasal 1 butir 5 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH), menyatakan bahwa : Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup
yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
Menurut Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, ada 2 (dua) bentuk ekosistem,
meliputi ekosistem alamiah (natural ecosystem) dan ekosistem buatan (artificial
ecosystem). Pada ekosistem alamiah terdapat heterogenitas yang tinggi dari
organisme hidup sehingga mampu mempertahankan proses kehidupan didalamnya
dengan sendirinya. Sementara ekosistem buatan heterogenitasnya kurang sehingga
3
Muhammad Sood. Hukum Lingkungan Indonesia (Jakarta : Sinar Garfika, 2019) hal. 1.
bersifat labil, dan untuk membuat ekosistem tersebut stabil diperlukan bantuan energi
dari luar yang berbentuk suatu usaha maintenance atau perawatan dari manusia.4
Pada Pasal 1 angka 1 UUPPLH, Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Sedangkan pengertian dari Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum (Pasal 2 UUPPLH).
Hukum lingkungan merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang masih muda,
yang perkembangannya baru terjadi pada 2 (dua) dasawarsa terakhir ini. Namun
demikian, perkembangannya sangat cepat sejalan dengan makin banyaknya
permasalahan lingkungan hidup baik dalam lingkungan nasional maupun global. Hal
ini diikuti dengan semakin berkembangnya instrumen lingkungan, baik regulasi
maupun institusi hukum dalam rangka mengatasi dan menyelesaikan permasalahan
lingkungan hidup.5
Pada dimensi ini, hukum dipandang sebagai ketentuan berlaku pada komunitas
tertentu yaitu komunitas rakyat Indonesia. Komunitas yang berhubungan secara
langsung atau tidak secara langsung dengan permasalahan lingkungan hidup. Secara
khusus, hukum formal yang berlaku saat ini adalah UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini disahkan pada
tanggal 3 Oktober 2009, LN 2009 No. 141 untuk selanjutnya disingkat UUPPLH.6
UUPPLH dibuat dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan hidup di
Indonesia serta mengurangi laju kerusakan lingkungan yang muncul. Kemunculannya
adalah sebagai akibat atau perilaku alam, khususnya akibat perilaku manusia yang
megeksploitasi alam. Kemudian menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan itu
sendiri. Atau bisa juga sebagai akibat perilaku alam, yang secara alamiah
mendegradasikan kualitas lingkungan hidup, misalnya bencana alam.
4
Koesnadi Hardjasoemantri. Hukum Tata Lingkungan, Edisi ketujuh, Cet.ke 17 (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1999) hal. 3.
5
Muhammad Sood, Op.Cit., hal. 25.
6
Samsul Wahidin. Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014) hal. 4.
7
Ibid, hal. 6.
8
Muhammad Sood, Loc.Cit, hal. 28.
9
Ibid, hal. 29.
Sedangkan ruang lingkup dari UUPPLH terdapat dalam Pasal 4 yang meliputi :
1. Perencanaan.
2. Pemanfaatan.
3. Pengendalian.
4. Pemeliharaan.
5. Pengawasan.
6. Penegakan hukum.
C. SUMBER HUKUM.
10
Ibid, hal. 31-32.
11
Ibid, hal. 57-58.
12
Ibid, hal. 61-62.
DAFTAR REFERENSI.
Koesnadi Hardjasoemantri, 1999. Hukum Tata Lingkungan, Edisi ketujuh, Cet.ke 17.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Samsul Wahidin, 2014. Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
MATERI VII
PENGANTAR HUKUM KETENAGAKERJAAN
Oleh: Dr. Dra. Amriyati, M.Pd, S.H., M.H.
− Perundang-undangan Ketenagakerjaan.
− Penjelasan Para Ahli Terkait Hakikat Asas-Asas Hukum Ketenagakerjaan.
Mahasiswa dapat melakukan kerjasama kelompok membuat tugas dari dosen dan
mempresentasikan serta merevisi tugas berdasarkan umpan balik dosen maupun teman.
Mahasiswa membuat tugas secara individu dan kerjasama kelompok secara tertulis
berdasarkan; Mempresentasikan tugas dihadapan kelas (daring atau luring); Merevisi
sesuai umpan balik dari dosen dan teman di kelas (keterampilan kerjasama tim dan
komunikasi).
MATERI.
18
Judgment of the ECJ in FNV Kunsten, C-413/13, EU:C:2014:2411, paragraph 34. Noted in the
concept of ‘worker’ in EU law Status quo and potential for change — Martin Risak and Thomas Dullinger p.
140. https://www.etui.org
19
Benjamin S. Asia. Employment Relation: Common-Law Concept And Legislative Definition.
https://core.ac.uk
20
Wilfred Jenks. Labor Law. https://www.britannica.com/topic/labour-law
21
https://www.britannica.com/topic/labour-law
22
Collins Dictionary
23
Agusmidah, Hukum Ketenagkerjaan Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal. 5.
24
Martin Risak and Thomas Dullinger. Op.Cit.
Undang-Undang atau peraturan lainnya yang dibuat oleh penguasa atau pihak yang
memiliki wewenang, dimana hukum itu berfungsi sebagai pemandu tindakan manusia
agar terdapat keseimbangan antara berbagai kepentingan, atau keberadilan terhadap
semua pihak. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia adalah seperangkat aturan
memaksa yang bertujuan untuk memberi perlindungan pada pekerja dan juga dunia
usaha demi terciptanya pekerja Indonesia yang memiliki harkat dan martabat sebagai
manusia seutuhnya sehingga mampu berperan dalam pembangunan Indonesia yang
sejahtera merata.
25
Undang- Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Pasal 1 ayat (1).
26
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 6.
27
Pasal 3 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
merupakan aturan pelaksana atau turunan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
untuk bidang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut :28
1. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan
Kerja.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
28
Fitria Chusna Farisa. Editor Kristian Erdianto. "49 Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja Diundangkan,
Ini Rinciannya". https://nasional.kompas.com
G. LATIHAN KELAS.
Bukalah laman berikut:
https://jdih.kemnaker.go.id/jdih.php?hal=semuaperaturanE&halartikel=2
▪ Apakah putusan hakim seperti diatas merupakan sumber hukum Formal? Jelaskan.
▪ Ketika Anda membuka Putusan Mahkamah Agung pada laman di atas, informasi
apakah yang Anda peroleh? Berilah gambaran contoh salah satu putusan tersebut.
H. EVALUASI.
▪ Berdasarkan capaian pembelajaran yang harus diraih mahasiswa, berikut tugas
mahasiwa yang harus dibuat secara kelompok.
▪ Kelompok terdiri dari 5 (lima) mahasiswa; jelaskan siapa yang menjadi ketua
kelompok dan bagaimana ketua berperan; jelaskan kontribusi masing-masing
anggauta; jelaskan bagaimana aturan atau kesepakatan dalam kelompok dibuat (ttg
penentuan ketua, tugas masing-masing anggauta maupun ketua dalam pencarian
bahan refernsi, tentang penulisan, tentang presentasi di kelas, tentang revisi);
jelaskan bagaimana diskusi kelompok dilaksanakan.
▪ Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secara tertulis sebagai tugas kelompok
yang akan dipresentasikan secara random di kelas. Feedback dosen terhadap
pekerjaan satu kelompok bisa menjadi umpan balik bagi pekerjaan kelompok
lainnya. Perhatikan apa yang menjadi umpan balik atau masukan dosen.
▪ Hasil kerja awal dan hasil revisi diserahkan pada dosen menurut arahan dosen.
▪ Pertanyaan :
1. Bagaimana konsep tenaga kerja menurut uraian para ahli? Dimanakah
persamaan konsep pekerja menurut para ahli dan konsep operasional
sebagaimana tertulis dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?
2. Jelaskan pengertian hukum ketenagakerjaan.
3. Mengapa dibuat hukum ketenagakerjaan dalam wujud pengaturan pada UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan untuk tujuan apakah adanya
BAB IV UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?
4. Siapa saja yang merupakan pihak-pihak yang terkait dalam hukum
ketenagakerjaan, mengapa demikian?
5. Ketentuan apakah yang diatur pada Pasal 50 UU 13/2003; jelaskan implikasi
Pasal ini.
6. Terdapat 18 Bab dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Apakah yang diatur pada setiap bab tersebut?
7. Apakah yang menjadi ruang lingkup hukum ketenagakerjaan di Indonesia?
8. Penjelasan apakah yang Anda peroleh dari Pasal 1 butir 2, 4, 5, dan 6 Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?
9. Bukalah UUD 1945 dan tentukan 2 (dua) Pasal atau Ayat yang memiliki
relevansi dengan ketenagakerjaan. Jelaskan mengapa demikian.
10. Pasal 151 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja: “Dalam hal
pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja maka
penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan
bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja /
DAFTAR PUSTAKA.
BUKU.
Agusmidah, 2010. Hukum Ketenagkerjaan Indonesia. Ghalia Indonesia, Bogor.
Asikin, Zainal. Et.Al. 2016. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo, Depok.
INTERNET.
Holland, Jamees A. Julian S. Webb. 1996. Learning Legal Rules. Blackstone Limited,
Great Britain.
Benjamin S. Asia. Employment Relation: Common-Law Concept And Legislative Definition.
Farisa, Fitria Chusna. Editor Kristian Erdianto. "49 Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja
Diundangkan, Ini Rinciannya". https://nasional.kompas.com.
Collins Dictionary
Holland definition of law. https://www.srdlawnotes.com/2016/03/holland-definition-of-
law.html
Judy Fudge, Eric Tucker and Leah Vosko. Concepts of Employment and Full Employment.
York University Report prepared for the Law Commission of Canada, September 2002.
http://www.economicsconcepts.com/concepts_of_employment_and_full_employment.htm
https://jdih.kemnaker.go.id/jdih.php?hal=semuaperaturanE&halartikel=2
https://www.britannica.com/topic/labour-law
http://law.uok.edu.in/Files/Custom/jurisprudence-Unit-I.pdf
Martin Risak and Thomas Dullinger The concept of ‘worker’ in EU law Status quo and
potential for change. https://www.etui.org
Meaning, Nature and Functions of Law. Custom/jurisprudence-Unit-I.pdf.
The Legal Concept of Employment: Marginalizing Workers Report for the Law
Commission of Canada. https://www.researchgate.net
Wilfred Jenks. Labor Law. https://www.britannica.com/topic/labour-law
MATERI VIII
HUKUM PIDANA
Oleh: Dr. Sugeng Supartono, S.H., M.H., dan Rini Purwaningsih, S.H., M.H.
URAIAN MATERI.
Orang Indonesia jauh sebelum kedatangan Belanda melalui VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat.
Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti
hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya
pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).
Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum
pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian
berkembang di Indonesia.
Setelah Kemerdekaan, masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia
setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi 4 (empat) masa
sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada
berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu Pertama, masa pasca kemerdekaan
dengan konstitusi UUD 1945; Kedua, masa setelah Indonesia menggunakan
konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat); Ketiga, masa
Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950); dan Keempat masa
Indonesia kembali kepada UUD 1945, Tahun 1945-1949.
Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka
pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan
berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak
sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa
dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan
nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang
menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal
18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang-Undang Dasar 1945. Mewujudkan
cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial
menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat
dapat diwujudkan.
Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan
yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar
memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk
mengisi kekosongan hukum (rechts vacum) karena hukum nasional belum dapat
diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan
agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Ketentuan ini
atau masyarakat, hukum pidana dapat menjaga ketertiban dan keteraturan dalam
masyarakat. Apabila masyarakat tertib dan teratur, maka segala aktivitas
kehidupan masyarakat menjadi tentram dan aman. Apabila masyarakat aman dan
tentram, masyarakat bisa bekerja dengan tenang sehingga dapat tercapainya tujuan
hukum dan tujuan negara, yakni menjadikan masyarakat yang adil dan makmur.
Hukum pidana adalah hukum bersanksi. Sifat hukum pidana yang istimewa bukan
hanya norma-normanya, melainkan juga hukuman (sanksi pidananya).
Hukum pidana bersifat “siksaan atau penderitaan” yang dijatuhkan terhadap
orang atau badan karena melakukan tindak pelanggaran atau kejahatan yang
ditentukan oleh undang- undang pidana (hukum pidana) tujuan hukum pidana
menjatuhkan sanksi “pidana” terrhadap siapa saja yang melakukan perbuatan
pidana dan melanggar undang-undang hukum pidana adalah sebagai ultimum
remedium (obat terakhir) dengan tujuan untuk melindungi kepentingan umum atau
kepentingan masyarakat. Yang dimaksud dengan “kepentingan hukum atau hak
hukum” yang harus dilindungi oleh undang-undang, yaitu :
1. Jiwa / nyawa seseorang;
2. Badan seseorang (fisik);
3. Kehormatan seseorang;
4. Kesusilaan seseorang;
5. Kemerdekaan seseorang (agama, kepercayaan, dan politik);
6. Harta benda seseorang.
a. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
b. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan,
dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
2. Asas Hukum Nullum Delictum Nulls Poena Sine Praevia Lege.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
3. Asas Territorial.
Menurut asas territorial, berlakunya undang-undang pidana suatu Negara semata-
mata digantungkan pada tempat dimana tindak pidana atau perbuatan pidana
dilakukan, dan tempat tersebut harus terletak di dalam teritori atau wilayah Negara
yang bersangkutan. Menurut Simons berlakunya asas territorial ini berdasarkan
atas kedaulatan Negara sehingga setiap orang wajib dan taat kepada perundang-
undangan Negara tersebut.
4. Asas Perlindungan.
Peraturan hukum pidana Indonesia berfungsi untuk melindungi keamanan
kepentingan hukum terhadap gangguan dari setiap orang di luar Indonesia
terhadap kepentingan hukum Indonesia.
5. Asas Personal.
Ketentuan hukum pidana berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia yang
melakukan tindak pidana di luar Indonesia.
6. Asas Universal.
Dapat dipidananya perbuatan seperti pembajakan di laut, meskipun berada di luar
kendaraan air, jadi di laut bebas (mare liberium). Asas universal bersifat mendunia
dan tidak membeda-bedakan warga apapun, yang penting adalah terjaminnya
ketertiban dan keselamatan dunia.
C. SISTEMATIKA KUHP.
KUHP terdiri dari 3 (tiga) buku, yaitu buku pertama yang memuat peraturan
umum (Pasal 1-103), buku kedua yang memuat kejahatan-kejahatan (Pasal 104-488),
dan buku ketiga yang memuat pelanggaran-pelanggaran (Pasal 489-569).
Dalam Pasal 10 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur macam-
macam hukuman (pidana), yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Macam-
macam hukuman pokok, yaitu hukuman mati, hukuman penjara, hukuman tutupan, dan
hukuman denda. Yang termasuk hukuman tambahan, yaitu pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim.
E. MACAM-MACAM DELIK.
Delik dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu sebagai berikut :
1. Menurut cara penuntutanya.
a. Delik aduan (klacht delict) yaitu suatu delik yang diadili, apabila yang
berkepentingan (yang dirugikan) mengadunya kepada polisi / penyidik.
Apabila tidak ada pengaduan maka penyidik tidak akan menhgadakan
penyidukan dan membuatkan Berita Acara Pemeriksaan.
b. Delik biasa, yaitu perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang tidak
memerlukan pengaduan, melainkan laporan.
2. Menurut jumlah perbuatan pidananya.
a. Delik tunggal (enkelvouding delicten), yaitu delik yang terdiri dari 1 (satu)
perbuatan saja.
b. Delik berangkai (samengestelde delicten) adalah perbuatan yang terdiri dari
beberapa delik.
3. Menurut tindakan atau akibatnya.
a. Delik material, yaitu suatu delik yang dilarang oleh undang-undang
DAFTAR PUSTAKA.
Eddy O S Hiariej, 2014. Prinsip-prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Teguh Prasetyo, 2018. Hukum Pidana. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.
Topo Santoso, 2020. Hukum Pidana Suatu Pengantar. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.
Umar Said Sugiarto, 2017. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
MATERI IX
HUKUM ACARA PIDANA
Oleh: Dr. Sugeng Supartono, S.H., M.H., dan Rini Purwaningsih, S.H., M.H.
b. Andi Hamzah.
“Hukum Acara Pidana disebut juga hukum acara formal untuk membedakan
dengan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil atau hukum pidana itu
berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat
dapatnya dipidana dan aturan-aturan tentang pemidanaan, mengatur kepada
siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana
formal mengatur bagaimana negaaara melalui alat-alatnya melaksanakan
haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana”.
d. Moeljanto.
“Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang
menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman macam apa,
ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanankan
apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut”.
e. Van Bemmelen.
“Hukum Acara Pidana adalah ilmu yang mempelajari peraturan- peratuan
yang ditetapkan negara karena adanya pelanggaran undang-undang pidana,
yaitu sebagai berikut: 1) Negara melalui alat-alatnya menyelidiki kebenaran; 2)
Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3) Mengambil tindakan-
tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan jika perlu untuk
menahanya.
Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan tau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.
PASAL 24 :
a. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang-undang.
b. Susunan dan badan- badan kehakiman itu diatur dengan undang- undang.
PASAL 25 :
Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang- undang.
PASAL II ATURAN PERALIHAN UUD 1945 :
“Segala lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanaakan UUD dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
dasar ini”.
2. Peraturan Undang-Undang.
Ada beberapa undang-undang yang menjadi sumber dan dasar dari hukum
acara pidana. Adapun undang-undang dimaksud meliputi :
a. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
b. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-
Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 / 1986 tentang
Peradilan Umum.
c. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Perubahan Kedua dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009.
d. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada
saat UU ini berlaku, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
e. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku
sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
f. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
g. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
4. Asas Oportunitas.
Asas ini memberian kewenangan kepada penuntut umum untuk menuntut atau
tidak menuntut seseorang, kelompok orang atau korporasi yang telah melakukan
perbuatan pidana, dengan atau tanpa syarat, demi kepentingan umum. Asas ini
diatur pada Pasal 32C UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, yang
menyatakan: “Jaksa agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan
kepentingan umum”.
Adapun maksud dari “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan
negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Pada pelaksanaannya, kewenangan
ini hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan
pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan
masalah tersebut dan dapat melaporkan terlebih dahulu rencana penyampingan
perkara kepada presiden, untuk mendapatkan petunjuk. Pendeknya, asas ini
memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak
menuntut dengan alasan tertentu seperti diatas.
D. SISTEM PEMERIKSAAN.
Ada 2 (dua) macam sistem pemeriksaan dalam ilmu hukum acara pidana, yaitu
Pertama, system inquisitoir. Sistem inquisitoir menempatkan tersangka sebagai subjek
tersangka oleh aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum). Dalam system
inquisitoir, pemeriksaan dilakukan dengan keras untuk memperoleh pengakuan
bersalah dari tersangka atau terdakwa yang akan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan. Pada pemeriksaan system inquisitoir, tersangka tidak boleh didampingi
oleh pembela atau penasehat hukum. Pemeriksaan system inquisitoir dimulai sejak
abad 13 dan diakhiri awal abad 19 dan sekarang sudah ditinggalkan.
Kedua system accusatoir, tersangka atau terdakwa diperlakukan sebagai subjek
yang memperoleh hak untuk berdebat dan berpendapat dengan pihak penyidik dan/atau
penuntut umum, atau hakim pemeriksa perkara di persidangan sehingga masing-
masing hak mempunyai hak dan kedudukan yang sama didalam pemeriksaan untuk
mencari kebenaran material. Dalam system accusatoir, hakim bertindak sebagai wasit
yang tidak memihak. Hakim berperan aktif apabila para pihak (Jaksa Penuntut Umum,
F. ALAT-ALAT BUKTI.
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP). Adapun macam–
macam alat bukti menurut pasal 183 KUHAP adalah :
1. Keterangan saksi,
2. Keterangan ahli,
3. Surat,
4. Petunjuk, dan
5. Keterangan terdakwa.
Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tanpa perlu dibuktikan.
b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 Butir a dan
b).
c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim
(Pasal 52).
d. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat (1)).
e. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
(Pasal 54).
f. Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka
atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-cuma.
g. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi
dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2)).
h. Hak untuk diberitahu pada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan
tersangka / terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau
jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga
(Pasal 59 dan Pasal 60).
i. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan
perkara tersangka / terdakwa (Pasal 61).
j. Hak tersangka / terdakwa untuk berhubungan surat menyurat dengan
penasihat hukumnya (Pasal 62).
k. Hak tersangka / terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan
rohaniawan (Pasal 63).
l. Hak tersangka / terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli (Pasal 65).
m. Hak tersangka / terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68).
2. Kepolisian RI.
Diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002, fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, pengekan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat (Pasal 2).
Kepolisian negara berada di bawah Presiden dan Kepolisian Negara RI
dipimpin oleh Kapolri yang pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada
Presiden dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 8 ayat (2)).
3. Penuntut Umum.
Pasal 1 Butir 6 dijelaskan bahwa: “Jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim”.
Pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain
berdasarkan UU, diselenggarakan oleh :
a. Kejaksaan Agung: berkedudukan di ibu kota negara RI dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kekuasaan negara RI.
b. Kejaksaan Tinggi: berkedudukan di ibu kota propinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah propinsi.
c. Kejaksaan Negeri: berkedudukan di ibu kota kabupaten / kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah kabupaten / kota.
DAFTAR PUSTAKA.
Bambang Widjojanto, 2020. Praktik Hukum Acara Pidana I. Jakarta: Universitas Trisakti.
Eddy O S Hiariej, 2014. Prinsip-prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Ramelan, 2006. Hukum Acara Pidana: Teori dan Implementasi. Medan: Sumber Ilmu Jaya.
Teguh Prasetyo, 2018. Hukum Pidana. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.
Topo Santoso, 2020. Hukum Pidana Suatu Pengantar. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.
Umar Said Sugiarto, 2017. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
MATERI X
HUKUM ADAT
Oleh: Dr. Simona Bustani, S.H., M.H.
BAHAN KAJIAN : Hukum Adat (pengertian, asas-asas hukum adat, bapak hukum
adat, teori hukum adat, dasar hukum berlakunya hukum adat,
pembidangan hukum adat).
29
Dominikus Rato. Pengantar Hukum Adat (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2009) hal. 81.
30
Soepomo. Bab-Bab Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1984) hal. 30.
Pada masa Hindia Belanda, Hukum adat berperan penting dan berlaku sebagai
hukum bagi masyarakat Indonesia yang saat itu dikenal sebagai golongan bumiputera,
sesuai sebutan yang terdapat dalam Pasal 163 IS tentang golongan penduduk pada
38
Ibid, hal. 82.
39
Ibid, hal. 90.
40
Ibid, hal. 90.
41
Ibid, hal. 6.
42
Djamanat Samosir. Hukum Adat Indonesia, Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum di
Indonesia (Bandung: Nuansa Aulia, 2013) hal. 25 dan hal. 59.
masa itu.
43
Soerojo Wignjodipoero, 1990. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: Haj Masagung) hal. 28.
44
Dominikus Rato, Op.Cit, hal. 16-17.
45
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 91-92.
agama, kebiasaan dan lembaga rakyat adalah sebutan untuk hukum adat sebelum
dikenal istilah Adat Recht”.
2. Pasal 75 ayat (3) Regerings Reglement (RR) jo. Pasal 131 ayat (3) sub b Indische
Staatsregeling (IS) yang isinya: “Golongan hukum Indonesia (asli) dan golongan
Timur Asing berlaku hukum adat mereka”.
Kedudukan Hukum adat dalam tata hukum Indonesia sangat bermanfaat dalam
pembentukan hukum nasional, mengingat hukum adat sesuai dengan kepribadian dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, maka hukum adat dijadikan dasar bagi
pembentukan hukum nasional.
Dalam perkembangannya ada beberapa ketentuan dalam hukum nasional yang
bersumber atau diadopsi dari hukum adat, antara lain :
1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria;
2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
4. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah mengalami 2
(dua) kali perubahan, yaitu UU No. 2 dan 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan
Undang-Undang ini secara tegas mengatur tentang keberadaan “satuan masyarakat
hukum adat”.
Pembidangan hukum adat dikenal pada setiap masyarakat hukum adat. Namun,
pengaturan hukum adat pada setiap daerah tidak sama, karena sesuai dengan keyakinan
dan nilai-nilai yang dianut pada masyarakat bersangkutan.
1. Kekerabatan Hukum Adat.
Kekerabatan hukum adat mengatur mengenai hubungan-hubungan sosial dalam
masyarakat yang mengakibatkan adanya hubungan hukum. Hubungan sosial yang
termasuk dan dibahas secara khusus dalam hukum adat adalah hubungan biologis
yang melahirkan kaedah hukum yang disebut dengan hukum kekerabatan adat
(kesanaksaudaraan). Kekerabatan hukum adat lingkupnya kedudukan pribadi
dalam hukum adat; Pertalian darah yang terdiri dari kedudukan anak kandung,
kedudukan orang tua dan hubungan anak dengan kerabat; Pertalian adat meliputi
kedudukan anak angkat dalam hukum adat, kedudukan anak tiri, dan kedudukan
anak asuh dalam hukum adat dan Pertalian perkawinan diantaranya bentuk
perkawinan hukum adat.
individual.
I. PERTANYAAN.
1. Jelaskan pendapat saudara, mengapa masyarakat hukum adat tertentu taat dan
patuh dengan hukum adatnya!
2. Jelaskan mengapa Van Volllenhoven dikatakan sebagai bapak hukum adat!
3. Hukum adat sudah ada sejak adanya bangsa Indonesia, Jelaskan dasar hukum
berlakunya Hukum adat pada masa Hindia Belanda dan masa sekarang ini!
4. Apakah keberadaan Hukum Adat sebagai Hukum positif diakui dalam konstitusi di
Indonesia, Jelaskan apa saja yang diatur terkait dengan hukum adat!
5. Bagaimana pendapat saudara kaitan persekutuan masyarakat hukum adat dengan
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa?
DAFTAR PUSTAKA.
BUKU.
Dominikus Rato, 2009. Pengantar Hukum Adat. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
Djoyodigoeno, 1958. Asas-asas Hukum Adat. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada.
Hilman Hadikusuma, 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (edisi revisi). Bandung:
Mandar Maju.
Soerojo Wignjodipoero, 1990. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Haj
Masagung.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Undang-Undang Dasar 1945.
MATERI XI
MODUL HUKUM ISLAM
Oleh: Dr. Wahyuni Retnowulandari, S.H., M.H.
A. PENGERTIAN.
Hukum dalam hukum Islam:46 Kumpulan norma-norma yang ditentukan oleh
Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan manusia dalam hidupnya secara pribadi dalam
hubungannya dengan orang lain dalam bermasyarakat, makhluk lain dan dengan Allah.
Hukum Islam/ Syari'ah adalah :
1. Kumpulan norma-norma bagi manusia yang ditentukan oleh Allah dan RasulNya
menyelamatkan kehidupannya.
2. Kumpulan norma-norma hukum yang dipakai oleh manusia agar ia hidup damai
dengan Allah, sesama manusia, sesama makhluk Allah yang dikuasainya dan
dirinya.
B. RUANG LINGKUP.
Pada dasarnya hukum Islam tidak seperti hukum pada umumnya yang
membedakan hukum privat dan hukum publik, namun bila diklasifikasi dalam kedua
bentuk hukum tersebut maka dapat diuraikan sebagai berikut :
Hukum Perdata Islam.47
1. Munakahat: mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian, talak, pemeliharaan anak dan segala akibatnya.
2. Wirasah / Faraid: mengatur segala masalah mengenai warisan, baik yang
berhubungan dengan ahli waris, harta peninggalan, pembagian warisan dan wasiat.
3. Muammalah: mengatur hak kebendaan, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan
sebagainya.
46
W. Retnowulandari. Hukum Islam dalam Tata Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2020) hal.
13-14.
47
Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006) hal. 56.
Namun terkait hukum publik Islam sejak masuknya islam di Indonesia tidak
menjadi hukum positif di Indonesia, terbukti dalam Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia hanya meliputi terkait dengan Perkawinan, Kewarisan, zakat wakaf infaq
sadaqah hibah, yang kemudian pada tahun 2006 dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, ada tambahan kewenangan
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam selain yang
disebutkan diatas adalah tentang ekonomi syari'ah. Hal ini berarti juga masuk pada
ranah perdata.
48
Opcit. hal. 23-24.
▪ Hadist terbagi menjadi :Hadist Qauly (= perkataan Nabi), Hadist Fi’li (=perbuatan
Nabi) Hadist Taqri / Sukuti (= ketetapan / sikap diamnya Nabi).
▪ Ijtihad: Menggerakkan seluruh kekuatan / kemampuan daya fikir untuk
memecahkan masalah yang tidak diatur di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul.
49
Op.Cit, hal. 126
50
QS 38 ayat 26: Allah memrintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khalifah di bumi untuk
menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia tanpa memandang
b. Asas kepastian hukum tidak ada suatu perbuatan apapun dapat dihukum
kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan
yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu. (QS 17:15, 5:95).51
c. Asas kemanfaatan asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian
hukum (QS 2:178).52
2. Asas Hukum Pidana.
a. Asas legalitas Tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada
undang-undang yang mengaturnya. (QS 17:15), (6:19).53
b. Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain Orang tidak
dapat diminta memikul tanggung jawab mengenai kejahatan ataukesalahan
yang dilakukan oleh orang lain. (QS 6:164, 35:18, 39:7, 53:38, 74:38).54
3. Asas Hukum Perdata.
a. Asas kebolehan / mudah kebolehan melakukan selama hubungan perdata
(sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan itu tidak dilarang
oleh Alquran dan Sunnah Rasul.
b. Asas kemaslahatan hidup hubungan perdata apapun dapat dilakukan asal
hubungan itu mendatangkan kebaikan, berguna serta berfaedah bagi
kehidupan manusia pribadi dan masyarakat, kendatipun tidak ada
ketentuannya dalam Alquran dan As-sunnah.
c. Asas kebebasan dan kesuksesan Selama Alquran dan sunnah rasul tidak
mengatur suatu hubungan perdata, selama itu pula para pihak bebas
kedudukan, asal-usul dan keyakinan yang dipeluk pencari keadilan tersebut. QS 4 ayat 135: Allah
memerintakan agar manusia menegakkan keadilan, menjadi saksi yang adil walaupun terhadap diri sendiri,
orang tua dan keluarga dekat. QS 5 ayat 8: Allah menegaskan agar manusia berlaku adil sebagai saksi,
berlaku lurus dalam melaksanakan hukum, kendatipun ada tekanan, ancaman atau rayuan dalam bentuk
apapun juga. Didalam ayat itu juga diingatkan para penegak hukum agar kebenciannya terhadap seseorang
atau suatu golongan tidak menyebabkan ia tidak berlaku adil dalam menyelenggarakan hukum
51
QS 17 ayat 15: “…..dan tidaklah kami menjatuhkan hukuman, kecuali setelah kami mengutus seorang
rasul untuk menjelaskan (aturan dan ancaman) hukuman itu …”. QS 5 ayat 95: Allah memaafkan apa yang
terjadi di masa yang lalu
52
Dalam menerapkan ancaman hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan pembunhan misalnya,
dapat dipertimbangan kemanfaatan penjatuhan hukuman itu bagi diri terdakwa sendiri dan bagi masyarkat.
Kalau hukuman mati yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, hukman itulah
yang dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan hukuman mati lebih bermanfaat bagi terdakwa sendiri atau saksi
korban, ancaman hukman mati dapat diganti dengan hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga
terbunuh.
53
QS 17 ayat 15 dihubungkan dengan anak kalimat QS 6 ayat 19 yang berbunyi: “….Alquran ini
diwahyukan kepadaku, agar (dengannya) aku (Muhammad) dapat menyampaikan peringatan (dalam bentuk
aturan dan ancaman hukuman) kepadamu…”
54
QS 74 ayat 38: setiap jiwa terikat pada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul
dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain. QS 6 ayat 164: Allah menyatakan bahwa setiap pribadi yang
melakukan sesuatu kejahatan akan menerima balasan kejahatan yang dilakukannya.
DAFTAR REFERENSI.
Al Qur'an
Hadist
BUKU.
Prof. H. M. Daud Ali, SH. Hukum Islam.
Dr. W. Retnowulandari, SH, MH. Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
1. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No.
53.
2. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 02 Tahun 2008 tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
4. Undang-Undang No. 23 / 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
5. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
MATERI XII
PENGANTAR HUKUM PERDATA
Oleh: Dr. Endyk M. Asror, S.H., M.H., dan Joseph Maheswara, S.H., LLM.
A. PENDAHULUAN.
1. ISTILAH.
Hukum menurut isinya, dibagi menjadi :
a. Hukum Privat (Privat Recht, Burgerlijk Recht dan Civiel Recht), yaitu
hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan
orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perorangan /
pribadi (Contoh : Hukum Perdata, Hukum Dagang).
b. Hukum Publik (Publickrecht), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
negara dengan alat kelengkapannya atau negara dengan perorangan untuk
melindungi kepentingan umum (Contoh : Hukum Pidana).
Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai
terjemahan dari Burgerlijk Recht.
2. DEFINISI.
Hukum Perdata Menurut pada Pakar / Sarjana Hukum :
a. Soediman Kartohadiprodjo.
Yang menjadi isi KUHS (Kitab Undang-undang Hukum Sipil, menurut istilah
beliau untuk istilah KUHPer) itu adalah terutama hukum perdata material,
sedang yang dimaksudkan dengan hukum pertada materiil ini adalah
keseluruhan norma hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan
kewajiban perdata. Lawannya ialah hukum perdata formil, yaitu keseluruhan
norma hukum yang menentukan hak-hak dan kewajiban perdata tersebut.
b. Subekti.
Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat material”,
yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan.
c. Van Dunne.
Hukum Perdata merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal
yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti : orang dan keluarga,
hak milik dan perikatan.
d. H.F.A. Vollmar.
Hukum Perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan
batasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan kepada kepentingan-
kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan
yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu
masyarakat tertentu terutama mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu
lintas.
e. Sudikno Mertokusumo.
Senada dengan Vollmar, beliau mengatakan hukum perdata adalah hukum
antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang-perseorangan yang
satu terhadap yang lain dari dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam
pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak.
Sebagai negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum
bangsa penjajah. Hal ini sama untuk hukum perdata. Pada tahun 1848, kodifikasi
hukum perdata Belanda diberlakukan di Indonesia dengan StB 1848, dan hukum
ini hanya diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan dipersamakan dengan mereka
(golongan Tionghoa).
2. Masa Sejak Indonesia Merdeka.
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan : bahwa segala peraturan
dinyatakan masih berlaku sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD 1945.
Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang
hukum perdata.
2. Hukum Perkawinan.
▪ Sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan
a. Hukum Perkawinan.
b. Hukum Kewarisan.
c. Hukum Perwakafan.
▪ Kompilasi ini semua diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia yang
beragama Islam.
5. Jaminan Fiducia.
UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia terdiri atas VII Bab dan
41 Pasal yang mengatur antara lain: Pembebanan, Pendaftaran, Pengalihan dan
khususnya fiducia, hak mendahului dan eksekusi jaminan fiducia.
2. Subyek Hukum.
Manusia sebagai subyek hukum dimulai sejak dia lahir dan baru berakhir
apabila mati (meninggal dunia). Pengecualian mengenai hal ini dalam BW
disebutkan dalam Pasal 2 yang berbunyi :
1) Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai
telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak menghendakinya.
2) Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah telah ada.
b. Badan Hukum.
Dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, disamping
manusia sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga ada yang disebut “badan
hukum”. Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan badan hukum
yang berarti orang yang diciptakan oleh hukum.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen, badan hukum adalah adalah kumpulan
orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan,
yaitu: (1) berwujud himpunan, dan (2) harta kekayaan yang disendirikan
untuk tujuan tertentu, dan dikenal dengan yayasan.
G. HUKUM PERKAWINAN.
1. Pluralisme Hukum Perkawinan Di Indonesia.
Unifikasi hukum nasional tetap dilakukan yang pada akhirnya pada tanggal 2
Januari 1974 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dengan Lembaran Negara 1974 Nomor 1; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019.
Undang-Undang Perkawinan pada kenyataannya masih juga menampilkan
pluralisme dalam hukum perkawinan sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 dan
Pasal 66. Pasal 2 melahirkan pluralisme sehubungan dengan perbedaaan agama,
sedangkan Pasal 66 melahirkan pluralisme, karena Undang-Undang Perkawinan
tidak secara tuntas mengatur materi hukum perkawinan.
H. HUKUM KELUARGA.
1. Istilah Dan Definisi Hukum Keluarga.
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau
Law of Family (Inggris). Menurut Salim H.S, bahwa hukum keluarga merupakan
keseluruhan kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan, perceraian, harta benda dalam
perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan dan perwalian.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang
meliputi :
a. Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan;
b. Perturan perceraian;
c. Peraturan kekuasaan orang tua;
d. Peraturan kedudukan anak;
e. Peraturan pengampuan (curatele);
f. Peraturan perwalian (voogdij).
I. HUKUM BENDA.
1. Kajian Hukum Harta Kekayaan.
Hukum Harta Kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hak dan kewajiban yang bernilai uang atau peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan hukum antara orang dengan benda atau sesuatu yang dapat dinilai
dengan uang.
maupun belum diatur. Hal ini dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal
1338 ayat (1)). Akan tetapi kebebasan ini ada batasannya, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960, maka pasal-pasal yang
mengatur sepanjang menyangkut bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya yang ada dalam BW menjadi tidak berlaku lagi. Demikian juga
dengan berlakunya UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, tidak
berarti lembaga jaminan hipotik tidak berlaku lagi. Tetapi bergeser obyeknya,
tidak lagi tanah tapi pesawat udara, kapal dengan bobot 20m3.
b. Definisi Perikatan.
Buku III BW tidak ada satu pasalpun yang merumuskan makna tentang
perikatan. Namun menurut Subekti, perkataan perikatan dalam Buku III BW
mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian. Sebab di dalam
Buku III BW diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari
perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan
yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
perjanjian atau persetujuan. Akan tetapi sebagian besar dari Buku III BW
ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.
Salim H.S. berpendapat: Perikatan (Hukum Perikatan) adalah suatu
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum
yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam suatu bidang tertentu (harta
kekayaan), dimana subyek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi,
c. Unsur-unsur Perikatan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dkk unsur-unsur perikatan
meliputi :
1) Hubungan Hukum.
Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum meletakkan
hak pada satu pihak dan meletakkan kewajiban pada pihak lainnya.
Contoh : A berjanji menjual sebuah sepeda motor kepada B. ini adalah
hubungan hukum. Akibat dari perjanjian ini, A wajib menyerahkan sepeda
motor miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya. Sedangkan B
wajib menyerahkan harga sepeda motor itu dan berhak pula untuk
menuntut penyerahan sepeda motor.
2) Kekayaan.
Ukuran yang paling mudah untuk menentukan hal ini adalah apabila
hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum
tersebut merupakan suatu perikatan.
3) Pihak-pihak.
Para pihak pada suatu perikatan disebut dengan subyek hukum. Dalam
hubungan hukum, harus terjadi antara dua orang atau lebih, yaitu pihak
pertama berhak atas prestasi, yaitu pihak yang berpiutang (kreditor).
Sedangkan pihak kedua, yang berkewajiban memenuhi prestasi, yaitu
pihak yang berhutang (debitor).
4) Prestasi.
Prestasi (Pasal 1234 BW) adalah obyek dari perikatan, yaitu sesuatu hal
pemenuhan perikatan yang terdiri dari :
K. HUKUM WARIS.
Istilah dan Pengertian.
Istilah Hukum Waris dalam Hukum Perdata Barat disebut dengan Erfrecht. Ini
diatur dalam Buku II KUH Perdata, yaitu Pasal 830-1130. Selain dalam Buku II KUH
Perdata, Hukum Waris juga diatur dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam. Adapun dalam masyarakat Indonesia juga berlaku ketentuan
hukum waris adat yang sifatnya merupakan hukum tidak tertulis.
Kekayaan seseorang (yang berupa hak-hak dan kewajiban) pada suatu saat tertentu
harus berpindah tangan apabila orang tersebut meninggal dunia. Orang yang
meninggalkan harta disebut pewaris sedangkan yang menerima disebut ahli waris dan
kekayaannya disebut warisan.
Pasal 830 KUH Perdata pada intinya menyebutkan bahwa hukum waris adalah
hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia
meninggal terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Menurut Pasal 171 huruf (a) Inpres No.1 Tahun 1991 disebutkan bahwa hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
beberapa bagian masing-masing.
Sementara A. Pitlo mengatakan : “hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan,
dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya dalam
kebendaan, diatur, yaitu : akibat beralihnya harta peninggalan dari seorang yang
meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri,
maupun dengan pihak ketiga”.
L. HUKUM PEMBUKTIAN.
Arti Pembuktian.
Hukum Pembuktian (Law of Evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang
sangat kompleks dalam proses ligitasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit karena
pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa
masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth).
Yang dimaksud dengan membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian nampaklah
bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan di dalam persengketaan atau perkara di
muka hakim (pengadilan).
Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata
bukanlah kebenaran yang bersifat absolut (ultimate truth), akan tetapi kebenaran
bersifat relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk
mencari kebenaran yang demikianpun tetaplah menghadapi kesulitan.
Tugas hakim (pengadilan) di dalam kasus perdata adalah menetapkan hukum
untuk suatu keadaan tertentu atau menerapkan hukum (UU) antara kedua belah pihak
yang sedang bersengketa. Di dalam sengketa yang berlangsung di muka hakim,
masing-masing pihak memajukan dalil-dalil (posita) yang saling bertentangan, hakim
harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil
manakah yang tidak benar. Berdasarkan duduknya perkara yang telah ditetapkan
sebagai yang sebenarnya, hakim dalam amar (diktum) putusannya memutuskan
siapakah yang dimenangkan dan siapa yang dikalahkan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian dimaksud adalah
sebagai suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam
melaksanakan (melangsungkan) pertarungan di muka hakim antara kedua belah pihak
yang sedang mencari keadilan.
Dari apa yang telah diterangkan di atas, dapat dilihat bahwa hukum pembuktian itu
sebenarnya merupakan suatu bagian dari hukum acara karena ia memberikan aturan-
aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka hakim (law of
procedure).
DAFTAR PUSTAKA.
Neng Yani Nurhayani, 2018. Hukum Perdata. Cetakan ke-2. Bandung: Pustaka Setia.
BAB XIII
PENGANTAR HUKUM DAGANG
Oleh: Dr. Sri Bakti Yunari, S.H., M.H., Heru P. Sanusi, S.H., M.H., dan Septiyani, S.H., M.H.
Pada perjalanannya, kedua buku inilah yang menjadi sumber terbentuknya KUH
55
Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Buku Pertama. (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1995).
56
Soekardono. Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Bagian Pertama. (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat,
1983).
57
Kursif Sri Bakti Yunari. (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 1998).
Perdata dan KUHD, yang berlaku di Perancis pada tanggal 1 Januari 1808. Oleh
Karena Belanda pada waktu itu merupakan daerah jajahan Perancis, maka kedua buku
tersebut juga diberlakukan pula di Belanda berdasarkan asas konkordasi /
Concordantie Beginzel (asas yang menyatakan bahwa hukum disuatu negara
diperlakukan sama di negara lain).
Setelah Belanda merdeka mulai Tahun 1838, kedua buku tersebut dirubah dan
digantinya namanya menjadi :
1. Burgerlijk Wetboek / BW (diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).
2. Wetboek Van Koophandel / Wvk (diterjemahkan menjadi Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang).
Demikian pula dengan Indonesia, yang pada waktu itu dijajah oleh Belanda,
berdasarkan asas konkordasi, pada akhirnya juga memberlakukan BW dan WvK di
Indonesia, tepatnya pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan Staatblad 1847 No. 23.
Setelah Indonesia merdeka kedua buku tersebut masih berlaku berdasarkan PASAL II
ATURAN PERALIHAN UUD 1945 yang berbunyi: “Sejauh badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut UUD ini”. Sampai saat ini terdapat 388 peraturan perundang-undangan
warisan Jaman Kolonial yang masih berlaku di Indonesia,58 termasuk KUH Perdata
dan KUHD.
58
Prof. HRT. Sri Soemantri. Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan. (Penerbit :
Rosda, 2004).
D. SISTIMATIKA KUHD.
Adapun sistimatika KUHD yang berlaku saat ini terdiri dari 2 (dua) buku, yaitu:
1. Buku I : Tentang Dagang pada umumnya (terdiri dari 10 bab, Pasal 1 s/d Pasal
308 KUHD).
2. Buku II : Tentang hak dan kewajiban yang ditimbulkan pelayaran (terdiri 13 bab,
Pasal 309 s/d Pasal 754 KUHD, Bab 8 dihapuskan).
Pada perkembangannya banyak pasal yang tertuang di dalam KUHD yang telah
dicabut bahkan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU nasional, seperti ketentuan Pasal
6 KUHD yang dicabut oleh UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
Selain itu, ketentuan Pasal 36-56 KUHD yang telah dicabut oleh UU No. 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas, yang kemudian dicabut lagi berlakunya oleh UU No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang akhirnya UU tersebut masih berlaku
sampai saat ini.
Secara umum dapat dikatakan bahwa KUH Perdata dan KUHD merupakan satu
kesatuan yang tidak dipisahkan, hal ini terlihat dari Pasal 1 dan Pasal 15 KUHD, yang
berbunyi :
Pasal 1 KUHD : “KUH Perdata seberapa jauh daripadanya dalam kitab ini tidak
khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal
yang dibicarakan dalam kitab ini”.
Pasal 15 KUHD : “Segala Perseroan tersebut dalam bab ini dikuasai oleh
persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan, oleh kitab ini dan oleh hukum
perdata”.
Berdasarkan kedua Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang diatur
dalam KUH Perdata berlaku juga terhadap masalah-masalah yang tidak diatur secara
khusus dalam KUHD, demikian pula sebaliknya apabila KUHD sudah mengatur secara
khusus, maka ketentuan-ketentuan umum yang diatur dalam KUH Perdata tidak
berlaku, yang dikenal dalam bahasa latin “Lex Specialis Derogat Lex Generali”
(hukum khusus (KUHD) dapat mengesampingkan hukum umum (KUH Perdata)).
Sebagai contoh :
1. Tentang nilai kekuatan pembuktian surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1881
KUH Perdata – sebagai ketentuan umum, dan Pasal 7 KUHD – sebagai ketentuan
khusus, maka yang dipakai adalah pasal 7 KUHD.
2. Ketentuan tentang hubungan intern para persero dalam Firma (Pasal 16 s/d 35
KUHD) tidak diatur secara khusus, maka berlaku ketentuan umum yang diatur
dalam Pasal 1624 s/d 1641 KUH Perdata.
F. PERUBAHAN KUHD.
KUHD yang berlaku sekarang ini telah mengalami beberapa kali perubahan,
adapun perubahan yang sangat prinsipil sehingga merubah peruntukan KUHD adalah
dihapuskannya Ketentuan Pasal 2 s/d Pasal 5 (Lama) KUHD berdasarkan Staatblad
No. 1938 No. 276 pada tanggal 17 Juli 1938, yang memuat 2 (dua) hal, yaitu :
1. Penghapusan Pasal 2 s/d 5 Bab I Buku I KUHD, dan istilah pedagang diganti
dengan istilah perusahaan (bedrijf).
2. Dimasukkannya istilah perusahaan dalam Pasal 6, 16 dan 36 KUHD.
3. Polak :61
“Berpendapat definisi yang diberikan oleh Molenggraaff harus ditambah unsur
keharusan melakukan pembukuan”.
59
Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Bagian Pertama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1983,
hal. 22.
60
Ibid. hal. 21.
61
Ibid. hal. 23.
8/1997 adalah : “data, catatan dan atau keterangan yang dibuat dan atau
diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis
diatas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun
yang dapat dilihat, dibaca atau didengar”.62
Dokumen perusahaan ini terdiri dari :63
1. Dokumen keuangan, yaitu catatan (neraca tahunan, perhitungan laba rugi
tahunan, rekening, jurnal transaksi harian), bukti pembukuan dan data
pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya hak dan
kewajiban serta kegitan usaha sutau perusahaan;
2. Dokumen lainnya, yaitu data atau setiap tulisan yang berisi keterangan
yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait
langsung dengan dokumen keuangan.
62
Pasal 1 sub 2 UU No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
63
Pasal 2-4 UU No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
64
Pasal 11 UU No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
65
Pasal 13-14 UU No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
66
Pasal 30 UU No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
67
Soekardono. Hukum Dagang Indonesia, Jilid I, Bagian Pertama. (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1983)
hal. 62-68.
oleh karena didalam UU No. 8 Tahun 1997 tidak mengatur mengenai sanksi,
maka ketentuan yang dapat diberlakukan adalah ketentuan umum
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seperti :
Pasal 396, 397, 263 ayat (1) dan (2) KUH Pidana.
atau sekali objek saja. Unsur yang berikutnya untuk dapat disebut PP adalah
memasukkan sesuatu (inbreng) yang dapat berbentuk (Pasal 1619 ayat (2)) :
− Memasukkan uang (inbreng van geld);
− Memasukan barang (inbreng van zaken);
− Memasukan tenaga/keahluan (inbreng van arbeid).
b. Macam-macam PP.
Menurut Pasal 1620 KUH Perdata ada 2 (dua) macam PP :
1) PP yang penuh;
2) PP yang khusus.
Ad. 1).
PP yang penuh pada dasarnya tidak diperkenankan kecuali PP yang
penuh atas keuntungan yaitu: PP yang para Persero hanya
memerlukan tenaga atau kerajinan saja.
Ad. 2).
PP yang khusus untuk dimasukkan dalam Persero berbentuk barang-
barang pemakaian, hasil yang akan diperoleh dari barang-barang.
Termasuk PP yang khusus ini Apabila Persero yang memasukkan
anda sudah dapat dengan pasti dinilai sehingga memudahkan
perhitungan pembagian keuntungan atau kerugian yang harus
ditanggungnya.
e. Berakhirnya PP.
Dalam Pasal 1646 KUH Perdata disebutkan bahwa perseroan berakhir
karena :
1) Lewatnya waktu.
2) Musnahnya barang.
3) Kehendak dari beberapa atau seorang persero.
4) Salah seorang meninggal atau di bawah Pengampuan atau dinyatakan
pailit.
c. Berakhirnya Firma.
Tidak diatur secara khusus dalam KUHD, sehingga mengunakan
ketentuan umum yang ada di dalam Pasal 1646 KUH Perdata.
Harus didaftarkan dan diumumkan kembali (Pasal 31 KUHD), jika lalai
dikenakan ketentuan Pasal 29 KUHD.
d. Jenis CV.
1) CV Diam-diam yaitu CV yang belum menyatakan dirinya secara terang-
terangan kepada pihak ketiga sebagai CV, dari luar tampak seperti Firma,
tetapi didalamnya terdapat sekutu Komanditer.
2) CV Terang-terangan, yaitu CV yang terang-terangan menyatakan diri
sebagai CV pada pihak ketiga.
3) CV Atas Saham, yaitu CV yang modalnya dibentuk dari saham-saham
dan mempunyai tanggung jawab yang terbatas.
e. Berakhirnya CV.
Tidak diatur secara khusus dalam KUHD, sehingga mengunakan
ketentuan umum yang ada di dalam Pasal 1646 KUH Perdata.
Diumumkan kembali (Pasal 31 KUHD), jika lalai dikenakan ketentuan
Pasal 29 KUHD.
Jika ada kesulitan dalam Pengadilan Negeri akan menetapkan (Pasal 35
KUHD).
d. Modal PT.
Modal PT didalam UU No. 40 Tahun 2007 terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu :
1) Modal Dasar (Authorized Capital / equity) adalah jumlah saham
maksimum yang dapat dikelaurkan oleh perseroan sehingga modal dasar
terdiri atas seluruh nominal saham.
2) Modal Yang Ditempatkan (Issued Capital) adalah saham yang diambil
dan sebenarnya telah terjual, baik kepada pendiri maupun kepada
pemegang saham perseroan.
3) Modal Yang disetor (Paid up Capital) adalah saham yang telah dibayar
penuh kepada perseroan yang menjadi penyetoran saham riil yang telah
diambil oleh pendiri maupun pemegang saham.
Modal dasar (MD) minimum Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah), sedangkan untuk bidang usaha tertentu jumlah modal dapat
berbeda seperti yang ditentukan serta berlaku aturan khusus yang
mengatur tentang bidang usaha tersebut;
Modal Yang Ditempatkan dan juga harus disetor penuh dalam
kas perseroan, minimal 25% (dua puluh lima persen) dari Modal
Dasar. (Harus dibuktikan dengan bukti penyetoran penuh,
Penyetoran modal dapat dilakukan dalam bentuk uang dan dalam
bentuk lainnya).
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
2016 tentang Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas, dimana
besaran modal dasar perseroan terbatas ditentukan berdasarkan
kesepakatan para pendiri perseroan terbatas. modal dasar perseroan
terbatas tersebut harus ditempatkan dan disetor penuh paling sedikit
25% (dua puluh lima persen) yang dibuktikan dengan bukti
penyetoran yang sah.
68
Elsa Catriana, melalui https://money.kompas.com/read/2020/10/09/054100826/ini-6-keuntungan-
yang-diberikan-uu-cipta-kerja-untuk-umkm-dan-koperasi, diakses pada tanggal 20 Maret 2021, di Jakarta.
Tahun 2021 adalah tentang kriteria modal usaha atau kriteria hasil penjualan
tahunan. Dimana secara yuridis normatif, kriteria UMKM menurut Peraturan
Pemerintah tersebut dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau
hasil penjualan tahunan yang dipergunakan untuk pendirian atau pendaftaran
kegiatan usaha, yang terdiri dari :
1) Usaha Mikro, merupakan usaha perorangan yang memiliki modal usaha
sampai dengan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
atau hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp.
2.000.000.000,- (dua miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha;
2) Usaha Kecil, merupakan usaha perorangan yang memiliki modal usaha
lebih dari Rp. l.000.000.000,- (satu miliar rupiah) sampai dengan paling
banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) atau hasil penjualan
tahunan lebih dari Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah), tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
3) Usaha Menengah, merupakan usaha perorangan yang memiliki modal
usaha lebih dari Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) atau hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh
miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Pengertian.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
d. Modal BUMN.
Modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Penyertaan
e. Pengurusan BUMN.
− Direksi.
Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk
kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam
maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota
Direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-
undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme,
efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban,
serta kewajaran.
f. Jenis BUMN.
1) Perusahaan Perseroan (Persero).
Yaitu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi
dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan. Selain itu terdapat Perusahaan Perseroan
Terbuka, yaitu Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya
memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran
umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar
modal.
2) Perusahaan Umum (Perum).
Yaitu BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi
atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Ad. 1) PERSERO.
a) Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden
disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama
dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan.
b) Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah :
− menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
berdaya saing kuat;
− mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
Ad. 2) PERUM.
a) Pendirian Perum diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai
dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan
Menteri Teknis dan Menteri Keuangan.
b) Perum memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya
Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
c) Maksud dan tujuan PERUM :
− menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan
umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat
berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
− melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.
b. Pengertian BUMD.
− Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
c. Pendirian BUMD.
− Pendirian BUMD ditetapkan dengan Perda.
d. Jenis BUMD.
Jenis BUMD terdiri atas:
1) Perusahaan Umum Daerah (PERUMDA); dan
2) Perusahaan Perseroan Daerah (PERSERODA).
e. Kedudukan BUMD.
− Kedudukan perusahaan umum Daerah sebagai badan hukum diperoleh
pada saat Perda yang mengatur mengenai pendirian perusahaan umum
Daerah mulai berlaku. Dimana Perusahaan umum Daerah merupakan
BUMD yang seluruh modalnya dimiliki satu daerah dan tidak terbagi atas
saham.
− Kedudukan perusahaan perseroan Daerah sebagai badan hukum diperoleh
sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai
perseroan terbatas. Dimana Perusahaan perseroan Daerah merupakan
BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam
saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh 1 (satu) Daerah.
f. Karakteristik BUMD.
1) Badan usaha didirikan oleh Pemerintah Daerah;
2) Badan usaha dimiliki oleh :
a) 1 (satu) Pemerintah Daerah;
MATERI XIV
HUKUM ACARA PERDATA
Oleh: Dr. Sugeng Supartono, S.H., M.H. dan Joseph Maheswara, S.H., LLM.
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN.
1. Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mampu menjelaskan perbedaan
antara hukum privat dan hukum publik. (CPMK3 dan 2-CPP3).
2. Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mampu menjelaskan mengenai
pengertian Hukum Acara Perdata, ruang lingkup Hukum Acara Perdata, sumber
Hukum Acara Perdata dan asas-asas Hukum Acara Perdata. (CPMK4-CPP3).
C. URAIAN MATERI.
1. Istilah Hukum Acara Perdata.
Istilah Hukum Acara Perdata digunakan untuk menyebut Hukum Perdata
Formil, yaitu hukum yang memuat aturan tentang bagaimana cara orang (naturlijk
persoon dan recht persoon) yang haknya dilanggar untuk mendapatkan hak /
keadilan berdasarkan Hukum Perdata Materiil. Dengan kata lain, Hukum Acara
Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan Hukum Perdata Materiil. Jadi, dapat dikatakan Hukum Acara Perdata
mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa dan
memutus (putusan), serta pelaksanaan dari putusan tersebut. Tuntutan hak dalam
hal ini tidak lain adalah tindakan yang memperoleh perlindungan hukum yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting).
Objek dari Hukum Acara Perdata adalah keseluruhan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan Hukum Perdata Materiil
dengan perantaraan kekuasaan negara. Perantaraan kekuasaan negara dalam
mempertahankan Hukum Perdata Materiil itu terjadi dengan peradilan. Yang
dimaksudkan dengan peradilan di sini ialah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit
adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri
dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapun dengan
cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah
eigenrichting.
Tuntutan hal atau tuntutan untuk memperoleh perlindungan hukum yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting terdiri atas 2 (dua)
macam, yaitu gugatan (tuntutan hak yang mengandung sengketa yang terdapat
sekurang-kurangnya dua pihak) dan permohonan (tuntutan hak yang tidak
mengandung sengketa, dimana hanya terdapat satu pihak).
Perdata).
c. RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in
Indonesie) atau Reglement tentang Organisasi Kehakiman (Staatsblad 1847
No. 23).
d. Rv (Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering), yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata dan Pidana yang berlaku untuk golongan Eropa
(Staatsblad 1847 No. 52).
e. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) atau Reglement Indonesia Yang
Diperbaharui, yaitu hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun
pidana yang berlaku di pulau Jawa dan Madura (Staatsblad 1848 No. 16).
f. RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) atau Reglement Daerah
Seberang, yaitu hukum acara yang berlaku di persidangan perkara perdata
maupun pidana di pengadilan di luar Jawa dan Madura (Staastblad 1927 No.
227).
g. UU No 20 Tahun 1947 Tentang Peraturan Peradilan Ulangan Di Jawa Dan
Madura (Untuk daerah luar Jawa dan Madura, berlaku RBg Pasal 199-205).
h. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
i. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.
j. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
lebih dari apa yang dimohonkan oleh pihak yang bermohon karena hanya
bersifat administratif.
Selain itu, terdapat pula pengadilan khusus yang dibentuk di dalam salah satu
lingkungan lembaga peradilan tersebut (Pasal 27 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman), yaitu Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan
Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan
Industrial dan Pengadilan Perikanan pada lingkungan Peradilan Umum serta
Pengadilan Pajak pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
Negara Tertinggi (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004
dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009). Pengadilan Negeri
berkedudukan di ibukota Kabupaten / Kota dan hukumnya meliputi wilayah
Kabupaten / Kota, sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota Provinsi
dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi (Pasal 4 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009).
Terdapat 2 (dua) macam wewenang / kompetensi badan peradilan, sebagai
berikut :
a. Kompetensi absolut, yaitu berbicara tentang badan/lembaga peradilan mana
yang berwenang untuk mengurus perkara perdata tersebut. Kompetensi
absolut ini digunakan untuk menentukan kewenangan Hakim atau pengadilan
dari suatu jenis atau tingkatan untuk mengurus atau mengadili perkara sesuai
dengan bidang hukum yang menjadi objek sengketa yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang. Misalnya, pengadilan militer berwenang mengadili
perkara pidana militer dan pengadilan tata usaha negara berwenang mengadili
sengketa tata usaha negara.
b. Kompetensi relatif, yaitu berbicara tentang yurisdiksi Pengadilan Negeri
mana yang berwenang untuk mengurus atau megadili perkara perdata tersebut.
Dengan kata lain, kompetensi relatif ialah wewenang mengadili berdasarkan
pembagian wilayah hukum tetapi masih dalam satu lingkungan badan /
lembaga peradilan.
b. Pada sidang kedua merupakan giliran bagi tergugat atau kuasanya untuk
menanggapi gugatan dari penggugat atau kuasanya. Jawaban dari
tergugat/kuasanya dapat berupa eksepsi (tangkisan), rekonvensi (gugat balik)
dan jawaban dalam pokok perkara (konvensi). Jawaban dalam pokok perkara
dapat berupa: menyangkal surat gugatan penggugat / kuasanya dan mengakui
atau membenarkan surat gugatan penggugat / kuasanya.
c. Replik (Jawaban kembali (balasan) atas jawaban tergugat).
d. Duplik (jawaban tergugat atas replik penggugat).
e. Pembuktian Penggugat (penggugat mengajukan pembuktian berdasarkan alat-
alat bukti yang dimilikinya dan memberi kesempatan bagi tergugat untuk
bertanya dan menyangkal bukti-bukti tergugat tersebut). Alat-Alat bukti dalam
Hukum Acara Perdata terdapat dalam Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 16
HIR jis. Pasal 284 RBg.
f. Pembuktian Tergugat (tergugat mengajukan pembuktian berdasarkan alat-alat
bukti yang dimilikinya dan memberi kesempatan bagi penggugat untuk
bertanya dan menyangkal bukti-bukti tergugat tersebut).
g. Kesimpulan / Konklusi (para pihak mengajukan konklusi dari hasil-hasil
selama persidangan berlangsung, pada dasarnya isi kesimpulan
menguntungkan para pihak yang mengajukan kesimpulan).
h. Putusan (apabila para keberatan dapat mengajukan permohonan upaya hukum
banding kepada pengadilan tinggi maksimal 14 (empat belas) hari sejak
putusan diucapkan).
e. Mendengar Kedua Belah Pihak, yaitu bahwa kedua belah pihak (tergugat
dan penggugat) haruslah diperlakukan sama. Pengadilan mengadili menurut
hukum tanpa membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Asas bahwa kedua
belah pihak harus didengar dikenal dengan istilah audi et alteram partem. Hal
ini mengandung arti bahwa pihak yang berperkara harus sama-sama
diperhatikan, berhak atas perlakuan yang setara dan adil, serta masing-masing
harus diberikan kesempatan untuk memberi atau mengeluarkan pendapatnya.
Hal itu berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, Pasal 121 ayat (2)
HIR dan 145 ayat (2), Pasal 157 Rbg jis. Pasal 47 Rv).
f. Terbukanya Persidangan, yaitu sidang pemeriksaan dalam hukum acara
perdata pada prinsipnya terbuka untuk umum yang artinya setiap orang
diperbolehkan hadir dan menyaksikan pemeriksaan di persidangan, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang. Tujuan dari asas ini ialah agar adanya
sosial kontrol dari masyarakat terhadap tugas-tugas yang dilakukan oleh
Hakim, agar terjaminnya objektivitas peradilan. Dengan demikian Hakim
dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair dan imparsial, serta
putusan yang adil kepada masyarakat. Apabila putusan diucapkan dalam
sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan tersebut
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan putusan
tersebut batal demi hukum (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 29 RO). Terdapat pengecualian
bahwa sidang terbuka untuk umum, yaitu pada perkara-perkara tertentu dalam
ranah hukum keluarga, misalnya perkara perceraian.
g. Asas Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan, yaitu bahwa semua putusan
pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan juga memuat pasal-pasal
tertentu dari peraturan perundangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan kata lain, putusan
pengadilan harus menggunakan dalil-dalil dan/atau hukum positif yang ada
(Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 184 ayat (1) HIR jis. Pasal 195 ayat (1) dan ayat (2)
RBg). Hal ini dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban Hakim atas
putusannya kepada masyarakat, sehingga putusan tersebut mempunyai nilai
DAFTAR PUSTAKA.
Bambang Sugeng & Sujayadi. 2012. Pengantar Hukum Acara Perdata Dan Contoh
Dokumen Litigasi. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Moh. Taufik Makarao. 2009. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka Cipta.
Neng Yani Nurhayani. 2015. Hukum Acara Perdata. Bandung: Pustaka Setia.
MATERI XV
HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK
Oleh: Dr. Sugeng Supartono, S.H., M.H., dan Fitri Yuliani, S.H., M.H.
A. PENGERTIAN.
Sebelum menjelaskan pengertian hukum internasional publik, maka harus
mengetahui perbedaaan antara hukum internasional publik dengan hukum perdata
internasional. Hukum perdata internasional adalah ”keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara”.69 Jadi yang
dimaksud “hubungan perdata yang melintasi batas negara” adalah yang dimaksud
adalah, hubungan perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada
hukum perdata (nasional) yang berlainan. Kemudian, hukum internasional publik
adalah “keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat
perdata”.70 Berdasarkan uraian tersebut, maka perbedaannya terletak pada sifat hukum
hubungan atau persoalan yang diaturnya atau objeknya.
Hukum internasional publik dikenal dengan istilah “hukum internasional”. Namun
secara tradisional, istilah hukum internasional pernah juga disebut sebagai hukum
bangsa-bangsa, hukum antar bangsa, atau hukum antarnegara.71 Pada masa sekarang
ini, istilah “hukum internasional” adalah istilah yang paling mendekati kenyataan dan
sifat hubungan dan masalah yang menjadi objek bidang hukum ini, yang tidak hanya
terbatas pada hubungan antara bangsa-bangsa atau negara-negara saja. Hal ini karena
negara tidak merupakan satu-satunya subjek hukum internasional. Selain negara,
subjek hukum internasional, yaitu takhta suci atau Vatikan; Palang Merah Internasional
(International Committee of the Red Cross atau ICRC); organisasi internasional; orang
perorangan (individu); dan pihak dalam sengketa (belligerent).
Beberapa sarjana memberikan pengertian tentang hukum internasional, yaitu:
1. Pendapat J.G. Starke.
Hukum internasional adalah: “keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar
terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-
negara merasa dirinya terikat untuk mentaati, dan karenanya, benar-benar ditaati
69
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: P.T. Alumni,
2015), hal.1.
70
Ibid., hal. 1-2.
71
Ibid., hal. 4
secara umum dalam hubungan mereka satu sama lain, dan yang meliputi juga:
a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga atau
organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama
lain dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu, dan;
b. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan
badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan
non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional”.72
2. Pendapat F. Sugeng Istanto.
Hukum internasional adalah “kumpulan ketentuan hukum yang berlakunya
dipertahankan oleh masyarakat internasional”.73
3. Pendapat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes.
Hukum internasional adalah: ”keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :
a. negara dengan negara;
b. negara dengan subyek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan
negara satu sama lain”.74
B. RUANG LINGKUP.
Hukum internasional mengatur hubungan-hubungan hukum, yang melintasi batas
negara, seperti :
1. Hukum Perjanjian Internasional;
2. Hukum Organisasi Internasional;
3. Hukum Diplomatik dan Konsuler;
4. Hukum Laut;
5. Hukum Udara;
6. Hukum Angkasa;
7. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional;
8. Hukum Humaniter Internasional;
9. Hukum Lingkungan Internasional; dan lain-lain.
72
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2010) hal. 3
73
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, (Yoyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hal. 4
74
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Op.Cit., hal. 4.
Gambar.
Flowchart Ruang Lingkup Hukum Internasional
Pengertian;
Sejarah dan
terminologi dan Kekuatan mengikat Hubungan Hukum
perkembangan
penggolongan; Hukum Internasional dan
Hukum
serta sanksi Hukum Internasional; Hukum Nasional;
Internasional;
Internasional;
Penyelesaian
Tanggungjawab sengketa
Yurisdiksi negara; Suksesi negara;
negara; internasional
secara damai;
Penyelesaian
sengketa
internasional
secara kekerasan.
C. SUMBER.
Sumber hukum internasional dalam arti formal adalah sumber hukum yang
D. ASAS-ASAS HUKUM.
Asas-asas dalam hukum internasional antara lain :
1. Pacta sunt servanda (asas perjanjian sebagai hukum);
2. Bonafides (asas itikad baik);
3. Non-Intervention (asas tidak ikut campur dalam masalah dalam negeri negara lain);
4. Abus de droit (asas penyalahgunaan wewenang);
5. Reciprocity (asas timbal balik);
6. Immunity (kekebalan); dan lain-lain.
E. LATIHAN SOAL.
Capaian pembelajaran mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia terkait dengan
pokok bahasan Hukum Internasional Publik, yaitu mahasiswa dapat menjelaskan, baik
lisan maupun tulisan mengenai hukum internasional publik, yaitu sebagai berikut :
1. Jelaskan mengenai perbedaan pengertian hukum internasional publik (hukum
internasional) dengan hukum perdata internasional!
2. Sebutkan istilah lain dari hukum internasional, dan jelaskan mengapa Istilah
hukum internasional lebih tepat digunakan daripada istilah-istilah tersebut!
75
Ibid., hal. 113.
DAFTAR PUSTAKA.
J.G. Starke, 2010. Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. Sinar Grafika.
MATERI XVI
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Oleh: Dr. Sugeng Supartono, S.H., M.H., dan Joseph Maheswara, S.H., LLM.
B. URAIAN MATERI.
1. Definisi Hukum Perdata Internasional.
a. Sudargo Gautama.
Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan
hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah
yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa
antara warga (–warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari 2 (dua) atau
lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-
soal.
b. Mochtar Kusumaatmadja.
Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan kata lain,
hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum
yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.
bentuk hukum yang ditentukan oleh hukum negara atau dilakukanya tindakan
itu. Ketentuan ini menyatakan bahwa tentang perbuatan hukum berlaku
hukum dari negara dimana perbuatan hukum tersebut dilakukan. Ini disebut
dengan Statuta Mixta (statuta yang berkenaan dengan perbuatan hukum).
b. Hukum Benda.
1) Lex Rae Sitae / Lex Situs, yaitu bahwa hukum yang berlaku untuk benda
tidak bergerak adalah hukum tempat dimana benda tidak bergerak
tersebut terletak.
2) Mobilia Sequntuur Personam, yaitu bahwa hukum yang berlaku bagi
benda bergerak ditentukan oleh hukum dari subyek hukum pemegang
atau pemilik yang menguasasi benda bergerak tersebut.
c. Hukum Keluarga.
1) Lex Loci Celebrationis, yaitu bahwa hukum yang berlaku bagi sebuah
perkawinan ialah berdasarkan hukum tempat dimana perkawinan tersebut
dilangsungkan. Hal ini juga berarti bahwa syarat formalitas atau validitas
formal berlangsungnya perkawinan, berlaku hukum dari negara dimana
perkawinan dilangsungkan (Locus Regit Actum).
2) Ab Intestato/Intestate Succession, yaitu bahwa tata cara pewarisan diatur
berdasarkan Undang-Undang, dalam hal pewaris tidak menyatakan
dengan tegas keinginannya melalui testamen.
3) Testamentary Succession, yaitu bahwa adanya keinginan pewaris yang
dinyatakan secara tegas melalui testamen mengenai harta kekayaannya
setelah ia meninggal dunia (harta peninggalannya).
d. Hukum Perjanjian.
1) Lex Loci Contractus/Lex Loci Actus, yaitu bahwa terhadap suatu
perjanjian atau kontrak berlaku hukum tempat dimana perjanjian atau
kontrak tersebut dibuat. Dalam Sistem Hukum Anglo-Saxon (Common
DAFTAR PUSTAKA.
Ridwan Khairandy, Nandang Sutrisno & Jawahir Thontowi. 1999. Pengantar Hukum
Perdata Internasional Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.