BAB I PENDAHULUAN 1
C. Tujuan Penelitian..................................................................................................... 13
1. Manfaat Teoritis 14
2. Manfaat Praktis 14
E. Kerangka Teori........................................................................................................ 14
1. Negara Hukum 14
3. Mahkamah Konstitusi 21
2. Pemilihan Umum 23
3. Narapidana 24
i
ii
G. Metode Penelitian.................................................................................................... 24
1. Tipe Penelitian 24
2. Metode Analisis 25
2. Implementasi Putusan........................................................................................ 51
KORUPSI ………………………………………………………………………….64
2. Tanggapan ......................................................................................................... 79
H. Pembatasan Hak Pilih Aktif dan Pasif Mantan Narapidana Dalam Perundang-
Pencabutan Hak Pilih Aktif dan Pasif Kepada Terpidana Tindak Pidana
Korupsi...................................................................................................................... 115
1. Kriteria penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih aktif dan
dan Pasif Pada Terpidana Tindak Pidana Korupsi Dalam Putusan Hakim........117
3. Pencabutan Hak Pilih Aktif dan Pasif Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia...118
1. Latar Belakang Pengaturan Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018
2. Latar Belakang Pengaturan Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018......129
D. Kedudukan Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 .................................. 146
5. Amar Putusan Mahkamah Agung Atas PKPU Nomor 20 Tahun 2018........... 168
A. Kesimpulan............................................................................................................ 204
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..208
F. Internet:................................................................................................................... 214
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal kemerdekaan, Indonesia telah mencerminkan suatu bangsa yang
terdiri dari berbagai macam entitas suku maupun ragam kebudayaan yang berinteraksi
satu sama lain, dimana hal ini mencerminkan ragam ciri dari suatu komunitas yang di
dalamnya merupakan makhluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk hidup
bersama (kolektif). Setiap individu itu saling memerlukan peranan satu sama lain, yang
berarti suatu individu tidaklah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, terlebih
kebutuhan utama atau primer yakni sandang, pangan, papan. Komunikasi dari interaksi
sosial tersebut menjadikan kunci pembuka kehidupan sosial manusia. Dengan tiadanya
komunikasi dari interaksi sosial sangatlah sulit untuk membangun kehidupan bersama1.
Terhadap interaksi sosial ini, setiap individu pun sadar dimana jikalau hidup bersama
lebih menguntungkan dibandingkan hidup sendiri.
Komunitas bersama dibentuk yang diikuti dengan munculnya suatu kesadaran
untuk membentuk aturan-aturan (hukum) maupun norma-norma agar ada kepastian
jaminan akan keteraturan norma ketika tinggal dalam lingkungan bersama. Berdasarkan
adanya hukum berlaku itu, maka tahap selanjutnya ialah lahirnya hak dan kewajiban
diantara sesamanya. Demi kepentingan besar yakni melindungi hak dasar manusia,
kemudian muncul suatu konsep yang dinamakan hak asasi. Dengan ringkas dan
sederhana hak asasi diartikan sebagai hak yang dimiliki seseorang karena seseorang
tersebut adalah manusia2. Adanya suatu hak asasi diperoleh setiap orang sebagai
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan hak asasi ini, individu maupun
suatu kelompok dapat menuntut kepada negara agar hak- hak dasarnya dipenuhi.
Pemenuhan hak asasi ini tidak bisa dibatasi ataupun dicabut. Selama aktivitas seseorang
tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan kepentingan umum maka tidak ada
1
Kimball Young dan Raymond.W. Mack, Sociology and Social Life, (New York: American Book
Company,1959), hlm 137, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, Cet
XXII, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996, hlm 67.
2
Maurice Cranston, What Are Human Rights, (New York: Basic Books, 1962), hlm 27 sebagaimana
dikutip dari Tesis Nur Widyastanti, “Kedudukan Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan Dalam Tatanan
Konsep Demokrasi Di Indonesia”, (Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2005),
hlm 2.
2
alasan bagi orang tersebut untuk dicabut hak asasinya. Demokrasi adalah pemerintahan
oleh, dari, dan untuk rakyat maka menjadi jelas bahwa rakyat punya peranan penting
untuk mengisi demokrasi.
Partisipasi rakyat untuk mengisi demokrasi itu haruslah dijamin karena
keberlanjutan negara demokrasi bisa saja terhenti yang sama artinya dengan
menghilangkan negara demokrasi itu sendiri. Atas alasan itulah, demi menjamin
keberlanjutan negara demokrasi, maka lahirlah satu bentuk lagi dari hak asasi manusia,
yakni hak turut serta dalam pemerintahan.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan suatu negara yang berdasar atas konstitusi bukan berdasarkan kepada
kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam konstitusi negara Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.4 Hal ini
berarti seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada
ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, segala sesuatunya harus taat ketentuan hukum sebagai upaya
yang menyeluruh untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis,
menjunjung tinggi hak asasi manusia, menjamin tegaknya supremasi hukum dengan
tidak ada pengecualian atas siapapun di mata hukum. Untuk menjaga peraturan-
peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus dan diterima oleh seluruh masyarakat,
maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan
dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. Dalam teoritis, pengisian jabatan-
jabatan dalam negara demokrasi secara praktis adalah objek studi dari ilmu politik
sedangkan aspek legal/yuridis dari politik praktis adalah objek studi dari hukum tata
negara. Penelitian penulis akan terfokus kepada sisi ketatanegaraannya dan secara
administrasinya, sehingga istilah hak turut serta dalam pemerintahan patut untuk
mempergunakan istilah hak politik, tanpa mengurangi ataupun menambahkan definisi
yang ada. Disamping negara Indonesia merupakan negara hukum (rechsstaat) dan
bukan negara kekuasaan (machsstaast), Indonesia adalah negara demokrasi
3
Perlindungan hak turut serta dalam pemerintahan secara internasional mulai diakui ketika lahirnya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights, tepatnya dalam
artikel 21 ayat (1), (2), dan (3). Yang menarik, Universal Declaration of Human Right diluncurkan pada
10 desember 1948, sedangkan konstitusi tertulis Indonesia yang pertama yakni UUD 1945 telah lebih
dulu mengatur hak turut serta dalam pemerintahan tersebut, tepatnya dalam pasal 27 ayat (1). Dengan
demikian, Indonesia lebih dulu mengakui perlindungan hak turut serta dalam pemerintahan dibandingkan
dunia Internasional.
4
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
3
Mengacu kepada definisi tersebut, maka secara sederhana hak politik bisa berarti
segala sesuatu hal yang menyangkut politik yang dapat dituntut oleh warga negara
kepada negara untuk memenuhinya. Secara resmi, hak politik ini telah diakui dan
dilindungi hukum, baik instrumen hukum internasional maupun nasional. Setidaknya
ada 5 (lima) instrumen hukum internasional yang melindungi hak politik, yakni antara
lain: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human
Rights), Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights), Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Covenant On The Elimination Of All
Formas of Racial Discrimination), Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
5
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm 8.
4
Dari 4 (empat) macam hak politik di atas, hak terakhir yakni hak untuk duduk
dan diangkat dalam jabatan publik di dalam pemerintahan adalah salah satu hak yang
penting untuk menjamin masyarakat bisa berpartisipasi mengisi demokrasi. Pada
dasarnya, semua masyarakat sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan
peraturan perundang-undangan memiliki hak yang sama untuk duduk dalam jabatan
6
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 27 ayat (1).
7
Ibid, Ps. 28.
8
Ibid, Ps. 28D ayat (3).
5
publik yang tersedia, tetapi perlu diketahui perihal apakah benar kesempatan itu
dimiliki semua lapisan masyarakat atau termasuk jugakah dengan mantan narapidana.
Di sisi lain, penulis mencoba menganalisis perihal berhak atau tidakkah seorang
mantan narapidana terkhusus mantan narapidana kasus korupsi untuk menduduki
jabatan publik, serta apakah terdapat pembatasan yang jelas atas hak politik mantan
narapidana. Isu inilah yang penulis anggap penting dan layak untuk dibahas secara
komprehensif agar bisa diketahui pengaturannya dalam sistem hukum positif
Indonesia. Pemilihan umum merupakan waktu yang tepat sebagai evaluasi kinerja
parlemen dimana hal tersebut bisa menjadi referensi untuk menggunakan hak pilih,
yaitu bagi calon legislatif yang mempunyai rekam jejak yang buruk seharusnya dapat
dicegah untuk terpilih kembali.
Begitu sebaliknya, pemilihan umum juga bisa menjadi referensi untuk tidak
memilih calon legislatif yang mempunyai rekam jejak yang buruk yaitu melakukan
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia,
Arief Budiman telah menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun
2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten atau kota pada Sabtu 30 Juni 2018.9 Peraturan Komisi Pemilihan Umum ini
akan menjadi pedoman Komisi Pemilihan Umum melaksanakan tahapan pencalonan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Pemilu
tahun 2019.
Salah satu poin di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut mengatur
mengenai pelarangan mantan narapidana korupsi mendaftarkan diri sebagai calon
legislatif. Aturan tersebut tertera pada pasal 7 ayat (1) huruf h Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yaitu bahwa bakal calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah warga negara Indonesia
dan harus memenuhi persyaratan: “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan
seksual terhadap anak, atau korupsi”. Dengan ditetapkannya Peraturan Komisi
9
https://www.jawapos.com/nasional/politik/01/07/2018/sejak-30-juni-kpu-resmi-tetapkan-peraturan-
koruptor-haram-nyaleg/ diakses pada 10 Maret 2019.
6
termasuk melindungi hak mantan narapidana. Salah satu dari ciri negara demokratis
yang berdasarkan hukum dan negara hukum yang demokratis adalah mengakui,
menjunjung tinggi, melindungi, memajukan, menegakkan, dan pemenuhan hak asasi
manusia. Perlindungan terhadap hak asasi manusia diatur pula di dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik dalam pembukaan maupun
batang tubuhnya.
Pada pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecuali”. Lebih tegas lagi, di dalam Pasal 28 huruf (d) ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Demikian pula pasal 28 huruf
(d) ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
Semuanya itu merupakan bentuk dari perwujudan kedaulatan rakyat
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Jaminan perlindungan hak-hak warga negara ini
merupakan hakikat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Hak asasi sebagai hak yang seakan-akan berakar dalam setiap oknum pribadi
manusia, justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat dicabut oleh siapapun juga,
karena bila dicabut hilang juga kemanusiaannya.11 Selain itu, setiap pasal perundang-
undangan tentunya harus mencerminkan rasa keadilan sebagaimana cita-cita bangsa
Indonesia yang tertuang dalam falsafah negara Indonesia yaitu pancasila, pada sila
kedua kemanusian yang adil dan beradab dan sila kelima keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia serta harus sesuai dengan asas persamaan kedudukan dalam hukum
(equality before the law) sebagai suatu hak asasi manusia yang sangat fundamental.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa: “setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum
11
Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan
Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Bandung: Alumni, 2007, hlm 39.
8
proporsional. Kesamaan hak pada pandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah
yang sama.
Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara di
hadapan hukum sama. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi
haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Menurut
pendapat Rawls, keadilan adalah suatu kejujuran (fairness) agar keadilan bisa berjalan
secara berkeadilan harus diatur atau berjalan sesuai dengan dua prinsip keadilan yaitu:
pertama, setiap orang yang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas,seluas kebebasan yang sama (principle of equal liberty) bagi semua. Kedua,
ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga dapat
diharapkan memberi keuntungan semua orang, semua posisi dan jabatan terbuka bagi
semua orang.13 Setelah menjalani semua hukuman di lembaga pemasyarakatan karena
perbuatan yang dilakukan baik karena pelanggaran maupun kejahatannya, maka
hukuman ini bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani masa hukuman bisa
kembali ke masyarakat dan bergaul dengan baik tanpa adanya diskriminasi hukum,
membangun kehidupan baru untuk hidup yang lebih baik, sejahtera, layak dan agar
tidak mengulangi perbuatan-perbuatan sebagaimana yang telah dilakukan terdahulu.
Dengan demikian seorang mantan narapidana akan memiliki hak yang sama
sebagaimana masyarakat pada umumnya.
Hak-hak itu bisa berupa hak ekonomi, sosial dan budaya, dan juga bisa berupa
hak sipil dan politik.14 Hukum pidana pada dasarnya untuk melindungi kepentingan
individu atau melindungi hak asasi manusia dan melindungi kepentingan masyarakat
maupun negara dari perbuatan kejahatan atau perbuatan tercela yang merugikan
individu, masyarakat dan negara juga menjaga agar penguasa tidak bertindak
sewenang-wenang pada individu atau masyarakat. Negara dalam menjatuhkan pidana
haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap
dihormati. Oleh karena itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat
menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan bersama sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan yaitu
disamping penjatuhan pidana itu harus membuat jera, juga harus memberikan
13
John Rawls, A Theory of Justice “Teori Keadilan”, Cet. II, (terjemahan Uzair Fauzan Heru Prasetyo),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm 72.
14
Ibid., hlm 133.
10
dalam bursa pencalonan pemilihan kepala daerah maupun wakil kepala daerah
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 58 angka (6) Undang-Undang No. 12 Tahun
2008 sebagai perubahan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Larangan terhadap mantan narapidana untuk menjadi kepala daerah maupun
wakil kepala daerah menurut penulis adalah suatu hal yang wajar karena wewenang
pembentuk undang-undang melakukannya.
Selanjutnya dalam hal kewenangan kepala daerah di Pasal 25 Undang-Undang
No 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa salah satu kewenangannya adalah: “memimpin
penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah …”. Dilihat dari kewenangan yang ada memang ada
suatu kewajaran jika pemerintah mempersyaratkan bagi mantan narapidana dilarang
menjadi kepala daerah. Walaupun demikian, pemerintah masih memberikan toleransi
yaitu memberikan hak asasi mantan narapidana mengikuti bursa pencalonan pemilihan
kepala daerah. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yang
pada intinya memutuskan terhadap pasal 12 huruf (g), pasal 50 ayat 1 huruf (g)
Undang-Undang Pemilu dan Pasal 58 huruf Undang-Undang Pemerintahan Daerah15
yang memuat persyaratan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” tidak memiliki
kekuatan mengikat sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam putusan
tersebut. Menjadi ironi bahwa pasal serupa tersebut di atas setelah putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dimunculkan kembali dengan kehadiran pasal 7
huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang meski pada akhirnya semakin ditegaskan
15
Hak politik dilindungi hukum, baik secara internasional maupun nasional. Secara Internasional, hak
politik diatur universal declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR). Secara Nasional, Hak politik juga dilindungi konsitusi kita dan beberapa
peraturan perundang-undangan lainnya, terutama Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Status mantan narapidana seseorang ternyata bisa membuat hak politik nya dibatasi contohnya
dalam hal untuk menjadi kepala daerah. Pembatasan tersebut ditentukan secara tegas dalam pasal 58
huruf f Undang-Undang No 12 tahun 2008 tentang perubahan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam perkembangannya, pasal tersebut kemudian diujikan ke Mahkamah
Konsitusi lewat judicial review. Mahkamah Konsitusi telah mengeluarkan beberapa putusan secara
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Putusan tersebut membatalkan larangan berpolitik
bagi mantan narapidana, akan tetapi memberikan syarat – syarat keberlakuan yang limitatif.
12
pengaturan mantan narapidana untuk tetap dapat menduduki jabatan pejabat publik
yang dipilih masyarakat sebagaimana dinyatakan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 42/PUU-XIII/2015 bahwa pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai
dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan
kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis meneliti dan menganalisa tentang pro
dan kontra larangan mantan narapidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan
semisal Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 dalam pemilihan
umum tahun 2019 dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-
XIII/2015 sekalipun telah lahir Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum yang pada intinya juga mengatur dan terdapat bunyi pasal yang sama dengan
yang sudah pernah diputus sebelumnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
42/PUU-XIII/2015. Oleh karena dirasakan perlu bagi penulis akan adanya pengaturan
ideal agar pada kemudian hari tidak akan muncul lagi pasal-pasal yang menyerupai
pengaturan yang persis sama seperti apa yang sudah pernah diuji di Mahkamah
Konstitusi sehingga akan timbul pengaturan yang ideal tersebut berdasarkan hasil
penelitian penulis, serta dapat diyakinkan bahwa akan lahir pengaturan ideal dan
menjamin kepastian hukum sekalipun tetap ada bermuatan pembatasan mantan
narapidana akan hak politiknya untuk dipilih namun kiranya dapat diterima secara
ilmiah karena adanya kepastian hukum mengenai periode pembatasan tersebut. Dengan
dasar pemikiran itu, syarat konstitusional dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
itulah yang akan dibahas secara rinci dalam penelitian ini.
13
Dengan penelitian ini penulis mencoba mengupas bagaimana hak politik mantan
narapidana itu diatur, dilindungi dan diimplementasikan pasca putusan konstitusional
bersyarat Mahkamah Konstitusi dan maka hasil penelitian ini kemudian penulis beri
judul: “HAK MANTAN NARAPIDANA KORUPSI UNTUK DIPILIH DALAM
PEMILIHAN UMUM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
42/PUU-XIII/2015.”
B. Rumusan Masalah
Dengan dasar uraian sebelumnya, pertanyaan penelitian yang akan penulis bahas
dalam penelitian ini, yakni:
1. Bagaimana konstitusionalitas hak politik mantan narapidana korupsi untuk menjadi
pejabat publik yang dipilih pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
42/PUU-XIII/2015?
2. Bagaimanakah akibat hukum peraturan perundang-undangan yang melarang hak politik
mantan narapidana korupsi untuk dapat dipilih sebagai pejabat publik yang dipilih
dalam pemilihan umum pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-
XIII/2015?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis membagi tujuan penelitian ke dalam dua bentuk,
yakni tujuan umum dan tujuan khusus:
Pertama, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
konsepsi jaminan hak politik warga negara Indonesia dan untuk mengetahui arah politik
hukum di Indonesia mengenai aturan pelarangan mantan narapidana korupsi
mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. Dalam penelitian ini penulis akan
memaparkan bagaimana peraturan perundang-undangan Indonesia menjamin
pelaksanaan hak tersebut.
Kedua, adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain untuk :
1. Mengetahui konstitusionalitas hak politik mantan narapidana korupsi untuk dipilih
dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
2. Mengetahui akibat hukum lahirnya pengaturan yang melarang mantan narapidana
korupsi untuk dipilih dalam pemilihan umum.
14
2. Manfaat Praktis
Memberikan pemahaman yang baik dan komprehensif mengenai hak-hak politik
mantan narapidana. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang utuh
atas hak politik mantan narapidana kepada semua lapisan masyarakat. Terlebih khusus
lagi bagi mereka yang memang pernah tersangkut kasus hukum sehingga pernah
menjadi terpidana melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Penelitian ini diharapkan mampu membantu mantan terpidana yang telah
kembali menjadi warga sipil yang baik di masyarakat dan memulihkan kembali hak-hak
politiknya dengan baik.
E. Kerangka Teori
1. Negara Hukum
Negara Hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan kepada warga negaranya16. Negara hukum pertama kali digagas oleh
Aristoteles yang berpendapat bahwa negara hukum itu timbul dari negara polis yang
mempunyai wilayah negara yang kecil yang berbentuk kota dengan penduduk yang
sedikit jumlahnya. Inti dari pemikiran Aristoteles adalah bahwa yang memerintah dalam
suatu negara hukum bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, sedangkan
penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.17 Penggunaan istilah
16
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia. cet VII, Jakarta: Pusat Studi
Hukum Tata Negara FHUI, 1988, hlm 153.
17
Ibid.
15
negara hukum juga beragam. Para sarjana yang berasal dari eropa kontinental seperti
Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte menggunakan istilah Jerman
yakni rechstaat, sedangkan Sarjana dari Anglo Amerika yang dipelopori A.V Dicey
menggunakan istilah rule of law18. Sebelum lahirnya negara hukum, terdapat beberapa
tipe negara yang lebih dahulu ada salah satunya adalah tipe negara yang dinamakan
negara polisi (Polizeistaat)19. Tipe negara polisi menempatkan penguasa sebagai sentral
dari semua urusan rakyat. Artinya, walaupun raja mengurusi semua kepentingan rakyat,
rakyat tidak berhak campur tangan. Rakyat tidak memiliki hak atas raja, sehingga segala
sesuatunya ditentukan oleh raja. Paham yang menyokong tipe negara polisi pada
waktu itu adalah paham mercantilisme20. Di Jerman dan Austria paham mercantilisme
disebut juga dengan istilah kameral wissenchaft. Sebuah paham yang menginginkan
neraca perdagangan negara selalu aktif atau positif. Paham mercantilisme inilah yang
juga menyuburkan kolonialisme pada saat itu. Jika Perancis mengusahakan emas dan
perak dengan menggalakkan ekspor, maka Spanyol dan portugal mendapatkannya dari
negara-negara yang menjadi jajahannya.
Jadi pada masa tipe negara Polisi (polizeistaat), paham yang menyokongnya
adalah mercantilisme. Kemudian bentuk pemerintahan saat itu adalah monarki absolut
dimana raja berkuasa secara mutlak tanpa batas. Namun dalam perkembangannya,
ketika raja mulai menyadari kepentingan dan kewajibannya atas rakyat, perlahan
absolutisme raja berkurang sehingga muncul bentuk monarki yang kekuasaannya
dibatasi oleh kemauan raja sendiri (beperkte monarchi)21. Dalam perkembangan
selanjutnya, pasca mercantilisme, muncul paham antitesis-nya yang dinamakan
liberalisme22. Jika mercantilisme secara ekstrim melarang campur tangan rakyat, maka
liberalisme justru sebaliknya yakni mengehendaki tidak ada campur tangan pemerintah
18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitutionalisme, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm 121.
19
Padmo Wahyono. Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill co cet III, 2003, hlm 95 .
20
Menurut Padmo Wahyono, mercantilisme mempengaruhi cara berfikir penguasa-penguasa saat itu,
sehingga kemakmuran perlu dimasukkan dalam tujuan negara. Negara polisi selalu berusaha
mengusahakan neraca perdagangan aktif dimana jaminan uang atau emas harus terlihat. Sebagaimana
dikutip dari Ibid., hlm 96.
21
Moh Kusnardi dan Hermaily Ibrahim., op. cit hlm 155.
22
Aliran liberalisme sebagaimana dikemukakan Padmo Wahyono adalah pemikiran yang mengutamakan
persaingan bebas yang berasal dari pemikiran ahli ekonomi bernama Adam Smith yang berkeyakinan
bahwa dengan adanya persaingan bebas ini akan dijumpai perekonomian yang lebih baik. Meskipun pada
akhirnya liberalisme mulai ditinggalkan, namun paham liberalisme itulah yang membuka jalan bagi
terbentuknya tipe negara hukum (negara hukum liberal). Sebagaimana dikutip dari Padmo Wahyono., op.
cit hlm 97.
16
23
Moh Kusnardi dan Hermaily Ibrahim., op. cit hlm 156.
24
Padmo Wahyono., op. cit hlm 98.
25
Moh Kusnardi dan Hermaily Ibrahim., op. cit hlm 156.
17
Pemikiran rule of law Dicey ini sangat populer di Amerika, sehingga menjadi
jargon demokrasi terkenal disana yakni ”government of law, but not of man.28 Usaha
menjelaskan unsur-unsur negara hukum, juga dilakukan para sarjana hukum Indonesia
yang terkemuka. Menurut Padmo Wahyono, fase negara hukum saat ini tidak terhenti
sampai pada negara hukum formil semata, tetapi telah berkembang menjadi negara
hukum materil29. Jika dulu, yang dipentingkan dari negara hukum formil adalah sisi
formil (landasan hukum) nya, yakni bahwa negara yang ingin campur tangan urusan
rakyat haruslah memiliki dasar hukum.
Maka dalam negara hukum materil yang dipentingkan adalah isinya (substansi)
yang tidak lain adalah kemakmuran rakyat (welfare). Lebih lanjut, menurutnya,
pemikiran negara hukum formil menempatkan negara dalam konstruksi yang dualistis,
yakni bahwa antara rakyat dan negara adalah dua hal yang terpisah. Namun mengutip
semboyan yang dikemukakan Abraham Lincoln: Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
26
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta : Konstitusi Press, 2005, hlm 122.
27
Ibid.
28
Moh Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, op cit, hlm 161.
29
Padmo Wahyono, op. cit, hlm 102.
18
dan untuk rakyat, maka pemerintah (penguasa) bukanlah faktor asing, melainkan orang
yang berasal dari rakyat itu sendiri. Jadi pada negara hukum materil, kolektivisme
sebuah negara hukum lebih dikedepankan sehingga penguasa dapat bertindak tanpa
peraturan perundang-undangan sepanjang hal itu memang penting untuk kepentingan
rakyat. Karena itulah pula, negara hukum materil disebut dengan istilah negara
kemakmuran/kesejahteraan (Wohlfahrt staat/social service state), yakni negara hukum
yang mengusahakan kemakmuran rakyat.30 Ciri-ciri negara hukum juga dikemukakan
oleh Philipus M. Hadjon.
Menurut Philipus M. Hadjon, elemen penting negara hukum Indonesia yang
berdasarkan pancasila terdiri dari antara lain:31
(1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan kerukunan,
(2) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara,
(3) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan
sarana terakhir jika musyawarah gagal,
(4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
30
Ibid.
31
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-
Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan
peradilan Administrasi, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm 90.
32
Jimly Asshiddiqie op. cit, hlm 123-129.
19
Kedua belas ciri negara hukum yang dikemukakan oleh Jimly Assiddiqie di atas
adalah ciri-ciri negara hukum modern yang dimiliki oleh negara demokrasi masa kini
dimana kedua belas ciri tersebut juga dimiliki oleh negara Republik Indonesia. Adapun
ciri negara hukum Indonesia antara lain bisa dilihat dari hal- hal sebagai berikut:
pertama, terdapat unsur negara hukum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Unsur negara hukum itu bisa ditemui lewat kata-kata seperti dalam alinea
pertama yakni kata “peri keadilan”, dalam alinea kedua kata “adil”, begitupun dalam
alinea keempat yang memuat gabungan kata “ keadilan sosial” dan “ kemanusiaan yang
adil”. Semua istilah istilah itu mengacu pada tujuan negara hukum yakni untuk
mencapai keadilan. Kedua, Indonesia menganut asas konstitusionalisme. Menurut J
Frederich, konstitusionalisme adalah an institutionalized system of effective, regularized
restraints upon governmental action, yakni suatu sistem yang terlembagakan,
menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan
pemerintahan33. Gerakan konstitusionalisme ini bertujuan membatasi kekuasaan
penguasa agar tidak diktator dengan cara membatasi kekuasaannya dalam konstitusi.
Untuk indonesia, paham konstitusionalisme ini tercermin dengan ditetapkannya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi
tertulis. Ketiga, dasar negara hukum ditetapkan dalam batang tubuh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: negara Indonesia adalah
negara hukum.
Bunyi pasal 1 ayat (3) ini jelas menegaskan bahwa sebagai negara demokrasi,
Indonesia juga adalah entitas negara yang berdasarkan atas hukum. Terakhir yang
keempat, ciri negara hukum Indonesia secara eksplisit dikemukakan dalam Penjelasan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan ini
merupakan nilai yuridis dari segi hukum tatanegara, dimana dalam penjelasannya
33
Ibid., hlm 20.
20
dikatakan bahwa: negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasar
kekuasaan belaka (machstaat)34. Dengan penjelasan terakhir ini, maka telah nyatalah
bahwa tipe negara yang dijalankan Indonesia adalah termasuk negara hukum.
34
Moh Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, op cit, hlm 164.
35
Tom Campbell mengatakan bahwa,…human rights are based on the affirmation of human equality.
Lihat Tom Campbell, Human Rights and the Partial Eclipse Of Justice, Dalam Arend Soeteman,
Pluralisme and law, London: Kluwer Academi Publishers, 2001, hlm 63, sebagaimana dikutip dari Majda
El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
36
James.W. Nickel, Hak Asasi Manusia [Making Sense of Human rights, Philosophical Reflection on The
Universal Declaration of Human Rights] diterjemahkan oleh Titis Eddy Arini, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996, hlm 20.
21
memiliki hak berarti memiliki kebebasan dan juga berarti suatu keuntungan
bukan kerugian.
(3) Suatu hak yang ditetapkan secara lengkap akan mengidentifikasi pihak atau
pihak-pihak yang harus berperan mengusahakan tersedianya kebebasan atau
keuntungan yang diidentifikasikan oleh ruang lingkup hak tersebut.
Pihak disini diartikan sebagai pihak penanggung jawab atau pihak yang harus
menghormati hak tersebut salah satunya negara. Di sisi lain, Robert Audi ikut
memperjelas bahwa terdapat perbedaan antara hak alami dan hak hukum. Ia mengatakan
sebagai berikut: just as positive law posited by human law makers confer legal rights,
so the natural law cofers natural rights37. Hal ini oleh Nur Ahmad Fadhil Lubis
dijelaskan bahwa hak hukum dapat ditarik kembali atau dialihkan dengan ketentuan law
makers, sedangkan hak alami bersifat melekat dan abadi pada pemiliknya. Hak dalam
bentuk terakhir ini tidak dapat ditanggalkan, baik oleh raja atau negara sekalipun
sehingga disebut sebagai inalieanable rights. Audi menyebut hak hukum sebagai
advantagous positions under the law of society, sedangkan hak alami ia namakan most
fundamental Rights38.
3. Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum
untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan
kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut
tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang
baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional
sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi
atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution. Pasal 24C Undang-Undang
Dasar Negara Tahun 194539 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara
37
Ibid., hlm 40.
38
Ibid. hlm 41.
39
UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan penyebutan atau penulisan resmi terhadap UUD 1945 yang
telah 4 (empat) kali diamandemen. Hal ini digunakan untuk membedakan UUD 1945 yang belum
diamandemen (UUD 1945) dengan UUD 1945 yang telah diamandemen (UUD Negara RI Tahun 1945).
22
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal
10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci
sebagai berikut:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945;41
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;42
3. Memutus pembubaran partai politik; dan43
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;44
40
Lihat Pasal 24B UUD Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
41
Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/ PMK/ 2005
tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, serta buku “Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang” karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H.,
42
Untuk saat ini referensi tulisan yang berkaitan dengan Lembaga Negara, dapat dilihat pada buku ”
Sengketa Lembaga negara” yang telah diterbitkan oleh KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional).
43
Lebih jelasnya lihat dan pelajari buku karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., yang berjudul
”Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Kosntitusi”
44
Pemilihan Umum yang dimaksud di sini yaitu hanya terbatas pada pengertian Pemilihan Umum
anggota Legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja, bukan termasuk pada Pemilihan
23
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.45
F. Kerangka Konseptual
Adapun kerangka konsep yang dibahas dalam penelitian ini antara lain :
1. Pengujian konstitusionalitas undang-undang
Pengujian Konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai
konstitusionalitas undang-undang baik dari segi formil maupun materil. Pengujian
konstitusionalitas suatu undang-undang yang lebih lazim dikenal dengan sebutan
constitutional review merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji
formil maupun materil undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tahun 194546.
2. Pemilihan Umum
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.47
Kepala Daerah (Pilkada). Tetapi sejak UU KPU 2007 jo UU No.12 Tahun 2008 pilkada masuk
pemilu dan Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang mengadili sengketa Pilkada sebagai bagian dari
sengketa Pemilu.
45
Rumusan terinci dapat merujuk pada Pasal 7B ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD Negara RI Tahun
1945 yang lebih dikenal dengan impeachment. Lihat juga buku ” Impeachment Presiden: Alasan Tindak
Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945” karya Hamdan Zoelva, S.H., M.H., yang telah
diterbitkan oleh Konstitusi Press belum lama ini.
46
Kewenangan ini sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkmaah Konstitusi pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: . menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945… lihat Jimly
Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
47
Indonesia, Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Undang-Undang No 22 tahun 2007. LN No 59
Tahun 2007. TLN. No 4721.
24
3. Narapidana
Berdasarkan pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Definisi narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.. Dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang
nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dikatakan bahwa: Lembaga
Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat
untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Selanjutnya, definisi terpidana diatur dalam pasal 1 angka 32 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dimana dikatakan bahwa: terpidana adalah seorang yang dipidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.48
G. Metode Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian hukum normatif49 yang menggunakan
metode penelitian kepustakaan yaitu penelitian dengan cara meneliti data sekunder atau
data kepustakaan.50
1. Tipe Penelitian
Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya dan
dikaitkan dengan teori negara hukum, hak asasi manusia, maka metode penelitian yang
akan digunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan
untuk mengkaji penerapan-penerapan norma-norma dalam hukum positif. Tipologi
48
Menurut Sanoesi HAS, istilah narapidana pertama kali dipopulerkan oleh Koesnoen. Dalam kutipan
nya dikatakan bahwa: Istilah hukuman yuridis kurang tepat, sebab kata hukuman dapat dikenakan
terhadap terhukum sipil , dapat juga terhukum kriminil , lebih baik diganti dengan “pidana” yang tegas
menyatakan hukuman kriminil. Istilah KUHPidana juga lazim dan lebih baik dari pada KUH Hukuman.
Maka juga istilah “orang hukuman saya ganti dengan “Nara-Pidana”, kecuali yuridis juga psikologis lebih
sesuai dan dikenakan terhadap yang berkepentingan. Juga lazim adanya istilah narakarya (kaum pekerja)
dan nara-pra (kaum pejabat pemerintah). Lihat R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita,
Sistem Pemasyarakatan Indonesia, Jakarta: Percetakan ekonomi, 1979, hlm 17.
49
Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka. pemikiran yang normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1) asas-asas
hukum, (2) sistematika hukum, (3) Taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, (4) perbandingan hukum,
(5) sejarah hukum. lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
Normatif : Suatu tinjauan singkat, ed 1 cet. V, Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2001, hlm 13-14. Lihat
juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian
Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979, hlm.15
sebagaimana dikutip dari winarno Yudo et al., Pengkajian Tentang Masalah Hukum Judicial Review
Oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI, 2007, hlm 21.
50
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. 8,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hlm 14.
25
penelitian ini bersifat preskriptif analitis yaitu penelitian untuk mendapatkan saran-
saran dan penyelesaian baru dalam mengatasi masalah tertentu.
Dalam penelitian ini, yang hendak dicari penyelesaiannya adalah
konstitusionalitas hak politik mantan narapidana korupsi untuk menjadi calon legislatif
atau pejabat publik pasca terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-
XIII/2015 ditinjau dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan konsep negara hukum.
1. Bahan hukum yang digunakan adalah data sekunder yang dalam penelitian ini
digolongkan menjadi bahan hukum primer yang terdiri dari Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Pada penelitian ini,
bahan hukum sekunder yang akan digunakan adalah buku, laporan penelitian
hukum, artikel ilmiah dan disertasi. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder seperti ensiklopedia dan kamus hukum.51
2. Metode Analisis
Metode analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu metode yang
menghasilkan data berupa uraian mengenai apa yang dinyatakan oleh sasaran
penelitian, dan kebenaran data atau premis akhir penelitian ditentukan oleh penelitinya
sendiri.52 Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh
dari hasil penelitian dan kajian bahan pustaka53.
51
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm 59.
52
Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005, hlm 24.
53
Sri Mamudji, et al., op cit.,hlm 28
54
Lihat Soerjono Soekanto, op cit., hlm 52. Lihat juga Sri Mamudji, et al., ibid., hlm 30-31.
26
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang menggambarkan isi dari penelitian ini dibagi
menjadi 5 (lima) bab, yaitu :
Bab 1 Pendahuluan. Dalam bab ini penulis memuat latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat teoritis dan praktis, kerangka teori dan
kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab 2 mengenai Tinjauan Umum. Dalam Bab ini penulis akan membahas
tinjauan umum mengenai: negara hukum, hak asasi manusia, dan mahkamah konstitusi
55
Ibid .,hlm 52 .
27
Bab 3 Dalam bab pembahasan ini ialah Konstitusionalitas Hak Politik Mantan
Narapidana Korupsi, penulis akan membahas mengenai: Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 42/PUU-XIII/2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-
XIV/2016, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Pada bab
ini juga akan dibahas mengenai intisari perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Terhadap Larangan Mantan Narapidana serta dibahas mengenai Pembatasan Hak Pilih
Aktif dan Pasif Mantan Narapidana dalam perundang-undangan di Indonesia.
Disamping itu juga penulis akan membahas mengenai dasar pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih aktif dan pasif kepada
Terpidana Tindak Pidana Korupsi
Bab 4 Dalam bab ini penulis menganalisis Pengaturan Hak Dipilih Mantan
Narapidana Korupsi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015
yang didalamnya membahas akan adanya diskursus Perdebatan antara Badan Pengawas
Pemilihan Umum (umum dikenal Bawaslu) dengan Komisi Pemilihan Umum (Umum
dikenal KPU), disamping itu ada juga dibahas mengenai Perbuatan Korupsi Bupati
Kudus Yang Berulang Sebagai Mantan Narapidana Korupsi Ditinjau dari Perundang-
Undangan, juga dibahas mengenai Konsekuensi Hukum PKPU Nomor 20 Tahun 2018,
Kedudukan Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan terakhir ialah Kedudukan
Hukum Mantan Narapidana Korupsi Sebagai Calon Pejabat Publik Dipilih.
Bab 5 Penutup, terakhir dalam bab ini penulis akan membahas mengenai
kesimpulan akhir dari penelitian ini dan juga saran atau rekomendasi yang relevan.
28
BAB II
TINJAUAN UMUM NEGARA HUKUM, HAK ASASI MANUSIA,
MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Negara Hukum
1. Sejarah Negara Hukum
Gagasan negara hukum dalam penelaahan penulis sebenarnya sudah sangat tua,
jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara maupun Ilmu Kenegaraan. Gagasan mengenai
negara hukum diketahui pertama kalinya dan dikemukakan oleh Plato yang selanjutnya
gagasan itu dipertegas oleh Aristoteles.56 Rasa keadilan yang didambakan warga negara
-dalam penyelenggaraan negara- dari bentuk negara apapun yang ada pada masa lampau
ternyata sudah ada nampak dalam sejarah, yakni melalui pemikiran Plato -seorang
Filosof Yunani terkenal di jamannya- yang dapat dilihat di dalam bukunya yang
berjudul Republic dimana ia punya suatu gagasan agar negara itu diperintah oleh “Raja
Filosof” supaya suatu negara itu dapat diperintah dengan bijaksana tanpa perlu tunduk
pada hukum.
Namun, keadaan ideal yang demikian pada faktanya hampir-hampir tak bisa
diwujudkan dalam kenyataan. Oleh karena itu Plato berpandangan dalam bukunya yang
berjudul Laws bahwa sebagai pilihan terbaik kedua, negara harus diperintah oleh
seorang kepala negara yang tunduk pada aturan-aturan yang berlaku. Dari sudut
pandang yang lain yakni Aristoteles dimana gagasannya dianggap lebih realistis
mengatakan dalam bukunya Politics bahwa suatu negara memang sudah seharusnya
diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku.57 Aristoteles
berpendapat bahwa negara yang berdiri diatas hukumlah yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya dimana keadilan sebagai syarat bagi tercapainya kebahagian
hidup warga negaranya. Disamping itu dalam pandangan Aristoteles, yang memerintah
dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan akal yang adil, sedangkan
penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Dengan kata lain
dapat dijelaskan bahwa akal itulah yang memerintah bukan nafsu dari orang-orang yang
menjalankan pemerintahan.
56
Nurul Huda, Ilmu Negara ,Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm 90.
57
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechststaat), Bandung: Refika Aditama, 2011, hlm 27.
29
Sementara itu, Albert Venn Dicey (1835-1922) menyebutkan tiga ciri penting
“The Rule Of Law” yaitu:61
1) Supremacy of Law yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang atau disebut
absence of arbitrary power, dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum.
2) Equality before the Law yaitu diartikan sebagai kedudukan yang sama di hadapan
hukum. Dalil ini berlaku terhadap warga sipil maupun kepada pejabat sekalipun.
58
Dalam pendapat penulis,berpengaruhnya kedua sistem ini karena Sistem hukum common law dianut
oleh negara-negara yang berbahasa inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti negara Inggris
serta bekas jajahannya yaitu Singapura,Filipina. Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Disamping itu
negara-negara penganut sistem hukum Civil Law antara lain Negara Perancis, Jerman, Belanda dan bekas
jajahan Belanda antara lain Indonesia, Jepang (walaupun ada pengaruh sistem inggris-amerika), dan
Thailand. Penulis berpendapat kedua sistem ini berpengaruh karena begitu banyaknya negara yang
mengadopsi kedua sistem tersebut kedalam hukum nasionalnya.
59
Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan Dan Pembinaan Pengadilan ‘Fungsi Manajemen Mahkamah
Agung Terhadap Pengadilan Di Bawahnya Setelah Perubahan UUD 1945, Malang: Setara Press, 2013,
hlm 15.
60
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi ‘Serpihan Pemikiran
Hukum,Media, dan HAM, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm 148.
61
Ibid.
30
62
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung: Yapemdo, 2006, hlm 256.
63
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm 3.
64
Max Boli Sabon, Op.Cit, hlm 87-88.
65
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN FH
UI dan Sinar Bakti, 1985, hlm 161.
66
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum Terhadap
Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm 92.
67
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm
154-162.
31
masyarakatnya bahwa hukum itu memang supreme atau dengan kata lain sebagai
pedoman tertinggi.
2) Persamaan dalam Hukum/ Equality before the law yang dimaksud adalah adanya
persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan yang diakui
secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.
3) Asas Legalitas/ Due Process of Law artinya bahwa segala tindakan pemerintahan
harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis dimana
peraturan tertulis itu harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan administrasi yang dilakukan.
4) Pembatasan Kekuasaan yaitu pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal. Karena kekuasaan cenderung berkembang menjadi
sewenang-wenang maka kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-
misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances
dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain.
5) Organ-Organ Eksekutif Independen yakni adanya pengaturan kelembagaan
pemerintahan yang bersifat independent68 seperti bank central,organisasi
kepolisian,kejaksaan. Hal ini karena dapat diduga akan digunakan untuk kepentingan
kekuasaan sehingga independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap sangat penting
demi menjamin prinsip negara hukum.
6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, yakni tidak adanya pengaruh siapapun juga
untuk turut campur tangan ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh
hakim.
7) Peradilan Tata Usaha Negara, dimana dalam hal ini adanya jaminan agar warga
negara tidak dizalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara
sebagai pihak yang berkuasa.
8) Peradilan Tata Negara/Constitutional Court yaitu suatu jaminan akan tegaknya
keadilan untuk setiap warga negara dan berfungsi dalam upaya memperkuat sistem
checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan.
68
Dalam hal ini penulis mengartikan independent sebagai bebas dari campur tangan pihak manapun atau
dengan kata lain secara khusus bebas dari pengaruh Pemerintah yang berkuasa.
32
Konsep negara hukum hampir mirip dengan teori kedaulatan hukum, akan tetapi
tidak sama dimana perbedaannya adalah: kedaulatan hukum menurut sistem hukum
eropa kontinental atau negara hukum Rechtstaat tidak hanya mengkaji satu aspek saja
dari konsep negara hukum yaitu asas legalitas, dan menurut sistem sistem anglo saxon/
common law hanya pada sisi supremasi hukum yaitu konsep negara hukum the rule of la
sedangkan dalam konsep negara hukum Eropa Kontinental (Rechtstaat) pengkajiannya
lebih luas karena tidak saja menekankan asas legalitas atau supremasi hukum
sebagaimana yang dianut dalam sistem hukum anglo saxon (the rule of law), namun
dalam sistem rechtstaat masih ada syarat lain yang harus dipenuhi selain asas legalitas.
Ketiga syarat yang dimaksud adalah perlindungan hak asasi manusia, pembagian
kekuasaan dan peradilan administrasi.
Sebaliknya, menurut sistem negara hukum tipe the rule of law selain syarat
supremasi hukum, masih ada dua syarat lain dari konsep negara hukum itu yaitu,
persamaan équality before the law, dan perlindungan hak asasi manusia melalui
lembaga peradilan. Asas legalitas dalam negara hukum sebagaimana dicatat Yohanes
33
69
Yohanes Usfunan, 2004, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hal.31
70
Yohanes Usfunan, HAM Politik Kebebasan Berpendapat Di Indonesia, Udayana University Press,
2013, hlm 98
34
berbeda. Bila dilihat pada Undang-Undang Dasar sebelum perubahan, maka bila dirujuk
di dalam pembukaan ataupun juga batang tubuh serta pasal-pasalnya, tak satu pun
tertulis istilah “negara hukum”. Akan tetapi, berdasarkan penjelasan umumnya yakni
pada penjelasan “sistem pemerintahan negara71” disebutkan dengan jelas/secara eksplisit
dimana tertulis bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat)”.
Kemudian istilah “negara hukum” digunakan secara jelas dan tegas pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah perubahan yaitu
terdapat pada Pasal 1 ayat (3). Sebagai salah satu bukti bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum adalah: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan, kemudian adanya suatu kekuasaan kehakiman
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dengan badan kehakiman dibawahnya,
segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.72 Beberapa
contoh pasal tersebut adalah hal yang menunjukkan bahwa memang negara Republik
Indonesia merupakan negara dimana dijalankannya suatu pemerintahan itu menurut
hukum yang berlaku dan bukan atas dasar kekuasaan semata.73
Berdasarkan penjelasan Mahfud MD74 tentang negara hukum Indonesia, dapat
penulis rangkumkan bahwa sebagai dasar dapat disebutnya Indonesia sebagai negara
hukum karena telah memenuhi 3 (tiga) ciri dari negara hukum yaitu:75
1) Terdapat pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.Mengenai hal ini
eksplisit jaminannya pada pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945
yakni pada alinea I yaitu kemerdekaan sebagai hak segala bangsa dan alinea IV
adanya penyebutan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Pasal 27 Undang-Undang
Dasar 1945 tentang persamaan kedudukan tiap warga negara di dalam hukum dan
pemerintahan.
71
Pada bagian I dijelaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
72
Lihat pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV
(empat).
73
Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hlm 74-75.
74
Moh. Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaran Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm 86.
75
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,Op.Cit,.hlm 162.
36
2) Terdapat peradilan yang bebas dari pengaruh suatu kekuasaan/pihak lain dan tidak
memihak.Hal ini tegas dinyatakan pada Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang” serta diikui penjelasannya pada pasal 24 ini
bahwa “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah”. Atas hal ini ciri kedua dari negara hukum terpenuhi
oleh Undang-Undang Dasar 1945.
3) Terdapat legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Artinya dalam hal ini
ialah bahwa segala tindakan penguasa atau seluruh negara itu harus dibenarkan oleh
hukum. Di Indonesia, segala peraturan untuk segala tindakannya telah ada
ketentuannya sehingga setiap tindakan harus sah menurut aturan hukum yang telah
ada.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,76 secara leksikal “hak dipilih” diuraikan
sebagai hak untuk dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, sebelum
menguraikan tentang “hak dipilih”, terlebih dahulu diuraikan “hak pilih” sebagai hak
untuk memilih wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Pada bagian lain, dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia77, pengertian “hak dipilih” diuraikan sejalan dengan pengertian
“hak pilih”. Pengertian “hak dipilih” diuraikan sebagai hak untuk dipilih menjadi
anggota (tentang Dewan Perwakilan Rakyat, dsb). Sedang “hak pilih” diuraikan sebagai
hak warga negara untuk memiliki wakil dalam lembaga perwakilan rakyat yang
76
WJS. Poerwadarminta, 2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. Cet. XV, hlm
339.
77
Anton M. Moelyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Hlm. 292; Bdk. Anonim, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, Edisi VII, Cet. IV, hlm 475.
37
merupakan salah satu unsur dalam sistem pemilihan umum yang demokratis. “Hak
pilih” dibagi menjadi dua, yaitu: “hak pilih aktif” dan “hak pilih pasif”. “Hak pilih
aktif” sebagai hak untuk memilih wakil dalam lembaga perwakilan rakyat. Sedang “hak
pilih pasif” adalah hak untuk dipilih dan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat.
Dalam kaitan dengan hak pilih aktif (hak memilih) dan hak pilih pasif (hak
dipilih) wajib menenuhi berbagai persyaratan yang telah ditentukan. 78 Persyaratan
dimaksud sesuai Pasal 60 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. Berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
d. Berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat;
e. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
f. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung
dalam G-30-S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya;
g. Tidak sedang dicabut hak politiknya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap;
h. Tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang
kompeten; dan
j. Terdaftar sebagai pemilih.
78
Persyaratan sebagai dimaksud Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 sebagai
obyek penelitian ini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU- I/2003 pada
tanggal 24 Februari 2003 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
38
Nomor 51) persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam
Pasal 12, sedang untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah diatur dalam Pasal 50. Untuk menjadi anggota Dewan
Perwakilan Daerah dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah persyaratannya hampir sama. Perbedaan hanya pada persyaratan:
mencalonkan hanya 1 (satu) lembaga perwakilan, mencalonkan hanya di 1 (satu) daerah
pemilihan, dan mendapat dukungan minimal dari pemilih dari daerah pemilihan yang
bersangkutan untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah sedang persyaratan
untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah: menjadi anggota Partai Peserta Pemilu, dicalonkan hanya 1
(satu) lembaga perwakilan, dan dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
Hak pilih warga negara, baik hak memilih maupun hak dipilih dalam Pemilihan
Umum merupakan salah satu substansi penting dalam perkembangan demokrasi dan
sekaligus sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam
pemerintahan. Dengan demikian, hak pilih adalah hak warga negara untuk memilih
wakil dan dipilih sebagai wakil di lembaga perwakilan rakyat melalui Pemilihan Umum
yang demokratis. Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak yang dilindungi dan
diakui keberadaannya dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Oleh karena itu setiap warga negara
yang akan menggunakan hak tersebut dalam setiap Pemilihan Umum harus terbebas
dari segala bentuk intervensi, intimidasi, diskrimininasi dan segala bentuk tindak
kekerasan yang dapat menimbulkan rasa takut untuk menyalurkan haknya dalam
memilih dan dipilih dalam setiap proses Pemilihan Umum. Adapun ketentuan yang
mengatur adalah Pasal 28C ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan ayat (5) Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sedangkan dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan
Pasal 43 ayat (1) yang menjadi dasar hukum bagi setiap warga negara Indonesia untuk
memiliki kebebasan untuk ikut serta menentukan wakil-wakil mereka, baik untuk duduk
dalam lembaga legislatif maupun dijadikan sebagai pimpinan lembaga eksekutif yang
dilakukan melalui Pemilihan Umum.
39
Sejalan dengan uraian tersebut dapat dimaknai bahwa hak dipilih sebagai bagian
dari hak pilih (hak pilih pasif) merupakan hak asasi manusia yang dapat
diimplementasikan dalam Pemilihan Umum yang demokratis. Oleh karena itu setiap
warga negara dalam menyalurkan dan menggunakan hak tersebut harus bebas dari
intervensi, intimidasi, dan diskriminasi serta bebas dari segala bentuk tindak kekerasan
yang dapat menghambat dan bahkan meniadakan hak tersebut.
79
Hans Kelsen, 2013, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (Penerjemah: Raisul Muttaqien dari
Hans Kelsen, 1971, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel), Bandung, Cet.
VIII, hlm 414.
80
Hans Kelsen, 2013, Ibid.
40
penduduk Yunani Kuno tidak banyak (sekitar 300.000 orang) dan wilayahnya pun
tidak luas (sekitar 2.000 Km2). Wilayah Yunani Kuno hanya merupakan negara kota
(city state) atau lebih dikenal dengan istilah Polis.
Sistem demokrsi Yunani Kuno, baik ketika yang berkuasa Solon (638-558 SM)
maupun Cleisthenes (570-508 SM) pemilihan langsung untuk jabatan-jabatan negara
hanya melibatkan kaum laki yang telah berusia 20 tahun. Kaum perempuan dan budak
belian tidak berhak untuk ikut dalam pemilihan langsung tersebut. Namun demikian,
sebagai sebuah sistem pemerintahan demokrasi yang berlaku di Yunani Kuno tersebut
merupakan cikal bakal terhadap perkembangan demokrasi selanjutnya (demokrasi
modern). Terhadap perkembangan tersebut, menurut Miriam Budiardjo bahwa dalam
negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi merupakan demokrasi
berdasarkan perwakilan (representative democracy). Bahkan terlebih dahulu hal
tersebut telah disampaikan oleh C.F. Strong bahwa kehendak ini dapat diekspresikan
melalui pemilihan yang representatif. Perkembangan cara demokratis ini di zaman
modern telah diatur dalam batasan-batasan negara bangsa yang menghendaki adanya
sistem yang representatif.
Dengan kata lain, kemajuan demokrasi politik terjadi dengan jalan memperluas
hak pilih yang terus bertambah dan eksperimen dalam memanipulasi ukuran, bentuk
dan distribusi jumlah pemilih dengan harapan memperoleh lembaga legislatif yang
benar-benar mewakili pendapat para pemilih. Terkait perkembangan demokrasi yang
berlangsung pada zaman Yunani Kuno dan bandingannya dengan demokrasi modern
pada Abad Pertengahan, C.F. Strong menilai bahwa sejauh menyangkut Yunani Kuno,
kekuatan itu timbul dari sebab- sebab yang sangat berbeda dengan kekuatan yang ada
pada zaman modern. Dalam hal ini, Abad Pertengahan dapat dikatakan menjadi satu
periode panjang yang benar-benar mengalami kemunduran untuk kepentingan politik
demokratis, kecuali adanya beberapa usaha yang tidak jelas dengan adanya persamaan
di beberapa kota Abad Pertengahan di Italia sampai masa Renaissance mengantarkan
era modern.
Dalam peninjauan ini, demokrasi tidak dikelirukan dengan semangat republik
sebagaimana terjadi pada contoh masa-masa awal Konfederasi Swiss atau seperti kasus
di Inggris pada Abad XIV dan Abad XV dengan masuknya suatu elemen dalam
Commons untuk membantu sokongan dana terhadap raja karena fenomna seperti itu
41
dapat dengan mudah berdampingan dengan rezim oligarkis, bahkan rezim otokratis. 32
Dalam perkembangan selanjutnya, tuntutan hak-hak politik semakin menonjol sejalan
dengan munculnya gagasan-gagasan religius. Contoh terbaik untuk hal ini adalah
konflik dengan kerajaan di bawah pemerintahan wangsa Stuart di Inggris. Konflik ini
merupakan perjuangan untuk memperoleh hak-hak religius yang mendorong
berdirinya Koloni Inggris Baru. Perang Saudara pada rezim Raja Charles I merupakan
perang agama yang disebabkan oleh prinsip politik. Teori abstrak memainkan peran
penting dalam sejarah Abad XVIII.
Kebenarannya dapat dibuktikan dengan membandingkan dekomen Revolusi
Amerika dengan dokumen Revolusi Prancis. Ketika penulis the Declaration of
Independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan the Declaration of the Right of Man
(Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia) mengemukakan bahwa basis manusia terlahir
bebas dan sederajat, mereka berdua mencoba meletakkan landasan bagi politik praktis
dan tidak semata-mata mengajukan tuntutan persamaan seluruh umat mansia
dihadapan Tuhan, seperti yang terjadi pada pendeta-pendeta Kristen. Pengaruh teori
persamaan ini sangat kuat terhadap hak pilih karena aplikasinya yang paling nyata
terdapat pada usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan “one man one vote” (satu orang
satu suara). Sebagaimana diuraikan di atas, perkembangan hak pilih dan dipilih sebagai
bagian dari demokrasi pada Abad XIX telah berkembang.
Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan berdasarkan dirinya
atas asas-asas kemerdekaan. Dalam hal ini, paham Liberalisme Barat mengasumsikan
eksistensi “suatu badan yang terdiri dari warga negara yang secara teoretis sempurna di
antara mereka yang tidak boleh mengalami perlakuan diskriminasi di tempat
pemungutan suara”. Selanjutnya hak pilih dan hak dipilih yang sangat luas merupakan
karakteristik bagi seluruh negara konstitusional. Negara-negara yang usianya lebih tua
telah melakukan reformasi pemilihan dengan memberikan hak pilih hanya kepada
kaum dewasa atau kaum pria dewasa, sedangkan negara-negara yang belum lama
berdiri hampir selalu mencantumkan suatu pasal dalam konstitusi yang memberikan
hak pilih universal tanpa memperdulikan jenis kelamin. Dengan kalimat lain,
pencantuman hak pilih universal dalam konstitusinya merupakan jaminan terhadap hak
politik.
42
81
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, Cet.
IV, 2011, hlm 373.
82
Justifikasi pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah dinyatakan oleh Samsul Wahidin meliputi:
1) Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena Presiden dan Wakil
Presden, DPR, DPRD bahkan Kepala Desa selama ini telah dilakukan langsung, 2) Pilkada langsung
merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD
1945, Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, 3) Pilkada langsung dipandang sebagai sarana
pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civics education), 4) Pilkada langsung dipandang sebagai
sarana untuk memperkuat otonomi daerah, dan 5) Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi
proses kaderisasi kepemimpinan nasonal.
44
C. Mahkamah Konstitusi
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum
untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan
kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut
tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang
baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional
sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi
atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution. Pasal 24C Undang-Undang
Dasar Negara Tahun 194583 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara
dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden,
Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY)84.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga yudikatif selain
Mahkamah Agung. Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai
berikut: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilu. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal
10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci
sebagai berikut:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
83
UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan penyebutan atau penulisan resmi terhadap UUD 1945 yang
telah 4 (empat) kali diamandemen. Hal ini digunakan untuk membedakan UUD 1945 yang belum
diamandemen (UUD 1945) dengan UUD 1945 yang telah diamandemen (UUD Negara RI Tahun 1945).
84
Lihat Pasal 24B UUD Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
46
tahun 1945;85
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;86
3. Memutus pembubaran partai politik; dan87
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;88
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.89
1. Konsepsi Judicial Review
“Judicial Review” (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh
ekesekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian
oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang
kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks
and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power)90.
Karena itu kewenangan untuk melakukan ‘judicial review’ itu melekat pada fungsi
85
Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/ PMK/ 2005
tentang Pedoman beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, serta buku “Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang”karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., yang tidak lama lagi akan segera
diterbitkan, dimana penulis merupakan editor dari buku tersebut.
86
Untuk saat ini referensi tulisan yang berkaitan dengan Lembaga Negara, dapat dilihat pada buku ”
Sengketa Lembaga negara” yang telah diterbitkan oleh KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional).
87
Lebih jelasnya lihat dan pelajari buku karya Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. S.H., yang berjudul
”Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Kosntitusi” .
88
Pemilihan Umum yang dimaksud di sini yaitu hanya terbatas pada pengertian Pemilihan Umum anggota
Legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden saja, bukan termasuk pada Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada). Tetapi sejak UU KPU 2007 jo UU No.12 tahun 2008 pilkada masuk pemilu dan
Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang mengadili sengketa Pilkada sebagai bagian dari sengketa
Pemilu.
89
Rumusan terinci dapat merujuk pada Pasal 7B ayat (1) sampai dengan ayat (5) UUD Negara RI Tahun
1945 yang lebih dikenal dengan impeachment. Lihat juga buku ” Impeachment Presiden: Alasan Tindak
Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945” karya Hamdan Zoelva, S.H., M.H., yang telah
diterbitkan oleh Konstitusi Press belum lama ini.
90
Dalam sistem ‘judicial review’ oleh Mahkamah Konstitusi di Jerman malah ditentukan pula adanya
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji putusan Mahkamah Agung. Dengan demikian, secara
akademis, dapat dikatakan bahwa objek yang dapat diuji melalui mekanisme ‘judicial review’ oleh
hakim konstitusi itu dapat mencakup (i) legislative acts , (ii) executive acts, dan juga (iii) judicial
decisions. Jimly Asshiddiqie, Catatan Kompilasi Peraturan tentang Mahkamah Konstitusi di 45 Negara,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, belum diterbitkan.
47
hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh
hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat disebut
sebagai ‘judicial review’, melainkan ‘legislative review’.91 Judicial Review di negara-
negara penganut aliran hukum civil law biasanya bersifat tersentralisasi (centralized
system)92. Negara penganut sistem ini biasanya memiliki kecenderungan untuk bersikap
pasti terhadap doktrin supremasi hukum. Karena itu penganut sistem sentralisasi
biasanya menolak untuk memberikan kewenangan ini kepada pengadilan biasa, karena
hakim biasa dipandang sebagai pihak yang harus menegakkan hukum sebagaimana
yang tercantum dalam suatu peraturan perundangan.
Kewenangan ini kemudian dilakukan oleh suatu lembaga khusus yaitu seperti
Mahkamah Konstitusi. Di sisi lain, dalam sistem yang terdesentralisasi (desentralized
system), seperti misalnya diterapkan di Amerika Serikat, kewenangan melakukan
judicial review atas suatu peraturan dan konstitusi diberikan pada organ pengadilan
yaitu Mahkamah Agung.93 Pertimbangan untuk memberikan kewenangan ini pada
pengadilan adalah sangat sederhana, karena pengadilan memang berfungsi untuk
menafsirkan hukum dan untuk menerapkannya dalam kasus-kasus. Sedangkan dalam
sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak
mengidealkan prinsip ‘checks and balances’, pengujian semacam itu, jika diperlukan,
dianggap hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri.
Misalnya, suatu Undang-undang hanya dapat diuji oleh Presiden dan DPR yang
memang berwenang membuatnya sendiri. Usul mengenai pencabutan suatu Undang-
Undang bisa datang dari mana saja, tetapi proses perubahan ataupun pencabutan
Undang-Undang itu harus datang dari inisiatif Presiden atau DPR sebagai lembaga yang
mempunyai wewenang untuk itu. Itulah sebabnya, selama ini dianut pendapat bahwa
Mahkamah Agung berwenang menguji materi peraturan di bawah Undang- Undang,
tetapi tidak berwenang menguji materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar. Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materiel (formele
91
Salah satu contoh bentuk pengujian legislatif terhadap produk eksekutif ( executiveacts) adalah
pengujian oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU). Jika dalam satu tahun, suatu Perpu tidak mendapat persetujuan DPR, maka Perpu itu harus
dicabut oleh Presiden. Karena itu, setiap perpu yang ditetapkan oleh Presiden diharuskan segera diajukan
ke DPR untuk mendapatkan ‘legislative review’ dengan kemungkinan disetujui atau ditolak oleh DPR.
92
Daniele E. Finck, Judicial Review: The United States Supreme Court Versus the German Constitutional
Court , Boston College International & Comparartive Law Review, 1997, page 2.
93
Ibid., page.3
48
masing negara. Disebut produk legislatif karena memang dalam proses pembuatannya
terlibat peran parlemen. Kalaupun, produk legislatif tersebut tidak dilakukan
sepenuhnya oleh parlemen, setidaknya produk dimaksud ditetapkan oleh pemerintah
bersama-sama parlemen. Dalam sistem ‘civil law’ yang menganggap adanya peradilan
administrasi negara sebagai salah satu pilar penting Negara Hukum (Rechtsstaat),
keputusan administrasi negara yang tidak bersifat mengatur itu dianggap sebagai objek
pengujian oleh hakim adminitrasi Negara (tata usaha Negara). Karena itu, yang
termasuk dalam pengertian ‘judicial review’ dalam sistem ‘civil law’, hanyalah produk
pengaturan saja, yaitu mulai dari Undang-undang sampai ke peraturan-peraturan
(regels) yang ada di bawahnya. Misalnya saja, Keputusan Presiden yang bersifat
mengatur dapat dijadikan objek ‘judicial review’, tetapi Keputusan Presiden mengenai
pengangkatan dan pemberhentian pejabat – karena berisi norma yang konkrit dan
bersifat individual – tidak dapat dimintakan ‘judicial review’, tetapi oleh yang dirugikan
dapat diajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Di lingkungan negara-negara
dengan tradisi ‘civil law’ hal ini sebenarnya sudah sejak lama berkembang dengan
dimasukkannya elemen pengadilan administrasi negara menjadi salah satu pilar
konsepsi ‘Rechtsstaat’ (negara hukum) Eropa Barat. Karena itu, perkembangan
pengertian tentang mengenai fungsi Mahkamah Konstitusi yang dianggap berwenang
melakukan ‘judicial review’ terhadap peraturan, baik dalam arti ‘ legislative acts’
maupun ‘executive acts’, sama sekali terpisah dari perkembangan pengertian mengenai
jaminan keadilan bagi warga negara dalam konteks sistem peradilan tata usaha negara
sedangkan dalam sistem ‘common law’, kedua hal itu tercakup dalam perkembangan
‘judicial review’ yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Karena itu, baik di Inggris
maupun di Amerika, pengertian ‘judicial review’ yang biasa dipahami lebih luas
cakupan maknanya, yaitu termasuk gugatan berkenaan dengan norma hukum yang
konkrit dan individual seperti yang dikenal dalam sistem peradilan tata usaha negara95.
95
Jika dalam sistem ‘civil law’ peradilan tata usaha negara dianggap sebagai pilar Negara hukum
(Rechtsstaat), maka dalam system ‘common law’, ‘meskipun diakui sangat penting, menurut John
Ferejohn, Jack N. Rakove dan Jonathan Riley, “it would be a mistake to identify or equate
constitutionalism with judicial review. Empowering courts to enforce constitutional clauses is neither a
necessary nor a sufficient conditions for the development of a constitutional regime”, Constitutional
Culture and Democratic Rule, Cambridge University Prerss, 2001, hal.13.
50
96
Lihat kata pengantar Lord Brown-Wilkinson dalam M. Superstone QC and J. Goudie QC, Judicial
Review, Butterworths, London, 1992, dan F. Mount, The British Constitution Now, Mandarin, London,
1993, hal. 261. Lihat juga, John Ferejohn et.al. ibid., hal.7 dan footnote 1.
97
Pembentukan Mahkamah Konstitusi ini dapat disebut sebagai gejala abad ke-20. Indonesia baru
merupakan Negara ke-78 yang memiliki Mahkamah Konstitusi dan mengadopsikannya dalam rumusan
konstitusi. Beberapa Negara yang lebih dulu memilikinya adalah: Albania, Aljazair, Autria, Armenia,
Azerbaijan, Belgia, Belarusia, Bolivia, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Chile, Colombia, Croatia, Czech,
Denmark, Ecuador, Germany, Georgia. Hungary, Indonesia, Italy, Latvia, Lithuania, Malta, Marocco,
Mesir, Moldova, Norwegia, Perancis, Peru, Polandia, Portugal, Rumania, Russia, South Afrika, South
Korea, Slovakia, Slovenia, Spain, Swaziland, Swedia, Thailand, Turkey, dan Venezuella. Ke-45 negara
itu, ada yang menyebut mahkamah ini dengan sebutan ‘Constitutional Court’, ada yang menyebutnya
‘Constitutional Arbirage’ seperti di Belgia, dan ada pula yang tidak menyebutnya sebagai pengadilan,
melainkan dewan atau ‘Counseil Constitutionnel’ seperti di Perancis dan beberapa negara yang
dipengaruhi oleh sistem hukum Perancis. Lihat Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi di Berbagai
Negara , makalah Seminar Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002.
51
undang. Di beberapa negara, juga diterima adanya pengertian bahwa selain kewenangan
uji materiel atas undang-undang, Mahkamah Konstitusi juga berwenang menyelesaikan
sengketa antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ataupun antar Pemerintah
Daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan ataupun dalam
melaksanakan Undang-Undang Dasar.
2. Implementasi Putusan
Secara umum, beberapa putusan kontroversial terjadi dalam perkara-perkara
yang terkait dengan asas ultra petita, condotionaly uncontitutionly, pembatalan undang-
undang yang diberi batas waktu dan pencabutan hak dipilih peserta pemilu kepala
daerah.
2.1. Ultra Petita
Ultra petita ini sebenarnya hanya dikenal dalam rejim hukum perdata, artinya
tidak berlaku pada rejim hukum tata negara dan juga rejim hukum pidana. Beberapa
keputusan dalam sidang pidana hakim kadangkala menjatuhkan keputusan hukuman
pidana yang lebih tinggi daripada tuntutan jaksa. Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga peradilan di bidang tata negara, tentu tidak terikat dengan asas ultra petita.
Oleh karena itu wajar apabila Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang
kadangkala melebihi dengan apa yang diminta (petitum) oleh Pemohon. Sebagai contoh
putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian UU Ketenaga Listrikan, dan UU KKR
(Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006).
98
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 49 ayat (4) UU SDA bertentangan dengan Pasal 33
ayat (3) UUD 1945. Sebagaimana dinyatakan Pasal 49 ayat (1) pada prinsipnya pengusahaan air untuk
negara lain tidak diizinkan. Mahkamah berpendapat bahwa UU SDA telah cukup memberi persyaratan
bagi pengusahaan air untuk negara lain yang diberikan oleh Pemerintah pusat setelah mendapat
rekomendasi dari Pemerintah Daerah. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk
negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi
52
VII/2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008
serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 65. 5 Norma hukum yang terkandung dalam Pasal 12
huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 0/ 2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/ 2008.99
Bahkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009
mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT), Mahkamah Konstitusi lebih maju lagi dengan
memberikan persyaratan baru bagi pemilih dalam pemilu legislatif berupa KTP dan
Kartu Keluarga. Disini Mahkamah Konstitusi telah menempatkan posisinya bukan lagi
sebagai negatif lagislatif tetapi dapat dianggap telah melakukan fungsinya sebagai
positif legislatif.
99
norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak
konstitusional sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih
(elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana
selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan
jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai
pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
53
100
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih.
54
kurungan misalnya. Dan yang lebih ironis lagi, Mahkamah Konstitusi membebani
kesalahan calon bupati terpilih kepada calon wakil terpilih dengan alasan satu pasangan.
Hal ini jelas bertentangan dengan asas hukum ”Geen straf zonder schuld” (tiada
hukuman tanpa kesalahan) dan asas ”nullus/nemo commodum capere potest de injuria
sua propria” (tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan
pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain). Persoalan sekarang
adalah Pasal 58 f ini telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No
4/PUU-VII/2009 inkonstitusional bersyarat sebagaimana disebut di atas. 69 Disini dapat
ditafsir bahwa sejak Putusan Mahkamah Konstitusi No 4/2009 tersebut telah terjadi
perubahan norma hukum baru atas Pasal 58 f itu. Apakah dengan putusan Mahkamah
Konstitusi No 4/PUU-VII/2009 ini, calon bupati terpilih dan wakilnya dapat
diikutsertakan dalam pemungutan suara ulang. Pertanyaan ini yang sedang
diperjuangkan oleh yang bersangkutan di Mahkamah Konstitusi. Menurut penulis sudah
seharusnya demi hukum, norma hukum baru Pasal 58 f itu berlaku juga untuk pasangan
calon terpilih tersebut, tanpa perlu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi. Bertitik
tolak pada beberapa kajian putusan Mahkamah Konstitusi di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa telah terjadi perkembangan hukum ketatanegaraan di bumi
Indonesia. Mahkamah Konstitusi nampaknya menyadari benar bahwa ia tidak boleh
hanya terpaku pada bunyi formal ketentuan peraturan perundangan, namun ingin
melihat dari sisi keadilan substantif, maka Mahkamah Konstitusi lebih memposisikan
dirinya sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Sebagai penafsir konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat saja memberi catatan-catatan
penting pada suatu UU sebagai tafsir norma hukum agar sesuai dengan jiwa konstitusi.
102
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 240-242.
103
Ibid, hlm 240.
104
Ibid, hlm 242.
105
Ibid.
106
Abdul Fickar Hadjar, dkk., Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, 2003, hlm 34.
56
diberi wewenang untuk itu. Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai jenis putusan
pengadilan yang bersifat deklaratif-konstitutif tidak memerlukan pelaksana/eksekutor,
karena dengan diucapkannya putusan tersebut dalam sidang pleno Mahkamah
Konstitusi yang terbuka untuk umum secara langsung sudah memperoleh kekuatan
mengikat terhadap semua pihak yang terkait. Hal ini membawa keharusan bagi addresat
putusan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma hukum baru yang bersesuaian
dengan UUD 1945 ataupun meniadakan satu norma hukum yang lama dalam ketentuan
undang-undang yang diuji. Menurut Maruarar Siahaan, terdapat putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara pengujian undang-undang yang bersifat self-implementing dan
non-self implementing.
Putusan yang bersifat self implementing diartikan bahwa putusan akan langsung
efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan
berupa langkah-langkah implementasi perubahan undang-undang yang diuji. Dalam hal
ini, dengan diumumkannya putusan Mahkamah Konstitusi dalam sidang terbuka untuk
umum dan diumumkan dalam Berita Negara sebagaimana norma hukum baru, dapat
segera dilaksanakan. Sementara, ada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat non-
self implementing, karena implementasi kebijakan publik yang baru tersebut
membutuhkan dasar hukum yang baru sebagai dasar pelaksanaan kebijakan publik yang
ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Perubahan hukum yang terjadi dengan
putusan atas undang-undang yang diuji Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan
proses pembentukan undang-undang yang baru sesuai dengan politik hukum yang
digariskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam putusan yang bersifat non-self
implementing, akan mengambil langkah-langkah hukum untuk menindaklanjuti putusan
Mahkamah Konstitusi.
Putusan yang bersifat non-self implementing tidak selalu mudah untuk
diimplementasikan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah membentuk hukum atau
instrument hukum baru dengan menyatakan satu undang-undang, pasal, ayat, dan/atau
bagian dari undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak
didukung dengan suatu instrumen yang dapat memaksakan bahwa putusan tersebut
harus dilaksanakan, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara-cara lain
yang berada di bawah kendali Mahkamah Konstitusi.
57
107
Khairul Fahmi, “Pergeseran Pembatasan Hak Pilih dalam Regulasi Pemilu dan Pilkada”, Jurnal
Konstitusi, Terdapat dalam https://media.neliti.com/media/publications/229103-pergeseran- pembatasan-
hak-pilih-dalam-re-b6067023.pdf , hlm 768, diakses tanggal 27 Oktober 2019
58
108
Zainal Arifin, Lembaga Negara Independen ‘Dinamika Perkembangan dan Urgensi Penataannya
Kembali Pasca Amandemen Konstitusi’, Cetakan Ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Mei 2016,
Hlm. 52.
109
Ibid., Hlm. 53.
110
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Cetakan Ke-1, Sinar Grafika, Jakarta,
59
Pada prinsipnya, semua bentuk pengaturan yang berasal dari kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang, sudah sepatutnya tunduk kepada undang-undang.111
Undang-undang telah menetapkan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan,
yakni harus memuat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. King Faisal Sulaiman
dalam buku berjudul ‘Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujiannya’
serupa dengan lampiran penjelasan yang diberikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 sebagai berikut112:
a. Landasan Filosofis
Memuat pertimbangan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi
suasana kebatinan serta falsafah bangsa. Bersumber dari Pancasila 113 dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, memuat nilai moral dan etika
bangsa, serta didasarkan pada peradaban, cita kemanusiaan dalam pergaulan hidup,
serta cita kebenaran, cita keadilan, dan cita kesusilaan.
b. Landasan Sosiologis
Memuat perihal yang merupakan kebutuhan dalam hidup bermasyarakat secara
umum. Sehingga, peraturan yang diciptakan dapat diterima secara wajar dan
memiliki dayaberlaku efektif. Berdasarkan teori pengakuan (annerken
nungstheorie), kaidah hukum berlaku didasarkan dari penerimaan masyarakat di
mana hukum itu berlaku.
c. Landasan Yuridis107
Memuat dasar peraturan sebelumnya guna menentukan peraturan yang akan
dirumuskan ialah sebagai peraturan yang menggantikan, merubah, atau mengisi
kekosongan hukum serta tidak bertentangan dengan peraturan yang telah ada
sebagai legalitas mendasar yang dimiliki. Adapun urgensi landasan yuridis sebagai
berikut:
1. Keharusan adanya kewenangan yang melekat pada pembuat peraturan;
2. keharusan adanya kesesuaian jenis dengan muatan yang diaturnya;
3. keharusan mengikuti tata cara tertentu yang telah ditentukan;
4. keharusan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya.
Norma hukum disebut bersifat abstrak ketika rumusannya berisi nilai baik dan
buruk sehingga harus dilarang, disuruh, ataupun diperbolehkan. Norma tidak secara
langsung dikaitkan dengan subjek, keadaan atau peristiwa konkret tertentu. Menurut
kamus hukum Fockema Andreae, bahwa hukum sebagai “het geheel van regels, van
normen aangaande enig aspect van het gemenenschapsleven” (keseluruhan peraturan-
peraturan, norma-norma yang semata-mata terkait dengan aspek kehidupan
masyarakat). Norma hukum dimaksud, yakni peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga pemerintah atau pejabat yang berwenang yang mempunyai kekuatan mengikat
umum. Konsepsi ilmu perundang-undangan menggambarkan suatu peraturan
perundang- undangan yang memuat peraturan hukum (rechtsregels) harus memenuhi
unsur subyek, karakter, obyek, dan persyaratan. Unsur tersebut menunjukkan bahwa
kalimat normatif yang dapat dimuat dalam suatu peraturan yang sasarannya adalah
61
“The relation existing between a norm which governs the creation or the content
of another norm and the norm which is created can be presented in a spatial
figure. The first is the “superior” norm; the second the “inferior”. If one views
the legal order from this dynamic point of view, it does not appear, as it does
from the static point of view, as a system of norms of equal rank, standing one
beside the other, but rather as hierarchy in which the norms of the constitution
from the top most stratum. In this functional sense, ‘constitution’ means those
norms that determine the creation, and occasionally to some extent the content,
of the general legal norms which in turn govern such individual norms as
judicial decisions”.115
Hubungan antara satu norma tingkatan lebih tinggi dengan norma lebih rendah,
bahwa di dalam norma lebih tinggi ditemukan dasar keabsahan aturan lebih rendah.
Satu norma hukum tercipta dengan cara yang ditentukan oleh norma hukum lainnya,
disebut sebagai prinsip dinamis yang sempurna dan merupakan prinsip validitas hukum
positif. Norma umum itu menjadi sah karena dibentuk sesuai dengan konstitusi dan
keabsahan konstitusi diperoleh dari norma dasar (grundnorm).
2. Hierarki Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan, isinya tidak boleh bertentangan dengan isi
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya, sebagai
berikut:116
114
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan HAM RI, Loc. Cit., Hlm. 30.
115
Terjemahan: “Hubungan yang ada antara norma yang mengatur penciptaan atau isi norma lain dan
norma yang dibuat dapat disajikan dalam bentuk spasial. Yang pertama adalah norma "superior"; yang
kedua “inferior”. Jika seseorang melihat tatanan hukum dari sudut pandang dinamis ini, ia tidak muncul,
seperti halnya dari sudut pandang statis, sebagai suatu sistem norma dengan pangkat yang sama, berdiri di
samping yang lain, tetapi lebih sebagai hierarki di mana norma konstitusi dari strata paling atas. Dalam
pengertian fungsional ini, 'konstitusi' berarti norma-norma yang menentukan kreasi, dan kadang-kadang
sampai batas tertentu isi, dari norma hukum umum yang pada gilirannya mengatur norma-norma individu
tersebut sebagai keputusan pengadilan”.
116
Amiroeddin Syarif, Perundang-Undangan Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatnya, Cetakan Ke-2, PT.
62
BAB III
KONSTITUSIONALITAS HAK DIPILIH
MANTAN NARAPIDANA KORUPSI
Pemohon:
Nama : Jumanto
Warga Negara : Indonesia
Alamat : Dusun Siyem, RT 01/ RW 04, Desa Sogaan, Pakuniran,
robolinggo;
Atas hukuman tersebut, keduanya telah menjalani hukuman dan telah kembali
beraktivitas menjadi masyarakat biasa. Dalam penelusuran penulis, Jumanto adalah
pemohon dalam pengujian undang-undang tersebut yakni juga sebagai warga negara
Republik Indonesia yang pernah dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan tindak
pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pid.Sus/2010 tanggal 9 Juni 2010. Dalam
putusan tersebut Pemohon dalam hal ini Jumanto dijatuhi pidana penjara karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun.
Di dalam putusan tersebut, penulis ketahui tidak ada hukuman tambahan yang melarang
Pemohon untuk aktif dalam kegiatan politik, dipilih atau memilih dalam suatu
pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota).
Jumanto saat ini telah dibebaskan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum
dan hak asasi manusia. Adapun Jumanto yang saat ini telah aktif dalam kegiatan
bermasyarakat saat ini di tahun 2015 bermaksud untuk mencalonkan diri menjadi
Bupati di Kabupaten Probolinggo. Namun demikian dengan adanya aturan yang
terdapat dalam Undang-Undang117 yang diuji tersebut menjadi mustahil bagi Jumanto
untuk mencalonkan diri dalam proses pemilihan kepala daerah (bupati atau wakil
bupati) di Kabupaten Probolinggo. Disamping itu, ada pemohon lainnya yakni Fathor
Rasyid selaku pemohon warga negara Republik Indonesia yang juga pernah dinyatakan
bersalah serta terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 2190
K/Pid.Sus/2010 tanggal 9 November 2010. Dalam putusan tersebut Pemohon dijatuhi
pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
lebih dari 5 (lima) tahun.
Di dalam putusan tersebut, dalam penelusuran Penulis pun tidak ada hukuman
tambahan yang melarang Pemohon untuk aktif dalam kegiatan politik, dipilih atau
memilih dalam suatu pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota). Fathor
Rasyid saat ini telah dibebaskan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan hak
asasi manusia. Diketahui, Fathor Rasyid saat ini juga bermaksud untuk mencalonkan
diri menjadi Bupati di Kabupaten Situbondo. Namun demikian dengan adanya aturan
117
Yang dimaksud ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,dan Walikota
menjadi Undang-Undang.
66
yang terdapat dalam Undang-Undang yang diuji tersebut menjadi mustahil bagi
Jumanto untuk mencalonkan diri dalam proses pemilihan kepala daerah (bupati atau
wakil bupati) di Kabupaten Situbondo. Sebagai warga negara, Para Pemohon di dalam
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan sadar untuk menjunjung hukum dan
pemerintahan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sepengetahuan penulis berdasarkan penelusuran di Internet, Fathor Rasyid
pernah duduk dalam jabatan di pemerintahan dengan menjadi wakil rakyat di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah118. Dalam menjalankan perannya tersebut Fathor Rasyid
selaku pemohon selalu berusaha menjujung pemerintahan agar dapat menjalankan
fungsinya dalam melayani masyarakat, begitu pun ketika Fathor Rasyid dinyatakan
bersalah oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht),
pemohon secara sadar dan penuh tanggung jawab menjalani hukuman sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Pemohon yang telah menjalani hukuman pidana sesuai dengan
aturan, kemudian kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk beraktifitas dan
menjalani kehidupan sehari-hari dimana melakukan kegiatan seperti sediakala seperti
sebelum menjalani hukuman pidana penjara. Hukuman pidana telah mengajarkan
kepada Fathor Rasyid untuk melakukan instrospeksi dan memperbaiki diri dalam
berperilaku sehari-hari. Hal ini sesuai dengan asas dan tujuan pemidanaan yang
terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan. Bahwa pada saat ini Fathor Rasyid
bermaksud untuk kembali berperan dalam membangun daerahnya dalam pemerintahan
dengan menjadi calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) dalam hal ini
adalah menjadi Bupati di Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Probolinggo.
Namun demikan, hak keduanya menjadi terhalang dengan adanya norma yang
terdapat dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang No 8 Tahun 2015, yang berbunyi:
“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... (g)
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,”
118
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-1200124/rumah-mantan-ketua-dprd-jatim-digeledah-kejati-
di dalam penelusuran Penulis, Fathor Rasyid merupakan mantan Ketua DPRD Jawa Timur. Pada Tahun
2009, Rumah mantan Ketua DPRD Jawa Timur, Fathorrasjid di Jalan Sucipto No 21, Situbondo
digeledah oleh Kejaksaan Tinggi Jatim, Rabu (9/9/2009). Penggeledahan rumah Fathor ini terkait kasus
Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM), diakses pada 1 April 2019.
67
“Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: ... (k)
surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari
Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon,
sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf
g.”
tidak adanya kepastian hukum terhadap diri pemohon. Oleh karena itu Pasal 7 huruf g
dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang No 8 Tahun 2015 jelas-jelas
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan berlakunya norma dalam pasal 7
huruf g dan pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang No 8 Tahun 2015, Para Pemohon
menganggap telah merugikan hak pemohon untuk dipersamakan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan, di mana Jumanto dan Fathor Rasyid walaupun pernah
dinyatakan bersalah sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, namun
di dalam putusan tersebut tidak ada amar yang menyatakan Pemohon dilarang untuk
aktif dalam kegiatan politik, dipilih dan memilih dalam suatu jabatan politik tertentu.
Namun demikian, dengan adanya aturan dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang
No 8 Tahun 2015 jelas-jelas melanggar hak konstitusional Pemohon yang telah dijamin
dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Berlakunya norma dalam Pasal 7
huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang No 8 Tahun 2015 telah
membatasi hak konstitusional Pemohon dalam rangka memajukan dirinya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma dalam Undang-Undang tersebut sudah
menghukum seseorang tanpa adanya proses peradilan yang sah. Walaupun Jumanto dan
Fathor Rasyid pernah dinyatakan bersalah dan telah menjalani hukuman atas
perbuatannya, sehingga saat ini Jumanto dan Fathor Rasyid menjadi warga yang bebas
dan merdeka. Jumanto dan Fathor Rasyid sebagai warga negara yang bebas dan
merdeka itulah hak dan kedudukan Jumanto dan Fathor Rasyid telah dipersamakan
dengan warga negara yang lain, tidak boleh dibeda-bedakan. Jumanto dan Fathor
Rasyid diberikan hak untuk kembali beraktivitas sehari-hari dalam rangka untuk
kebaikan diri dan masyarakat sekitarnya.
Pemohon sebagai warga yang aktif dalam kegiatan sosial memiliki harapan agar
dirinya dapat bermanfaat bagi masyarakat luas di daerahnya. Namun demikian aturan
dalam kedua pasal a quo yang diuji telah secara jelas dan tegas menghilangkan hak
Pemohon dalam memajukan dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu pasal 7 huruf g dan Pasal
45 huruf k Undang-Undang No 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang No 8 Tahun 2015 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28J ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon
69
menganggap, dengan berlakunya norma dalam pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2)
huruf k Undang-Undang No 8 Tahun 2015, telah melenyapkan hak konstitusional
pemohon untuk mendapatkan adanya kepastian hukum sebagaimana diberikan oleh
norma Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Norma pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang No 8
Tahun 2015, telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon yakni hak untuk
mendapatkan keadilan dan kepastian hukum yang merupakan konsekuensi dari
diakuinya asas bahwa negara Indonesia adalah “negara hukum” sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang secara eksplisit ditegaskan
lagi oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pemohon sebagai warga
negara Indonesia diberikan hak yang sama dalam pemerintahan dimana hak tersebut
menjadi hak pemohon untuk duduk dalam pemerintahan, salah satunya adalah menjadi
kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota).
Sayangnya, dengan adanya aturan dalam Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2)
huruf k Undang-Undang No 8 Tahun 2015 telah menghilangkan hak Pemohon tersebut,
karena Pemohon pernah dipidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun.
Untuk itulah hak Pemohon menjadi sirna untuk dapat duduk dalam pemerintahan,
padahal hak tersebut telah diatur di dalam konstitusi. Oleh karena itu, pemohon
menganggap aturan yang terdapat dalam pasal 7 huruf g Undang-Undang No 8 Tahun
2015 telah bertentangan dengan pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Perkara No. 46/PUU-XIII/2015 diajukan oleh Fathor
Rasyid dan Jumanto selaku para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g dan
Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang No 1/2015 telah merugikan hak
konstitusionalnya untuk ikut serta berpartisipasi sebagai calon dalam Pilkada.
Dalam permohonannya para pemohon mengakui pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih. Adapun bunyi norma sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 huruf g dan Pasal 45
ayat (2) huruf k Undang-Undang 1/2015 adalah bunyi norma yang telah ada sejak
aturan Pilkada sebelumnya baik itu dalam UU 32/ 2004 juga dalam Undang-Undang
perubahan keduanya yakni Undang-Undang No 12/2008. Norma yang sama pun ada
dalam Undang-Undang No 22/2014 bahkan dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2012
70
Daerah serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang No 12/2008. Dalam amar Putusan No.
4/PUU-VII/2009 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal-pasal a quo
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
secara bersyarat (conditionally unconstitutional) sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk
jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya
hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii)
dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan
kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku
kejahatan yang berulang-ulang120. Diluar hal tersebut diatas, terkait Pasal 7 huruf g dan
Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang No 1/2015 tersebut telah dilakukan revisi
secara terbatas dalam Undang-Undang No 8/ 2015.
Kedua pasal a quo telah direvisi menjadi Pasal I angka 6 tentang perubahan
Pasal 7 dan angka 27 tentang perubahan Pasal 45 Undang-Undang No 8/2015. Untuk
Pasal I angka 27 tentang perubahan Pasal 45 tidak mengubah norma yang telah ada
sebelumnya baik itu norma dalam batang tubuh berikut juga penjelasannya, sedangkan
untuk Pasal I angka 6 tentang perubahan Pasal 7 huruf g Undang-Undang No 8/2015
terdapat perubahan dalam penjelasannya yang menyatakan “Persyaratan ini tidak
berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima)
tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan
jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan
secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta
bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena
alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini”. Adapun norma perubahan penjelasan
pasal a quo adalah suatu bentuk norma yang sifatnya konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional) sebagaimana juga diatur dalam penjelasan Pasal 12 huruf
g Undang-Undang No 8/2012. Perubahan dalam penjelasan Pasal 7 huruf g tersebut
dimaksudkan sesuai dengan filosofi yang terkandung dalam Putusan Mahkamah
120
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII /2009,
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 24 Maret
2009, hlm 84.
72
Konstitusi No. 4/PUU-VII/2009 dimana bahwa benar memang norma tersebut memang
semata-mata diperuntukkan agar masyarakat dapat memiliki pemimpin yang memiliki
rekam jejak (track record) yang tidak tercela.
Namun agar tidak terjadi pelanggaran hak konstitusional perlu penambahan
klausula sebagaimana bunyi dalam penjelasan Pasal 7 huruf g agar rakyat dapat secara
kritis menilai calon yang akan dipilihnya, sehingga perlu ada ketentuan bahwa bagi
calon yang pernah menjadi terpidana karena tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih harus menjelaskan secara terbuka kepada publik
tentang jati dirinya yang demikian dan tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan
latar belakang dirinya. Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat perlu
dipersyaratkan bahwa yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang
berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi kembali ke masyarakat sekurang-
kurangnya selama 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidana penjara
yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme
dalam Pilkada. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Dengan demikian penambahan klausula tersebut
dalam bagian penjelasan yang merupakan satu kesatuan dengan pasal 7 huruf g adalah
suatu bentuk perwujudan norma hukum yang tidak lepas dari sisi moralitas yang
mendasarinya yakni keadilan, karena “kehadiran moral dalam hukum dilambangkan
oleh keadilan”121 sehingga sebenarnya adalah tidak tepat lagi jika pemohon beralasan
bahwa pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang No 1/2015 telah
merugikan hak konstitusional dari pemohon, karena pasal a quo telah direvisi dalam
Undang-Undang No 8/2015 sehingga normanya menjadi lebih lengkap dan tidak
merugikan bagi warga negara yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjada lebih dari 5 (lima) tahun untuk ikut serta maju sebagai
calon pilkada. Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa terkait Pasal 7
huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k.
121
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, hlm
55.
73
3. Amar putusan :
Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II ditolak.
4. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi:
a. Telah merupakan praktik yang diterima umum bahwa ada suatu standar moral
tertentu yang dipersyaratkan bagi setiap orang yang akan memangku jabatan
dalam pemerintahan. Secara umum, salah satu dari standar moral tersebut adalah
bahwa seseorang tidak pernah dipidana.
b. Seseorang dapat dipidana bukan semata-mata karena melakukan tindak pidana
yang mengandung unsur kesengajaan (dolus), baik dalam hal kejahatan maupun
pelanggaran, melainkan juga karena kealpaan (culpa), dalam hal ini kealpaan
ringan (culpa levis). Dalam kealpaan demikian sesungguhnya tidak terkandung
unsur niat jahat (mens rea). Oleh karena itu, orang yang dipidana karena
kealpaannya pada hakikatnya bukanlah orang yang jahat, sehingga syarat “tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”,
sebagaimana tersurat dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf
d UU MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, dan
Pasal 13 huruf g UU BPK tersebut, jika diartikan mencakup pula tindak pidana
yang lahir karena kealpaan, maka penafsiran demikian sesungguhnya tidak
sepenuhnya sejalan dengan tujuan dibuatnya syarat itu yaitu menentukan suatu
standar moral yang bersifat umum bagi seseorang yang hendak menduduki
suatu jabatan publik. Sebab, pemidanaan terhadap seseorang karena suatu
perbuatan kealpaan sesungguhnya tidaklah menggambarkan adanya moralitas
kriminal pada diri orang itu melainkan semata-mata karena kekuranghati-
hatiannya, dalam hal ini kekuranghati-hatian yang berakibat timbulnya perbuatan
yang dapat dipidana.
c. Jika syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih”
dijadikan sebagai standar moral bagi seseorang yang hendak memangku suatu
jabatan publik, maka syarat tersebut hanya dapat diterima apabila yang dimaksud
76
hanya jika :
Rumusan dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU
MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal
13 huruf g UU BPK tersebut tidak mencakup tindak pidana yang timbul
karena kealpaan ringan (culpa levis), meskipun ancaman pidananya 5
(lima) tahun atau lebih;
Rumusan dalam Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU
MK, Pasal 7 Ayat (2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, Pasal
13 huruf g UU BPK tersebut tidak mencakup kejahatan politik [dalam
pengertian sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 2) di
atas].
Pemohon a quo lebih tepat melalui proses legislative review oleh pembentuk
undang-undang.
i. Mahkamah berpendapat pentingnya pembentuk undang-undang memperhatikan
dengan sungguh-sungguh keharmonisan suatu undang- undang baik secara
internal maupun eksternal, dan juga secara horizontal antar berbagai undang-
undang yang berisikan persyaratan untuk jabatan publik tertentu. Dalam
hubungan ini, mengingat kekhususan-kekhususan karakter dalam jabatan-jabatan
publik tertentu menyebabkan tidak semua jabatan publik dapat demikian saja
ditentukan persyaratannya dengan menggunakan rumusan norma yang bersifat
umum. Oleh karena itu perlu dilakukan pembedaan persyaratan antara:
k. Pasal 6 huruf t UU Pilpres, Pasal 16 Ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 Ayat
(2) huruf d UU MA, Pasal 58 huruf f UU Pemda, dan Pasal 13 huruf g UU
79
BPK tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan a quo tidak
cukup beralasan dan karenanya harus dinyatakan ditolak.
2. Tanggapan:
Terhadap putusan tersebut, terdapat seorang hakim yang mempunyai pendapat
berbeda (dissenting opinion) yaitu Abdul Mukthie Fadjar, yang pada pokoknya
menyatakan: pertimbangan moral dan demi kredibilitas justru menimbulkan
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang disebabkan oleh inkonsistensi
pembentuk undang-undang dalam merumuskan klausula serupa sebagai persyaratan
untuk menduduki berbagai jabatan publik di negeri ini, maka yang “seolah-olah”
konstitusional justru menjadi inkonstitusional. Sebagai akibat dari ketidakkonsistenan
atau barang kali penggunaan standar moral yang ganda, maka Pemohon (Muhlis Mutu)
bisa menjadi anggota DPRD Kabupaten Takalar, tetapi sungguh ironis bahwa wakil
rakyat tersebut justru tidak bisa menjadi calon kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah. Apakah dengan demikian, berarti bahwa standar moral untuk anggota DPR,
DPD, dan DPRD lebih rendah dari pada standar moral untuk calon kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah. Ketidakkonsistenan dan penggunaan standar moral
yang ganda akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, yang berarti
bahwa undang-undang yang memuat materi muatan yang demikian bertentangan
dengan konstitusi [vide Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Seharusnya Mahkamah
mengabulkan permohonan Pemohon, sebagai upaya pembelajaran agar pembentuk
undang-undang lebih cermat dan hati-hati, serta tidak ambivalen dalam membuat suatu
undang-undang. Sebab jika tidak, justru akan memelihara “ketidakadilan dan
ketidakpastian hukum”. Selama klausula rumusan yang demikian masih beragam,
seyogyanya ada semacam “moratorium” untuk tidak memberlakukannya.
Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga Negara Republik
Indonesia yang memenuhi syarat: tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dianggap
oleh Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D
ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945;
Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28C ayat (1)
Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 28D ayat (1)
81
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28D ayat (3)
Setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
3. Amar putusan :
Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat
(1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4836) serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional);
Menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat
(1) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4836) serta Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi
syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected
officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun
sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan
terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
82
b. Bahwa dari perspektif moralitas hukum, yaitu keadilan, rumusan norma yang
demikian meskipun telah memenuhi persyaratan prosedural, tidak serta merta
dapat dikategorikan sebagai legal policy yang tidak dapat diuji
konstitusionalitasnya sebagaimana keterangan Pemerintah, karena norma hukum
a quo jelas tidak memenuhi rasa keadilan. Terlebih lagi jika dibandingkan
dengan kebijakan hukum berupa amnesti terhadap para anggota PRRI/Permesta
dan GAM yang pada waktu itu juga telah melakukan tindak pidana yang cukup
berat ancaman hukumannya menurut hukum positif Indonesia. Demikian pula
jika dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang
83
b. ..
g. ..
3. Amar putusan :
- Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima sepanjang mengenai
Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
4. Pandangan Penulis:
a. Persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh
Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU- VII/2009 tanggal 24 Maret 2009,
adalah semata-mata persyaratan administratif. Oleh karena itu, sejak tanggal 24
Maret 2009, rezim hukum Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan UU 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya
86
berakhir, dan sebagai gantinya maka sejak saat itulah di seluruh wilayah hukum
Republik Indonesia berlaku tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 tentang mantan
narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan
Mahkamah Nomor 14- 17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009. Norma
baru yang lahir karena tafsir baru tersebut bersifat erga omnes.
Persyaratan pada Pasal 58 huruf h adalah wajar dan dapat diterima oleh akal
sehat, oleh karena dipandang dari segi sosiologis dan akseptabilitas calon hal itu untuk
menghindari kesalahan pemilih agar tidak memilih calon kepala daerah yang tidak
diinginkan.
b. M. Arsyad Sanusi
Sebagai pengawal demokrasi, Mahkamah juga harus menghargai demokrasi
yang sudah tumbuh mekar di daerah otonom sebagai akibat arus balik dari sentralisme
menuju desentralisme yang ditandai dengan pemilihan kepala daerah langsung.
Pasangan calon tertentu yang mendapat dukungan suara terbanyak dalam pesta
demokrasi di daerah haruslah juga menjadi pertimbangan Mahkamah dengan tetap
memberi kesempatan kepada Pemohon untuk mengikuti pemungutan suara ulang
dengan merujuk tafsir baru dari Mahkamah atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008. Setelah ada tafsir baru dari
Mahkamah, rakyat haruslah tetap diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya
dalam pemungutan suara ulang sebagai cermin bahwa Mahkamah adalah pengawal
demokrasi dan pelindung hak asasi, yakni hak untuk memilih dan dipilih.
2. Objek Permohonan:
Pengujian Materiil Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016).
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang saat ini menjabat sebagai
Gubernur Gorontalo Periode 2012-2017 dan masih mempunyai kesempatan maju
menjadi Calon Gubernur untuk satu periode lagi, ataupun menjadi Calon Wakil
Gubernur dalam pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara serentak. Pemohon
88
merupakan terdakwa pada Pengadilan Negeri Gorontalo yang pada awal bulan Agustus
2016 mendapat putusan kasasi yang isinya menghukun Pemohon dengan pidana 1 (satu)
tahun penjara dengan masa percobaan 2 (dua) tahun. Bahwa semula, berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU- XIII/2015 tertanggal 9 Juli 2015, yang
menyatakan ketentuan Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 inkonstitusional bersyarat,
Pemohon yang pernah didakwa atas tuduhan melanggar Pasal 317 ayat (1) KUHP
dengan ancaman pemidanaan kurang dari 5 (lima) tahun, masih dapat mencalonkan diri
untuk satu kali periode lagi. Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 7 ayat (2)
huruf g UU 10/2016, Hak Konstitusional Pemohon telah secara spesifik dan potensial
pasti menjadi terhalang untuk maju dipilih menjadi kepala daerah, oleh karena frasa:
”….karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau
lebih” yang semula terdapat dalam Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 menjadi
dihapus atau ditiadakan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang dimohonkan
pengujiannya.
3. Alasan Permohonan
Berdasarkan penelusuran penulis, dalam UU 8/ 2015 terdapat ketentuan larangan
mencalonkan diri kepada seseorang untuk menjadi kepada daerah yang pernah dihukum
dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau lebih sebagaimana diatur dalam Pasal 7
huruf g, yang mana pasal a quo telah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi dan
dalam putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 7 huruf
g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai
dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan
kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; Berdasarkan putusan Nomor
42/PUU-XIII/2015, Pemohon selaku Gubernur Petahana masih dapat maju
mencalonkan diri untuk satu periode lagi, meskipun terhadap diri Pemohon sedang
menghadapi permasalahan hukum di Pengadilan Negeri Gorontalo, dengan tuntutan
pidana berdasarkan Pasal 317 ayat (1) KUHP yang ancaman pemidanaannya kurang
89
dari 5 (lima) tahun; Lalu ketentuan tersebut di atas diubah lagi oleh Pembentuk
Undang- Undang dengan memberlakukan UU 10/2016, yang dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf g memuat norma baru yang berbunyi: “tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau
bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”;
Bahwa implementasi norma larangan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016
telah dimuat dan diberlakukan dalam PKPU No 5 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015
tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.(Bukti P-5), sebagaimana dimuat dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf f, yang selengkapnya berbunyi:
Pasal 4 ayat (1):
“Warga Negara Indonesia dapat menjadi Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
f. tidak berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”;
Pemohon mendalilkan, pemberlakuan frasa “tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi
mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana” dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU
10/2016, yang dijadikan landasan serta acuan penyelenggaraan Pemilihan Kepala
Daerah Serentak Tahun 2017, adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945, bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”, yang didalam
menyelenggarakan kehidupan bernegara selalu bersandar pada hukum yang
berkepastian dan berkeadilan; Bahwa menurut dalil Pemohon, dengan diberlakukannya
ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yang menghapus frasa : ”….karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang
semula terdapat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 telah memperluas cakupan tindak
pidana, yang semula dibatasi hanya terhadap perbuatan pidana yang diancam dengan
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, diubah menjadi seluruh tindak pidana, sekalipun
90
AMAR PUTUSAN:
(1)Mengadili: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
91
(2)Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
dalam norma Undang-Undang a quo tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun
atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan
tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan
politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga Pasal a quo
selengkapnya adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana
yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian
suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya
karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang
sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”;
(3) Menyatakan Pasal 163 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang kata “terdakwa” tidak dimaknai “terdakwa
92
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih atau karena melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana
terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau
tindak pidana karena melakukan perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana
politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana
dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang
berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”.
(4)Menyatakan Pasal 163 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang kata “terpidana” dalam norma Undang-Undang
a quo tidak dimaknai: “terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih atau karena melakukan tindak
pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana makar, tindak pidana
terhadap keamanan negara, dan/atau tindak pidana karena melakukan perbuatan
lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali tindak
pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya
mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”.
4. Pandangan Penulis:
Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 terkait
pencalonan kepala daerah mantan terpidana dapat mencederai demokrasi masyarakat
lokal karena tidak mampu menggeser calon-calon yang berpotensi melakukan kejahatan
serta melakukan pelanggaran hukum dalam kompetisi pilkada. Dampak Putusan
Mahkamah Konstitusi 71/PUU-XIV/2016 Terhadap Pemilihan Kepala Daerah.
93
Kerangka konseptual pilkada oleh rakyat yang dibangun bukan hanya terkait erat
dengan praktik desentralisasi dan otonomi daerah, melainkan juga berkolerasi positif
terhadap terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis, pemberdayaan dan
kesejahteraan rakyat. Meskipun secara teoritis argumentasi tersebut bisa diperdebatkan,
pilkada langsung merupakan prasyarat bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang
partisipasif, transparan, dan akuntabel (good governance). Namun, berhasil tidaknya
sangat tergantung pada komitmen para stakeholders (Para pemangku kepentingan)
terkait dalam meminimalisasi kecenderungan perilaku menyimpang. Demokrasi
substansif menyongsong pilkada 2017 dan pemilu nasional 2019 perlu dibangun.
Muaranya ada di perilaku yang teladan penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan
pemilukada, perilaku yang demokratis baik yang ditunjukkan oleh para elite,
penyelenggara pemerintahan daerah maupun tokoh masyarakat masih minim. Para elite
dan aktor politik seringkali menjadi faktor penghambat dalam proses demokratisasi
lokal. Banyak diantara mereka yang tidak siap kalah sehingga menghalalkan berbagai
cara. Sejauh ini kampanye lebih merupakan permainan politik daripada janji yang tulus
untuk menyejahterakan rakyat.
Penilaian seperti ini perlu dihilangkan demi menuju demokrasi yang substantif
dan berorientasi kepada kesejahteraan masyarakat daerah. Pemilihan kepala daerah
secara langsung oleh rakyat adalah satusatunya cara yang konstitusional untuk memilih
pemimpin daerah demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah. Mulai dari
Gubernur dan Wakilnya, Bupati dan Wakilnya, serta Walikota dan Wakilnya,
dimandatkan oleh peraturan-peraturan di Indonesia untuk dipilih secara langsung oleh
rakyat sebagai salah wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Tujuan ini termaktub
jelas di dalam konsideran menimbang Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati , dan Walikota sebagai pintu masuk penyelenggaraan Pemilu secara
langsung setelah terjadi polemik panjang terkait denga mekanisme pemilihan kepala
daerah. Selain untuk menciptakan proses demokratisasi dalam proses pemilihan
pimpinan daerah, pemilihan kepala daerah secara langsung tentu bertujuan untuk
memperbaiki kesejahteraan masyarakat di daerah.
Dalam persiapan Pilkada 2017, terdapat ketentuan di dalam Peraturan KPU
Nomor 9 Tahun 2016 yang memberikan syarat menjadi calon kepala daerah yang dinilai
bertentangan dengan kekuatan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 10
94
Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam Peraturan KPU
tersebut diperbolehkan bagi yang berstatus terpidana percobaan menjadi calon kepala
daerah. Padahal jika dilihat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada,
terdapat larangan bagi orang yang berstatus terpidana untuk menjadi calon kepala
daerah. Orang yang menjalani hukuman percobaan, status hukumnya jelas adalah
seorang terpidana. Meskipun yang bersangkutan tidak menjalani hukuman dalam
lembaga pemasyarakatan, namun ketika ia sudah menjalani masa hukuman percobaan,
statusnya sebagai terpidana jelas membuat individu tersebut tidak memenuhi syarat
menjadi calon kepala daerah.
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 ini
menimbulkan perdebatan panjang mengenai status terpidana hukuman percobaan dalam
pencalonan pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun demikian, DPR akhirnya
menyepakati bahwa terpidana percobaan dapat mendaftarkan diri sebagai calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada 2017. Konsekuensi hukum dari
kesepakatan DPR tersebut yaitu Komisi Pemilihan Umum harus mengubah PKPU
Nomor 5 tahun 2016 tentang Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dalam Pilkada Serentak 2017. Kesepakatan tersebut timbul akibat adanya usulan dari
sejumlah Komisi II DPR yaitu untuk merevisi Pasal 4 ayat (1) huruf f. Dampak dari
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 dapat dirangkum
sebagai berikut : a. Adanya kesepakatan yang dibuat DPR berdasarkan Putusan Nomor
71/PUU-XIV/2016 terkait ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf f PKPU Nomor 5 tahun 2016
tentang Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan menjadi, “Tidak
berstatus sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, tetapi tidak termasuk seseorang yang sedang menjalani hukuman masa
percobaan”.
Kesepakatan DPR tersebut dinilai masyarakat justru berpotensi menurunkan
kualitas pilkada serta calon-calon kepala daerah yang dihasilkan dalam kompetensi
pilkada ini. Usulan serta kesepakatan tersebut tentunya mengejutkan banyak pihak dan
bertentangan dengan keinginan publik agar pilkada diikuti para calon kepala daerah
yang bersih dari berbagai persoalan hukum. b. Berdasarkan aspek teori hukum politik
modern yang dikemukakan oleh Lon L Fuller dalam The Morality of Law bahwa
peraturan perundangundangan termasuk undang-undang politik, tidak boleh dirancang
95
suri teladan yang baik bagi masyarakat di daerahnya. Padahal sistem masyarakat di
negara ini masih mempercayai patron moral yang ditiru oleh masyarakat daerah. Secara
moralitas, pemimpin yang memiliki riwayat cacat moral sejak pada fase pemilihan dapat
dipastikan akan gagal dalam memimpin karena telah kehilangan legitimasi dan
kepercayaan dari masyarakat luas.
Sebagai contoh baik yang seharusnya juga diterapkan dari politik negara
demokrasi modern lainnya byang mana mereka selalu membuat kesepakatan bahwa
pemimpin tak boleh tersandera oleh permasalahan apapun dari masa lampau dan
memiliki catatan baik sebagai warga negara. Untuk mewujudkan Indonesia yang bersih,
demokratis, sejahtera dan berkeadilan, komponen bangsa terutama pemimpin dan
aparatur negara harus dapat bersinergi dalam melaksanakan langkah-langkah yang dapat
mengantarkan tegaknya pilar demokrasi, tegaknya hukum, tegaknya stabilitas keamanan
dan pertahanan negara yang mampu mendorong agar segera terwujudnya cita-cita
membangun Indonesia menjadi negara yang maju dan bermartabat.
Dalam hemat penulis, terhadap kasus pencalonan Kepala Daerah terpidana
percobaan pada pilkada Gorontalo akan Lolosnya Rusli Habibie sebagai calon kepala
daerah yang berstatus terpidana percobaan pada pemilihan kepala daerah tahun 2017
lalu dapat dikatakan tidak lepas dari pengaruh DPR dan Pemerintah dalam mengatur
payung hukum Undang-Undang Pilkada. Sebab DPR dan Pemerintah ikut berperan
dalam mengatur Peraturan KPU yang bersifat teknis. KPU merupakan lembaga yang
seharusnya bersifat independen dan non-partisan. Namun demikian Peraturan KPU itu
sendiri sudah pasti berlandaskan pada Undang-Undang Pilkada yang sedang berlaku.
Sehingga independensi KPU tidak dapat diartikan secara mentah-mentah bahwa KPU
harus berdiri sendiri dan mempunyai keputusan sendiri. Jika merujuk pada Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 , dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf g mengatakan
frase “mantan terpidana” lah yang justru mempunyai kesempatan untuk mencalonkan
diri dan dapat dinyatakan memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah sepanjang
melakukan pengakuan dan/atau pernyataan diri pada publik bahwa dirinya pernah
menjadi narapidana dan telah menjalani jeda lima tahun, sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan uji materi atau Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi terhadap
UU No. 8 Tahun 2015 (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XII/2015). Calon
kepala daerah yang berstatus mantan terpidana harus mengumumkan kepada publik
97
bahwa ia adalah seorang mantan terpidana adalah supaya masyarakat sebagai pemilih
dapat mengetahui rekam jejaknya sebelum menjadi pemimpin. Adapun maksud kenapa
seorang calon harus mengumumkan kepada publik bahwa dirinya seorang mantan
terpidana adalah supaya pemilih dapat memilih calon yang benar-benar berintegritas.
Meskipun demikian, Negara tetap memberikan hak-hak sipil dan politik kepada
mantan terpidana. Kemudian alasan lain bahwa seseorang yang telah menjalani
pembinaan pada Lembaga Pemasyarakatan harus diterima dan diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dalam masyarakat. Demikian pula dalam putusan uji materi Mahkmah
Konstitusi pada tahun 2009 dan 2007 terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada, Mahkamah
Konstitusi telah mengecualikan yang dilarang menjadi pejabat publik adalah mantan
terpidana culpa levis dan terpidana kasus ideologi politik, bukan yang sedang menjalani
pidana percobaan seperti pada kasus Ruslie Habibie. Sebab secara logika hukum
terpidana percobaan dalam kejahatan apapun termasuk yang ringan dan tanpa sengaja
(culpa levis) merupakan narapidana, bukan mantan narapidana.
Sehingga terdapat kemungkinan bahwa argumentasi dalam kesepakatan DPR
tersebut adalah argumentasi politik, yang dilandasi kepentingan politik, bukan
merupakan argumentasi hukum. Seseorang yang menjalani pidana percobaan dan belum
selesai masa percobaannya, serta belum terdapat jeda waktu maka tetaplah seorang
terpidana yang bersagkutan tidak memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun
2016 tentang Pilkada. Seseorang yang dijatuhi hukuman masa percobaan bukanlah
orang yang bebas dari persoalan hukum. Ia masih terikat atas tindak pidana yang
dilakukannya dan dapat seketika menjadi narapidana yag menjalani hukuman di
Lembaga Pemasyarakatan, yang membedakan hanyalah tempat menjalani hukumannya
saja. Perlu ditekankan bahwa berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa definisi terpidana adalah “seseorang yang
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap”. Permohonan yang diajukan oleh Rusli Habibie kepada Mahkamah Konstitusi
supaya tetap dapat mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah ini tentu menyalahi
dan melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g tersebut.
Berdasarkan permohonan itu sangat mungkin jika dikemudian hari terdapat
beberapa kalangan yang mempertanyakan legitimasi dari Rusli Habibie yang
98
merupakan Gubernur Gorontalo periode 2012 hingga 2017. Habibie Rusli menganggap
bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 bersifat diskriminatif dan
melanggar hak konstitusionalmya sebab melarang terpidana percobaan untuk
mencalonkan diri. Apabila mengacu pada Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Np. 10 Tahun
2016, Rusli Habibie memang tidak memenuhi syarat untuk dapat mencalonkan diri.
Telah jelas dalam Undang-Undang a quo bahwa tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi
mantan terpidana mengemukakan kepada publik bahwa ia adalah seorang mantan
terpidana. Sehingga seorang terpidana percobaan masih berstatus sebagai terpidana
meskipun dijalani di luar Lembaga Pemasyarakatan.
Sehingga harus ditafsir bahwa status terpidana percobaan baru kemudian
berubah sebagai mantan terpidana ketika habis tempo masa pidana percobaannya. Dapat
dilihat dari kronologi waktu Habibie Rusli mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi tertanggal 10 Agustus 2016, sedangkan Mahkamah Agung memutus perkara
kasasi Habibie Ruslie tertanggal 16 Agustus 2016 dengan putusan kasasi penjara 1
tahun, dengan masa percobaan 2 tahun , dan Putusan Mahkamah Konstitusi 71/PUU-
XIV/2016 ini diputuskan dengan pleno terbuka tertanggal 19 Juli 2017. Seharusnya
Habibie Rusli menyelesaikan pidananya 1 tahun, masa percobaan 2 tahun dengan
demikian barulah ia dapat memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah dengan
menyatakan bahwa dirinya adalah mantan terpidana. Larangan terpidana untuk maju
sebagai kepala daerah sebenarnya tidak berlaku mutlak pada pasal tersebut. Sebab
dalam pasal itu juga terdapat frasa “...bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan
jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Dengan frasa tersebut secara otomatis posisi kemutlakan syarat tidak pernah menjadi
terpidana pun hilang. Dalam arti banyak yang berhak menjadi calon kepala daerah
bukan hanya orang yang tidak pernah terpidana saja, melainkan orang yang pernah
menjadi terpidana dan/atau mantan terpidana.
Sebetulnya aturan tersebut ada untuk memperjelas bahwa calon kepala daerah
adalah seseorang yang harus memiliki rekam jejak yang baik dan bukan sebaliknya.
Salah satu tolak ukurnya adalah apakah yang bersangkutan pernah diputus bersalah atau
tidak oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana. Bahkan di negara terbelakang
sekalipun, tentu masyarakatnya akan mununtukt agar orang yang menduduki jabatan
99
publik adalah orang yang bersih dari catatan kejahatan dan pelanggaran moral serius.
Sehingga apabila frasa “tidak pernah sebagai terpidana” diberlakukan sebagai syarat
mutlak, itupun masih dapat diterima dalam perspektif bahwa seorang pejabat publik
sama sekali tidak boleh memiliki riwayat cacat dalam catatan kelakuan baik selama
menjadi warga negara. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebenarnya masih
sangat toleran dalam frasa “tidak pernah sebagai terpidana” sebab ketentuan tersebut
tidak lagi berlaku mutlak. Frasa tersebut masih diiringi dengan frasa lainnya sebagai
alternatif, yaitu frasa “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana”.
khususnya hak politik untuk bisa dipilih di dalam pemerintahan tetap dilindungi.
Menurut para Pemohon, setelah berganti menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, lalu melahirkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota yang ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi
Undang- Undang, yang kemudian diubah dua kali dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU
8/2015) dan UU 10/2016, pengujian terhadap larangan mantan terpidana menjadi calon
kepala daerah kembali diajukan ke Mahkamah. Mahkamah pada Putusan Nomor
42/PUU-XIII/2015 mengabulkan permohonan Pemohon untuk menghilangkan masa
tunggu lima tahun setelah narapidana selesai menjalani hukuman bagi mereka yang
hendak mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Di dalam putusan ini pula
Mahkamah menghilangkan syarat larangan bagi pelaku kejahatan berulang.
Di dalam putusannya, Mahkamah secara terbatas menguraikan kembali
kewajiban untuk mengumumkan kepada masyarakat umum bahwa yang bersangkutan
adalah mantan terpidana. Dengan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan terpidana
yang telah diketahui oleh masyarakat umum tersebut maka terpulang kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang
merupakan seorang mantan narapidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon
tersebut. Para Pemohon menilai kata “dikecualikan” dalam syarat ketiga dari amar
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, mempunyai
arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari amar
Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU- VII/2009 menjadi tidak diperlukan lagi karena yang
bersangkutan telah secara resmi mengakui tentang status dirinya yang merupakan
mantan narapidana. Dengan demikian, jika seorang mantan terpidana selesai
menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia
adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi
102
gubernur, bupati, dan walikota atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan
politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials).
Pada akhirnya, masyarakat yang memiliki kedaulatanlah yang akan menentukan
pilihannya. Namun, apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada
publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka berlaku syarat kedua
putusan Mahkamah Nomor 4/PUU- VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai
menjalani hukumannya. Menurut para Pemohon, apa yang dipertimbangkan oleh
Mahkamah di dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015, bertolak belakang dan tidak
utuh menguraikan alasan untuk menghilangkan empat syarat kumulatif untuk
pengecualian, sehingga memperbolehkan setiap mantan terpidana langsung menjadi
calon kepala daerah sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-
VII/2009. Di dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 baru terlihat hanya mengulas
dan menilai kembali satu syarat saja, yakni mengumumkan kepada masyarakat umum
bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Menurut para Pemohon, adanya tiga
syarat lain yakni pembatasan untuk jabatan yang dipilih melalui proses pemilu serta
yang bersangkutan tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan, kemudian adanya
syarat waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani masa hukuman,
serta bukan pelaku kejahatan berulang, adalah pertimbangan hukum yang sangat
penting untuk memberikan kepastian hukum serta mewujudkan tujuan pemilu itu
sendiri, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas menjadi
pejabat publik, sekaligus tidak menghilangkan hak politik warga negara dalam
berpartisipasi di dalam pemerintahan. Hal ini pula yang telah dipertimbangkan oleh
Mahkamah di dalam putusan-putusan sebelumnya. Para Pemohon setuju dengan
pengecualian yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya di mana tindak pidana
culpa levis dan tindak pidana politik (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
71/PUU-XIV/2016) tidak menjadi bagian yang harus diatur dalam pembatasan
pencalonan kepala daerah sebagaimana dimohonkan dalam permohonan ini.
Sebab, pemidanaan terhadap seseorang karena suatu kealpaan, sesungguhnya
tidaklah menggambarkan adanya suatu moralitas kriminal pada diri orang itu,
melainkan semata-mata karena kekuranghati-hatiannya yang berakibat pada timbulnya
perbuatan yang dapat dipidana. Dengan kata lain, jika syarat “tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
103
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau lebih” dijadikan sebagai suatu standar moral bagi orang
yang hendak memangku jabatan publik, maka syarat tersebut hanya dapat diterima
apabila yang dimaksud adalah, seseorang yang pernah dipidana karena terbukti sengaja
melakukan perbuatan padahal diketahuinya perbuatan itu adalah perbuatan yang dapat
dipidana dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih. Menurut para Pemohon,
berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 terhadap masa tunggu/jeda
selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, bangunan
argumentasi Mahkamah ihwal masa jeda tersebut sesungguhnya dapat dikaitkan dengan
satu siklus pemilihan kepala daerah selama 5 tahun. Walaupun sesungguhnya tidak ada
jaminan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar seorang mantan koruptor tak kembali
melakukan tindak pidana korupsi ketika mereka menduduki jabatan sebagai kepala
daerah.
Meski demikian, masa tunggu sebelum dapat mengikuti kontestasi pilkada
setidaknya dapat meminimalisasi potensi berulangnya perilaku korup, membenahi
pencalonan kepala daerah dan pilkada, dan secara tidak langsung turut mencegah setiap
orang, khususnya yang berkehendak mengikuti pilkada melakukan korupsi. Dengan
catatan, masa tunggu tersebut tidak terlampau singkat. Menurut para Pemohon,
seseorang dapat menjabat sebagai gubernur, bupati, dan walikota selama dua kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama. Artinya, waktu paling lama seseorang dapat menjadi
kepala daerah di jabatan yang sama adalah 10 tahun atau dua periode untuk masing-
masing periode selama 5 (lima) tahun. Sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam
undang- undang tersebut, maka waktu tunggu mantan narapidana kasus korupsi untuk
dapat kembali mencalonkan atau dicalonkan dalam pilkada dapat disamakan dengan
lamanya masa jabatan maksimal kepala daerah, yakni 10 tahun.
Menurut para Pemohon, waktu tunggu 10 tahun ini dinilai rasional agar mantan
narapidana dapat lebih berbenah dan mempersiapkan diri menjadi kepala daerah, sebuah
jabatan publik yang mengemban wewenang serta tanggung jawab besar. Terlebih lagi,
kejahatan korupsi yang pernah mereka lakukan tergolong serious crime dan politik
pemerintahan daerah merupakan arena yang rawan dikorupsi. Tanpa pembenahan di
tahap pencalonan kepala daerah, korupsi di daerah dan oleh kepala daerah
dikhawatirkan akan terus terulang.
104
dirinya sebagai mantan terpidana, dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-
ulang”.
Pandangan Penulis:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 mengabulkan
sebagian permohonan ICW dan Perludem terkait uji Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No.
10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Penulis melihat baik adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
XVII/2019 yang mengabulkan permohonan para pemohon dengan merujuk pada
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2019, yaitu
bagi calon kepala daerah yang telah selesai menjalani masa pidana diharuskan
menunggu waktu selama lima tahun untuk dapat mengajukan diri menjadi calon
kepala daerah. Dalam diktum amarnya, Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 7 ayat
(2) huruf g UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU
Pilkada) tentang syarat calon kepala daerah. Frasa 'tidak pernah sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap atau bagi
mantan narapidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana’ dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Penulis
mendapati frasa tersebut harus dimaknai 'telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah
mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap'. Meski demikian, syarat tersebut tidak berlaku bagi bekas
terpidana tindak pidana kealpaan atau tindak pidana politik.
Dalam penelusuran penulis, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengakui bahwa
Mahkamah Konstitusi pernah memperbolehkan terpidana maju pilkada dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015. Meski demikian, fakta empiris
menunjukkan bahwa kepala daerah kembali mengulangi perbuatannya setelah dihukum.
Dalam hemat penulis, jangka waktu 5 tahun diberikan agar bekas terpidana bisa
beradaptasi di tengah masyarakat dan menyadari perbuatannya, dan dimana atas jangka
waktu tersebut, sejalan dengan pandangan Mahkamah Konstitusi hal itu tetap
memberikan jaminan bagi warga negara untuk dipilih dalam jabatan publik. "Langkah
demikian demi memberikan kepastian hukum dan kembalikan esensi pilkada untuk
menghadirkan orang berintegritas.
106
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap atau bagi
mantan narapidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana’. Menyadari fakta empiris berulangnya tindak
pidana oleh bekas narapidana, Mahkamah Konstitusi kemudian mengembalikan syarat
dalam Putusan No. 4/PUU-VII/2009 sehingga mengubah isi Pasal 7 ayat (2) huruf g UU
Pilkada. Bedanya, jeda 5 tahun tidak berlaku bagi bekas napi tindak pidana kealpaan
atau tindak pidana politik. Meskipun jangka waktu yang dikabulkan dalam putusan itu
lebih kecil daripada permohonan yang diajukan oleh Perludem dan ICW, yakni 10
tahun, penulis melihat putusan Mahkamah Konstitusi sudah sejalan dengan semangat
untuk menunjang perbaikan regulasi serta semangat dan iklim pemberantasan korupsi.
Sejatinya, sangatlah ideal bila Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh gugatan dari
Perludem dan ICW, menetapkan jeda 10 tahun sebagai batas waktu bagi mantan
narapidana untuk dapat maju dalam pemilihan kepala daerah.
Akan tetapi, secara sosiologis, penulis memahami maksud Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan pula rasa keadilan bagi semua
kalangan dalam putusan tersebut. Apalagi, dalam putusan itu ditambahkan pula syarat
agar para mantan napi yang hendak mencalonkan diri dalam pilkada harus bersikap
jujur. Implementasinya, para mantan narapidana harus mengumumkan kepada publik
status mereka sebagai mantan napi kasus korupsi. Dengan ketentuan itu, prinsip
transparansi dinilai telah diterapkan dan rakyat pun diharapkan tidak dapat dibohongi.
Penulis pun menunggu implementasi lebih lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Dari aspek penyelenggaraan pilkada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus
segera merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan
Pilkada, yang tidak melarang mantan napi kasus korupsi mencalonkan diri. Ketentuan
dalam PKPU itu harus diubah dengan menambahkan masa jeda 5 tahun bagi eks
narapidana kasus korupsi yang hendak mencalonkan diri. Dari sisi pencalonan, partai
politik yang memiliki legal standing dalam konteks itu pun harus tunduk dan patuh
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Partai politik tidak boleh mengedepankan
kepentingan pragmatis dengan mengajukan calon kepala daerah mantan narapidana
koruptor sebelum jeda 5 tahun berakhir. Tanpa ketentuan baru itu pun, partai politik
dapat saja menghindari orang bermasalah ataupun orang yang pernah bermasalah dalam
kasus korupsi saat pencalonan kepala daerah. Namun, hal itu memerlukan political will
108
dari partai politik yang bersangkutan. Kini, melalui ketentuan baru itu, dengan ataupun
tanpa political will, maka mencalonkan bekas narapidana kasus korupsi bukan lagi opsi
bagi partai politik. Setidaknya sebelum jeda 5 tahun mereka berakhir.
untuk menjadi caleg atau cakada? Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 14-
17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 menyatakan norma undang-undang yang
melarang napi jadi caleg atau cakada konstitusional bersyarat (conditionally
constitutional) yaitu dikecualikan untuk tindak pidana karena kealpaan ringan (culva
levis) dan tindak pidana karena perbedaan pandangan politik. Mahkamah Konstitusi
dimasa ini dipimpin Prof. Jimly menyatakan pelarangan napi jadi caleg pada dasarnya
tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan masih dibenarkan berdasar Pasal 28 J (2)
UUD 1945 yang berbunyi: "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum, dalam suatu
masyarakat demokratis".
Alasannya karena jabatan publik yang dipilih (elected official) harus dipangku
oleh orang yang kualitas dan integritas tinggi. "Jadi haruslah dipahami bahwa
pengaturan dan penentuan persyaratan demikian adalah sebagai mekanisme yang akan
memungkinkan pemilihan itu berlangsung secara wajar dan terpercaya" demikian
diuraikan dalam Putusan halaman 124. Pendapat Mahkamah Konstitusi sebelumnya
mengalami perubahan dalam Putusan Nomor 04/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009.
Bila dalam putusan sebelumnya norma ini dinyatakan konstitutional bersyarat
(conditionally constitutional), dalam putusan kali ini Mahkamah Konstitusi menyatakan
norma undang-undang yang melarang napi caleg atau cakada bertentangan dengan
Undang-undang Dasar secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Mahkamah
Konstitusi, yang saat itu dipimpin Prof. Moh. Mahfud MD, menyatakan norma undang-
undang yang melarang napi caleg atau cakada bertentangan dengan UUD (dan akibat
hukumnya tidak berlaku) bila tidak dipenuhi empat syarat berikut:
1) Berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak
dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2) Berlaku terbatas untuk jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai
menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
112
3) Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan
terpidana;
4) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
H. Pembatasan Hak Pilih Aktif dan Pasif Mantan Narapidana Dalam Perundang-
Undangan di Indonesia
Pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan oleh hukum,
tetapi hak asasi manusia yang boleh dibatasi hanya pada Kovenan Sipil dan Politik pada
pasal 19 (kebebasan menyatakan pendapat), pasal 21 (hak berkumpul secara damai),
pasal 22 (kebebasan berserikat) dan pasal 25 (ikut serta dalam pelaksanaan pemerintahan
dan hak memilih dan dipilih). Pembatasan hak harus sesuai dengan undang-undang
nasional dan dalam masyarakat yang diperlukan demi kepentingan keamanan nasional
114
122
Binsar Gultom, Kualitas Putusan Hakim Harus Didukung Masyarakat, Suara Pembaruan, 20 April
2006.
123
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002,
hlm 128.
116
dalam pasal 18 ayat (1) huruf d yang berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau
dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Salah satu pencabutan hak yang dijatuhkan oleh Hakim kepada terpidana
korupsi adalah pencabutan hak pilih aktif dan pasif. Pidana ini lebih dikenal dalam
masyarakat dengan sebutan pencabutan hak politik dimana pidana tambahan berupa
pencabutan hak politik tersebut diadaptasi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
pasal 35 yang mengatur lebih jelas lagi mengenai pidana tambahan pencabutan hak.
Secara filosofis, sesungguhnya penjatuhan putusan pidana tambahan berupa pencabutan
hak pilih aktif dan pasif kepada terpidana korupsi merupakan upaya preventif dan
menjadi manifestasi dari upaya penegak hukum dalam mewujudkan cita-cita luhur dari
pemidanaan atau pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan yaitu keadilan. John Rawls
(1977), dalam A Theory of Justice, membagi keadilan dalam dua bentuk: Pertama, asas
kebebasan (liberty principle), yakni setiap orang mempunyai hak-hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas, sama luasnya dengan kebebasan yang dimiliki orang
lain. Kedua, asas perbedaan (difference principle), yakni hukum bertujuan untuk
mengatur adanya realitas ketimpangan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Oleh
karena itu, hukum harus mampu mewujudkan nilai-nilai keadilan untuk lebih
mengutamakan dan berpihak pada masyarakat yang diuntungkan dari aspek sosial,
ekonomi dan politik supaya dapat mencapai tujuan keadilan
dapat disimpulkan yaitu dijatuhkan pada terpidana yang memiliki jabatan atau posisi
politik yang dimana terpidana tersebut melakukan tindak pidana korupsi dengan
menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan yang ia miliki.
Hal ini disebut korupsi politik, yang memiliki dampak lebih luas daripada
korupsi pada umumnya. Dari kajian korupsi politik yang terjadi di beberapa negara
modern, terlihat bahwa korupsi politik memiliki dampak lebih luas dibandingkan
dengan korupsi yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki posisi politik. Entitas
korupsi politik melekat secara berpilin berkelindan dengan kekuasaan. Korupsi politik
lebih berada dalam stadium untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Dari
konstelasi penyalahgunaan kekuasaan dan kebutuhan ketertiban sosio-politik,
menuntut adanya peran kontrol yang sepadan terhadap pelaksanaan kekuasaan.
Kekuasaan pemerintahan diberi mandat untuk mengatur dan mendistribusikan
kekayaan negara, sehingga dalam proses pendistribusian tersebut selalu berpotensi
adanya penyimpangan yang dilakukan oleh yang berwenang yaitu pemegang
kekuasaan.124
124
Artidjo Alkostar, 2007, Korelasi Korupsi Politik dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara
Modern, Disertasi tidak diterbitkan, Semarang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Diponegoro.
118
Luthfi Hasan Ishaaq diketahui melalui keterangan pada Ahmad Fathanah yang telah
ditangkap terlebih dahulu yang diketahui sebagai kurir dalam kasus suap ini. Saat
tertangkap tangan, KPK menduga uang sebesar Rp. 1 miliar yang ditemukan di dalam
mobil Ahmad Fathanah itu untuk diserahkan kepada Luthfi Hasan Ishaaq. Luthfi Hasan
Ishaaq telah melanggar pasal 12 huruf a dan b dan atau pasal 5 ayat 2 dan pasal 11
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Majelis Kasasi yang menjatuhkan pidana
tambahan berupa pencabutan hak pilih pasif terhadap Luthfi Hasan Ishaaq yang tertuang
dalam Putusan 14/PID/TPK/2014/PT.DKI. Dasar pertimbangan hakim dalam
memutuskan pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih pasif pada terpidana Luthfi
Hasan Ishaaq memang tidak dipaparkan secara tertulis dalam putusan, tetapi dalam
wawancara yang dilakukan oleh salah satu surat kabar yaitu majalah Forum, dengan
hakim yang memutus perkara tersebut yaitu Artidjo Alkostar, menyatakan bahwa hakim
menilai dalam aspek sosiologis bahwa perbuatan terpidana menjadi ironi demokrasi,
karena tidak melindungi nasib para petani peternak sapi nasional. Hubungan
transaksional antara Luthfi Hasan Ishaaq dengan Maria Elizabeth Liman merupakan
korupsi politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crime). Pencabutan
hak pilih aktif dan pasif merupakan konsekuensi logis dari seorang yang memiliki
jabatan politik atau kekuasaan politik.125
3. Pencabutan Hak Pilih Aktif dan Pasif Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Negara Indonesia sebagai negara demokrasi sangat menjunjung tinggi hak-hak
warga negaranya termasuk ketika diadakannya pesta demokrasi atau pemilihan umum.
Hak untuk memilih dan dipilih (selanjutnya disebut hak pilih aktif dan pasif), hak pilih
aktif merupakan keputusan untuk memilih yang dilakukan masyarakat secara aktif
dalam menentukan wujud penyelenggaraan pemerintahan dan hal tersebut diwujudkan
dengan dilakukannya Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu). Hak pilih aktif
bersifat lintas batas, oleh karena itu siapapun dalam hal ini disebut sebagai setiap warga
negara berhak memilih dalam Pemilu. Perlu diketahui bahwa pencabutan segala hak
yang dimiliki atau diperoleh seseorang sebagai warga negara yang dapat menyebabkan
kematian perdata (burgelijke daat) tidak diperkenankan oleh undang-undang. Hal ini
diatur dalam pasal 3 BW (burgelijke wetboek) dan Pasal 15 ayat (2) Konstitusi Republik
125
Artidjo Alkostar, Luthfi tidak boleh menduduki jabatan publik lagi, 28 September 2014, hlm. 16
119
Indonesia Serikat (KRIS) yang berbunyi: “Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan
kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak kewarganegaraan.” Hak sipil
mengakui dan melindungi hak-hak yang paling fundamental dari seorang manusia
berkaitan dengan martabatnya sebagai makhluk pribadi, sedangkan hak politik berkaitan
dengan kehidupan publik.126 Beberapa kalangan yang kontra atau yang tidak setuju
terhadap dijatuhkannya pencabutan hak pilih aktif dan pasif kepada terpidana korupsi,
bagi mereka pencabutan hak politik adalah pelanggaran hak asasi manusia yang telah
diatur secara konstitusional.
Hal itu masih dapat terbantahkan, sebab setiap hukuman atau pemidanaan pada
dasarnya memang adalah pelanggaran hak asasi manusia, tetapi pelanggarannya
diperbolehkan, sepanjang berdasarkan undang-undang. Sebagai contoh pada Penyelidik
dan Penyidik yang melakukan penangkapan, penahanan, dan perampasan harta benda
yang berhubungan dengan perbuatan pidana yang digunakan sebagai bukti untuk
mengungkap suatu kasus adalah melanggar hak asasi manusia, namun karena alasan
tertentu yang dibenarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
maka hal itu bukan lagi terklasifikasi dalam pengurangan atau pelanggaran hak asasi
manusia. Pencabutan hak pilih aktif dan pasif bagi koruptor tidak melanggar hak asasi
manusia karena termasuk dalam kategori derogable rights atau hak yang bisa dilanggar
penegak hukum, dalam hal ini hakim yang memutuskan, dalam rangka penegakan
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Pada masa lalu, hukuman tambahan tersebut bisa
berupa kematian perdata (mort civile) bagi pelaku kejahatan berat, namun sekarang
umumnya tidak diberlakukan. Hukuman pidana tambahan lebih dimaksudkan untuk
mencegah terpidana menyalahgunakan hak tersebut, agar kejahatan serupa tidak
terulang kembali.
126
Bagir Manan, 2001, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Bandung: Penerbit PT. ALUMNI, hlm 101.
120
BAB IV
PENGATURAN HAK DIPILIH MANTAN NARAPIDANA
KORUPSI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.
42/PUU-XIII/2015
127
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45410541 diakses pada 24 Desember 2019.
121
dari korupsi. Hanya saja, Bawaslu tidak sepakat jika semangat itu diwujudkan dengan
melanggar UU. Anggota Bawaslu Rahmat Bagja menyampaikan sikap Bawaslu tidak
bertentangan dengan UU dengan meloloskan para mantan narapidana untuk nyaleg.
Dalam Pasal 240 UU Pemilu diatur mantan narapidana bisa maju caleg asalkan
mempublikasikan kepada publik soal statusnya.128 Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja
membeberkan alasan lembaganya meloloskan bakal calon anggota legislatif yang
berlatar belakang mantan narapidana korupsi. Rahmat berujar, Bawaslu merujuk
Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur hak konstitusional setiap warga negara
untuk memilih dan dipilih. Dasar keputusannya adalah hak konstitusional warga negara.
Pasal 28 J menyatakan, jika ingin disimpangi maka penyimpangannya melalui undang-
undang dan jika ada kaidah hukum yang bertentangan dengan hukum, (yaitu) PKPU,
maka yang dipilih adalah UU dalam hal ini UU Pemilu.
2. Sikap KPU:
Sikap Bawaslu membingungkan Ketua KPU, Arief Budiman. Ketua KPU
mengatakan pakta integritas Bawaslu merupakan salah satu syarat partai politik
mengusung caleg dalam pemilu 2019. Pakta integritas itu berisi anjuran Bawaslu agar
partai mengajukan caleg yang bersih dari catatan pidana, terutama korupsi, narkotika,
dan kekerasan seksual anak, tiga perbuatan terlarang bagi caleg 2019. Meski Bawaslu
menyebut mantan koruptor berhak menjadi caleg, KPU menolak memasukkan nama-
nama itu ke daftar caleg sementara. KPU menerbitkan surat edaran 991/2018. Dalam
surat itu, seluruh KPU di daerah diminta menunda pelaksanaan putusan bawaslu sampai
MA mengeluarkan putusan atas judicial review larangan koruptor menjadi caleg.
Perbedaan sikap Bawaslu dan KPU ini disebut dapat mengancam integritas pemilu
2019. Setiap lembaga yang memegang kewenangan dalam pemilu seharusnya
berpegang pada aturan hukum yang sama. Sengketa berawal saat Bawaslu meloloskan
caleg berlatar belakang mantan narapidana korupsi. Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja,
mendasarkan keputusannya pada Pasal 28 j Undang-Undang Dasar 1945.
Sebaliknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) kukuh mendasarkan argumennya
pada Peraturan KPU Pasal 4 ayat 3 Nomor 20 tahun 2018 yang mengatur soal syarat
calon legislatif bukan mantan terpidana korupsi, pelaku melakukan kejahatan seksual
128
https://news.detik.com/berita/d-4193863/pengamat-bawaslu-loloskan-eks-koruptor-nyaleg-
menyedihkan diakses pada 26 Desember 2019.
122
pada anak, dan bandar narkoba. Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Evi
Novida Ginting Manik berpendapat terkait pelarangan mantan napi korupsi
mencalonkan diri di pemilihan kepala daerah serentak 2020 dimana ia mengatakan hal
ini belajar dari kasus Kudus, Jawa Tengah dan Tulungangung, Jawa Timur. Menurut
Evi, kasus yang terjadi di Kudus adalah mantan napi korupsi mencalonkan diri dan
kemudian terpilih.
Namun, setelah dilantik ia justru melakukan tindakan serupa: menerima suap.
Kasus yang dimaksud Evi adalah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK
terhadap Muhammad Tamzil (Bupati Kudus) pada 26 Juli 2019. Tamzil sebelumnya
pernah menjejakkan kaki di lubang yang sama, saat Tamzil sebagai Bupati Kudus 2003-
2008. Saat itu, Tamzil melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana
pendidikan Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004-2005. Namun, perkara itu baru
ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Kudus pada 2014. Hakim Pengadilan Negeri
Kudus menjatuhkan vonis pidana satu tahun dan sepuluh bulan penjara atau 22 bulan
pada Februari 2015. Tamzil juga dikenai denda Rp 100 juta atau setara dengan tiga
bulan kurungan. Kasus Kudus orang yang sudah mantan napi koruptor kemudian
terpilih dan tertangkap lagi, apalagi yang di Tulungagung itu masih dalam penjara dan
terpilih menang, dan kemudian bukan dia yang menjalankan tugas sebagaimana
diungkap oleh Evi, di Jakarta.
Menurut Evi, tanpa larangan yang mengatur, nantinya para pelaku korupsi dan
kasus amoral lainnya bisa saja terpilih seperti yang di Tulungagung dan Kudus. Oleh
karena itu dalam pandangan Evi selaku komisioner, KPU mencoba memberikan pilihan-
pilihan kepada pemilih, yaitu calon yang bebas dari rekam jejak buruk, dengan cara
membatasi persyaratan calon. KPU mencoba memberikan pilihan yang baik, bukan
mereka yang melakukan pelecehan seksual anak, kemudian juga bandar narkoba dan
mantan koruptor. Harapannya, sosok atas larangan tersebut yang terpilih nanti
merupakan pemimpin baik, bermoral dan tidak berperilaku korup, karena di tangan
mereka itulah kunci pelayanan publik. Namun, ide tersebut ditolak Menteri Dalam
Negeri Tito Karnavian. Ia justru tidak mempermasalahkan keterlibatan mantan
terpidana korupsi untuk mengikuti pemilihan kepala daerah langsung 2020.
Tito mengklaim jika negara melarang orang-orang bermasalah itu untuk turut
serta dalam Pilkada, maka negara berjalan ke arah teori pemidanaan kuno. Ia bersikeras
123
saat ini Indonesia sudah mulai beralih ke konsep restorative justice, yakni beralih dari
pemidanaan dengan teori pembalasan menjadi teori rehabilitasi. “Kalau dia terkoreksi
apakah dia tidak diberikan kesempatan kembali memperbaiki dirinya untuk
mengabdikan dirinya pada masyarakat, silakan masyarakat menilai. KPU berpandangan
bahwa korupsi itu merupakan kejahatan politik, sebab itu salah satu bentuk
pemidanaannya mencabut hak politik. Itu membuktikan memang hak untuk dipilih bisa
dibatasi. Namun, saat ini tetap dengan keputusan pengadilan. Sangat tidak tepat
disertakan dalam kontestasi merebutkan jabatan politik lagi. Meskipun dalam konteks
hukum positif tidak bisa juga dibenarkan melarang mantan narapidana korupsi ikut serta
dalam pencalonan kepala daerah.
Sebab hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
42/PUU-XIII/2015. Namun konteks filosofis, tujuan untuk tidak memberi kesempatan
eks napi tipikor untuk maju kembali sangat kuat, karena itu merupakan kejahatan politik
dan pengkhianatan kepercayaan publik sehingga tidak selayaknya orang yang baru saja
menyelesaikan pidana karena mengkhianati kepercayaan tersebut diberikan kesempatan
untuk memegang kepercayaan lagi.
129
Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hlm 117.
125
b. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang
sejenis. Artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan
sejenis tadi dalam batas waktu tertentu.
3. Selain kedua bentuk di atas, pengulangan kejahatan dapat juga dibedakan atas:
a. Residivis umum yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/kejahatan yang telah
dikenai hukuman dan kemudian dilakukan kejahatan/kejahatan dalam bentuk
apapun maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.
b. Residivis khusus yaitu apabila seseorang melakukan perbuatan kejahatan/
kejahatan yang telah dikenai hukuman dan kemudian ia melakukan
kejahatan/kejahatan yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan
pemberatan hukuman.130
130
E. Utrecht, Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000,
Hlm 200.
126
karena kasus korupsi pada Desember 2015. Setelah sekitar selang 3 tahun 7 bulan
kemudian, Muhammad Tamzil terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi
Pemberantasan Korupsi. Kondisi ini seperti pepatah bagai keledai jatuh ke lubang yang
sama. Penulis memperhatikan dalam berbagai media surat kabar berbasis online dimana
Muhammad Tamzil sebenarnya pernah menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008.
Pada saat itu, Tamzil diduga melakukan korupsi dana bantuan saran dan prasarana
pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004. Saat itu perkara tersebut
ditangani Kejaksaan Negeri Kudus. Tamzil dijerat sebagai tersangka dan ditahan pada
September 2014. Ketika itu Tamzil sudah tidak menjabat lagi Bupati Kudus. Singkat
cerita, Tamzil divonis bersalah dengan hukuman 1 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp
100 juta subsider 3 bulan kurungan. Dia pun menghuni penjara hingga akhirnya
mendapatkan pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane,
Semarang, pada Desember 2015.
Setelah itu, Tamzil kembali mencalonkan diri di Pilkada 2018 dan kembali
mendapatkan jabatan Bupati Kudus. Beberapa tahun berselang, Tamzil kembali maju
dalam pemilihan dan terpilih jadi Bupati Kudus untuk periode 2018-2023. Tamzil
ditetapkan Komisi Pemilihan Umum sebagai bupati pada Juli 2018 bersama
pasangannya sebagai wakil bupati, yaitu Hartopo. Lalu pada September 2018, keduanya
resmi dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kudus. Belum genap setahun menjabat,
Tamzil beserta 8 orang lainnya terjaring dalam OTT di Kudus, Jawa Tengah di hari
Jumat 26 Juli tahun 2019. Mereka ditangkap tak lama setelah transaksi diduga suap.131
Terhadap kasus tersebut, sering digaungkan oleh publik bahwa untuk mantan
narapidana korupsi yang memegang jabatan publik yang dipilih lalu mengulangi
perbuatan korupsinya kembali maka sepatutnya dihukum jauh lebih berat bahkan hingga
hukuman mati.132 Penulis menilai bahwa dalam memahami pidana mati terhadap
koruptor, patut melihat terlebih dahulu penjelasan frasa "keadaan tertentu".
Ancaman hukuman mati terhadap koruptor yang memenuhi kondisi atau syarat
'keadaan tertentu' yaitu bila korupsi dilakukan pada saat negara dalam keadaan bahaya
sesuai dengan undang-undang, korupsi pada saat bencana alam, korupsi pada saat krisis
131
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/27/12291691/profil-bupati-kudus-yang-ditangkap-kpk-dua-
kali-jadi-bupati-hingga-pernah?page=all diakses pada 02 Oktober 2019.
132
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/29/07090041/bupati-kudus-terancam-hukuman-mati-ini-
penjelasan-ahli-hukum?page=all diakses 02 Oktober 2019.
127
moneter dan sebagai pengulangan tindak pidana korupsi. Menurut pendapat penulis,
oleh karena diatur pada pasal 2 undang-undang tindak pidana korupsi, ketentuan pidana
mati hanya berlaku sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1), yaitu perbuatan memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Hal ini dikarenakan ketentuan hukuman mati bagi korupsi yang
hanya berlaku bagi para koruptor yang merugikan keuangan negara, sedangkan bagi
korupsi yang dilakukan dengan menerima suap, gratifikasi tidak terkena ancaman
hukuman mati.
Lantas bagaimana dengan rekam jejak Muhammad Tamzil yang mengulangi
tindak pidana korupsi dalam jabatannya sebagai Bupati. Penulis menegaskan kriteria
"pengulangan tindak pidana korupsi" tidak serta-merta dapat digunakan untuk
menjatuhkan pidana mati bagi koruptor. Tamzil memang sebelumnya sempat
mendekam di penjara karena dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan
sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004. Lalu
perihal residivis pengulangan korupsi karena suap maka pemberatannya dilakukan
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan penambahan pidana
sepertiga tidak melebihi pidana yang terberat.
Kemudian kembali perlu diperhatikan lagi bahwa hal tersebut berlaku untuk
korupsi yang merugikan keuangan negara saja, korupsi lainnya seperti suap, gratifikasi
yang diterima penyelenggara negara tidak bisa diancam hukuman mati. Disamping itu,
penulis berpendapat bahwa atas kejadian pengulangan tindak pidana korupsi, maka
sudah sewajarnya dan sepatutnya untuk tidak diberikan kesempatan kembali untuk
mencalonkan atau memegang jabatan publik yang dipilih setelah selesai menjalani masa
hukuman mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015
mensyaratkan bahwa mantan narapidana korupsi yang hendak mencalonkan diri dalam
pemilihan umum untuk dapat memegang jabatan publik yang dipilih harus bukanlah
seorang yang residivis ataupun melakukan kejahatan yang berulang-ulang. Untuk hal ini
maka menjadi jelas bahwa apabila Muhammad Tamzil kelak setelah selesai menjalani
masa hukumannya dan masih kembali mencalonkan dirinya kembali berakibat
inkonstitusional pencalonannya.
128
133
Pasal 12 huruf c dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
134
Gunawa A. Tauda, ‘Kedudukan Komisi Negara Independen dalam Struktur Ketatanegaraan Republik
Indonesia’, Terdapat dalam https://media.neliti.com/media/publications/26688-ID-kedudukan-komisi-
negara-independen- dalam-struktur-ketatanegaraan-republik-indone.pdf, Diakses tanggal 13 Mei 2019.
135
Luthfi Widagdo Eddyono, ‘Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Oleh Mahkamah
Konstitusi’, Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor 3, Bulan Juni 2010, Terdapat Dalam
https://media.neliti.com/media/publications/110648-ID-penyelesaian-sengketa-kewenangan-lembaga.pdf,
Diakses Tanggal 13 Mei 2019.
129
2. Latar Belakang Pengaturan Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 Tahun 2018
Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara
prinsip harus memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Pengaturan
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tentu memiliki tujuan agar
perilaku masyarakat mengandung nilai kebajikan dan keadilan umum. Selain legitimasi
hukum demikian, Komisi Pemilihan Umum memiliki standar mekanisme penyusunan
Peraturan Komisi Pemilihan Umum sebagaimana yang dikemukakan oleh pihak yang
mewakili Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia disingkat Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia sebagai termohon dalam perkara pengujian peraturan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang di Mahkamah Agung dengan perkara
Nomor 46 P/HUM/2018. Bahwa Komisi Pemilihan Umum RI telah melakukan
mekanisme penyusunan perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum sebagai
berikut:136
136
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, hlm. 37.
130
a) melakukan inventarisasi dan menyusun isu strategis materi muatan yang akan
dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum;
b) melakukan pembahasan Peraturan KPU dalam rapat di lingkungan Sekretariat
Jenderal Komisi Pemilihan Umum dan rapat-rapat pleno Komisi Pemilihan Umum;
c) melakukan uji publik dengan Partai Politik dan pemangku kepentingan
(stakeholder);
d) melakukan konsultasi dengan Komisi II DPR RI dan Pemerintah cq. Kementerian
Dalam Negeri;
e) mengadakan Focus Group Discussion dengan para pakar hukum dan ahli di bidang
pemilihan umum;
f) menyusun perumusan akhir dan pembahasan final persetujuan Anggota Komisi
Pemilihan Umum dalam pleno Komisi Pemilihan Umum;
g) penandatanganan Peraturan Komisi Pemilihan Umum oleh Ketua Komisi Pemilihan
Umum;
h) permohonan pengundangan kepada Menteri Hukum dan HAM RI.
137
Pasal 257 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
138
Putusan Mahkamah Agung perkara nomor 46 P/HUM/2018, Hlm. 51.
139
Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
140
Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
141
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
132
c) Perbudakan;
d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f) penyiksaan;
g) perkosaan,perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara;
h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional;
i) penghilangan orang secara paksa; atau
j) kejahatan apartheid.”
Kemudian, perlu diingat bahwa pembatasan hak hanya dapat dilakukan oleh
instrumen hukum sekurang-kurangnya oleh undang-undang.142 Berdasarkan uraian
tersebut, secara jelas bahwa kejahatan narkoba tidak termasuk dalam salah satu bentuk
yang diakui undang-undang. Oleh karena itu, alasan yang digunakan Komisi Pemilihan
Umum dalam mengkategorikan kejahatan bandar narkoba sebagai kejahatan berat dan
luar biasa tidak memiliki landasan hukum. Secara keseluruhan landasan yang digunakan
Komisi Pemilihan Umum dalam merumuskaan pelarangan bagi mantan terpidana
bandar narkoba belum cukup dapat menunjukkan urgensinya. Hal demikian terlihat dari
alasan tersebut yang cenderung tanpa penelusuran landasan sebagaimana Undang-
Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
142
Pasal 28J UUD NRI 1945.
133
143
Pasal 257 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
144
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, Hlm. 51.
145
Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
134
biasa tidak memiliki landasan hukum. Secara keseluruhan landasan yang digunakan
Komisi Pemilihan Umum dalam merumuskan pelarangan bagi mantan terpidana
kejahatan seksual terhadap anak belum cukup dapat menunjukkan urgensinya. Hal
demikian terlihat dari alasan tersebut yang cenderung tanpa penelusuran landasan
sebagaimana Undang-Undang No 12 Tahun 2011.
146
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, hlm 40-42.
135
147
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, hlm. 42-45.
137
terus- menerus. Hal ini terbukti dari berbagai catatan buruk atas praktik
penyelenggaraan negara yang melibatkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
khususnya di tubuh lembaga perwakilan rakyat di Indonesia (DPR, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota). Catatan-catatan buruk yang dimaksud antara lain berdasarkan
catatan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2017 bahwa selama tahun
2017, setidaknya terdapat 20 (dua puluh) dari 102 (seratus dua) perkara korupsi
yang melibatkan pejabatbirokrasi pemerintahan pusat dan daerah yang pelakunya
adalah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
4. Dengan demikian, telah nyata bahwa praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
telah berakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia khususnya di
kalangan pejabat dan penyelenggara negara dan terbukti telah menunjukkan adanya
keterlibatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus-kasus yang ada;
Bahwa sejak rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Pencalonan mengemuka
pada bulan April 2018, setidaknya sudah terdapat 67.000 lebih dukungan dari orang-
orang yang menandatangani petisi dukungan untuk Komisi Pemilihan Umum melalui
change.org/koruptorkoknyaleg. Oleh karenanya semakin memperkuat bahwa kebijakan
formulasi larangan bagi terpidana korupsi untuk menjadi calon anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota mendapat dukungan yang luas dari
masyarakat dan merupakan aspirasi dan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan begitu
saja;
5. Bahwa menurut Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Korupsi
(KPK) periode 2011 s.d. 2015, korupsi memiliki kecenderungan pola yang
berulang dan bahkan bermetamorfosa (2014). Dari data yang dihimpun Indonesan
Corruption Watch (ICW), fenomena residivis korupsi atau orang yang pernah
dijatuhi hukuman dalam perkara korupsi lalu kembali melakukan korupsi setelah
selesai menjalani hukuman beberapa kali terjadi dan tercatat seperti misalkan di
Samarinda oleh Aidil Fitra/Ketua KONI Samarinda, Jawa Timur oleh
Mochammad Basuki/Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur dan di
Hulu Sungai Tengah oleh Abdul Latif/Bupati
((https://www.antikorupsi.org/id/siaran-pers/kpu-harus-jalan-terus-larang-mantan-
napi-korupsi-nyaleg). Oleh karenanya melakukan langkah antisipasi secara tegas
dengan melakukan upaya pencegahan melalui formulasi Peraturan Komisi
138
Pemilihan Umum menjadi sangat beralasan secara sosial dan bahkan amat penting
bagi penyelenggaraan negara ke depan. Bagaimanapun, pelaku-pelaku korupsi
tidak dapat lagi ditolerir untuk masuk kembali duduk dan memegang kewenangan
dalam lembaga negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Negara
dengan demikian menanggung risiko terlalu tinggi jika tidak ada upaya pencegahan
sedari awal dan masih memberi kesempatan kepada perbuatan korupsi melalui para
pelakunya yang berperan dalam lembaga negara dan pemerintahan;
6. Bahwa selain berupaya untuk mencegah korupsi kembali lagi dalam
penyelenggaraan negara melalui pembatasan kesempatan terhadap pelakunya,
kebijakan formulasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum juga diharapkan mampu
mencegah para anggota dewan yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota terpilih untuk tidak
melakukan praktik-praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada masa yang akan
datang akibat dampak perbuatannya tersebut ke depan akan sangat berpengaruh
kepada karier politiknya. Hal ini sejalan dengan Persson dan kawan-kawan (2003)
sebagaimana dikutip oleh Ikhsan Darmawan, yang menilai bahwa bagaimana
pemilihan diatur memiliki implikasi terhadap tingkat korupsi di sebuah Negara.
Dalam hal ini, penulis menilai bahwa Komisi Pemilihan Umum secara garis
besar hendak menyatakan kebutuhan umum bersumber dari masalah bangsa dan negara
yang belum juga selesai dimana pada hal tersebut dapat diketahui Komisi Pemilihan
Umum merujuk terhadap catatan kinerja Komisi Pemberantas Korupsi tahun 2017. Di
tahun 2017 ditemui 20 (dua puluh) dari 102 (seratus dua) perkara korupsi yang
melibatkan pejabat birokrasi pemerintahan pusat dan daerah, yakni anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selain
itu, Komisi Pemilihan Umum mengadakan aksi berupa penandatanganan petisi menolak
korupsi untuk menarik simpati serta mengetahui tingkat kepedulian rakyat terhadap
negerinya. Komisi Pemilihan Umum memperoleh sebanyak 67.000 lebih dukungan.
Landasan sosiologis sebagaimana uraian tersebut, initinya memiliki alasan kuat yang
mendasar. Bahwa, terdapat sekurang-kurangnya 67.000 lebih dukungan melalui
penandatanganan petisi penolakan mantan koruptor ikut serta dalam pencalonan
legislatif. Hal demikian memperlihatkan bahwa itulah kebutuhan hukum yang ada
dalam masyarakat, menginginkan pemangku jabatan ialah orang yang terpercaya baik
139
148
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, hlm. 45-51.
140
menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah: … d. tidak pernah
mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan
tindak pidana berat lainnya”. Sedangkan yang dimaksud dengan "tidak pernah
mengkhianati negara" sebagaimana dijabarkan dalam Penjelasan adalah tidak
pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan secara
inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah dasar negara, serta
tidak pernah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
5. Bahwa berdasarkan rumusan Pasal pada angka 5), setidaknya diperoleh 2 (dua)
hal:
a). Tindak pidana korupsi ditempatkan sejajar dengan perbuatan mengkhianati
Negara;
b). Tindak pidana korupsi ditempatkan sejajar dengan tindak pidana berat
lainnya;
Dari kedua hal tersebut, nampak jelas bahwa tindak pidana korupsi merupakan
suatu perbuatan yang sifat dan dampaknya tidak boleh dianggap sebagaimana perbuatan
(pidana) lainnya. Tindak pidana korupsi harus ditempatkan sebagai suatu perbuatan
yang sifatnya sama layaknya gerakan separatis, gerakan inkonstitusional atau dengan
kekerasan untuk merubah negara dan sudah pasti bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya mengandung filosofi,
cita dan tujuan berbangsa dan bernegara; Selain itu juga bahwa tindak pidana korupsi
merupakan bagian dari tindak pidana berat yang dampaknya dirasakan secara luas tidak
hanya oleh sebagian kalangan masyarakat, namun juga menyakiti perasaan, hati dan
emosi masyarakat secara luas seperti layaknya perbuatan kejahatan penyalahgunaan
narkoba, hingga kejahatan seksual terhadap anak.
Kesemuanya berkaitan dan berdampak secara erat dan nyata terhadap masa
depan bangsa. Itulah mengapa bahwa persyaratan sebagai seorang calon Presiden dan
calon Wakil Presiden berlaku bagi siapapun warga negara Indonesia namun dibatasi dan
dikecualikan bagi mereka yang secara sifat dan dampaknya pernah melakukan tindakan-
tindakan atau perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 169
huruf d undang-undang pemilu di atas:
141
terhadap anak untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah meskipun mantan
terpidana tersebut telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik
bahwa yang bersangkutan mantan terpidana (Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-
Undang Pilkada). Terhadap pengaturan tersebut, secara sistematis dapat diartikan
bahwa jika kejahatan seksual terhadap anak dan kejahatan narkoba dikategorikan
sebagai kejahatan/tindak pidana terhadap kemanusiaan yang tergolong berat dan luar
biasa sehingga bagi mantan terpidana kejahatan tersebut dilarang untuk memperoleh
kesempatan dalam proses pemilihan umum, maka demikian pula halnya dengan
tindak pidana korupsi yang pada Pasal 169 huruf d undang-undang pemilu
ditempatkan sejajar (dalam sifat maupun dampaknya) dengan kejahatan berat
lainnya.
Hal berikut ini merupakan regulasi kepemiluan yang dirujuk Komisi Pemilihan
Umum, di antaranya Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan
Undang-Undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (Undang-Undang No 28 Tahun 1999).
Penelusuran yuridis yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum disertakan metode
penafsiran secara sistematis dan gramatikal yang ditindak lanjut dengan penafsiran
ekstensif. Pertama, Komisi Pemilihan Umum merujuk pada Pasal 169 huruf d undang-
undang pemilu yang berbunyi: “d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah
melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.” Perlu diingat, bahwa
Pasal 169 huruf d149 Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum ialah
salah satu syarat yang harus dipenuhi sebagai calon presiden maupun wakil presiden
(pemimpin negara) sedangkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun
2018 diperuntukan pengaturan teknis pencalonan legislatif. Perlu diingat bahwa
peraturan teknis pencalonan legislatif berdasarkan amanat Pasal 257 ayat (3)150 Undang-
Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Artinya, seharusnya merujuk
pada aturan pencalonan legislatif yang terdapat dalam undang-undang pemilu, sehingga
linear menjadi peraturan pelaksana.
149
Pasal tersebut berbunyi: “tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melainkan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.”
150
Pasal tersebut berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diatur dalam Peraturan KPU.
144
151
Adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 28 Tahun 1999).
146
152
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. LN No 182 Tahun 2017. Ps 75 ayat (1).
153
Berdasarkan UUD NRI 1945 yang kemudian penggunaan kata komisi pada komisi pemilihan umum
masih dipertahankan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sampai sekarang.
154
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. LN No 182 Tahun 2017.
147
155
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan ’Jenis, Fungsi, dan Materil Muatan’, PT. Kanisius (Anggota
IKAPI), Yogyakarta, 2007, hlm 20 – 22.
156
Ibid., hlm 35.
157
Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011.
148
Tahun 2018, Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut lahir untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 257 ayat (3) undang-undang Pemilu158 yang berbunyi: “Ketentuan lebih
lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan
Umum.” Mengingat hierarki peraturan perundang-undangan, Peraturan Komisi
Pemilihan Umum tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan undang-undang
Pemilu; undang-undang Pemilu hanya dapat diubah, ditambah, diganti, atau pun dicabut
oleh peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi; dan undang-undang Pemilu tetap
berlaku meskipun Peraturan Komisi Pemilihan Umum mengubah, menambah,
mengganti, atau pun mencabut. Pasal 240 ayat (1) huruf g undang-undang Pemilu
berbunyi:
“tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan
terpidana.”
Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018
berbunyi: “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan
seksual terhadap anak, dan korupsi.” Norma yang terdapat dalam pasal undang-undang
pemilu tersebut merupakan norma umum. Sebab, norma larangan tersebut berlaku bagi
orang yang pernah dipidana dengan ancaman 5 (lima) tahun pidana penjara tanpa ada
klasifikasi atas perbuatan pidana apa. Selain itu, norma larangan tersebut dikecualikan
bagi orang yang mengemukakan dirinya mantan terpidana kepada publik. Lain halnya
dengan norma yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 20 Tahun 2018. Artinya, Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum benar-benar terbuka untuk siapapun, termasuk mantan terpidana yang
berkeinginan mencalonkan diri sebagai legislatif, sepanjang syarat dan ketentuan
dipenuhi. Maka, norma yang terdapat dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor
20 Tahun 2018 tidak berada pada tempatnya dalam peraturan perundang-undangan.
158
Dalam Konsideran Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018.
149
Menyinggung kejahatan atau tindak pidana terhadap kemanusiaan yang tergolong berat
dan luar biasa, dalam pandangan Penulis, kejahatan berat dan luar biasa atau dikenal
dengan kejahatan extraordinary crimes dapat dilihat secara sempit atau luas.
Secara sempit, kejahatan luar biasa sebagaimana standar dari statuta roma, yakni
genosida, kemanusiaan, perang, dan agresi.159 Di Indonesia, kejahatan luar biasa
sebagaimana yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, yakni genosida dan kemanusiaan. Secara luas,
kejahatan luar biasa dapat dilihat dari karakter kejahatannya, dan adanya penanganan
khusus untuk kejahatan dimaksud. Karakter yang dimaksud ialah memiliki dampak
sistemik dan luas. Penanganan khusus ialah adanya aturan khusus yang menyimpangi
aturan pokok. Hukum pidana internasional menggunakan istilah the most serious crimes
concern to international community sebagai istilah yang serupa dengan kejahatan luar
biasa. Sejak dibentuknya Rome Statute of International Criminal Court tahun 1998,
diperkenalkan istilah the most serious crimes concern to international community yang
merupakan kejahatan yang masuk dalam jurisdiksi International Criminal Court.
Pasal 5 Statuta Roma menerjemahkan the most serious crimes concern to
international community tersebut menjadi empat jenis, yaitu genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Kejahatan tersebut
dipandang sebagai kejahatan luar biasa karena telah sangat mencederai nurani
kemanusiaan dan merupakan pelanggaran berat yang mengancam perdamaian,
keamanan dan kesejahteraan dunia. Menurut Mark. A Drumble kejahatan tersebut
dipandang sebagai suatu kejahatan luar biasa karena memiliki kriteria utama “is conduct
– planned, systematized, and organized-that targets large numbers of individuals based
on their actual or perceived membership in a particular group that has become selected
as a target on discriminatory grounds”160 sebenarnya dalam pengamatan penulis,
terdapat suatu anomali kriteria kejahatan luar biasa di Indonesia sebagaimana bila
dilihat terhadap kriteria Mark Drumble, maka di Indonesia kejahatan luar biasa hanya
tepat dipergunakan untuk tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dan
terorisme. Nomenklatur kejahatan luar biasa pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2000
159
https://business-law.binus.ac.id/2016/06/17/anomali-kriteria-kejahatan-luar-biasa-di-indonesia/ Diakses
pada 7 Juni 2019.
160
Drumble, Mark. A, Atrocity, Punishment and International Law. New York: Cambrige University
Press, 2007, hlm 4. Disadur dari https://business-law.binus.ac.id/2016/06/17/anomali-kriteria-kejahatan-
luar-biasa-di-indonesia/ diakses pada 7 Juni 2019.
150
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia mengadopsi norma-norma yang diatur Statuta
Roma. Kejahatan luar biasa yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang dibatasi pada dua bentuk, yaitu genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan dimana definisi atas kedua bentuk kejahatan
tersebut sama dengan defines yang diatur dalam Pasal 6 dan 7 Statuta Roma.
Selanjutnya nomeklatur tindak pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa
terdapat dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International
Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Undang-
Undang No 6 Tahun 2006). Lebih lanjut untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dan psikotopika dan tindak pidana korupsi dipandang belum memunuhi kriteria sebagai
kejahatan luar biasa. Pertama kedua tindak pidana tersebut tidak memenuhi kriteria
dari the most serious crimes concern to international community sebagaimana dimaksud
dalam Statuta Roma dan definisi ataupun deskripsi dari Mark. A Drumble. Meskipun di
lain hal dalam penelusuran penulis, pandangan Mahkamah Konstitusi melalui dua
putusannya No. 2 /PUU-V/2007 and No. 3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober 2007 telah
menyatakan bahwa tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotopika
meruapakan kejahatan luar biasa berdasarkan pada United Nation Convention Single
Convention on Narcotic Drugs, 1961 dan United Nations Convention Against Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 dimana keduanya telah
diratifikasi melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 dan Undang-Undang No. 7
Tahun 1997.
161
Putusan Mahkamah Agung Nomor 46/P/HUM/2018, hlm. 36-38.
152
3) Setelah itu, Komisi Pemilihan Umum melakukan publikasi Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 20 Tahun 2018 di laman resmi Jaringan Dokumen Informasi Hukum.
Adapun asas pembentukan peraturan perundangan-undangan yang dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Berdasarkan pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, sebagai berikut:162
a. Kejelasan Tujuan
Bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
Menurut Komisi Pemilihan Umum, suatu jabatan harus dipangku oleh orang yang
berkualitas dan integritas tinggi. Oleh karena itu, adanya aturan Pasal 4 ayat (3)
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 guna menghasilkan pejabat
publik yang berkualitas dan berintegritas.163
162
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 beserta penjelasannya dalam undang-undang. Lihat
juga: http://birohukum.pu.go.id/component/content/article/101.html diakses pada 7 Juni 2019.
163
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, hlm 59.
153
disebut Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Berdasarkan landasan yang sah atau dapat
dilihat dari landasan yuridis sebagai berikut:
1. Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Pasal 75 ayat (1) undang-undang pemilu.
3. Pasal 257 ayat (3) undang-undang pemilu.
d. Dapat Dilaksanakan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Legitimasi hukum dituntut untuk memenuhi unsur
filosofis, sosiologis, dan yuridis secara lengkap. Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018, memiliki landasan filosofis dan sosiologis
yang sangat kuat. Kedua landasan tersebut berasal dari falsafah negara, kenyataan
pemimpin saat ini, dan mewakili kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi. Adapun landasan yuridis, menurut penulis, landasan yuridis yang digunakan
kurang tepat serta mengabaikan hierarki peraturan perundang-undangan, prosedur
pembentukan peraturan perundang-undangan, serta putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap terkait hal ini.164 Meskipun, landasan filosofis dan sosiologis
164
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 15/PUU-VI/2008.
154
f. Kejelasan Rumusan
Bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan
berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Komisi Pemilihan Umum dalam
menyusun Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan nilai yang hidup di
masyarakat, serta melindungi hak masyarakat dalam mendapatkan pemerintahan
legislatif yang baik, bersih, dan berintegritas. Berdasarkan hal demikian, Komisi
Pemilihan Umum mengatur secara detail dan rigid mengenai proses serta syarat calon
legislatif.166
g. Keterbukaan
Bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Komisi Pemilihan Umum dalam
menyusun Peraturan Komisi Pemilihan Umum, telah memiliki mekanisme penyusunan
165
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, hlm 43.
166
Putusan Mahkamah Agung Putusan Nomor 46 P/HUM/2018, hlm 57.
155
1. Pengayoman
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat; Sebagaimana
maksud pengayoman, Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20
Tahun 2018 sudah secara jelas memberikan perlindungan. Pasal tersebut melindungi
publik dari pemerintahan legislatif yang tidak berkualitas dan berintegritas. Maka, capai
lainnya dari pasal tersebut sepatutnya menghadirkan ketentraman. Bahwa, tentram,
merasa aman atas orang-orang pemerintahan legislatif yang dipilihnya.
2. Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; Tuntutan mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia sebagaimana asas ini, sekilas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tidak memenuhinya,
167
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 beserta penjelasannya dalam undang-undang.
Lihat juga: http://birohukum.pu.go.id/component/content/article/101.html diakses pada 7 Juni 2019.
156
khususnya Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018.
Namun, secara keseluruhan makna asas ini, yakni proporsional atas pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia tentu terpenuhi. Mengingat kepentingan publik atas
pemimpin yang berkualitas dan berintegritas lebih baik dari pada dibandingkan dengan
kepentingan sekelompok orang saja.
3. Kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia; Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 20 Tahun 2018168 dapat dikatakan sebagai semangat kebangsaan, karena sesuai
dengan landasan filosofis dan sosiologis, di mana mengharapkan pemimpin yang
terbaik dari yang terbaik. Pemimpin yang bekualitas dan berintegritas, sehingga
kepercayaan yang diberikan oleh rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi, tidak
berkurang. Sejatinya, para calon pemimpin atau legislatif tentu dengan latar belakang
partai pendukungnya memiliki tujuan yang sama dengan rakyat, yakni memajukan masa
depan bangsa.
4. Kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
Sebagaimana yang dimaksud asass ini dalam penjelasannya, cerminan musyawarah
untuk memperoleh mufakat dapat dilihat dari mekanisme penyusunan Peraturan Komisi
Pemilihan Umum.
Penyusunan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20
Tahun 2018 mendapat respon kontra dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) Bahwa pelarangan terhadap
mantan terpidana yang termuat dalam pasal tersebut, sebaiknya dikembalikan pada
Pasal 240 ayat (1) huruf g undang-undang Pemilu. Mengenai RDP, merujuk pada
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 92/PUU/XIV/2016. Bahwa hasil dari
RDP tidak lagi mengikat, artinya pelaksanaan RDP tetap, tetapi menanggapi hasil RDP
168
Pasal tersebut berbunyi: “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap
anak, dan korupsi.”
157
5. Kenusantaraan
Setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 ialah peraturan yang
dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, atau Pusat, di mana
tetap memperhatikan aturan khusus yang dimiliki Aceh karena keistimewaan daerah
yang tersemat pada Aceh.
7. Keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang- undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara; Keadilan berarti ada tindakan
tidak adil, diskriminasi, membeda- bedakan, tidak sama, dan sebagainya. John Rawls
berpendapat bahwa ketidaksamaan diperbolehkan apabila penting untuk penjaminan
suaatu kelompok yang lebih besar dari kelompok yang dibatasi tersebut. Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007, bahwa tidak
diskriminasi suatu syarat tidak pernah dipidana karena jabatan publik dituntut syarat
kepercayaan masyarakat.169 Menurut mahkamah170, bahwa pemenuhan hak atas
kesempatan yang sama dalam pemerintahan tidaklah meniadakan kewenangan negara
untuk mengatur dan menentukan syarat-syaratnya. Jelasnya, pengisian suatu jabatan
publik membutuhkan kepercayaan masyarakat. Hal demikian menyangkut kredibilitas
169
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, hlm 58.
170
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007, hlm 129.
158
moral seseorang yang dicalonkan atau mencalonkan diri untuk menduduki suatu jabatan
publik. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 15/PUU-VI/2008 memiliki
kesinambungan dengan penjelasan sebelumnya mengenai keadilan. Bahwa keadilan
bukanlah selalu dapat dimaknai diperlakukan sama dengan lainnya. Adil ialah ketika
memperlakukan sama suatu hal yang sama, dan beda terhadap suatu hal yang beda.
b. Keserasian
Keserasian antara berbagai kepentingan tersebut, Penulis menilai, Komisi
Pemilihan Umum merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 14-
17/PUU-V/2007, bahwa pemilihan yang dilakukan oleh rakyat tidak dapat sepenuhnya
diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan serta tidak dapat beralasan bahwa rakyatlah
yang akan menanggung resiko atas pilihannya sendiri. Padahal, rakyat memerlukan
Pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Maka, serasi ketika muncul aturan rigid
mengenai bakal calon legislatif, sebab pemilih dapat memiliki keyakinan yang lebih
terhadap pilihannya, karena sudah terseleksi lebih dulu.
c. Keselarasan
Kepentingan berbagai pihak tentunya memiliki tujuan mendasar yang sama,
yakni menginginkan suatu pemerintahan legislatif yang berkualitas dan berintegritas.
Hanya saja, sudut pandang terhadap setiap individu lainnya, pemahaman tentang hak,
serta proses upaya menduduki pemerintahan legislatif berbeda-beda. Tujuan mendasar
ialah sesuatu yang dapat berlaku umum, sebab harus mencakup kepentingan semua
pihak. Jika ada yang merasa tidak diakomodir kepentingannya, tentu ialah yang berada
pada kondisi khusus atau tertentu. Hal demikian menurut Komisi Pemilihan Umum
selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 14- 17/PUU-V/2007171
Maka, adanya Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun
2018 ialah suatu kepatutan.
171
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 46 P/HUM/2018, hlm 59.
160
mengatur larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk mengikuti Pemilihan Umum,
sehingga Pemohon merasa hak dan/atau kewenangan konstitusi dirugikan dengan
berlakunya Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut. Pemohon adalah warga negara
Indonesia yang pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana korupsi, sama
sekali tidak ada Pidana Tambahan yang melarang Pemohon untuk dipilih dan/atau
memilih atau untuk aktif dalam kegiatan politik atau dalam suatu jabatan politik
dan/atau menduduki jabatan di pemerintahan, atau dengan kata lain melarang Pemohon
untuk menjadi calon wakil rakyat di DPR atau DPRD. Dalam Pasal 4 ayat (3) PKPU
nomor 20 Tahun 2018, berbunyi: “dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan
terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyertakan mantan terpidana
bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.” Pasal 11 ayat (1) huruf
d, yang berbunyi,” Dokumen persyaratan pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (1) berupa ... d. Pakta integritas yang ditandatangani oleh pimpinan
partai politik sesuai dengan tingkatannya dengan menggunakan formulir Model B.3”
dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD
Provinsi/ DPRD Kabupaten/Kota.
Berlakunya ketentuan yang membatasi berupa persyaratan perseorangan calon
Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota tersebut telah serta merta
menghukum dan membatasi hak seseorang, padahal suatu norma yang terdapat di dalam
undang-undang tidak bisa diberlakukan begitu saja. Norma tersebut hanya berlaku dan
dijalankan melalui putusan pengadilan. Seseorang hanya bisa dihukum dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Jika aturan tersebut diberlakukan
menunjukkan tidak adanya kepastian hukum terhadap diri pemohon. Pemohon adalah
warga negara Republik Indonesia yang pernah dinyatakan bersalah dan terbukti
melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 1164 K/Pid.Sus/2010 tanggal 9
Juni tahun 2010. Dalam putusan tersebut pemohon dijatuhi pidana kurungan penjara
karena melakukan tindak pidana korupsi. Di dalam putusan tersebut tidak ada hukuman
tambahan yang melarang Pemohon untuk aktif dalam kegiatan politik, dipilih, atau
memilih dalam suatu Pemilihan Umum. Namun demikian dengan adanya aturan yang
162
terdapat dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang diuji tersebut menjadi mustahil bagi
pemohon untuk mencalonkan diri dalam proses pemilihan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah di Kabupaten Probolinggo.
Pemohon yang telah menjalani hukuman pidana sesuai dengan aturan, kemudian
kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk beraktifitas dan menjalani kehidupan
sehari-hari. Melakukan kegiatan seperti sediakala seperti sebelum menjalani hukuman
pidana penjara. Pada saat ini Pemohon bermaksud untuk kembali berperan dalam
membangun daerahnya dalam hal ini menjadi Anggota DPRD di Kabupaten
Probolinggo. Namun demikian haknya terhalang dengan adanya norma yang terdapat
dalam pasal 4 ayat (3) , Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampirana Model B.3 PKPU
Momor 20 Tahun 2018 telah membatasi hak konstitusional Pemohon dalam rangka
memajukan dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Pokok Perkara:
Fokus perhatian Pemohon adalah salah satu persyaratan menjadi anggota calon
anggota DPR,DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota PKPU Nomor 20 Tahun 2018
yakni pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1), dan Lampiran Model B.3. Pasal 4 ayat (3)
PKPU nomor 20 Tahun 2018, berbunyi, “dalam seleksi bakal calon secara demokratis
dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyertakan mantan terpidana
bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.” Pasal 11 ayat (1) huruf
d, yang berbunyi, ”Dokumen persyaratan pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 berupa ... d. Pakta integritas yang ditandatangani oleh pimpinan partai
politik sesuai dengan tingkatannya dengan menggunakan formulir Model B.3” dan
Lampiran Model B.3 Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD
Provinsi/ DPRD Kabupaten/Kota.
Beberapa pasal dalam PKPU tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan :
1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234).
3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik
163
UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan pasal 43 ayat (1) dan pasal
73 undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya
adapun pengakuan terhadap hak politik ini diakui dalam kovenan internasional hak-hak
sipil dan politik (international covenant on civil and political rights disingkat ICCPR)
yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan resolusi
2200A sebagaimana telah diratifikasi melalui undang- undang nomor 12 tahun 2005
tentang pengesahan international covenant on civil and political rights.
Untuk itu sangat jelas bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum dan kalaupun ada permbatasan
terhadap hak tersebut maka harus ditetapkan dalam undang- undang atau berdasarkan
putusan hakim yang mencabut hak politik seseorang yang disebut didalam hukuman
tambahan. Selanjutnya menurut Mahkamah Agung norma yang diatur dalam ketentuan
yang disebutkan diatas bertentangan dengan pasal 240 ayat (1) huruf g undang-undang
nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak
menyebutkan norma atau aturan larangan mencalonkan diri bagi mantan terpidana
korupsi sebagaimana yang tercantum dalam peraturan KPU nomor 20 tahun 2018.
Meskipun maksud dari KPU rumusan norma tersebut ditujukan kepada pimpinan partai
politik pasa saat melakukkan proses seleksi internal partai politik terhadap bakal calon
anggota legislatif, agar tidak mengikut sertakan mantan terpidana korupsi, bandar
narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak, menurut Mahkamah tetap saja hal
tersebut pada intinya membatasi hak politik seseorang yang akan mencalonkan diri
sebagai bakal calon anggota legislatif dalam pemilihan umum.
Selanjutnya pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1) huruf d dan pakta integritas B.3
Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bertentangan pula
dengan pasal 12 huruf d dan tidak sejalan dan berbenturan atau tidak memenuhi asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana yang
dijelaskan dalam undang- undang nomor 12 tahun 2011. Adapun rumusan pasal 12
huruf d undang- undang nomor 12 tahun 2011 menentukan "peraturan dibawah undang-
undang berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya"
sehingga menurut Mahkamah Agung KPU telah membuat ketentuan yang tidak
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan diatasnya.
165
Hak memilih dan dipilih sebagai anggota Legislatif merupakan hak dasar di
bidang politik yang dijamin oleh Konstitusi yaitu Pasal 28 Undang- Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945. Pengakuan hak politik ini juga diakui dalam Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights disingkat ICCPR) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966 sebagaimana telah
diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik). Lebih lanjut pengaturan mengenai hak politik diatur dalam
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
166
(UU HAM), yang menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih
dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Pasal 73 Undang-Undang tersebut juga menentukan “Hak dan
kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan,
ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”; Dalam UU HAM di atas sangat jelas diatur
bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum dan kalaupun ada pembatasan terhadap hak tersebut maka harus
ditetapkan dengan undang-undang, atau berdasarkan Putusan Hakim yang mencabut hak
politik seseorang tersebut di dalam hukuman tambahan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto
Pasal 35 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur
mengenai pencabutan hak politik (hak dipilih dan memilih). Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018, Pasal 4 ayat (3), menentukan, “Dalam seleksi
bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak
menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan
korupsi.” serta “Pasal 11 ayat (1) huruf d, menentukan “Dokumen persyaratan
pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berupa ... Pakta
integritas yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya
dengan menggunakan formulir Model B.3”; Lampiran Model B.3 berisi tentang Pakta
Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD
Kabupaten/Kota, PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
Menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam Pasal 4 ayat 3 Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan dengan Pasal 240 ayat
(1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang
menyatakan:
“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga
Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
a. “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
167
memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan
kepada
publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”;
Dari ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g tersebut tidak ada norma atau aturan
larangan mencalonkan diri bagi Mantan Terpidana Korupsi sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3
Pakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD
Kabupaten/Kota, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 Meskipun
maksud Komisi Pemilihan Umum mencantumkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1)
huruf d dan Lampiran Model B.3 ditujukan kepada pimpinan partai politik pada saat
melakukan proses seleksi internal partai politik terhadap Bakal Calon Anggota Legislatif
agar tidak mengikutsertakan mantan terpidana koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan
seksual terhadap anak, akan tetapi hal tersebut pada intinya membatasi hak politik
seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai Bakal Calon Legislatif dalam Pemilihan
Umum. Diketahui Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan pula dengan
Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menentukan, “peraturan
di bawah undang-undang berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya”. Komisi Pemilihan Umum telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan
oleh peraturan perundang- undangan diatasnya.
Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tidak sejalan, berbenturan, atau tidak
memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penyelenggaraan Pemilu yang adil dan
berintegritas sebagaimana menjadi semangat Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 20 Tahun 2018 (objek hak uji materiil) merupakan sebuah keniscayaan bahwa
pencalonan anggota legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak pernah
memiliki rekam jejak cacat integritas. Namun pengaturan terhadap pembatasan hak
168
politik seorang warga negara harus dimuat dalam undang-undang, bukan diatur dalam
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang in casu Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018;
Bilamana dilihat pada Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran
Model B.3 yang mengatur tentang hak politik warga Negara, merupakan norma hukum
baru yang tidak diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka
ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU
Nomor 20 Tahun 2018 sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” harus dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
juta rupiah);
negara dan peraturan perundang-undangan pasal 43 ayat (1) dan pasal 73 undang-
undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 240 ayat (1) huruf
g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Berdasarkan dasar-
dasar hukum tersebut, akhirnya Mahkamah Agung menyatakan bahwa norma hukum:
Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 yang mengatur
tentang hak politik warga Negara, merupakan norma hukum baru yang tidak diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maka ketentuan Pasal 4 ayat (3), Pasal
11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sepanjang
frasa “mantan terpidana korupsi” harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
.Pada tahun 2017 undang-undang pemilu telah mengalami pembaharuan,
Undang-Undang yang mengatur persyaratan bagi setiap warga negara yang ingin
menjadi calon anggota legislatif baik DPD, DPR, dan DPRD, persyaratan tersebut
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Bahwa salah satu persyaratan
untuk menjadi anggota legislatif yakni dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017: “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: tidak
pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan
kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.” Undang-undang inipun
telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 agustus 2017, terdiri atas
573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran. Atas beberapa dasar pertimbangan yang
didasarkan pada dalil-dalil pemohon, alat bukti surat, keterangan ahli yang diajukan,
keterangan pemerintah dan pihak pemohon.
Akhirnya Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan seluruh permohonan
dari pemohon. Menurut penulis tentang kasus diatas apabila seseorang telah menjalani
penjara atau pemasyarakatan masih tidak dapat disamakan dengan orang yang belum
pernah dipenjara, maka itu merupakan pengakuan sistem pemasyarakatan Indonesia
yang belum baik atau gagal, artinya proses pemasyarakatan selama ini yang dilakukan
oleh negara tidak berhasil mengembalikan kedudukan mantan narapidana sebagai
171
anggota masyarakat yang normal. Seorang mantan narapidana adalah orang yang dulu
pernah melakukan perbuatan kejahatan/tindakan kriminal dan telah menjalani hukuman
pidana. Dengan adanya Putusan Mahkamah Agung ini, penulis menilai bahwa
dibatalkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor. 20 tahun 2018 telah
membuat pemahaman pihak yang kontra atas putusan ini menjadi sebuah pertanyaan
besar tentang keadilan yakni seberapa besarkah hak asasi manusia yang dimiliki tiap
individu yang merasa larangan untuk dipilih bagi mantan narapidana korupsi
bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Hal ini disebabkan timbulnya
pertanyaan akan hak warga negara untuk bisa memilih terhadap pilihan tiap pasangan
calon pejabat publik yang dipilih yang tersedia bagi masyarakat.
Kedudukan hukum mengenai syarat seorang warga negara dapat menjadi calon
legislatif (caleg) telah diatur dalam Undang-Undang no. 17 Tahun 2017 tentang pemilu,
jauh sebelum Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 ditetapkan
oleh Komisi Pemilihan Umum. Dalam Pasal 240 Ayat 1 huruf g dinyatakan bahwa
bakal calon Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia
yang harus memenuhi syarat tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara
terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan
terpidana. Ada dua makna dari pasal tersebut. Pertama, seorang mantan koruptor masih
dapat menjadi caleg sepanjang tidak pernah dijatuhi pidana penjara lima tahun atau
lebih dan bukan sedang dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan. kedua, seorang
mantan koruptor tetap dapat mencalonkan diri di pemilu legislatif sepanjang mau
mengakui secara terbuka dan jujur di depan publik bahwa ia adalah seorang mantan
terpidana korupsi. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, telah memberikan
pendapat hukum melalui putusannya mengenai aturan terhadap mantan narapidana
korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon pejabat publik yang dipilih, tertuang
dalam Putusan No. 4/PUU-VII/2009. Putusan ini sebagai jawaban atas judicial
review terhadap Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,
yang membatalkan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 Ayat 1 huruf g Undang-Undang No 10
Tahun 2008 dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang No 12 Tahun 2008 karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketiga pasal tersebut mengatur bahwa mantan narapidana korupsi tidak boleh
mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Pertimbangan hukum yang diberikan
oleh Mahkamah Konstitusi adalah pasal-pasal tersebut telah berbuat tidak adil, telah
mendiskriminasikan antara warga negara, serta tidak memberikan kedudukan hukum
yang sama dalam pemerintahan.174
174
Untuk lebih lanjut lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-VII/2009.
173
VII/2009 tanggal 24 Maret 2009. Atas hal tersebut, implikasinya ialah rumusan norma
Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 mengatur persyaratan
pencalegan yakni: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Di sisi lain, terkait persyaratan Capres/Cawapres yang diatur dalam Pasal 169
huruf d undang-undang pemilu mengadopsi Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No 42/2008,
setidaknya kedua Pasal tersebut mensyaratkan bahwa seorang calon presiden atau wakil
presiden tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana
korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Penulis menilai kemungkinan alasan klasik dari
pihak pembuat undang-undang mengadopsi format Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No
42/2008 secara utuh ke dalam Pasal 169 huruf d Undang-Undang No 7/2017 lantaran
belum adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah persyaratan
Capres/Cawapres yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 42/2008
sehingga terlihat adanya ketimpangan dalam persyaratan Capres/Cawapres dengan
persyaratan Caleg. Namun demikian, Komisi Pemilihan Umum hanya memandang
ketimpangan dalam pengaturan persyaratan Capres/Cawapres dengan Caleg
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, tanpa melihat latar
belakang adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-VII/2009. Sejatinya, sesuai
hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi No.4/PUU-
VII/2009 serta kewenangan dalam menerbitkan peraturan, seharusnya Komisi
Pemilihan Umum mensinkronisasi pengaturan tentang persyaratan Caleg dalam Pasal 7
ayat (1) huruf g Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.20/2018 dengan Pasal 240 ayat
(1) huruf g Undang-Undang No 7/2017. Sinkronisasi dilakukan dengan menambahkan
rumusan norma “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana”. Namun alih-alih mensinkronkan Pasal 7 ayat (1)
huruf g dengan rumusan norma di atas, Komisi Pemilihan Umum malah menambah
persyaratan baru. Yakni, “Bukan mantan terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual
terhadap anak atau korupsi” -ketika Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20
Tahun 2018 belum dicatatkan dalam lembaran negara, namun sudah ditetapkan Komisi
Pemilihan Umum. Pengaturan tersebut seolah menempatkan posisi Komisi Pemilihan
175
175
Penulis maksudkan ialah seperti negoisasi akibat adanya pihak-pihak yang menolak dan ada pihak
yang merasakan aturan dalam Peraturan KPU tersebut telah tepat.
176
176
Untuk lebih lanjut lihat putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-XIV/2016.
177
Pasal 7 ayat (1) huruf h menyebutkan: “Bakal calon anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus
memenuhi persyaratan : h). Bukan mantan terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual
terhadap anak atau korupsi”. Melihat perjalanan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
20/2018, memang terbilang menarik. Sebab, pengaturan larangan eks narapidana kasus
korupsi secara etika moral dapat dibenarkan. Akan tetapi, kalangan masyarakat sipil
peduli pemilihan umum yang bersih dan pegiat anti korupsi hingga Komisi
Pemberantasan Korupsi pun mendukung penuh aturan tersebut. Meski suara di
parlemen terpecah, setidaknya masih terdapat fraksi partai yang mendukung aturan
tersebut.
177
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180704135506-32-311468/pkpu-resmi-berlaku-ketua-kpu-
harap-tak-ada-lagi-perdebatan diakses pada 7 Juni 2019.
178
Dengan adanya perbedaan persyaratan bagi bakal calon anggota dewan, Komisi
Pemilihan Umum sebagai lembaga negara yang tugasnya sebagai penyelenggara Pemilu
pun memiliki kewenangan mengatur dan mensinkronisasi syarat pencalonan menjadi
setara dan tidak diskriminatif.
Namun demikian, penulis melihat bahwa sikap Komisi Pemilihan Umum yang
mengkritisi mengenai mengapa ada perbedaan persyaratan antara calon presiden/wakil
presiden dengan calon legislatif dalam Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu
tersebut menjadi suatu niatan yang kurang elok karena tidak menemukan landasan
hukum yang kuat sebagai dasar pembentukan peraturan yang dibentuk oleh Komisi
Pemilihan Umum.
demokrasi yang pada hakikatnya diselenggarakan sebagai sarana kedaulatan rakyat, dan
sarana partisipasi masyarakat. Demokrasi konstitusional tidak dapat lepas dari konsep
demokrasi dan nomokrasi, karena kedua konsep tersebut saling berkonvergensi sehingga
memunculkan konsep negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) dan
negara demokrasi berdasarkan hukum (constitutional democratic) atau yang disebut
sebagai negara demokrasi konstitusional (constitutional democratic state).178
Penulis menganalisa berbagai macam undang-undang pemilu telah dibentuk di
Indonesia namun Pemilu perlu diselenggarakan berdasarkan undang-undang pemilu
yang tidak hanya berisi penjabaran prinsip-prinsip pemilu demokratis, tetapi juga harus
mengandung adanya kepastian hukum. Berdasarkan penelusran literatur penulis,
kepastian hukum dalam pengaturan pemilu akan terwujud apabila:
1. semua aspek mengenai pemilu diatur secara komprehensif sehingga tidak terjadi
kekosongan hukum;
2. semua ketentuan yang mengatur pemilu harus konsisten satu sama lain, sehingga tidak
terjadi kontradiksi antar-ketentuan atau antar peraturan;
3. semua ketentuan harus mengandung arti yang jelas dan bermakna tunggal, sehingga
tidak terjadi ketentuan yang menimbulkan multitafsir; dan
4. semua ketentuan yang dibentuk harus dapat dilaksanakan.
Bisarida dkk, “Komparasi Mekansime Penyelasaian Sengketa Pemilu di Beberapa Negara Penganut
178
179
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanikus,
2006, hlm 25-26.
180
Meidy Yafeth Tinangon, 2018, PKPU dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan,
https://kpu.go.id/index.php/post/read/2018/6523/PKPU-dalam-Hirarki-PeraturanPerundang-undangan,
diakses pada tanggal 7 Juni 2019. Disadur dari: file:///C:/Users/julia/Downloads/27100-Article%20Text-
59500-1-10-20181112%20(1).pdf diakses pada 7 Juni 2019.
181
181
Mahkamah Konstitusi Anulir Larangan Mantan Narapidana Ikut Pilkada,
https://nasional.kompas.com/read/2015/07/10/02000021/MK.Anulir.Larangan.Mantan.
Narapidana.Ikut.Pilkada diakses pada tanggal 7 Juni 2019.
182
K. Grundler, T. Krieger, Democracy and growth: Evidence from a machine learning indicator,
European Journal of Political Economy (2016), http://dx.doi.org/10.1016/j.ejpoleco.2016.05.005, hlm 85.
182
Berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal
13 tentang kewenangan Komisi Pemilihan Umum dijelaskan bahwa Komisi Pemilihan
Umum memiliki sekian banyak kewenangan diantaranya kewenangan untuk menetapkan
suatu peraturan untuk setiap tahapan pemilu. Proses pencalonan calon anggota legislatif
merupakan bagian dari tahapan pemilu yang harus diatur oleh Komisi Pemilihan Umum
yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan pemilu yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Oleh karena itu, sangatlah tepat dan rasional, suatu peraturan
mengenai tahapan pemilu dibuat atau dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki tugas
utama sebagai penyelenggara pemilu. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20
Tahun 2018 memiliki kedudukan yang sama dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
pada umumnya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena diperintahkan oleh
183
Hanum Hapsari, Dilema Pelarangan Narapidana Korupsi Mendaftarkan Diri Sebagai Calon
Legislatif, Makalah disampaikan dalam Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang
Volume 4 Nomor 2 Tahun 2018, hlm. 136-153.
184
Henk Addink, Sourcebook-Human Rights and Good Governance (Asialink Project on Education in
Good Governance and Human Right, 2010, hlm 4.
183
Yang dimaksud mantan terpidana dalam pasal tersebut berlaku untuk semua jenis
tindak pidana apapun, asalkan perbuatannya tidak diancam dengan hukuman penjara
lima tahun atau lebih. Dalam pandangan penulis, seluruh pasal dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dapat dilihat bahwa tidak ada pasal yang bunyinya
mengatur atau membolehkan secara tegas mengenai mantan terpidana bandar narkoba,
kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi untuk maju sebagai calon legislatif. Karena
tidak ada pengaturan pasal yang mengatur secara tegas, maka Komisi Pemilihan Umum
yang memiliki otoritas penuh dalam hal penyelenggaraan pemilu beritikad baik untuk
mengatur secara detail dan teknis, khusus kepada tiga macam terpidana yaitu kepada
mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual kepada anak dan korupsi. Hal
tersebut diatur secara khusus dikarenakan ketiga perbuatan tindak pidana diatas, masuk
ke dalam kategori kejahatan tindak pidana luar biasa atau extraordinary crime, yaitu
185
Sutan Sorik, Problematika PKPU Nomor 20 Tahun 2018: Mantan Koruptor Menjadi Caleg?,
http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1225-problematika-pkpu-no-20-tahun-2018-
mantan-koruptor-menjadi-caleg, diakses pada tanggal 7 Juni 2019.
Disadur dari: file:///C:/Users/julia/Downloads/27100-Article%20Text-59500-1-10-20181112%20(1).pdf.
185
suatu jenis kejahatan atau tindak pidana yang memiliki dampak negatif sangat luas bagi
suatu bangsa.
Berdasarkan Perppu Nomor 1 tahun 2016 terdapat beberapa tindak pidana yang
dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana
terorisme, tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika serta tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak. Dapat disimpulkan hal tersebut menjadi sangat wajar
dan sudah seharusnya, suatu kejahatan yang luar biasa harus diikuti dengan sikap atau
komitmen yang luar biasa untuk menanganinya dengan upaya preventif, yang ditunjukan
oleh Komisi Pemilihan Umum dengan mengeluarkan peraturan yang melarang mantan
terpidana yang masuk kategori kejahatan luar biasa ikut serta dalam pemilu sebagai
bakal caleg, yang nantinya akan menjadi contoh bagi bangsa Indonesia. Hal positif yang
dapat yang dapat diambil dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut adalah semua
elemen termasuk para hakim agung di Mahkamah Agung harus memiliki semangat dan
komitmen yang sama dengan komisioner Komisi Pemilihan Umum untuk melarang para
terpidana kejahatan luar biasa (bandar narkoba, kejahatan seksual kepada anak dan
korupsi) agar tidak bisa menjadi calon legislatif agar proses pemilu benar benar bisa
melahirkan para wakil rakyat yang berintegritas atau memiliki moralitas yang dapat
dihandalkan.
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Dalam perspektif hierarki norma hukum, sebagai peraturan hukum yang lebih
rendah secara hierarki, norma hukum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum
semestinya tidak boleh bertentangan dengan norma hukum dalam peraturan yang lebih
tinggi, yakni undang-undang pemilu. Hal itu merupakan asas hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah Agung telah memutus uji
materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018
tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa larangan mantan narapidana
kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan undang-undang pemilu. Berdasarkan
undang-undang pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi
terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib mengumumkannya ke
publik. Sementara Peraturan Komisi Pemilihan Umum Pencalonan melarang partai
politik mendaftarkan mantan narapidana kasus korupsi sebagai caleg. Menurut pendapat
penulis, tentu hal ini bertentangan dengan undang-undang pemilu. Undang-Undang
pemilu membolehkan dengan persyaratan-persyaratan tertentu. Tapi Peraturan Komisi
Pemilihan Umum menutup sama sekali.186
Dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Pasal 4 ayat (3),
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota,
maka Komisi Pemilihan Umum mentaati putusan Mahkamah Agung tersebut dengan
mengubah isi Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut menjadi Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, yang didalamnya membolehkan mantan narapidana
korupsi mencalonkan diri sebagai calon legislatif, agar Peraturan Komisi Pemilihan
Umum ini dapat sejalan dengan Undang-Undang Pemilu sehingga menciptakan
kepastian hukum.
186
Kristian Erdianto, Putusan MA: Eks Koruptor Boleh Nyaleg,
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/20183281/putusan-ma-eks-koruptorboleh-nyaleg, diakses 7
Juni 2019.
187
187
Fajlurrahman Jurdi, Pengantar Hukum Pemilihan Umum, Jakarta: Prenada Media, 2018, hlm. 71.
188
masyarakat yakni yang ada di dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g undang-undang Pemilu
dimana menentukan bahwa: “Bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: g.
tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan
kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”, terdapat argumentasi yang
menekankan bahwa latar belakang arah pengaturan substansi pasal tersebut sebenarnya
dikarenakan pertimbangan yang didasarkan pada substansi norma yang terdapat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42 Tahun 2015.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menegaskan bahwa Pasal 7 huruf g Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang ialah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan bagi mantan
terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang
bersangkutan mantan terpidana”.
dalam Pasal 7 huruf g Undang-Undang No 8 Tahun 2015. Nilai dari suatu norma hukum
hasil Putusan Mahkamah Konstitusi itulah yang menjadikan pembentuk undang-undang
Pemilu tidak membatasi terkait hak politik para mantan narapidana untuk mendaftar
sebagai bakal calon legislatif, yakni “sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi
mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa
yang bersangkutan mantan terpidana”. Dengan demikian norma tersebut akan tetap
sejalan dengan substansi norma dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42 Tahun
2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2009. Sementara itu, Peraturan
Komisi Pemilihan Umum No 20 Tahun 2018 sebagai peraturan di bawah undang-
undang yang lebih teknis kemudian mengatur syarat bakal calon anggota legislatif dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf g.
Dengan argumentasi bahwa pengaturan pasal ini merupakan wujud dari
semangat pemberantasan korupsi, pasal a quo menentukan bahwa “Bakal calon anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus
memenuhi persyaratan: g. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap”. Dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut
diatur pula pada pokoknya yaitu bahwa “Dalam seleksi bakal calon yang dilakukan
secara demokratis dan terbuka, partai politik tidak menyertakan mantan terpidana bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi”. Dengan mencermati bunyi 2
pasal dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa
secara substansi norma, meskipun sudah direvisi, pengaturan Pasal 7 ayat (1) huruf g
dan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum sebenarnya tetap berbeda
dengan nilai yang terdapat dalam norma pengaturan Pasal 240 ayat (1) huruf g undang-
undang pemilu, yang secara norma hukum memberikan pengecualian terhadap para
narapidana yang tetap mendaftarkan diri sebagai calon legislatif namun “secara terbuka
dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Di sisi lain, substansi norma dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum ini
sebenarnya tidak hanya melarang mantan terpidana korupsi untuk mendaftar sebagai
calon legislatif, namun juga melarang mantan terpidana bandar narkoba dan mantan
190
terpidana kejahatan seksual terhadap anak. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan publik
yang belum terjawab, yakni mengenai dasar yang melatarbelakangi norma larangan
terhadap tiga mantan narapidana kejahatan tersebut, sementara mantan narapidana untuk
kejahatan lain misalnya kejahatan penghinaan terhadap agama atau bahkan kejahatan
terorisme tidak termasuk sebagai orang yang dilarang mendaftar sebagai calon legislatif.
Dengan melihat masih adanya ketidaksinkronan antara Peraturan Komisi Pemilihan
Umum dengan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum itu sendiri,
maka dapatlah dikatakan bahwa revisi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum
terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum tersebut sebenarnya belum menyelesaikan
masalah yang menjadi polemik selama ini mengingat Peraturan Komisi Pemilihan
Umum tersebut telah berlaku.
Sebenarnya dalam pandangan penulis, berbicara mengenai Peraturan Komisi
Pemilihan Umum dalam perspektif hierarki norma hukum, diketahui dalam teori hukum,
dipahami bahwa suatu norma tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di
atasnya. Inilah yang dimaksud sebagai sistem hierarki norma hukum atau perundang-
undangan. Hierarki dalam hal ini secara sederhana penulis maknai sebagai tata tingkatan
suatu aturan hukum, atau suatu struktur norma hukum tertulis dalam peraturan
perundang-undangan. Oleh sebab itu, idealnya pembentukan peraturan semestinya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya. Mengenai hal ini Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto188 menegaskan bahwa pembentukan peraturan haruslah
memperhatikan asas-asas peraturan perundangan yang salah satunya yaitu “Undang-
Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang tinggi
pula” atau Lex superiori derogat legi inferiori.189 Sementara itu Hans Kelsen yang
mengemukakan teori jenjang norma hukum (Stufentheorie) berpendapat bahwa norma-
norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata
susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif serta abstrak, yaitu
norma dasar atau Grundnorm. Adapun Hans Nawiasky kemudian berhasil
188
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993, hlm 92.
189
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-X-13-I-P3DI-Juli-2018-240.pdf
Diakses pada 7 Juni 2019.
191
mengembangkan teori ini yang dinamakannya “die Theorie vom Stufenor dnung der
Rechtsnormen”. Dikatakannya bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-
jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan
pengelompokkan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok
besar yaitu:190 Kelompok I: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara); Kelompok III:
Formell Gesetz (Undang-Undang); Kelompok IV: Verordnung & Autonome (Aturan
Pelaksana/Aturan Otonom).
Dari pengelompokan tersebut, jika diterapkan dalam konteks ini, maka Peraturan
Komisi Pemilihan Umum dapat dikatakan termasuk pada kelompok IV yang merupakan
salah satu bentuk aturan otonom. Dikatakan aturan otonom karena kewenangan
pembentukannya bersumber dari kewenangan atribusi. Van Wijk/Konijenbelt
memberikan pengertian atribusi kewenangan dalam pembentukan perundang-undangan
ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan
oleh grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet (undang-undang) kepada suatu
lembaga pemerintah/negara191. Peraturan Komisi Pemilihan Umum dalam hal ini
merupakan contohnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 257 undang-undang pemilu,
bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum”.
Namun demikian, sebagai peraturan yang sifatnya mengatur lebih lanjut dan lebih
teknis, sepatutnya pengaturannya tidak “melebihi batas” yang diberikan undang-undang,
apalagi bertentangan secara norma hukum. Lebih jauh lagi, asas mengenai struktur
norma bahkan menjadi hukum positif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dikatakan bahwa
“Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki”.
Apabila ada suatu norma hukum peraturan yang lebih rendah tingkatannya
dipandang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, Undang-Undang No 12
Tahun 2011 juga telah memberikan solusi dengan dilakukannya mekanisme pengujian
(Uji Materiil). Dalam konteks ini, maka jika Peraturan Komisi Pemilihan Umum
190
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan ’Jenis, Fungsi, dan Materil Muatan’, PT. Kanisius (Anggota
IKAPI), Yogyakarta, 2007, hlm 44.
191
Ibid., hlm 56.
192
192
Lihat Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011.
193
Penulis terjemahkan sebagai berikut: “Konstitusi bukanlah suatu benda yang hanya ada dalam nama
melainkan dalam kenyataan. Ia bukanlah suatu ideal melainkan sesuatu yang senyatanya ada; dan
manakala ia tidak dapat dihadirkan menjadi sesuatu yang dapat dilihat, maka konstitusi itu sesungguhnya
tidak ada.”
193
Menyatakan Pasal 12 huruf g194 dan Pasal 7 huruf g196 Undang-Undang Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g
Pasal 50 ayat (1)195 huruf g Nomor 8 Tahun 2015 tentang Undang-Undang Nomor 10 Tahun
Undang- Undang Nomor 10 Tahun Perubahan Atas Undang-Undang 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
2008 tentang Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2015 tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun
Anggota Dewan Perwakilan Penetapan Peraturan Pemerintah 2015 tentang Penetapan Peraturan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Pemerintah Pengganti Undang-
dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2014 tentang Pemilihan Undang Nomor 1 Tahun 2014
Daerah serta Pasal 58 huruf f Gubernur, Bupati, Dan Walikota tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun Menjadi Undang-Undang Dan Walikota Menjadi Undang-
2008 tentang Perubahan Kedua bertentangan dengan Undang-Undang Undang (Lembaran Negara Republik
Atas Undang-Undang Nomor 32 Dasar Negara Republik Indonesia Indonesia Tahun 2016 Nomor 130,
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Tahun 1945 secara bersyarat Tambahan Lembaran Negara
Daerah bertentangan dengan sepanjang tidak dimaknai Republik Indonesia Nomor 5898)
Undang-Undang Dasar Negara dikecualikan bagi mantan terpidana bertentangan dengan Undang-
Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara terbuka dan jujur Undang Dasar 1945 dan tidak
secara bersyarat (conditionally mengemukakan kepada publik bahwa mempunyai kekuatan hukum
unconstitutional) dan tidak yang bersangkutan mantan terpidana mengikat secara bersyarat sepanjang
mempunyai kekuatan hukum dan tidak mempunyai kekuatan tidak dimaknai telah melewati
mengikat sepanjang tidak hukum mengikat secara bersyarat jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
memenuhi syarat-syarat: sepanjang tidak dimaknai mantan terpidana selesai menjalani
(i) tidak berlaku untuk jabatan dikecualikan bagi mantan terpidana pidana penjara berdasarkan putusan
publik yang dipilih (elected yang secara terbuka dan jujur pengadilan yang telah mempunyai
officials); mengemukakan kepada publik bahwa kekuatan hukum tetap;198
(ii) berlaku terbatas jangka yang bersangkutan mantan terpidana;
waktunya hanya selama 5 (lima)
tahun sejak terpidana selesai Pasal 45 ayat (2) huruf k197 Undang-
menjalani hukumannya; Undang Nomor 8 Tahun 2015
(iii) dikecualikan bagi mantan tentang Perubahan Atas Undang-
terpidana yang secara terbuka Undang Nomor 1 Tahun 2015
dan jujur mengemukakan tentang Penetapan Peraturan
kepada publik bahwa yang Pemerintah Pengganti Undang-
194
Dalam penelusuran penulis, pasal tersebut berbunyi: “Tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
195
Pasal tersebut berbunyi: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
196
Pasal tersebut berbunyi: “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
197
Pasal tersebut berbunyi: “surat keterangan tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
g”
198
sehingga Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898)
selengkapnya berbunyi:
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap
terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang
berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun
setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai
mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang- ulang;
194
yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf
g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g undang-undang no 10/2008 serta Pasal 58 huruf f
undang-undang no 12/2008 merupakan norma hukum yang inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional). Perlu diketahui bahwa norma hukum tersebut adalah
inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang
tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai
menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan
terpidana;
4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Penulis melihat terhadap keempat syarat yang termuat dalam Putusan Mahkamah
Nomor 4/PUU-VII/2009 tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 26/PHPU.D-X/2012, menjadikan dasar pertimbangan terhadap calon
wakil kepala daerah yang merupakan mantan narapidana secara kumulatif, yaitu dalam
sengketa Pemilukada Kabupaten Aceh Singkil, yang pada akhirnya Mahkamah dalam
Putusan Mahkamah Nomor 26/PHPU.D-X/2012 tersebut menyatakan bahwa Calon
Wakil Bupati Pasangan Calon Nomor Urut 1, Dul Musrid, telah memenuhi Putusan
Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tersebut, sehingga dapat menjadi Calon Wakil
Bupati Pasangan Calon Nomor Urut 1.
Terlebih lagi, dalam Putusan Mahkamah Nomor 79/PUU-X/2012 dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan, antara lain, Menimbang bahwa terhadap syarat
untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf
g dan Pasal 51 ayat (1) huruf g Undang-Undang No 8/2012 adalah sama dan sebangun
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Penulis melihat bahwa
pandangan Mahkamah Konstitusi pada waktu itu, setelah adanya Putusan Nomor
4/PUU-VII/2009, seolah serta merta pembentuk undang-undang taat putusan Mahkamah
Konstitusi dan telah melakukan perubahan ataupun perumusan norma sesuai dengan
putusan Mahkamah a quo.
Perubahan ataupun perumusan norma baru oleh pembentuk Undang-Undang
tersebut termuat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf g dan Penjelasan Pasal 51 ayat (1)
huruf g Undang-Undang No 8/2012 yang menyatakan, “Persyaratan ini tidak berlaku
bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung 5 (lima) tahun
sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan
publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur
dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan
sebagai pelaku kejahatan berulang- ulang;” Akan tetapi dalam hemat penulis sebenarnya
aturan dari yang disyaratkan Mahkamah Konstitusi sebenarnya hanya sebagian saja yang
dilakukan tindak lanjut agar dibentuk sebagai norma undang-undang oleh pembentuk
undang-undang dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah jelas dan terang
benderang bahwa keempat syarat yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Nomor
197
Akan tetapi, perlu diingat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi hanya tampak
populis serta progresif di permukaan, namun justru tidak jarang putusannya ‘gagal’
melimpahkan keadilan dan kepastian hukum karena berhenti pada putusan normatif
yang tidak sepenuhnya diimplementasikan secara konsekuen oleh lembaga yang terkena
adressat putusan. Hal ini terutama berkaitan erat dengan putusan yang berada dalam
ranah judicial review atau pengujian undang-undang. Sebaliknya, implementasi putusan
Mahkamah Konstitusi sangat tergantung pada cabang kekuasaan lain baik legislatif,
eksekutif maupun cabang kekuasaan kehakiman berupa Mahkamah Agung. Keadaan
tersebut tentu telah sangat jelas menunjukkan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi
hingga saat ini belum mempunyai daya tawar yang kuat sebagai satu-satunya lembaga
tinggi negara yang mempunyai otoritas mengawal sekaligus menafsirkan konstitusi.
Terlebih keberadaan Mahkamah Konstitusi memang tidak mempunyai ranah dan
wewenang untuk ikut andil dalam proses implementasi putusannya sendiri. Tidak salah
199
3. Husen Kausaha (DPRD Kabupaten Belitung Timur. Dapil Maluku Utara 4, nomor
urut 2)
4. Ferizal (DPRD Kabupaten Belitung Timur. Dapil Belitung Timur 1, nomor urut 1)
5. Mirhammuddin (DPRD Kabupaten Belitung Timur. Dapil Belitung Timur 2, nomor
urut 1)
6. Hi.Al Hajar Syahyan (DPRD Kabupaten Tanggamus. Dapil Tanggamus 4, nomor
urut 1)
Diumumkan 19 Februari 2019: Tidak ada.
8. PKS (2 orang)
Diumumkan 30 Januari 2019:
Maksum DG Mannassa (DPRD Kab/Mamuju 2, Nomor 2)
Diumumkan 19 Februari 2019: Muhammad Zen (DPRD Kabupaten Okut Timur 1,
nomor urut 2)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah penulis uraikan terhadap pokok permasalahan, maka
dapat penulis berikan kesimpulan sebagai jawaban atas penelitian yang penulis lakukan
sebagai berikut:
1. Konstitusionalitas hak mantan narapidana korupsi dengan merujuk dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, pada realitanya atau kenyataannya masih
memungkinkan sekali bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada tetap
terus mendukung mantan narapidana korupsi untuk berpartisipasi dalam keterkaitan
haknya sebagai warga negara untuk dipilih dalam pemilihan umum meski sekalipun
205
sebetulnya secara logika awam dengan berdasarkan nilai moral itulah yang nampak
tidak elok dan tidak pantas untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat dalam
pemerintahan. Namun di sisi lain secara hukum itu sendiri, sistem hukum Indonesia
masih memungkinkan para mantan narapidana korupsi untuk turut serta dalam
pemilihan umum dan pengaturannya konstitusional sepanjang mantan narapidana
korupsi yang ikut pemilihan umum tersebut mendeklarasikan dirinya bahwa dirinya
merupakan mantan narapidana korupsi dan telah lewat dari 5 tahun sejak dirinya
selesai menjalani masa tahanan sebelum ikut dalam kontestasi politik juga disamping
itu sepanjang memenuhi kriteria dimana kejahatan yang pernah dilakukannya tidak
boleh yang berulang-ulang dan berlaku hanya terhadap jabatan publik yang dipilih
dalam pemilihan umum sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-
XIII/2015, dan yang terbaru Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-
XVII/2019. Tiga putusan tersebut membawa akibat hukum secara langsung pada
kekuatan mengikat pasal yang mengandung unsur larangan untuk mantan narapidana
korupsi agar dapat dipilih dalam pemilihan umum. Dengan tiga putusan itu, kekuatan
mengikat pasal yang mengatur pembatasan mantan narapidana untuk mencalonkan
diri dalam pemilihan umum tetap berlaku, namun harus dimaknai sesuai syarat yang
diberikan oleh tiga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Hanya saja perlu juga
diperhatikan bahwa tidak adanya sanksi terhadap calon yang tidak secara jujur
mengemukakan status mantan narapidana korupsinya.
2. Setiap peraturan perundang-undangan yang melarang hak mantan narapidana korupsi
akan senantiasa dipandang sebagai aturan yang inkonstitusional sebab pengaturan
oleh Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri memperbolehkan mantan narapidana
korupsi untuk mencalonkan dirinya sepanjang memenuhi persyaratan yang
disebutkan yakni inkonstitusional bersyarat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Akibat hukum peraturan
perundang-undangan baru yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang di
kemudian hari pasca putusan mahkamah konstitusi ini tidak dapat serta merta
dikatakan inkonstitusional sebab Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sifat final
dan mengikat yang berlaku sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk
206
umum sulit untuk dilaksanakan karena harus ditindaklanjuti dengan instrumen hukum
baru, dimana untuk melakukan hal tersebut harus melalui proses hukum yang sangat
formal-prosedural. Hingga saat ini, sering sekali ditemui putusan Mahkamah
Konstitusi yang tidak hanya menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan
konstitusi, lebih dari itu bahkan cenderung mengubah makna dari substansi norma
yang ada, sehingga terkadang berseberangan dengan original intent pembuatnya
dimana sebenarnya ada keinginan Pemerintah Eksekutif untuk bisa menciptakan
produk hukum yang bisa membatasi mantan narapidana untuk ikut pemilihan umum
demi menghadirkan para calon pejabat publik yang berintegritas dan bersih tanpa cela
masalah hukum. Akan tetapi, semua upaya tersebut kandas di Mahkamah Konstitusi
dan sebenarnya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat kembali
menciptakan produk hukum yang diinginkan demi melahirkan calon pejabat publik
yang berintegritas karena dalam hal ini tidak ada kewajiban mengikuti putusan
mahkamah konstitusi karena sifat putusannya yang non eksekutorial sehingga
pelaksanannya tetap bergantung kepada Pemerintah eksekutif dan Dewan Perwakilan
Rakyat yang keduanya bersama membentuk undang-undang.
B. Saran
1. Legislatif dan Komisi Pemilihan Umum perlu melakukan penelitian ulang
legitimasi hukum persoalan ini agar tercipta produk legislatif yang berkualitas dan
berintegritas yang memiliki regulasi visioner yang diterapkan bagi bakal calon
legislatif sehingga diharapkan hal demikian tidak terjadi terus menerus setiap
menjelang pemilihan umum dimana selalu terdapat pertentangan syarat akibat tidak
sinkronnya peraturan undang-undang dan aturan pelaksananya. Hal persyaratan
peserta pemilu yang berpartisipasi tidak akan terjadi pertentangan sepanjang
mengingat hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan secara utuh dan
komprehensif. Adapun wujud peraturan perundang-undangan yang harus lebih dulu
diperbaiki ialah undang-undang agar kiranya senantiasa mengakomodasi ketentuan
yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi agar dilaksanakan sepenuhnya
207
dan bukan hanya sebagian saja yang diterapkan dalam norma undang-undang.
Menindaklanjuti mengikutsertakan eks Narapidana Korupsi alangkah baiknya
Komisi Pemilihan Umum berinisiatif melakukan rekayasa pencoblosan dimana
masyarakat harus mengetahui bahwa nama-nama tersebut adalah eks narapidana
koruptor. Hal ini selaras dengan apa yang tertulis di UU Pemilu bahwasanya caleg
eks koruptor harus membuat pernyataan agar publik tahu status mantan narapidana
yang disandangnya
2. Pembentuk undang-undang sudah seharusnya tegas memasukkan ketentuan
konstitusional bersyarat yang disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,
dimana yang belum tegas disebutkan ialah pengaturan bahwa mantan narapidana
korupsi yang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan umum itu baru dapat
mencalonkan kembali 5 tahun setelah selesai menjalani masa hukuman pidananya
dan bukan residivis. Praktik selama ini menunjukkan keadaan berbeda karena tidak
tegas diatur dalam undang-undang secara eksplisit.
3. Perlu diatur tegas pemberatan hukuman untuk pemegang jabatan publik yang
melakukan kejahatan korupsi yang berulang-ulang, dimana dalam hal ini penulis
maksudkan ialah melakukan kejahatan korupsi dalam kewenangannya sebagai
pejabat publik yang dipilih lebih dari satu kali. Bilamana ada pengaturan yang
demikian, maka dapat dipastikan kepastian hukumnya jika adanya hak dan sanksi
yang diberikan secara tegas terhadap mantan narapidana korupsi yang dipercaya
kembali oleh masyarakat.
208
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Asshiddiqie, Jimly. (2006). Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi ‘Serpihan
Pemikiran Hukum,Media, dan HAM, Jakarta: Konstitusi Press.
Asshidiqie, Jimly. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Bakry, Mohammad Ryan. (2010). Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Konsep
Good Governance di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
El-Muhtaj, Majda. (2005). Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta
Hamzah, Andi. (1994). Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Harmaily Ibrahim & Moh. Kusnardi. (1985). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: PSHTN FH UI dan Sinar Bakti.
Hermaily Ibrahim & Moh. Kusnardi. (1988). Hukum Tata Negara Indonesia. cet VII,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Ibrahim, Moh. Kusnardi dan Hermaily. (1988). Hukum Tata Negara Indonesia. cet VII,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI.
Indrati, Maria Farida. (2007). Ilmu Perundang-Undangan ’Jenis, Fungsi, dan Materil Muatan’,
Yogyakarta.: PT. Kanisius (Anggota IKAPI)
Lopa, Baharudin. (2001). Kejahatan Korupsi Dan Penegakan Hukum, Jakarta: Kompas.
Mack, Kimball Young dan Raymond.W. (1959). Sociology and Social Life, New York:
American Book Company.
M Hadjon, Philipus. (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan pembentukan peradilan Administrasi, Surabaya: Bina Ilmu.
Mahfud MD, Moh. (2001). Dasar Dan Struktur Ketatanegaran Indonesia, Jakarta:
Rineka Cipta.
Mamudji, Sri & Soerjono Soekanto. (1979). Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di
Dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Mamudji, Sri & Soerjono Soekanto. (2001). Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan
singkat, ed 1 cet. V, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mamudji, Sri & Soerjono Soekanto. (2004). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, cet. 8. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Purbacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto. (1993). Perihal Kaidah Hukum, Bandung:
211
Radjab, Dasril. (2005). Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Rahardjo, Satjipto. (2003). Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Rawl, John. (2011). A Theory of Justice “Teori Keadilan”, Cet. II, (Uzair Fauzan Heru
Prasetyo, Penerjemah), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Raymond.W. Mack & Kimball Young. (1959). Sociology and Social Life. New York:
American Book Company.
Remmelink, Jan. (2014). Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rukmini, Mien. (2007). Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan
Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Bandung: Alumni.
Sabon, Max Boli. (2012). Ilmu Negara: Bahan Pendidikan Untuk Perguruan Tinggi,
Jakarta: Universitas Atma Jaya.
Schmid, J.J.Von.(1988). Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Jakarta:
Sianturi, S.R & E.Y.Kanter. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Sinamo, Nomensen. (2015). Hukum Administrasi Negara: Suatu Kajian Kritis Tentang
Birokrasi Negara, Jakarta: Jala Permata Aksara.
Soekanto, Soerjono. (1996). Sosiologi suatu Pengantar. Cet XXII, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sugono, Bambang. (2011). Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suharto, Susilo. (2006). Kekuasaan Presiden RI Dalam Periode Berlakunya UUD 1945,
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suhelmi, Ahmad. (2010). Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
212
Suprin Na’a & I Gde Pantja Astawa. (2012). Memahami Ilmu Negara dan Teori
Negara, Bandung: Refika Aditama.
Wahyono, Padmo. (2003). Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill co cet III.
Widyastanti, Nur. “Kedudukan Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan Dalam Tatanan
Konsep Demokrasi Di Indonesia”. Tesis. Jakarta: FHUI, 2005.
Yudo, Winarno Yudo. (et.al). (2007). Pengkajian Tentang Masalah Hukum Judicial
Review Oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Yudo, Winarno. (et.al). (2007). Pengkajian Tentang Masalah Hukum Judicial Review
Oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
B. Peraturan Perundang-Undangan:
Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Daerah
D. Kasus Pengadilan
Candra Perbawati. (2013). Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Pembangunan Hukum
Nasional. Negara Hukum Kesejahteraan, Seri Monograf, Vol. I. PKKPUU: Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
Jimly Asshidiqie. (2006). Partai Politik dan Pemilihan Umum sebagai Instrumen
Demokrasi, Jurnal Konstitusi, Vol. 3 Nomor 4, Desember 2006.
Muhardi Hasan dan Estika Sari. Hak Sipil dan Politik. Demokrasi Vol. IV No.1 (2005)
Yulia Netta. (2013). Partisipasi Masyarakat dalam Penegakan Hak Asasi Manusia
Monograf: Negara Hukum Kesejahteraan. Vol. I. PKKPUU: Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
F. Internet:
https://www.jawapos.com/nasional/politik/01/07/2018/sejak-30-juni-kpu-resmi-
tetapkan-peraturan-koruptor-haram-nyaleg/ diakses pada 10 Maret 2019.
https://tirto.id/yang-mendukung-dan-menolak-mantan-napi-korupsi-jadi-caleg-cLkN
diakses 10 Maret 2019.
file:///C:/Users/julia/Downloads/27100-Article%20Text-59500-1-10-
20181112%20(1).pdf (Diunduh tanggal 7 Juni 2019).
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-X-13-I-P3DI-Juli-2018-
240.pdf (Diunduh tanggal 7 Juni 2019.
http://birohukum.pu.go.id/component/content/article/101.html
(Diunduh tanggal 7 Juni 2019)
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b4180a325140/memahami-hak-pensiun-
mantan-presiden- (Diunduh tanggal 1 April 2019).
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6203/pengertian-pidana-kurungan,-pidana-
penjara,-dan-pidana-seumur-hidup (Diunduh tanggal 11 April 2019).
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c2ee2cbcf46/mengenai-hukuman-
215
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54890ad57c011/hukuman-hukuman-yang-
dikenal-di-indonesia (Diunduh tanggal 11 April 2019).
https://business-law.binus.ac.id/2016/06/17/anomali-kriteria-kejahatan-luar-biasa-di-
indonesia/ (Diunduh tanggal 7 Juni 2019).
https://business-law.binus.ac.id/2016/06/17/anomali-kriteria-kejahatan-luar-biasa-di-
indonesia/ (Diunduh tanggal 7 Juni 2019).
https://media.neliti.com/media/publications/110648-ID-penyelesaian-sengketa-kewenangan-
lembaga.pdf, (Diunduh tanggal 13 Mei 2019)
https://media.neliti.com/media/publications/26688-ID-kedudukan-komisi-negara-
independen- dalam-struktur-ketatanegaraan-republik-indone.pdf, (Diunduh tanggal 13
Mei 2019).
https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-1200124/rumah-mantan-ketua-dprd-jatim-
digeledah-kejati- (Diunduh tanggal 1 April 2019).
https://tirto.id/yang-mendukung-dan-menolak-mantan-napi-korupsi-jadi-caleg-cLkN
(Diunduh tanggal 10 Maret 2019)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180704135506-32-311468/pkpu-resmi-
berlaku-ketua-kpu-harap-tak-ada-lagi-perdebatan (Diunduh tanggal 7 Juni 2019.)
Sutan Sorik, Problematika PKPU Nomor 20 Tahun 2018: Mantan Koruptor Menjadi
Caleg?,http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1225-
problematika-pkpu-no-20-tahun-2018-mantan-koruptor-menjadi-caleg, (Diunduh
tanggal 7 Juni 2019).