DAFTAR ISI................................................................................................................................... 2
1 Kompetensi ..................................................................................................................................... 7
1. Kompetensi ................................................................................................................................... 20
2
DAFTAR
1.1. Kompetensi Inti .................................................................................................................
20
3
1.2. Kompetensi Dasar .............................................................................................................
1.3. Indikator .............................................................................................................................
21
1. Kompetensi ................................................................................................................................... 31
4
1.2. Kompetensi Dasar .............................................................................................................
3.2.1. Konsepsi Wawasan Nusantara dan Wawasan Kebangsaan ..............................
Nusantara ........................................... 37
5
- Konsep tentang Bangsa ...........................................................................
- Syarat-syarat Sebuah Bangsa .................................................................. 38
................................. 39
- Patriotisme............................................................................................... 41
.................................................... 41
3.2.2. Konsensus Dasar Berbangsa dan Bernegara dalam Persatuan dan Kesatuan 43
i. Pancasila ...............................................................................................................
........................................................................................ 47
49 i. Cinta Tanah
................................................. 49
7
vi. Semangat untuk Mewujudkan Negara yang Berdaulat, Adil, dan Makmur
................................................................................................................................... 50
52 i. Bendera
57
Perundang-Undangan ..... 59
D. ANTI-KEKERASAN............................................................................................................... 62
8
1. Kompetensi ...................................................................................................................................
62
9
1.3. Indikator ................................................................................................................................ 62
3. Uraian .............................................................................................................................................
73
3.5. Langkah-langkah yang Perlu Ditempuh untuk Menghapus Rantai Kekerasan ........... 76
3.7. Teks Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 ...........................................................................................
80
1
Kegiatan Belajar I
Istilah Moderasi Beragama terdengar cukup baru. Tetapi dari sisi isi, moderasi beragama
bukan ajaran baru bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sudah mempunyai modal sosial dan
kultural yang kuat. Mereka akrab dengan semboyan-semboyan seperti Bhinneka Tunggal Ika,
gotong royong, persatuan dan kesatuan, kerja bakti, tenggang rasa, keragaman, dan bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh. Memperhatikan semboyan-semboyan itu, maka dapat ditarik
kesimpulan sementara, Moderasi Beragama merangkum semua usaha yang bertujuan untuk
menghilangkan atau mengurangi keekstreman.
1 Kompetensi
Kompetensi pada bagian ini terdiri dari kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Kompetensi inti diambil dari deskripsi capaian pembelajaran guru Pendidikan Agama
Katolik yang profesional. Kompetensi dasar diambil dari rumusan sub capaian pembelajaran
guru Pendidikan Agama Katolik yang profesional.
7
b. Mampu mengimplementasikan sikap Moderasi Beragama.
c. Mampu mengajarkan kembali sikap Moderasi Beragama.
1.4. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat mengukur apakah segala perilakunya selama ini sudah masuk dalam
kategori moderasi agama atau belum.
b. Mahasiswa berkomitmen untuk bermoderasi agama dalam segala segi kehidupannya.
c. Mahasiswa mau melibatkan diri dalam gerakan-gerakan yang secara khusus
mempromosikan dan mengajarkan sikap moderasi beragama.
3 Uraian Materi
Pemahaman tentang konsep Moderasi Beragama menurut Kementerian Agama
Republik Indonesia (Kemenag) akan ditambah dengan konsep dalam Gereja Katolik.
Penjelasan tentang Moderasi Beragama menurut Kemenag dikelompokkan menjadi dua;
pengertian dan prinsip dasar.
Moderasi dalam konteks Gereja Katolik sama halnya dengan membicarakan status
Gereja Katolik dalam dunia dewasa ini. Status tersebut berkaitan dengan persoalan-persoalan
di dalam struktur Gereja (ad intra) dan persoalan-persoalan di luar struktur Gereja (ad extra).
Penggunaan istilah "di dalam" dan "di luar" Gereja, mungkin tidak terlalu tepat. Tetapi
sebagai sebuah "maksud", semoga istilah tersebut dapat membantu.
8
Bertolak dari definisi-definisi di atas, ditambah kesadaran akan Pancasila sebagai
falsafah hidup bangsa, kurang lebih, melalui kata moderasi, Kementerian Agama Republik
Indonesia mencita-citakan "masyarakat beragama di Indonesia yang dapat mempraktikkan
agama mereka masing-masing dengan menggunakan cara-cara yang secara aktif dapat
menghindari terjadinya cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain, paksaan terhadap anggotanya sendiri dan orang lain, sikap-sikap
yang keterlaluan, dan kefanatikan".
Agama-agama memiliki hal-hal substansial/mendasar yang bersifat tetap. Tetapi,
mereka juga punya ungkapan dan perwujudan iman yang berubah secara dinamis sesuai
zaman/kontekstual. Jika para pemeluk agama memahami hal itu, maka mereka akan berhati-
hati dalam bersikap atau moderat. Moderat dalam KBBI adalah "berkecenderungan ke arah
dimensi atau jalan tengah; memandang/memahami secara pas" dan "mau
mempertimbangkan pandangan pihak lain".5 Jika manusia Indonesia dapat menguasai sikap
moderat ini, pasti Indonesia akan menjadi negara yang dewasa, kuat, dan maju, seperti visi
2045.
Dalam bahasa Latin, "moderat" berarti "sedang". Makna "sedang" yang dipakai di
sini berarti "tidak lebih dan tidak kurang", kata lain yang mungkin berpadanan dengan itu
adalah "pas" atau "proporsional". Dalam bahasa Inggris, kata "moderation" memuat arti
"sikap sederhana", "sifat sedang", dan "sikap tidak berlebih-lebihan". Dapat pula
ditambahkan makna lain seperti, "rata-rata" dan "tidak berpihak". Dengan demikian,
moderasi dapat dipahami sebagai "penguasaan/pengendalian diri sehingga dapat
menyeimbangkan iman dan tindakan.
Bahasa Arab memiliki kata "wasath", "wasathiyah" (pilihan terbaik), "wasith"
(orang yang melakukan wasathiyah/pilihan terbaik). Ketiga kata itu punya makna yang
mirip dengan kata "tawassuth" (tengah-tengah), "tawazun" (berimbang). Bahasa Indonesia
menyerap kosakata itu. Maka, kita mengenal kata "wasit" yang punya arti penengah,
perantara, penentu, pemimpin, pemisah, pelerai, pendamai, segala yang baik sesuai dengan
obyeknya.6 Dengan pengayaan dari istilah Arab ini, moderasi dapat dipahami sebagai
"memilih yang terbaik, menengahi, menjembatani, memisahkan diri dari yang ekstrem".
9
Maka, moderasi beragama adalah sikap beragama yang menyeimbangkan antara
mempraktikkan ajaran agamanya sendiri (eksklusif) dan menghormati praktik ajaran agama
yang berbeda dari miliknya (inklusif).
Agama Islam memperkenalkan istilah "wasathiyah" yang dapat dipahami sebagai
menjadi jembatan (berada di tengah-tengah) untuk mencapai pilihan-pilihan yang terbaik
dan berkeadilan. Maka, jika orang Islam melakukan "wasathiyah", mereka didorong untuk
bersikap seperti wasit yang bertanggung jawab memimpin jalannya pertandingan/permainan
agar berlangsung sesuai peraturan hingga selesai. "Wasathiyah" memuat makna bahwa yang
baik ada di antara dua kutub ekstrem. Alhasil, seseorang yang bersikap tidak ekstrem, pada
dasarnya ia sedang mempraktikkan "wasathiyah". Orang-orang semacam ini disebut
pribadi-pribadi yang adil (just people). Merekalah yang dapat berkontribusi besar pada
terciptanya masyarakat yang adil (just society). Dalam Islam, orang-orang yang dapat
bersikap adil (just people) adalah orang-orang pilihan (khiyar). Merekalah orang-orang (dan
kelompok mereka) yang pantas disebut saksi (syahidan) dalam Islam.
UUD 1945 menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan
menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.
Amanat luhur ini menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga negara yang terkait. Tetapi,
masyarakat sipil Indonesia tidak boleh hanya diam menunggu kebijakan-kebijakan yang
dirumuskan oleh negara. Warga Negara Indonesia perlu turut menguji produk hukum itu
dengan sungguh-sungguh. Jika ditemukan adanya aturan-aturan yang bersifat diskriminatif,
maka janganlah ragu untuk menyuarakannya agar ada perbaikan. Aturan dasar bagi bangsa
Indonesia adalah Pancasila. Dengan sedikit penyesuaian, rumusan Pancasila dapat menjadi
cermin sudah sejauh manakah gerak bangsa Indonesia dalam menuju cita-citanya yang
paripurna. Indonesia hendak menjadi negara yang berketuhanan secara beradab demi
persatuan bangsa yang seluruh rakyatnya merasa terwakili dan mendapat jaminan keadilan.
Uraian di atas menegaskan kembali peran agama. Agama (perhormatan kepada
yang sakral) merupakan unsur penting untuk menciptakan masyarakat yang teratur.7 Agama
juga berkontribusi membentuk etos hidup yang kuat.8 Tetapi, jika manusia tidak beragama
dengan nalar, maka ada kemungkinan mereka akan hidup dalam gambaran keindahan surga
1
dan masa bodoh terhadap dunia saat ini dan di sini.9 Selain itu, jika manusia kurang
waspada atau cerdas beragama, peradaban agama-agama besar dapat memicu konflik.10
Peluang itu besar karena agama-agama menciptakan ikatan emosional yang kuat dalam diri
para pengikutnya.
Bahasa Indonesia menyerap kata "adil" dari Bahasa Arab. Dalam KBBI, "adil"
(kata benda) berarti orang yang disukai karena konsisten dalam keputusan dan perkataan,
orang yang memutuskan dengan setara, dan orang yang baik perangainya.11 Kata yang
kedua adalah "imbang" yang berarti setimbang, sebanding, sama (berat, derajat, ukuran).12
Orang yang seimbang memiliki prinsip dan ketetapan dalam dirinya seraya tegas
memperjuangkan keadilan, kemanusiaan, dan kesamaan. Bagi Mohammad Hashim
Kamali, konsep moderasi dalam pengertian wasathiyah mendorong para penganut agama
(Islam) untuk selalu mencari titik temu dalam perjumpaan mereka dengan orang-orang
yang berbeda.13
Sikap adil dan berimbang membutuhkan dukungan dari tiga karakter utama
manusia yaitu kebijaksanaan, ketulusan, dan keberanian. Berbekal tiga keutamaan itu, para
penganut agama akan terus belajar untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan
mereka tentang agama mereka sendiri (kebijaksanaan), mampu menempatkan
pengetahuan mereka tersebut dalam konteks zaman dan lokalitas masa sekarang
(ketulusan), dan semakin membuka diri terhadap beragam perjumpaan antarumat
beragama atau antaragama yang semakin beragam (keberanian). Pengetahuan yang
mendalam dan kontekstual tersebut perlu diterapkan dalam memahami dan
mempraktikkan Kitab Suci, liturgi, dan moral. Dengan demikian, kita membutuhkan usaha
lebih pada on going formation kepada semua umat beragama di tiap kelompok usia.
Pemahaman hidup beragama yang berkembang dalam diri para pemeluk agama akan
mendorong mereka untuk mencintai perjumpaan dengan beragam orang yang beragama
berbeda darinya.
1
3.1.2. Moderasi Beragama: Keterbukaan dalam Gereja Katolik
Gereja menghormati hidup dan pribadi manusia karena mereka adalah puncak
karya penciptaan (Kej. 1:26), gambar dan citra Allah (Kej. 1:27; 9:6), dan diangkat oleh
inkarnasi Yesus (Kol. 1:15). Hak hidup adalah hak yang paling dasar. Maka, Gereja
berusaha membela, melindungi, dan melestarikan hidup manusia. Tiap orang itu bernilai,
unik, dan tak tergantikan. Martabat mereka melekat sejak manusia ada. Tiap orang
memiliki tujuan dan finalitas masing-masing yang tidak boleh diperalat oleh orang lain.
Hidup manusia itu suci sehingga perlu dihormati. Mereka dipanggil menjadi wakil Tuhan
dan administrator atas hidupnya secara kreatif (menggunakan ilmu pengetahuan yang
bernurani akan membuat kehidupan lestari) dan bertanggung jawab (manusia tidak dapat
lepas dari lingkungan hidupnya).
Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di dunia dalam mengurus
semua ciptaan agar lestari (Kej. 1-2). Dalam menjalankan panggilannya tersebut, manusia
saling bekerja sama. Mereka yang berbeda-beda, kini mengemban tugas yang sama demi
kesejahteraan bersama (bonum commune). Perbedaan antarpribadi, perbedaan kelompok,
perbedaan budaya, dll itu perlu dihadapi dan dikelola dengan tepat. Pada saat perbedaan-
perbedaan ini tuntas dikenali dan disikapi, barulah semua manusia dapat bergerak
serempak untuk bersama-sama menjadi wakil Tuhan di dunia untuk mengelola segala
ciptaan. Tetapi sebelum hal itu terjadi, maka panggilan menjadi wakil-Nya akan selalu
dihambat oleh pertikaian antarpribadi atau kelompok yang masih mempersoalkan
perbedaan-perbedaan luaran yang jelas tidak dapat dihilangkan.
Kesadaran di atas mendorong orang Katolik untuk mengatasi perbedaan dan
menemukan titik temu yang diperluas. Salah satu contoh perjumpaan untuk memperluas
titik temu adalah pertemuan antara Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar, Syekh
Ahmad el-Tayyeb, tanggal 4 Februari 2019. Hasil pertemuan bilateral itu ditulis dalam
Dokumen Abu Dhabi; "Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup
Beragama". Menurut dokumen tersebut, musuh bersama yang perlu dihadapi oleh para
pemeluk agama adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan
1
(destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), dan rasa benci (hateful attitudes)
antara sesama manusia sambil mengatasnamakan agama.14
Gereja Katolik adalah persekutuan/paguyuban iman, harapan, dan cinta kasih.
Iman menggerakkan hidup dan menjadi dasar pengharapan hingga akhirnya terwujud
dalam tindakan kasih. Bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta semua
manusia, Nostra Aetate menegaskan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang
dalam agama-agama serba benar dan suci (bdk. NA 1). Gereja merenungkan cara-cara
bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran agama yang dalam banyak hal
berbeda dari yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan
sinar kebenaran yang menerangi semua orang. Gereja menerima konsep pluralisme
agama-agama. Dalam konsep tersebut, iman kepada Tuhan yang sama diungkapkan dan
diwujudkan dengan cara yang berbeda-beda.
Gereja Indonesia berusaha terus-menerus mengembangkan jembatan yang kuat
untuk menghubungkan antaragama sehingga memperkokoh persaudaraan nasional.
Langkah yang terus diupayakan adalah dialog untuk pemulihan dan pengembangan
hubungan antaragama. Konsili Vatikan II mendorong Gereja supaya dengan bijaksana dan
penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain,
mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-
nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka (bdk. NA 2). Dialog yang terbuka akan
memotivasi semua orang untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh serta
mematuhinya dengan gembira (bdk. GS 92).
Gereja mengajarkan bahwasannya dalam dialog, semua orang diundang untuk
memperdalam iman. Perjumpaan antarumat beragama, dengan demikian, membangunkan
orang dari "kelesuan rutin" supaya menemukan arah yang sejati untuk iman mereka.
Beberapa dialog yang dilakukan Gereja Katolik adalah sebagai berikut; (1) dialog
kehidupan, (2) analisis sosial dan refleksi etis kontekstual, (3) kajian tradisi keagamaan,
(4) berbagi keyakinan dalam tataran pengalaman dengan prinsip komitmen dan
keterbukaan, (5) teologi antaragama, (6) dialog aksi, dan (7) dialog intra-agama.
1
3.2. Hidup Bersama dengan Agama-Agama Lain
Antariman berbeda dari antaragama. Istilah "agama" dalam arti "orang beragama"
atau "anggota agama tertentu" erat kaitannya dengan lembaga keagamaan (hierarki,
keyakinan kelompok, ajaran, tata cara peribadatan, kitab suci, aturan, dan sanksi). Karena
itu, dalam konteks Indonesia lebih tepat menggunakan istilah “antaragama” dalam arti
perjumpaan antarlembaga keagamaan.15 Antaragama berlangsung atas nama lembaga, bukan
atas nama seseorang. Sekalipun hanya seorang individu yang melakukan kegiatan
antaragama, kita tetap menganggap orang tersebut sebagai perwakilan dari lembaga agama
atau perwakilan dari agama tertentu.
Iman adalah jawaban seseorang terhadap wahyu Allah. Jika antaragama terkait
dengan lembaga keagamaan, maka antaragama tidak memerlukan keterlibatan lembaga
keagamaan. Antaragama membutuhkan iman. Jika kita menambahkan kata dialog,
perbedaan antaragama dan antaragama menjadi lebih jelas. Dialog antaragama
menitikberatkan pada unsur-unsur yang terkandung dalam lembaga-lembaga keagamaan.
Namun, dialog antaragama berfokus pada seluk-beluk iman sebagai respons orang tertentu
terhadap wahyu. Perbedaan lainnya, lintas agama tidak harus diorganisir (pribadi atau
komunal). Sebaliknya antarumat beragama harus menata atau mempersiapkan lebih ketat
karena menyangkut keakuratan identitas. Antaragama adalah gaya hidup yang
berkelimpahan.
Agama selalu ada di ruang publik. Manifestasi globalisasi (pergerakan penduduk,
sirkulasi media, kemajuan teknologi) membuatnya semakin terekspos. Globalisasi
meningkatkan kemungkinan munculnya tradisi keagamaan baru.16 Globalisasi menjadikan
keragaman sebagai suatu keharusan. Globalisasi, modernisasi, dan sekularisasi terbukti tidak
membuat agama mati.17 Jika tidak, jumlah pemeluk agama semakin banyak. Mereka, dan
nilai-nilai ajaran agama, memengaruhi pengambilan keputusan publik. Namun, kebangkitan
tradisi keagamaan juga dapat menimbulkan masalah. Masalah kepicikan adalah salah
satunya. Terkadang, yang bangkit kembali (revival) adalah cara berpikir yang sempit.
Kebangkitan insular sama saja dengan sebuah blunder. Namun, kepicikan bukanlah
fenomena baru dalam konteks kebangkitan agama-agama. Kepicikan juga memiliki titik
1
tolak dari kosmopolitan masa lalu. Sebagai contoh, sejarah mencatat bahwa banyak praktik
intoleransi antarumat beragama di tempat yang jauh (dalam kategori waktu dan tempat) dan
berbeda tetapi memengaruhi hubungan antaragama di sini dan sekarang. Contoh lain adalah
proses westernisasi yang mengadopsi unsur-unsur Selatanisasi. Setelah menjadi kuat dan
kaya, mereka membiarkan dunia membelah, Utara yang unggul berhadapan dengan Selatan
yang terbelakang.
Agama-agama mainstream akan terus menjadi saksi lahirnya agama-agama baru,
beberapa di antaranya bersumber dari agama-agama yang telah ada sebelumnya.18 Dan
yang menarik, agama-agama baru itu laris manis. Ada tiga alasan. Pertama, pemimpin
berasal dari lingkungan mereka (otodidak dan membicarakan masalah kelompok). Kedua,
ritual dan praktik sosialnya mengadopsi perilaku para pengikutnya. Ketiga, mereka
umumnya muncul di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang
memperjuangkan kesejahteraannya. Mereka longgar terhadap simbol-simbol agama.
Namun, mereka tegas dalam keramahan terhadap siapa pun. Penganutnya cenderung
memandang agama mainstream sebagai bagian dari masalah. Agama-agama lama dianggap
gagap untuk berbicara dalam bahasa dunia global, postmodern, dan kabel. Namun, agama-
agama baru juga mengulangi klaim para pendahulunya. Kadang- kadang, mereka menyebut
diri mereka "gerakan kembali ke akar sejati."
Banyaknya agama menjadikan fenomena persahabatan antaragama (inklusif atau
eksklusif, eksoteris atau esoterik, asimetris atau simetris sosio-religius) menjadi hal yang
lumrah.19 Namun, perspektif agama lain masih tidak proporsional. Ikatan sosial antaragama
merupakan hal yang lumrah dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Kecenderungannya,
pemeluk agama minoritas akan lebih terbuka dan lebih aktif membangun persahabatan
antarumat beragama. Di sisi lain, penganut agama mayoritas cenderung merasa cukup puas
dengan relasi di dalam kelompoknya yang dalam arti tertentu sudah cukup banyak.
Fenomena antaragama sangat penting. Setiap kata benda yang ditambahkan padanya
akan lebih menjelaskan esensinya. Jika kita menambahkan istilah dialog, misalnya, akan
memberi kedalaman pada kata antaragama dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hubungan antaragama. Mereka yang terlibat dalam dialog antaragama mengarahkan dirinya
untuk
1
mengakui “sama”, “berbeda”, dan “lain” dalam agamanya.20 Pengakuan tersebut penting
untuk melawan kecenderungan penganut agama yang berbeda untuk "saling
mengabaikan".21 Jika tidak, ancaman akan selalu menghantui kelangsungan agama. Dalam
dialog antaragama, peserta memahami agama lain sebagaimana agama lain melihat diri
mereka sendiri.22 Wajah sejati agama lain harus diperlihatkan atau dibiarkan menampakkan
diri. Itu bukan wajah interpretasi pihak lain. Dialog antaragama juga mencakup upaya untuk
mengumpulkan hal-hal yang menyatukan semua orang tanpa menyangkal perbedaan agama
mereka.23 Salah satu faktor yang mendorong orang untuk bersatu adalah kerinduan
mereka akan kebebasan. Secara khusus, istilah "banyak orang" dalam Alkitab dapat
membantu kita memahami sifat dialog antaragama. "Banyak" berarti "kesatuan dan
perbedaan".24 Di dalamnya, manusia bebas melakukan tiga hal; (a) memperkuat kompetensi
antarbudaya, (b) memperkuat dan memperdalam iman mereka, dan (c) merencanakan
bersama dengan rasa hormat. Ketiga kebebasan ini diperlukan untuk memastikan
terpeliharanya "kesatuan dan perbedaan".
Orang juga menggunakan istilah pertemuan antaragama untuk menunjukkan
kontras antara pihak-pihak yang bertemu.25 Istilah perjumpaan dapat memotivasi semua
pihak yang terlibat untuk memaknai ulang tradisi masing-masing secara inovatif dan
ekstensif. Oleh karena itu, melalui dialog, hubungan antaragama didorong untuk
menciptakan hubungan antaragama yang otentik. Dan ketika hubungan berjalan dengan
baik, keramahan tercipta di dunia dengan banyak agama.26 Keramahan tidak hanya berarti
menerima pihak lain. Keramahan juga membuat kita sadar bahwa kita adalah tamu ziarah
agama lain. Artinya, kita berada di pihak yang lemah dan selalu membutuhkan perlindungan
orang lain. Namun, pertemuan antaragama juga dapat memicu konflik antaragama.27 Dan
anehnya, hanya satu penyebab konflik antaragama yang masuk dalam domain agama.
Empat penyebab tersebut adalah; (a) sosial ekonomi, (b) politik, (c) etnis-budaya, (d)
antaragama.
Dalam dinamika antaragama, dialog merupakan kegiatan utama sedangkan bahasa
verbal merupakan alat utama yang menghubungkan kita dengan sesama.28 Namun, bahasa
verbal bukanlah satu-satunya alat. Ada juga estetika antaragama yang dapat membantu kita
1
memahami agama lain.29 Estetika antaragama bekerja dengan merasakan ekspresi iman
dalam agama yang berbeda (materi dan pertunjukan). Melalui objek dan ekspresi seni
spiritual (puasa, bentuk bangunan, gaya pakaian, warna, dll), kita dapat memahami agama
lain. Dengan menggunakan estetika antaragama, dialog antaragama akan memiliki kekuatan
transformatif. Pendekatan estetis antaragama dapat membuat keragaman diakui, terjadi
kontak dengan orang lain (others), narasi pribadi dibagikan, dan menciptakan ruang
mendengarkan.
Dialog antaragama berjalan jika orang-orang yang terlibat menerima kepribadian
mereka, kepribadian orang yang berbeda dari mereka dan orang lain. 30 Ketika sikap ini
berkembang, mereka dapat mulai berbicara tentang nilai kehidupan dan melihatnya dengan
cara baru. Pada tahap selanjutnya, mereka akan membicarakan hal-hal yang penting dalam
hidup bersama. Akhirnya, mereka tidak akan menjadi abai terhadap agama lain di sekitar
mereka. Khusus bagi Gereja, jika ingin mengadopsi model dialog antaragama ini, maka
dialog antaragama tidak hanya menjadi sarana untuk saling memahami agama. Lebih dari
itu, dialog akan menjadi evangelisasi sejati dan membentuk kesadaran religius yang
mengikuti kehendak Kristus.31
Dialog antaragama membutuhkan kecerdasan antaragama.32 Pikiran kita
dipengaruhi oleh berbagai hal. Akibatnya, terkadang, cakrawala berpikir kita sangat khusus
tentang apa pun. Jadi, kita perlu mengambil langkah-langkah untuk mendekolonisasi ide dan
praktik kita. Selain kecerdasan antaragama, dialog antaragama yang efektif membutuhkan
kepekaan antaragama dan kesadaran ideologi sosial politik.33 Dialog antaragama tumbuh
ketika para peserta selalu bersemangat untuk melakukan hal-hal yang indah. Dalam konteks
ini, pekerja seni juga dapat berkontribusi dalam proses dialog. Jika para seniman dari
berbagai latar belakang agama mau berkolaborasi untuk menciptakan karya seni religi,
karya seni ketuhanan, perjumpaan antaragama tentu akan terlihat lebih indah.
Pada titik ini, kita mungkin sepakat bahwa dialog antaragama perlu memenuhi
beberapa syarat. Sulayman S. Nyang menawarkan dua syarat.34 Pertama, para aktor harus
memahami bahwa pada dasarnya manusia ingin saling berkomunikasi dan membangun
hubungan di antara mereka. Di Indonesia, jika kita ingin mengembangkan dialog
1
antaragama, (pertama-tama) semua pemimpin agama (pastor, pendeta, kyai, pedande) harus
hidup bersama sebagai orang Indonesia. Mereka harus melawan ekstrimis yang merusak
Pancasila. Kedua, setiap peserta dialog harus kembali ke Kitab Sucinya masing-masing.
Tinjau teks Alkitab secara kritis. Mereka dapat menggunakan kritik teks, kritik analisis
bahasa, kritik sastra, kritik tradisi, dan kritik editorial. Tetapi ingat, karena tulisan suci juga
merupakan teks iman, mereka yang mempelajari tulisan suci perlu memahami makna literal
dan juga makna spiritual; alegoris, moral, dan anagogis (lih. KGK 117, 118). Dialog tidak
melemahkan agama apa pun. Di sisi lain, dialog memperluas landasan bersama dan
menekankan perbedaan untuk penerimaan yang lebih baik.
Selain dua kondisi di atas, pelaku dialog harus menyadari tiga hal. 35 Satu, bahkan
dalam dialog yang paling terbuka sekalipun, simbol-simbol agama dan doktrinnya
cenderung menjadi identitas pembeda yang tidak mudah terekspos dan tersampaikan.
Kedua, dalam masyarakat majemuk, konflik akan meningkat jika ada rasa saling tidak
percaya. Dalam masyarakat majemuk, konflik lebih mudah tumbuh daripada mereda.
Ketiga, jika konflik menjadi masif, pemuka agama yang moderat dan berorientasi dialog di
pihak mana pun akan menjadi korban, dibunuh oleh anggota radikalnya. Terlepas dari
ancaman ini, kita masih perlu berdialog. Sebab, keragaman selalu berdampak pada
toleransi.36 Tentu kita berharap dampaknya positif.
1
dengan agama-agama bukan Kristen (Nostra Aetate). Ia mau membarui diri dalam
memahami jati diri Gereja (Lumen Gentium), cara memahami iman dan wahyu (Dei
Verbum), dalam berliturgi (Sacrosanctum Concilium), dalam memandang dunia (Gaudium
et Spes), pendidikan (Gravissimum Educationis), karya misi (Ad Gentes), pelayanan para
imam (Presbyterorum Ordinis), kerasulan awam (Apostolicam Actuositatem), pembinaan
iman (Optatam Totius), hidup religius (Perfectae Caritatis), dan tugas para uskup (Christus
Dominus).
Menengok seluruh dimensi keterbukaan Gereja di atas, mau tidak mau, dengan
bangga, sebagai orang Katolik kita harus mengatakan; "kami sudah bermoderasi!"
1
Kegiatan Belajar II
Topik toleransi mengarahkan pembaca pada sikap yang tepat yang perlu kita
berikan kepada manusia. Akomodatif lebih mengarah pada upaya kita menerima budaya
dan menatanya untuk memperkaya unsur yang diterima dan yang menerima.
Toleransi dan intoleransi terhadap sikap dan perilaku sesama manusia, serta
akomodatif terhadap budaya atau hasil budidaya yang dilakukan oleh manusia merupakan
wujud dari moderasi atau keterbukaan sikap beragama.
1. Kompetensi
Kompetensi pada bagian ini terdiri dari kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Kompetensi inti diambil dari deskripsi capaian pembelajaran guru Pendidikan Agama
Katolik yang profesional. Kompetensi dasar diambil dari rumusan sub capaian pembelajaran
guru Pendidikan Agama Katolik yang profesional.
2
1.3. Indikator
a. Mampu melaksanakan tugas keprofesian sebagai pendidik agama Katolik.
b. Mampu mengimplementasikan toleransi dan akomodatif terhadap budaya setempat.
c. Mampu mengajarkan kembali toleransi dan akomodatif terhadap budaya setempat.
Toleransi dan
Akomodatif
terhadap Budaya
Setempat
2
3. Uraian Materi
3.1. Pengertian Toleransi
Toleransi punya peran penting dalam masyarakat plural. Keyakinan-keyakinan atau
prinsip-prinsip dasar yang sama seringkali termanifestasikan dalam ungkapan dan wujud
yang tidak hanya mirip, tetapi sangat mungkin berbeda sama sekali. Perlu disadari, gagasan
tentang toleransi mengandaikan "hidup dalam konflik terus-menerus" karena perbedaan akan
selalu ada. Bagi sebagian orang adalah praktik hidup dalam suasana saling menghormati
perbedaan yang tidak dapat tuntas dipertemukan. Tetapi bagi kelompok yang lain, toleransi
dapat berkembang menjadi sikap atau tindakan represif.37
Benturan antar peradaban yang berbeda (pengelompokan kultural tertinggi)
merupakan sumber konflik dewasa ini, bukan ideologi dan ekonomi.38 Toleransi disebut-
sebut sebagai satu-satunya alat untuk menjembatani perbedaan-perbedaan itu. Toleransi tidak
menghilangkan perbedaan, namun mencintai yang lain, bahkan yang sama sekali berbeda.
Toleransi membiarkan bahkan menjamin perbedaan tetap ada. Tetapi toleransi mengajukan
syarat, perbedaan dapat dipertahankan jika dalam perbedaan-perbedaan itu, martabat
kehidupan masih memperoleh tempat. Bahkan tidak sekedar membiarkan perbedaan itu
hidup, toleransi yang sebenarnya akan memupuk agar perbedaan itu semakin tajam, semakin
kelihatan, dan dapat dirasakan. Sebaliknya, jika karena toleransi, perbedaan menjadi samar
bahkan hilang, maka toleransi tidak akan bermakna lagi. Toleransi menjadi intoleransi.
Tetapi, kita perlu hati-hati menilai toleran itu baik dan intoleran itu jelek.39 Bagi kita yang
selalu menganggap intoleran itu jahat, silakan berpikir ulang. Apakah sikap menolak sama
sekali (coersive) kekerasan yang dilakukan kepada anak-anak balita dapat dianggap
intoleran? Mungkin ada di antara kita yang beranggapan bahwa "memaksa" adalah tindakan
intoleran. Tetapi jika dipakai dalam konteks "memaksa/mendesak orang agar tidak
menganiaya orang lain", kita pasti tidak begitu saja menilainya intoleran atau jahat.
Toleransi membutuhkan keterbukaan dari pihakku dan keterbukaan dari pihak liyan
(others) yang disertai rasa saling percaya (trust).40 Dalam saling percaya itu diharapkan ada
pengakuan terhadap "perbedaan-perbedaan kultural dan ketidaksesuaian" bukan sebagai
keanehan melainkan "unsur yang sah dan tidak terhindarkan" dalam relasi antarmanusia.41
Ada anggapan bahwa toleransi berasal dari tradisi kekristenan, sebagai bentuk cinta yang
2
tertinggi, cinta yang tidak setara, Allah mencintai manusia dengan mentolerir kelemahan
mereka.42 Pemahaman ini juga menyisakan persoalan karena seolah-olah pihak yang toleran
diperbolehkan menganggap diri lebih baik dari pihak yang lain. Kelompok yang kuat perlu
mengakomodasi kelompok-kelompok yang kecil.43 Tentu saja, akomodasi tersebut bersyarat.
Pemahaman toleransi yang demikian justru dapat memupuk perendahan terhadap pihak lain.
Oleh karena itu, istilah toleransi tidak selalu tepat digunakan dalam konteks hidup bersama
yang menjunjung nilai kesetaraan. Karena itu, Kant adalah salah satu pemikir yang menolak
gagasan toleransi. Ia menawarkan konsep hospitalitas yang lebih menghargai kesetaraan
pihak-pihak yang saling bertemu, bersama-sama sadar perlunya mengusahakan perdamaian
yang tahan lama (perpetual peace).44
Adalah baik menjalankan toleransi tanpa dilatarbelakangi perasaan kasihan, tanpa
memandang lemah pihak lain.45 Toleransi berdiri di atas kesadaran bahwa kita tidak hidup
sendirian, selalu ada yang lain. Dalam filsafat Stoa, toleransi merupakan daya tahan
seseorang terhadap sesuatu yang menimpanya, bukan pertama-tama terkait dengan pihak
lain, kekuasaan, maupun perbedaan.46 Dengan demikian, toleransi merupakan pengkondisian
bagi sikap pribadi yang bermartabat. Ada dua cara memahami toleransi secara umum; level
praktis (mengakomodasi cara yang salah tetapi tidak ada alternatif lain) dan level reflektif
(mengakomodasi kesamaan normatif dalam refleksi atas tindakan moral).47 Toleransi juga
bisa mewujud dalam sikap "ada bersama secara tenang" (quiet coexistence) atau "menjaga
jarak dengan penuh normat" (respectful distance) terhadap kelompok-kelompok yang kecil
dan tidak signifikan.48 Dalam hal ini, toleransi menjadi praktik pihak yang punya kuasa
terhadap kelompok-kelompok yang ada di sekitarnya. Gagasan ini jelas memperlihatkan
ketidaksetaraan.
Secara positif, toleransi melestarikan yang berbeda yang lain. 49 Sekali lagi
syaratnya, yang berbeda yang lain itu harus memenuhi standar normatif bersama. Tidaklah
mungkin melestarikan kebusukan atau kebobrokan. Toleransi adalah satu-satunya dasar
argumentasi yang membuat pluralisme menjadi masuk akal.50 Intoleransi agama-agama dan
cara pandang fundamentalis tetap ada bukan karena agama-agama itu berbeda, melainkan
karena penelitian tentang konflik agama-agama berhenti di permukaan dan kurang memberi
tempat pada rasa perasaan manusiawi.51 Artinya, dalam negara yang plural, rasa perasaan
2
menjadi anggota agama tertentu tidak perlu dijauhkan sama sekali dari yang lain. Orang-
orang beragama perlu dibiasakan untuk mempraktikkan agamanya di tengah-tengah para
pemeluk agama yang lain.
Toleransi melestarikan "keterbukaan radikal".52 Di dalamnya, ada pemahaman
terhadap yang lain secara rasional serta keterbukaan wawasan berdasar sikap hormat dan
kesalingan. Toleransi melahirkan "rezim hospitalitas" yang menghancurkan pemisah antara
diriku dan yang lain. Toleransi tidak cocok dengan cara pikir tertutup, bias, maupun yang
serba mutlak. Keyakinan yang kita anggap benar, bisa jadi keliru. Tetapi, kebenaran itu ada.
Kebenaran itu hanya dapat diraih menggunakan cara berpikir kritis. Karena tiap orang punya
kesalahan, maka pada saat mereka bertemu dan membicarakan segala sesuatu secara rasional,
kesalahan masing-masing dapat dikoreksi dan kebenaran akan semakin dekat.
Toleransi menampilkan dua kesan; tidak berbahaya (to be tolerant) dan keengganan
(to tolerate).53 Pada awal zaman modern, istilah yang dipakai adalah "toleration". Pada
zaman modern, istilah berganti menjadi "tolerance". Ada pergeseran dari "kualitas diri yang
sanggup dengan sabar menghadapi kesulitan" ke "kebaikan hati/keterbukaan". Selalu harus
diwaspadai, mentolerir sesuatu berarti sekaligus menolak sesuatu yang terkandung dalam
sesuatu yang ditolerir.
Toleransi pernah dipahami sebagai tidak adanya penganiayaan secara terbuka
terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan.54 Sampai sekarang, tentu masih ada yang
berpandangan demikian. Tetapi, pemahaman negatif itu sudah saatnya ditinggalkan. Dalam
toleransi, kita perlu memupuk cara hidup ketetanggaan yang sadar dan aktif, bahkan mungkin
pro-aktif.55 Ini dapat menjadi status kewarganegaraan yang mendukung kemajuan bersama.
Setiap warga, dengan kapasitasnya masing-masing, saling berkontribusi untuk pembangunan
masyarakat.
Sikap "toleransi aktif" dapat menengahi "toleransi pasif" (tidak mengikuti aturan
hukum yang diskriminatif) dan "pengakuan terhadap perbedaan secara jujur" (mendalami
secara jujur nilai-nilai obyektif agama dan kepercayaan selain miliknya sendiri).56 Toleransi
pasif tidak dapat diandalkan untuk melindungi umat beragama yang berbeda. Tetapi,
mendalami nilai-nilai obyektif agama lain juga hampir tidak mungkin dilakukan oleh
masyarakat umum. Percaya begitu saja kepada kemampuan pemerintah dalam mewujudkan
2
toleransi yang paripurna serta menetapkan batas-batasannya juga bukan tindakan yang
bijaksana. Juga, jangan hanya berpuas diri pada saat lembaga agama menentukan identitas-
identitas agama sedangkan kita hanya duduk menunggu semua produk itu menjadi final dan
dibagikan. Kita perlu ikut menyuarakan sikap ketidaksetujuan terhadap aturan, penetapan,
atau sikap-sikap diskriminatif yang ada dalam masyarakat sipil maupun dalam konteks relasi
agama-agama, bukan demi dirinya sendiri melainkan untuk orang lain. Untuk sampai pada
tahap toleransi aktif itu, pendidikan moral yang mengajarkan toleransi aktif menjadi penting.
Meminjam pemahaman dalam khazanah politik, toleransi dapat berarti menerapkan
hak-hak umat beragama kepada siapa pun, tanpa terkecuali.57 Semacam "hukum emas"; tiap
orang perlu melakukan kepada orang lain, apa yang mereka ingin agar orang lain lakukan
untuk mereka.
Pembahasan tentang toleransi juga mengenal istilah toleransi internal (kesamaan hal
umum tentang agama) dan toleransi eksternal (dapat menerima siapa pun untuk melakukan
praktik hidup beragama).58 Toleransi eksternal berlangsung dalam Hinduisme yang sejak
awal tidak menunjuk pada satu cara beriman yang seragam. Sejak awal, Hinduisme terbiasa
dengan munculnya aneka macam aliran dan dapat menerimanya. Hal ini tidak sulit terjadi
pada agama-agama yang beriman kepada Tuhan (yang satu), kelembagaan yang teratur,
hierarki, dan Kitab Suci yang jelas.
Menurut UNESCO, toleransi adalah penghormatan, penerimaan, dan penghargaan
terhadap keberagaman budaya manusia serta bentuk-bentuk ungkapan dan cara-cara menjadi
manusia.59 Toleransi dimajukan oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan
berpikir, kesadaran, dan kepercayaan. Dengan demikian, toleransi adalah harmoni dalam
perbedaan. Toleransi merupakan sikap positif yang mendukung keragaman. Maka ada kaitan
antara toleransi, keberagaman, dan kebebasan. Dengan bersikap toleran, keberagaman dapat
diungkapkan secara bebas dan menjadi lestari, bukan tertindas dan lenyap.
Rasa tidak suka dapat memicu tindakan intoleran.60 Sekolah perlu berperan aktif
mengkondisikan peserta didik untuk berani memahami lebih dalam agama dan budaya yang
bukan menjadi milik mereka sendiri, dengan demikian sekolah dapat membantu
mengembangkan kohesi dalam masyarakat yang berciri keragaman.61
2
Sikap toleran atau tindakan mentolerir memuat di dalamnya informasi tentang
penolakan tertentu.62 Sangat tidak tepat jika dikatakan; "Kami mentolerir kebaikan".
Rumusan yang benar; "Kami mentolerir cara yang tidak ideal untuk mendapat sedikit
kebaikan." Dengan demikian, sikap toleran merupakan fenomena yang kontekstual yang
melibatkan tindakan-tindakan moral dalam keadaan-keadaan tertentu. Seseorang atau pihak-
pihak tertentu dapat memberi toleransi jika dia/mereka memiliki kuasa terhadap pihak yang
diberi toleransi ("kuasa untuk boleh tidak sependapat/menolak"). Selain itu, antara pihak
yang memberi toleransi dan yang menerima harus punya kepentingan/urusan yang sama.
Sebagai contoh, seorang pemimpin perusahaan tidak punya hubungan dengan cara mandi
kerbau liar. Maka, tidak dapat dikatakan bahwa pemimpin itu punya toleransi terhadap cara
mandi kerbau-kerbau liar. Sampai di sini, ada tiga pelajaran. Satu, jika kita memutuskan
untuk tidak lagi mentolerir tindakan tertentu, maka kita perlu melakukan intervensi tertentu.
Tetapi jika kita tidak punya kekuatan untuk melakukan intervensi, maka kita perlu
memastikan bahwa dengan alasan yang dapat diterima, intervensi akan dilakukan oleh
lembaga yang lebih tinggi/berkuasa untuk melakukannya. Dua, kewajiban moral pihak yang
berkuasa mengintervensi tindakan yang tidak dapat ditolerir hanya sampai pada mengoreksi
sikap. Tiga, tindakan yang tidak dapat ditolerir tidak dengan sendirinya harus diberi
hukuman. Alasannya, intervensi yang diberikan oleh pihak yang punya kuasa mentolerir
sudah dapat dianggap sebagai hukuman.
Secara filosofis, toleransi merupakan upaya "mentransendensikan cara pandang"
sehingga didapatkan persetujuan yang rasional untuk kebersamaan sosial. Secara politik,
toleransi merupakan kenetralan yaitu kembali ke posisi awal, mengadopsi konsep yang baik
tentang hidup secara keseluruhan. Secara yudiris, toleransi adalah penerimaan terhadap
aturan dan batasan minimal dalam interaksi sosial (bukan masalah substansi).63 Sikap toleran
secara yuridis juga tidak menjangkau kedalaman pengenalan satu sama lain. Karena pada
dasarnya, hukum selalu mengatur hal minimal yang dapat diterima oleh banyak orang.
2
kemasyarakatan relatif lebih mudah dicari titik temunya daripada persoalan-persoalan
teologis dan ajaran. Pacem in Terris Paus Yohanes XXIII juga memiliki penilaian positif
terhadap toleransi (PT 14).
Toleransi beragama secara khusus diuraikan dalam Nostra Aetate Konsili Vatikan
II. Konsili mengajarkan berikut ini,
Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-
agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara
bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang
dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri,
tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi
semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib
mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh. 14:6);
dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia
pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (NA 2b).
Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan
penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-
agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup
kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan
rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka"
(NA 2c).
Pernyataan itu penting karena dalam Dokumen Konsili Vatikan II juga disampaikan
dukungan Gereja terhadap kebebasan suara hati dan kebebasan beragama. Dalam dokumen
Dignitatis Humanae itu, Konsili mengajarkan kebesaran hati karena mentolerir keyakinan
lain yang juga terkait dengan suara hati. Selain itu, kebebasan beragama adalah hak tiap
manusia.
Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup
Beragama, Februari 2019 mengatakan bahwa semua orang dari segala lapisan dan dari
berbagai latar belakang agama dan negara perlu bekerja keras untuk menyebarkan budaya
toleransi dan hidup bersama dalam damai.65 Selanjutnya dokumen itu menyerukan agar
semua pihak ikut campur tangan secara aktif dan selekas mungkin untuk menghentikan
pertumpahan darah dan mengakhiri perang.
Bagaimana cara umat Katolik menjadi benar-benar toleran? Pertanyaan tersebut
tentu menghantui setiap orang yang memiliki komitmen untuk membangun persaudaraan
2
sejati yang berlandaskan kasih. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu dilakukan agar
orang-orang Katolik benar-benar toleran. Satu, orang beriman Katolik harus menolak
diskriminasi dalam semua bentuk dan tingkatannya. Semua orang memiliki kesamaan
martabat dan hak di hadapan Tuhan. Dua, orang beriman Katolik harus menolak setiap
tindakan dosa, tetapi jangan menyingkirkan pribadi yang berbuat dosa. Sebaliknya, kita
perlu memperlakukan dengan penuh kasih, orang-orang yang dinilai atau yang telah berbuat
dosa. Dengan demikian, kita melakukan hal baik yang diajarkan Yesus kepada kita.
2
1. Koersi (Coercion): pemaksaan atau penggunaan kuasa dalam penyelesaian suatu
konflik dengan pihak yang lemah.
2. Kompromi (Compromise): persetujuan antara pihak-pihak yang berperkara dengan
cara saling mengurangi tuntutan agar segera diperoleh penyelesaian masalah.
3. Arbitrasi (Arbitration): penyelesaian pertikaian dengan melibatkan pihak ketiga yang
netral dan resmi secara yuridis karena pihak-pihak yang bertikai sulit menemukan
kesepakatan.
4. Mediasi (Mediation): penyelesaian konflik melalui perantara netral.
5. Konsiliasi (Conciliation): mempertemukan keinginan pihak-pihak yang bertikai untuk
mencari jalan keluar dari masalah secara besama-sama.
6. Ajudikasi (Ajudication): penyelesaian masalah menggunakan jalur pengadilan.
7. Toleransi (Tolerance): pengertian satu sama lain.
8. Stalamate: pihak-pihak yang bertikai berhenti pada satu titik karena memiliki
kekuatan yang seimbang.
9. Displacement: penghentian konflik dengan cara memberikan pengalihan objek.
10. Konversi (Convercion): penyelesaian konflik dengan menjadikan salah satu pihak
yang berselisih dapat menerima pendirian pihak lain.
Istilah akomodasi memuat konsep dominasi karena hanya pihak yang memiliki
kuasa sajalah yang dapat mengakomodasi sesuatu hal.69
2
Gereja mengakomodasi kemajuan budaya hidup masyarakat zaman sekarang. Oleh
karena itu, ia mendorong jemaatnya untuk secara sukarela bekerja sama dengan semua
orang yang berkehendak baik (GS 43b). Selain itu, ia juga mendorong umat beriman Katolik
untuk membuat upaya-upaya baru dan mewujudkannya bagi kebaikan bersama. Dalam
menghadapi perbedaan pendapat, Gereja menerima tradisi musyawarah yang tulus demi
kesejahteraan umum (GS 43c). Umat juga didorong untuk menyingkirkan segala hal yang
dapat menimbulkan perpecahan di antara warga masyarakat dunia (GS 43e). Akhirnya, ia
berkomitmen untuk terus-menerus semakin masuk dalam pengalaman sejarah dari zaman ke
zaman (GS 43f) karena ia adalah bagian dari sejarah.
3
Kegiatan Belajar III
C. WAWASAN
KEBANGSAAN70
1. Kompetensi
Kompetensi pada bagian ini terdiri dari kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Kompetensi inti diambil dari deskripsi capaian pembelajaran guru Pendidikan Agama
Katolik yang profesional. Kompetensi dasar diambil dari rumusan sub capaian pembelajaran
guru Pendidikan Agama Katolik yang profesional.
1.3. Indikator
a. Mampu melaksanakan tugas keprofesian sebagai pendidik agama Katolik.
b. Mampu mengimplementasikan sikap Wawasan Kebangsaan.
c. Mampu mengajarkan kembali sikap Wawasan Kebangsaan.
3
1.4. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat mengukur apakah segala perilakunya selama ini sudah
mencerminkan sikap Wawasan Kebangsaan atau belum.
b. Mahasiswa berkomitmen untuk mempraktikkan Wawasan Kebangsaan dalam
kehidupannya tiap hari di berbagai kesempatan dan tingkatan.
c. Mahasiswa mau melibatkan diri dalam gerakan-gerakan yang secara khusus
mempromosikan dan mengajarkan sikap Wawasan Kebangsaan.
3
2. Peta Konsep Wawasan Kebangsaan
Wawa
san
Keban
gsaan
3
3. Uraian Materi
Bagian ini akan menyajikan dasar-dasar ajaran Gereja Katolik tentang Cinta Tanah
Air, landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai dasar bela negara,
Penghormatan terhadap Lambang-Lambang Negara dan Ketaatan Kepada Peraturan
Perundang-Undangan, dan Pembinaan Kerukunan, Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
3
13:1). Paulus juga mengatakan, "Barang siapa melawan pemerintah, ia melawan
ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman
atas
3
dirinya. Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika
ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang
baik dan kamu akan beroleh pujian daripadanya." (Rm. 13:2-3). Tentang pemimpin,
Paulus berkata, "Pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau
berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang.
Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang
berbuat jahat (Rm
13:4). "Bayarlah pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan
Allah. Bayarlah ... pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada
orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa
takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat (Rm. 13:6-7).
Kepada para pembantunya, Paulus juga menuliskan refleksinya tentang hidup
bernegara. "Ingatkanlah mereka supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-
orang yang berkuasa, taat, dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik"
(Tit. 3:1). "Pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan
ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita
dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan" (1 Tim. 2:1-2).
3
Negara kepulauan dapat menarik garis lurus landas kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar dan batu karang yang mengering dari
kepulauan itu dengan ketentuan bahwa dalam garis dasar tersebut tecakup pulau-pulau
utama dan sebuah wilayah. Rasio wilayah perairan dengan wilayah daratan, termasuk
pulau-pulau karang yang ada antara 1:1 sampai 9:1.
Paham Wawasan Nusantara ini membuat wilayah Republik Indonesia terdiri atas
kurang lebih 17.000 pulau dengan perairan yang menghubungkannya sebagai suatu negara
kesatuan. Lautan di antara pulau-pulau merupakan penghubung dan kesatuan dalam
bingkai NKRI.
3
- Syarat-Syarat Sebuah Bangsa
Suatu bangsa memiliki kesamaan sejarah hidup, karakter atau jati diri atau
identitas nasional, dan kesatuan wilayah yang terpisah dari wilayah lain. Bertolak dari
definisi itu, maka yang disebut Bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
Satu, kesatuan penduduk yang menempati ribuan pulau di antara Samudera
Indonesia dan Lautan Teduh, di antara benua Asia dan Australia, serta
telah menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dua, negara-bangsa Indonesia punya karakter atau perangai. Hal itu
mewujud dalam bendera negara, lagu kebangsaan, lambang negara,
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Tiga, Indonesia punya prinsip dasar dan nilai dasar yang dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945.
3
iii. Nasionalisme/Wawasan Kebangsaan dan Patriotisme
4
Wawasan kebangsaan adalah cara pandang yang dilandasi kesadaran diri
sebagai warga suatu negara akan diri dan lingkungannya dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Di dalamnya, bangsa Indonesia memandang diri dan lingkungannya,
mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kesatuan/integrasi nasional ini bersifat
struktural dan kultural, mengandung kesatuan ipoleksosbudhankam.
Wawasan kebangsaan menentukan cara bangsa mendayagunakan kondisi
geografis negara, sejarah, sosio-budaya, ekonomi, dan politik serta pertahanan
keamanan dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasional. Wawasan
tersebut juga menentukan cara bangsa Indonesia menempatkan diri dalam
berhubungan/pergaulan dengan bangsa lain. Di sana ada komitmen persatuan untuk
menjamin keberadaan dan peningkatan kualitas kehidupan bangsa seraya
menghendaki pengetahuan yang memadai tentang tantangan masa kini dan
mendatang serta berbagai potensi bangsa.
Dalam kerangka NKRI, wawasan kebangsaan merupakan cara bangsa
Indonesia memandang diri dan lingkungannya dalam mencapai tujuan nasional yang
mencakup perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai kesatuan ipoleksosbudhankam
dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945. Maka, Wawasan Kebangsaan
sama dengan Wawasan Nusantara.
Wawasan kebangsaan akan luntur bahkan hancur jika warga bangsa tidak
peduli dan membiarkannya berkembang tanpa arah dan pegangan. Maka, negara-
bangsa Indonesia perlu memperkokoh wawasan kebangsaannya. Cara memperkokoh
wawasan kebangsaan antara sadar bahwa; (i) dirinya adalah warga negara dari
negara-bangsa yang memiliki hak dan kewajiban, (ii) negara-bangsa Indonesia
bersifat plural ditinjau dari banyak aspek, (iii) Indonesia sebagai negara-bangsa
sewajarnya memiliki keunggulan dan kekurangan, (iv) negara-bangsanya adalah
tanah air yang menjadi tempatnya mengembangkan diri dan kehidupannya.
Akhirnya, wawasan kebangsaan diusahakan bersama oleh seluruh warga
negara. Keberadaan negara-bangsa Indonesia harus diinsafi, disyukuri, dan
dicintainya dengan kesiapan berkorban demi negara-bangsa.
4
- Patriotisme
Patriotisme adalah semangat, sikap, dan perbuatan seseorang yang rela
berkorban demi kejayaan dan kesejahteraan tanah air dan negara-bangsanya. Presiden
Soekarno menyamakan patriot dengan pendekar bangsa. Dalam diri pendekar bangsa
ada Trisakti; (i) berdaulat dalam politik, (ii) mandiri dalam ekonomi, dan (iii) pribadi
yang berbudaya. Jika ketiga unsur itu benar diaktualisasikan, maka akan tercipta
ketahanan politik, ekonomi, dan jati diri bangsa. Akhirnya, terjaminlah kelangsungan
hidup bangsa dan negara.
4
Pertahanan Keamanan
Ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah adalah ancaman terhadap seluruh
bangsa dan negara. Maka, tiap warga negara punya hak dan kewajiban yang
sama dalam rangka bela negara dan bangsa.
- Globalisasi
Penyatuan dunia adalah usaha manusia sejak zaman lampau. Pada awalnya
diupayakan penyatuan dunia secara fisik (penaklukan, kolonisasi). Selanjutnya,
agama-agama ingin menyatukan dunia secara spiritual.
J. J. Rousseau punya gagasan tentang satu umat manusia di dunia. Ia
beranggapan bahwa semua manusia itu baik. Tiap manusia perlu dibebaskan untuk
berkembang sesuai potensi dasar yang ada dalam dirinya. Mereka tidak butuh kontrol
dari siapa pun. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul anarkisme dalam masyarakat.
Komunisme juga mencita-citakan masyarakat komunis dunia; masyarakat
yang sejahtera, tanpa kelas, tanpa hak milik pribadi. Semua sarana adalah hak milik
bersama. Namun tampaknya paham ini hanya berhenti sebagai ide belaka.
- Tribalisasi
Tribalisasi merupakan gerakan pembentukan kelompok sempalan dari suatu
negara-bangsa. Paham ini berpendapat bahwa ikatan alami kelompok suku atau
keluarga lebih kuat daripada daya ikat warga negara-bangsa. Menurut paham ini,
tibalisme lebih kuat menghadapi globalisasi. Gerakan tribalisasi ini harus diwaspadai.
3.2.2. Konsensus Dasar Berbangsa dan Bernegara dalam Persatuan dan Kesatuan
i. Pancasila
Pancasila adalah philosofische groundslag untuk Indonesia merdeka. Pancasila
adalah falsafah bagi NKRI. Pancasila punya empat kedudukan dan fungsi, sebagai dasar
negara Republik Indonesia, ideologi nasional, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan
pemersatu bangsa.
- Pancasila adalah dasar NKRI
Pancasila menolak paham-paham yang bertentangan dengan nilai dasarnya.
Pancasila sebagai dasar negara dapat dirunut dari sidang Badan Penyelidik Usaha-
4
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 29 - 31 Mei 1945, pidato
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, dan disahkannya UUD NKRI Tahun 1945
tanggal 18 Agustus 1945.
Pancasila bersifat hierarkis-piramidal yang merupakan satu kesatuan utuh
tanpa boleh dipisahkan-pisahkan. Masing-masing sila dalam Pancasila menjiwai dan
dijiwai oleh sila-sila yang lainnya.
Pasal 2 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menyebutkan bahwa "Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum negara".
- Pancasila adalah Ideologi Negara
Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai budaya, adat-istiadat, serta agama
dan keyakinan yang dimiliki bangsa Indonesia. Pancasila merupakan seperangkat
prinsip dasar yang menjadi pegangan dalam menentukan arah dan tujuan guna
melangsungkan dan mengembangkan hidup dan kehidupan nasional.
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa menjamin kebebasan beragama dan
pluralisme ekspresi keagamaan. Prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, secara
operasional, memberi jaminan pelaksanaan hak asasi manusia sebagai tolok ukur
keberadaban dan solidaritas bangsa terhadap warga negara. Prinsip Persatuan
Indonesia menegaskan bahwa persatuan terbentuk melalui pembangunan hubungan
timbal balik atas dasar kesamaan kedudukan dan tekad untuk menjalin kerja sama.
Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan menjamin komitmen terhadap demokrasi. Prinsip
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan komitmen bangsa untuk
mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan diskriminasi.
4
Pancasila adalah hasil kesepakatan yang mempersatukan aneka pandangan
mengenai dasar-dasar Indonesia merdeka, mengenai cita-cita dan tujuan bernegara
Indonesia, serta fondasi kebangsaan yang diharapkan dapat menjelma dalam kehidupan
masyarakat masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang.
Prinsip Persatuan Indonesia melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Prinsip itu mampu memberikan kebaikan bersama bagi warganya, tanpa memandang etnis
dan agama. Negara persatuan itu diperkuat oleh budaya gotong royong dan pendidikan
kewargaan multikulturalisme yang lebih partisipatif dan non-diskriminatif.
4
Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
- UUD NKRI Tahun 1945 adalah Alat Kontrol terhadap Penyelenggaraan Negara
UUD NKRI Tahun 1945 sebagai alat kontrol penyelenggaraan negara sudah
mengalami empat perubahan (1999, 2000, 2001, dan 2002). Perubahan dilakukan tiga
hal. Satu, ketentuan dasar yang menyangkut sistem ketatanegaraan perlu disesuaikan
dengan zaman. Dua, perlu ada pembatasan kekuasaan pemerintah yang mengarah
pada pemerintahan absolut, yakni mengenai batasan kekuasaan presiden. Tiga,
gelombang reformasi yang menginginkan pemerintahan demokratis yang secara tegas
menerapkan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin negara.
4
terhadap sistem federal dalam Republik Indonesia Serikat. Tanggal 17 Agustus 1950,
Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan NKRI diproklamasikan kembali.
- Konsep NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945
Negara kesatuan tercantum dalam Pasal 37 Ayat 5 UUD NKRI Tahun 1945
yang berbunyi “Khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan”.
Indonesia merupakan negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan
Republik. Dalam negara kesatuan, kekuasaan pemerintahan berada dan dipegang
pemerintah pusat. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sama dan tidak
sederajat. Kewenangan pemerintah daerah hanyalah mandat dari pemerintah pusat.
Dalam menjalankan pemerintahannya, pemerintah daerah tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan pemerintah pusat.
4
- Makna Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Persatuan dan kesatuan diperlukan agar struktur sosial masyarakat Indonesia
yang beragam (agama dan keyakinan, suku, etnis, budaya, sistem sosial, dan
ekonomi) tetap terjaga. Jiwa bangsa masyarakat Indonesia disatukan bukan oleh
kesamaan “identitas”, tetapi perasaan senasib dan sepenanggungan, tekad bersama
untuk bersatu mencapai satu tujuan yang sama.
4
3.3.2. Ruang Lingkup Nilai-Nilai Dasar Bela Negara
4
Kemampuan awal bela negara adalah potensi dan kesiapan tiap warga negara
untuk membela negara sesuai profesi dan kemampuannya. Contoh kemampuan awal bela
negara adalah nilai-nilai percaya diri dan nilai-nilai profesi.
vi. Semangat untuk Mewujudkan Negara yang Berdaulat, Adil, dan Makmur
Sikap dan tekad kebangsaan perlu dilandasi rasa persatuan dan kesatuan untuk
mewujudkan cita-cita bersama. Itulah energi potensial milik bangsa. Potensi-potensi
tersebut, baik sumber daya nasional maupun kearifan lokal, akan memberi nilai pada
peradaban bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu pada gilirannya diharapkan mendukung
percepatan pembangunan ketahanan nasional dan menyukseskan pembangunan nasional
menuju masyarakat adil dan makmur.
5
e. Rukun dan berjiwa gotong royong dalam masyarakat
f. Menjalankan hak dan kewajiban sesuai peraturan pe
berlaku
3 Setia kepada Pancasila a. Menjalankan kewajiban agama secara baik dan benar
b. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila
hari
c. Meyakini Pancasila sebagai dasar negara dan m
sebagai pemersatu hidup berbangsa dan bernegara
d. Menerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip mu
e. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi man
f. Saling membantu antarsesama warga negara sesuai n
demi kesejahteraan umum
51
mengidentifikasi bentuk-bentuk ancaman di
lingkungan masing-masing sehingga selalu siap ta
dini
c. Senantiasa menjaga kesehatan fisik dan mental
d. Memiliki kecerdasan emosional, intelektual,
memadai
e. Memiliki pengetahuan tentang kearifan lokal dalam m
ancaman
f. Memiliki kemampuan dalam memberdayakan ke
alam dan keanekaragaman hayati
5
manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam
keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan NKRI.
Aturan tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan
Indonesia terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pengaturan tersebut dilaksanakan berdasarkan
asas persatuan, kedaulatan, kehormatan, kebangsaan, kebhinnekatunggalikaan, ketertiban,
kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
i. Bendera Negara
- Dasar Hukum
· UUD Tahun 1945 pasal 35, UU No. 24 Tahun 2009, dan Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik
Indonesia.
· Bendera Negara Republik Indonesia (disingkat Bendera Negara) adalah Sang
Saka Merah Putih, Sang Merah Putih, Merah Putih, atau kadang disebut Sang
Dwiwarna (dua warna).
· Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56
Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka
disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
- Bentuk dan ukuran
· Empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua per tiga) dari panjang.
Bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih. Kedua bagian
berukuran sama.
· Merah berarti keberanian, putih berarti kesucian. Merah melambangkan raga
manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya
membentuk kesatuan kemanusiaan yang utuh.
· Bendera Negara dibuat dari kain dengan warna yang tidak luntur.
- Ketentuan:
· 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan
· 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum
5
· 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan
· 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden
· 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara
· 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum
· 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal
· 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api
· 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara
· 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja
· 3 cm x 5 cm untuk penggunaan di seragam sekolah
- Pengibaran:
Pengibaran Bendera Negara dilakukan pada waktu antara matahari terbit
hingga matahari terbenam. Dalam keadaan tertentu, Bendera Negara dapat
dikibarkan pada malam hari. Bendera Negara wajib dikibarkan pada Hari
Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang
menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan,
transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah NKRI dan di kantor
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Bendera Negara wajib dikibarkan
setiap hari di tempat-tempat sebagai berikut:
· Istana Presiden dan Wakil Presiden
· Gedung atau Kantor Lembaga Negara
· Gedung atau Kantor Lembaga Pemerintah
· Gedung atau Kantor Lembaga Pemerintah Nonkementerian
· Gedung atau Kantor Lembaga Pemerintah Daerah
· Gedung atau Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
· Gedung atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri
· Gedung atau Halaman Satuan Pendidikan
· Gedung atau Kantor Swasta
· Rumah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
· Rumah Jabatan Pimpinan Lembaga Negara
· Rumah Jabatan Menteri
5
· Rumah Jabatan Pimpinan Lembaga Pemerintahan Non Kementerian
· Rumah Jabatan Gubernur, Bupati, Walikota, dan Camat
· Gedung atau Kantor atau Rumah Jabatan lain
· Pos Perbatasan dan Pulau-Pulau Terluar di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia
· Lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia
· Taman Makam Pahlawan
- Pelarangan terkait Bendera Negara
· Merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan
lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan
Bendera Negara;
· Memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
· Mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
· Mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan
memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
· Memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan
tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.
5
· Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar
belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda ke dalam kesatuan
kebangsaan Indonesia
- Penggunaan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang baku, terbuka, dan dinamis.
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi negara. Bahasa Indonesia wajib
digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang
lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
5
· Jumlah bulu melambangkan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17
Agustus 1945): 17 bulu di masing-masing sayap, 8 bulu ekor, 19 bulu pangkal
ekor, 45 bulu leher.
· Perisai merupakan lambang pertahanan negara Indonesia.
· Bintang Tunggal sila Ketuhanan Yang Mahaesa (5 agama besar), Rantai Emas
sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Pohon Beringin sila Persatuan
Indonesia, Kepala Banteng sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, Padi dan Kapas sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
- Penggunaan
Penggunaan lambang negara diatur dalam UUD Tahun 1945 pasal 36A
dan UU No. 24 Tahun 2009.
· Dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan
· Luar gedung atau kantor
· Lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan
berita negara
· Paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah
· Uang logam dan uang kertas atau meterai
5
· menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam
kunjungan resmi
· acara atau kegiatan olahraga internasional
· acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional
yang diselenggarakan di Indonesia
· rangkaian program pendidikan dan pengajaran
· acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi, partai politik, dan
kelompok masyarakat lain
- Tatacara:
Semua warga negara Indonesia yang hadir saat Lagu Kebangsaan
diperdengarkan/dinyanyikan, mereka wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
Lagu Kebangsaan dilagukan dengan cara;
· Diiringi alat musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun diperdengarkan secara
instrumental
· Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu strofe,
dengan satu kali ulangan pada refrein
· Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu
stanza pertama, dengan satu kali ulangan pada bait ketiga stanza pertama
- Larangan
· Mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, kata-kata, dan gubahan lain
dengan maksud menghina/merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan
· Memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan
Lagu Kebangsaan dengan maksud untuk tujuan komersial
· Menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan dengan tujuan komersial
3.4.2. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan serta Bentuk Ketaatan Warga
Negara pada Peraturan Perundang-undangan
i. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
- Pengertian Peraturan Perundang-Undangan
Menurut UU No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
5
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
- Kedudukan Pancasila dan UUD NKRI Tahun 1945
Pancasila adalah sumber segala sumber hukum negara. UUD Tahun 1945
adalah hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
- Hierarki dan Jenis Peraturan Perundang-Undangan berdasar UU No. 12 Tahun 2011
· UUD Tahun 1945
· Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
· Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
· Peraturan Pemerintah
· Peraturan Presiden
· Peraturan Daerah (Perda) Provinsi
· Perda Kabupaten/Kota
- Kebijakan Publik dalam Format Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi
Pemerintahan
5
3.5. Pembinaan Kerukunan, Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa
3.5.1. Pengantar
Manusia adalah makhluk sosial. Manusia saling membutuhkan. Tetapi, interaksi
antarindividu kadang menimbulkan konflik. Oleh karena itu, konflik harus diatasi.
Manusia membutuhkan kesepahaman agar seluruh ciptaan menjadi lestari.
6
· memberdayakan sumber daya manusia (tokoh agama dan tokoh masyarakat)
untuk ketahanan dan kerukunan masyarakat
· melindungi agama dari penyalahgunaan dan penodaan
· aksi sosial bersama antarumat beragama
Dari uraian-uraian di atas, diperoleh lima prinsip persatuan dan kesatuan Bangsa
Indonesia. Kelima prinsip itu adalah;
· Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
· Prinsip Nasionalisme yang menghargai bangsa-bangsa lain
· Prinsip Kebebasan yang bertanggung jawab
· Prinsip Wawasan Nusantara
· Prinsip Persatuan Pembangunan Nasional
6
Kegiatan Belajar IV
D. ANTI-KEKERASAN
1. Kompetensi
Kompetensi pada bagian ini terdiri dari kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Kompetensi inti diambil dari deskripsi capaian pembelajaran guru Pendidikan Agama Katolik yang
profesional. Kompetensi dasar diambil dari rumusan sub capaian pembelajaran guru Pendidikan
Agama Katolik yang profesional.
1.3. Indikator
a. Mampu melaksanakan tugas keprofesian sebagai pendidik agama Katolik.
b. Mampu mengimplementasikan sikap anti-kekerasan.
c. Mampu mengajarkan kembali sikap anti-kekerasan.
6
2. Peta Konsep Anti-Kekerasan
Anti-
Kekerasan
Latar Definisi
Belakang Anti-
Hari Anti- Kekerasan
Kekerasan
6
3. Uraian
Bagian ini akan menguraikan anti-kekerasan dalam ajaran Gereja Katolik, Peringatan
Hari Anti-Kekerasan Internasional, latar belakang lahirnya Hari Anti-Kekerasan, definisi anti-
kekerasan, langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menghapus rantai kekerasan, anti-
kekerasan di Indonesia, dan Teks Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Untuk menghormati pribadi manusia, orang harus berpegang pada prinsip dasar,
bahwa "setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun
8
terkecualikan, sebagai dirinya yang lain, terutama mengindahkan perihidup
mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak"
(GS 27,1). Tidak ada satu perundang-undangan yang akan berhasil dengan
dayanya sendiri, melenyapkan perasaan takut dan praduga, sikap sombong dan
egoistis, yang menghalang-halangi terjadinya masyarakat persaudaraan yang
sebenarnya. Pola tingkah laku semacam itu hanya dapat dikalahkan oleh kasih
Kristen, yang melihat di dalam tiap manusia seorang "sesama", seorang saudara,
atau seorang saudari.
Tidak dibenarkan secara moral, penggunaan kekerasan fisik atau psikis untuk mendapatkan
pengakuan, menyakiti pihak yang bersalah, kekerasan yang dilakukan untuk menakut-nakuti
pihak-pihak yang berseberangan.
Pembelaan hak-hak asasi manusia tanpa menggunakan kekerasan dan pertumpahan darah
dipandang sebagai tindakan kesaksian terhadap cinta kasih Injili.
Orang yang tidak melakukan tindakan kekerasan dan pertumpahan darah, dan
untuk membela hak-hak manusia, memakai sarana yang juga dimiliki kelompok
orang yang paling lemah, orang itu memberi kesaksian tentang cinta kasih Injil,
sejauh hak-hak dan kewajiban orang lain dan masyarakat tidak disingkirkan. Ia
memberi kesaksian yang benar bahwa penggunaan sarana kekerasan
mengakibatkan bahaya fisik dan moral yang berat, yang selalu meninggalkan
kerusakan dan kematian (KGK 2306).
Gereja Katolik mendorong setiap umat beriman untuk memperjuangkan hak-hak manusia tanpa
menggunakan jalan-jalan kekerasan.
... kami merasa wajib memuji mereka yang dalam memperjuangkan hak-hak
manusia menolak untuk menggunakan kekerasan dan menempuh upaya-upaya
pembelaan yang tersedia pula bagi mereka yang tergolong lemah asal itu dapat
terlaksana tanpa melanggar hak-hak serta kewajiban-kewajiban sesama maupun
masyarakat (GS 78e).
8
Tindak kekerasan dan perdamaian adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Oleh karena itu,
sangat tidak masuk akal jika ada pihak-pihak yang mengupayakan perdamaian dengan
menggunakan tindakan kekerasan.
Perdamaian dilandaskan pada relasi utama yang ada antara setiap manusia dan
Allah itu sendiri, sebuah relasi yang ditandai oleh ketidakbercelaan (bdk.
Kej.
17:1). Mengikuti tindakan sukarela olehnya manusia membelokkan tatanan
ilahi, dunia mengalami pertumpahan darah dan perpecahan. Tindak kekerasan
memulai penampilannya dalam relasi-relasi antarpribadi (bdk. Kej. 11:1-9).
Perdamaian dan tindak kekerasan tidak dapat berdiam bersama, dan di mana ada
tindak kekerasan di sana Allah tidak dapat hadir (bdk. 1Taw. 22:8-9)
(Kompendium Ajaran Sosial Gereja 488b).
Gereja Katolik tidak pernah membenarkan cara-cara kekerasan dalam upaya untuk mencapai cita-
cita apa pun.
8
damai tetapi menggunakan cara-cara atau jalan kekerasan. Sebaliknya, anti-kekerasan dan anti-
kebencian adalah cara yang bermartabat untuk membangun masyarakat yang damai.
8
3.2.2. Definisi Anti-Kekerasan
Pada prinsipnya, anti-kekerasan menolak penggunaan kekerasan fisik dan psikologis
untuk mencapai perubahan sosial atau politik. Dalam gerakan anti-kekerasan, orang-orang
menolak bersikap pasif dan tunduk. Bagi mereka, perjuangan itu penting. Oleh karena itu,
perjuangan perlu dikobarkan tanpa menggunakan kekerasan. Gerakan anti-kekerasan tidak
menghindari atau mengabaikan konflik. Gerakan ini merupakan cara menggunakan kekuasaan
secara efektif. Salah satu prinsip gerakan anti-kekerasan mengatakan bahwa kekuatan penguasa
bergantung pada persetujuan penduduk. Oleh karena itu, gerakan ini melemahkan kekuatan itu
dengan menggalang sebanyak mungkin dukungan persetujuan dan kerja sama dari rakyat. Ada
tiga kategori utama aksi tanpa-kekerasan:
• protes dan bujukan, termasuk pawai dan berjaga-jaga;
• tidak bekerja sama; dan
• intervensi tanpa kekerasan, seperti blokade dan pendudukan.
8
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan itu
mendefinisikan
8
kekerasan seksual sebagai "setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau
menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa
dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik
termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan
melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal" (Bab 1 Pasal 1 Nomor 1).79
Peraturan di atas memiliki dua tujuan (Bab 1 Pasal 2 Huruf a dan b). Satu, sebagai
pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di
luar kampus. Dua, menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara,
inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan,
dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.
Kekerasan di tingkat Pendidikan Tinggi di Indonesia, menurut Permen di atas mencakup
tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan
komunikasi (Bab 1 Pasal 5 Nomor 1). Daftar kekerasan di kampus menurut Permen tersebut di
atas, berturut-turut adalah (Bab 1 Pasal 5 Nomor 2):
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik,
kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan
yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual
kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau
visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual
tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa
seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan
secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk
melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau
menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
8
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan
yang bernuansa Kekerasan Seksual;
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain
alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Selain Peraturan Menteri di atas, Negara Indonesia juga memiliki beragam peraturan
yang mendukung gerakan anti-kekerasan. Berikut ini beberapa contoh peraturan-peraturan
tersebut.
8
b. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi
Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan81
Peraturan Presiden ini menegaskan komitmen Negara Indonesia untuk
menolak kekerasan terhadap perempuan melalui komisi yang resmi dibentuk oleh
pemerintah. Komisi ini didirikan untuk (i) mengembangkan kondisi yang kondusif
bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-
hak asasi manusia perempuan di Indonesia dan (ii) meningkatkan upaya pencegahan
dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia perempuan.
Ada dua pertimbangan utama di balik pendirian Komisi Nasional Anti-
Kekerasan terhadap Perempuan. Satu, UUD 1945 menjamin semua warga negara
mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Dua,
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
Tahun 1979 (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women), dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Wanita (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment), dan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1993 tentang
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, menyatakan dengan tegas
bahwasannya segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu
bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia.
Peraturan Presiden ini juga menjadi bukti bahwa Negara Indonesia turut
meratifikasi aturan perundangan universal yang berlaku secara luas di masyarakat
dunia. Dengan demikian, Negara Indonesia mengaku diri menjadi bagian dari
persaudaraan bangsa-bangsa di dunia.
8
Peraturan ini disusun dengan beberapa pertimbangan. Satu, tindak
kekerasan yang dilakukan di lingkungan satuan pendidikan maupun antar-satuan
pendidikan, dapat mengarah kepada suatu tindak kriminal dan menimbulkan trauma
bagi peserta didik. Dua, upaya pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di
lingkungan satuan pendidikan perlu dilakukan terus-menerus untuk meningkatkan
penyelenggaraan pembelajaran yang aman, nyaman, dan menyenangkan.
3.7. Teks Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2021
Sebagai produk hukum terbaru bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia, menurut
pertimbangan kami, ada baiknya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 disampaikan secara lengkap pada bagian
ini. Salah satu alasan kami adalah, dalam konteks Perguruan Tinggi Katolik, praktik-praktik
kekerasan juga terjadi. Dengan membaca dokumen ini, kami berharap para pendidik dan peserta
didik dapat bersama-sama menegakkan mentalitas hormat kepada martabat pribadi tiap manusia.
SALINAN
d. tinggi;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Perguruan Tinggi;
Mengingat : 1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia
Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor
3. 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3886);
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor
78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
5.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336);
7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
69,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871);
8
8. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5135);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500);
10. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2021 tentang Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 156);
11. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 28 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 963);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN
TEKNOLOGI TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI.
8
BAB I KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,
melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi
seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang
berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik
termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan
hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan
optimal.
2. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi.
3. Pencegahan adalah tindakan/cara/proses yang dilakukan agar
seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan Kekerasan Seksual
di Perguruan Tinggi.
4. Penanganan adalah tindakan/cara/proses untuk menangani Kekerasan
Seksual di Perguruan Tinggi.
5. Pemeriksaan adalah tindakan/cara/proses yang dilakukan Perguruan
Tinggi untuk menindaklanjuti laporan Kekerasan Seksual di Perguruan
Tinggi.
6. Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi.
7. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai
dosen, instruktur, dan tutor yang berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan tinggi.
8. Tenaga Kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan
diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan tinggi.
9. Warga Kampus adalah masyarakat yang beraktivitas dan/atau bekerja
di kampus.
8
10. Pemimpin Perguruan Tinggi adalah Rektor pada Universitas dan
Institut, Ketua pada Sekolah Tinggi, Direktur pada Politeknik,
Akademi, dan Akademi Komunitas.
11. Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma
adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
12. Korban adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga
Kampus, dan masyarakat umum yang mengalami Kekerasan Seksual.
13. Terlapor adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga
Kampus, dan masyarakat umum yang diduga melakukan Kekerasan
Seksual terhadap Korban.
14. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang
selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi
yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual di Perguruan Tinggi.
15. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan.
16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pendidikan.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini bertujuan:
a. sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan
dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di
luar kampus; dan
b. untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat,
setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa,
Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan
Tinggi.
85
Pasal 3
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:
a. kepentingan terbaik bagi Korban;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas;
d. akuntabilitas;
e. independen;
f. kehati-hatian;
g. konsisten; dan
h. jaminan ketidakberulangan.
Pasal 4
Sasaran Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual meliputi:
a. Mahasiswa;
b. Pendidik;
c. Tenaga Kependidikan;
d. Warga Kampus; dan
e. Masyarakat umum yang berinteraksi dengan Mahasiswa, Pendidik, dan
Tenaga Kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma.
Pasal 5
(1) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal,
nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan
tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa
persetujuan Korban;
8
c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau
siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video
bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang
Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau
rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual
tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang
bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban
yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang
melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang
bersifat pribadi;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam
Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang
tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium
dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban
tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan
seksual;
o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan
Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
8
p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau
bagian tubuh selain alat kelamin;
r. memaksa atau memperdayai Korban untuk
melakukan aborsi;
s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja;
dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah
dalam hal Korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa,
dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol,
dan/atau narkoba;
d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang
rentan;
f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.
BAB II
PENCEGAHAN
Pasal 6
(1) Perguruan Tinggi wajib melakukan Pencegahan Kekerasan Seksual
melalui:
a. pembelajaran;
8
b. penguatan tata kelola; dan
c. penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga
Kependidikan.
(2) Pencegahan melalui pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi
dengan mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan
untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian.
(3) Pencegahan melalui penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. merumuskan kebijakan yang mendukung Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi;
b. membentuk Satuan Tugas;
c. menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual;
d. membatasi pertemuan antara Mahasiswa dengan Pendidik
dan/atau Tenaga Kependidikan di luar jam operasional kampus
dan/atau luar area kampus;
e. menyediakan layanan pelaporan Kekerasan Seksual;
f. melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga
Kampus terkait upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual;
g. melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kepada
Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga
Kampus;
h. memasang tanda informasi yang berisi:
1. pencantuman layanan aduan Kekerasan Seksual; dan
2. peringatan bahwa kampus Perguruan Tinggi tidak
menoleransi Kekerasan Seksual;
i. menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas
untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual; dan
8
j. melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Seksual.
(4) Pencegahan melalui penguatan budaya komunitas Mahasiswa,
Pendidik, dan Tenaga Kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual paling sedikit pada
kegiatan:
a. pengenalan kehidupan kampus bagi Mahasiswa, Pendidik, dan
Tenaga Kependidikan;
b. organisasi kemahasiswaan; dan/atau
c. jaringan komunikasi informal Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga
Kependidikan.
Bagian Kedua
Pencegahan oleh Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pasal 7
(1) Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Pendidik dan Tenaga
Kependidikan meliputi:
a. membatasi pertemuan dengan Mahasiswa secara individu:
1. di luar area kampus;
2. di luar jam operasional kampus; dan/atau
3. untuk kepentingan lain selain proses
pembelajaran, tanpa persetujuan kepala/ketua program
studi atau ketua jurusan; dan
b. berperan aktif dalam Pencegahan Kekerasan Seksual.
(2) Dalam hal Pendidik yang bersangkutan merupakan kepala/ketua
program studi atau ketua jurusan maka persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh atasan kepala/ketua program
studi atau ketua jurusan yang bersangkutan.
Pasal 8
(1) Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Mahasiswa meliputi:
a. membatasi pertemuan dengan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan secara individu:
1. di luar area kampus;
2. di luar jam operasional kampus; dan/atau
3. untuk kepentingan lain selain proses
pembelajaran, tanpa persetujuan kepala/ketua program
studi atau ketua jurusan; dan
b. berperan aktif dalam Pencegahan Kekerasan Seksual.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Mahasiswa menyampaikan permohonan izin secara tertulis atau
media komunikasi elektronik mengenai rencana pertemuan
dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan; dan
b. permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam huruf a
disampaikan kepada kepala/ketua program studi atau ketua
jurusan sebelum pelaksanaan pertemuan.
Pasal 9
Ketentuan mengenai tata cara pemberian persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.
BAB III
PENANGANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui:
a. pendampingan;
b. pelindungan;
c. pengenaan sanksi administratif; dan
9
d. pemulihan Korban.
Bagian Kedua
Pendampingan
Pasal 11
(1) Pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
diberikan kepada Korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa,
Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. konseling;
b. layanan kesehatan;
c. bantuan hukum;
d. advokasi; dan/atau
e. bimbingan sosial dan rohani.
(3) Dalam hal, Korban atau saksi merupakan penyandang disabilitas,
pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
memerhatikan kebutuhan penyandang disabilitas.
(4) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan persetujuan Korban atau saksi.
(5) Dalam hal Korban tidak memungkinkan untuk memberikan
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka persetujuan
dapat diberikan oleh orang tua atau wali Korban atau pendamping.
Bagian Ketiga
Pelindungan
Pasal 12
(1) Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b diberikan
kepada Korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa, Pendidik,
Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.
(2) Pelindungan kepada Korban atau saksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi
Mahasiswa;
b. jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai Pendidik dan/atau
Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi yang
bersangkutan;
9
c. jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku
atau pihak lain atau keberulangan Kekerasan Seksual dalam
bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan
nonfisik kepada aparat penegak hukum;
d. pelindungan atas kerahasiaan identitas;
e. penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
f. penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan
pelindungan;
Bagian Keempat
Pengenaan Sanksi Administratif
Pasal 13
(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf c dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan Kekerasan
Seksual.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi berdasarkan
rekomendasi Satuan Tugas.
Pasal 14
(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
terdiri atas:
a. sanksi administratif ringan;
b. sanksi administratif sedang; atau
c. sanksi administratif berat.
(2) Sanksi administratif ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a berupa:
a. teguran tertulis; atau
b. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan
9
di internal kampus atau media
massa.
(3) Sanksi administratif sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b berupa:
a. pemberhentian sementara dari jabatan tanpa
memperoleh hak jabatan; atau
b. pengurangan hak sebagai Mahasiswa meliputi:
1. penundaan mengikuti perkuliahan (skors);
2. pencabutan beasiswa; atau
3. pengurangan hak lain.
(4) Sanksi administratif berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
berupa:
a. pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa; atau
b. pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga
Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dari Perguruan Tinggi yang
bersangkutan.
Pasal 15
Penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan secara
proporsional dan berkeadilan sesuai rekomendasi Satuan Tugas.
Pasal 16
(1) Pemimpin Perguruan Tinggi dapat menjatuhkan sanksi administratif
lebih berat dari sanksi administratif yang direkomendasikan oleh
Satuan Tugas.
(2) Pengenaan sanksi administratif lebih berat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan mempertimbangkan:
Pasal 17
(1) Dalam hal Pemimpin Perguruan Tinggi tidak berwenang mengenakan
sanksi administratif, Pemimpin Perguruan Tinggi meneruskan
rekomendasi sanksi administratif kepada Menteri melalui direktur
jenderal yang membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai dengan
kewenangan.
(2) Dalam hal Terlapor merupakan Pemimpin Perguruan Tinggi dan telah
terbukti melakukan Kekerasan Seksual, Satuan Tugas meneruskan
rekomendasi sanksi kepada Menteri melalui direktur jenderal yang
membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai dengan kewenangan.
Pasal 18
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 tidak
menyampingkan pengenaan sanksi administratif lain dan sanksi pidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa:
a. penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana
untuk Perguruan Tinggi; dan/atau
b. penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan
Tinggi.
Bagian Kelima
Pemulihan Korban
Pasal 20
(1) Pemulihan kepada Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf d berupa:
a. tindakan medis;
b. terapi fisik;
c. terapi psikologis; dan/atau
d. bimbingan sosial dan rohani.
(2) Pemulihan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan:
9
a. dokter/tenaga kesehatan lain;
9
b. konselor;
c. psikolog;
d. tokoh masyarakat;
e. pemuka agama; dan/atau
f. pendamping lain sesuai kebutuhan termasuk kebutuhan Korban
penyandang disabilitas.
(3) Pemulihan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2)
dilakukan berdasarkan persetujuan Korban.
(4) Dalam hal saksi pelapor mengalami stres traumatis sekunder
(secondary traumatic stress), pemulihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan berdasarkan persetujuan saksi.
Pasal 21
Masa pemulihan Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 tidak
mengurangi hak Korban dalam proses pembelajaran, hak kepegawaian, atau
hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9
Pasal 22
(1) Dalam hal Korban atau saksi berstatus sebagai masyarakat umum,
Perguruan Tinggi dapat melakukan pendampingan, pelindungan,
dan/atau pemulihan Korban atau saksi dengan mengikutsertakan dinas
yang membidangi Penanganan Kekerasan Seksual atau lembaga
penyedia layanan Penanganan Korban Kekerasan Seksual.
(2) Dalam hal Korban atau saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Perguruan Tinggi dapat melakukan
pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan Korban atau saksi
dengan mengikutsertakan lembaga yang membidangi pelindungan
anak.
(3) Pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pemimpin
Perguruan Tinggi.
BAB IV
SATUAN TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN
SEKSUAL
Pasal 23
(1) Dalam pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual,
Pemimpin Perguruan Tinggi membentuk Satuan Tugas di tingkat
Perguruan Tinggi.
(2) Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pertama
kali melalui panitia seleksi.
Pasal 24
(1) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
berjumlah gasal paling sedikit 3 (tiga) orang dan paling banyak 7
(tujuh) orang.
(2) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerhatikan
keterwakilan keanggotaan perempuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota.
9
(1) Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat terdiri
atas unsur:
a. Pendidik;
b. Tenaga Kependidikan; dan
c. Mahasiswa;
(3) Anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus
memenuhi syarat:
a. pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual;
b. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender,
dan/atau disabilitas;
c. pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang
fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;
dan/atau
d. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan
Seksual.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri
dengan dokumen administrasi sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup;
b. surat rekomendasi dari atasan bagi calon anggota dari unsur
Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan
c. surat rekomendasi dari Pendidik bagi calon anggota dari unsur
Mahasiswa.
(5) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat ad hoc.
Pasal 25
(1) Tata cara pembentukan dan rekrutmen keanggotaan panitia seleksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, meliputi:
a. Pemimpin Perguruan Tinggi merekrut calon anggota panitia
seleksi paling sedikit 10 (sepuluh) orang dan mengumumkannya;
b. calon anggota panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam huruf
a akan mengikuti pelatihan dan seleksi yang diselenggarakan
oleh unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan
tugas penguatan karakter;
Pasal 26
Panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
mempunyai tugas:
a. menyusun petunjuk teknis seleksi anggota Satuan Tugas;
b. melaksanakan seleksi anggota Satuan Tugas; dan
c. merekomendasikan anggota Satuan Tugas kepada Pemimpin
Perguruan Tinggi untuk ditetapkan.
Pasal 27
(1) Keanggotaan Satuan Tugas berasal dari Perguruan Tinggi yang
bersangkutan, terdiri atas unsur:
a. Pendidik;
b. Tenaga Kependidikan; dan
c. Mahasiswa.
(2) Susunan keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. ketua merangkap anggota;
b. sekretaris merangkap anggota; dan
c. anggota.
(3) Anggota Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah
gasal paling sedikit 5 (lima) orang.
Pasal 28
(1) Ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a berasal
dari unsur Pendidik.
(2) Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b
berasal dari unsur Mahasiswa atau Tenaga Kependidikan.
(3) Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c
paling sedikit 50% (lima puluh persen) berasal dari unsur Mahasiswa.
Pasal 29
1
(1) Ketua dan sekretaris Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (2) huruf a dan huruf b dipilih dari dan oleh anggota Satuan
Tugas secara musyawarah mufakat dengan memerhatikan kesetaraan
gender.
(2) Anggota Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. pernah mendampingi Korban Kekerasan
Seksual;
b. pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender,
dan/atau disabilitas;
c. pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang
fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas;
d. menunjukkan minat dan kemampuan untuk bekerja sama sebagai
tim dalam melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual di Perguruan Tingginya; dan/atau
e. tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan
Seksual.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melampirkan
dokumen persyaratan administrasi sebagai berikut:
a. daftar riwayat hidup;
b. hasil wawancara;
c. surat rekomendasi dari atasan bagi calon anggota dari unsur
Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan
d. surat rekomendasi dari Pendidik bagi calon anggota dari unsur
Mahasiswa.
Pasal 30
(1) Keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi paling
lambat 1 (satu) bulan sejak menerima rekomendasi dari panitia seleksi.
(2) Anggota Satuan Tugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas
penguatan karakter.
Pasal 31
(1) Masa tugas Satuan Tugas selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang
1 (satu) periode berikutnya.
(2) Keanggotaan Satuan Tugas berakhir karena:
1
a. berakhirnya masa tugas;
b. meninggal dunia;
c. mengundurkan diri;
d. tidak lagi memenuhi unsur keanggotaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27;
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota Satuan Tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f. berhalangan tetap selama lebih dari 6 (enam) bulan; dan/atau
g. dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pasal 32
(1) Pemimpin Perguruan Tinggi melakukan seleksi paling lama 3 (tiga)
bulan sebelum masa keanggotaan Satuan Tugas berakhir.
Pasal 33
(1) Penggantian keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf g dilakukan pemilihan
oleh Satuan Tugas.
(2) Keanggotaan Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi.
Pasal 34
(1) Satuan Tugas bertugas:
a. membantu Pemimpin Perguruan Tinggi menyusun pedoman
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan
Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c;
b. melakukan survei Kekerasan Seksual paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 6 (enam) bulan pada Perguruan Tinggi;
c. menyampaikan hasil survei sebagaimana dimaksud dalam huruf
b kepada Pemimpin Perguruan Tinggi;
d. mensosialisasikan pendidikan kesetaraan gender, kesetaraan
disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, serta
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual bagi Warga
Kampus;
1
e. menindaklanjuti Kekerasan Seksual berdasarkan laporan;
f. melakukan koordinasi dengan unit yang menangani layanan
disabilitas, apabila laporan menyangkut Korban, saksi, pelapor,
dan/atau Terlapor dengan disabilitas;
g. melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam pemberian
pelindungan kepada Korban dan saksi;
h. memantau pelaksanaan rekomendasi dari Satuan Tugas oleh
Pemimpin Perguruan Tinggi; dan
Pasal 35
(1) Anggota Satuan Tugas wajib menjunjung tinggi Kode Etik yang
ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(2) Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan norma dan
asas yang harus dipatuhi oleh anggota Satuan Tugas dalam
pelaksanaan tugas.
(3) Kode Etik merupakan integrasi dari nilai yang meliputi:
a. menjamin kerahasiaan identitas pihak yang terkait langsung
dengan laporan;
b. menjamin keamanan Korban, saksi, dan/atau
pelapor; dan
1
c. menjaga independensi dan kredibilitas Satuan Tugas.
Pasal 36
1
b. pelaksanaan tugas panitia seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26;
c. proses pembentukan Satuan Tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30; dan
d. pelaksanaan tugas dan wewenang Satuan Tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dilaporkan kepada Menteri
melalui unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas
penguatan karakter.
Pasal 37
(1) Pemimpin Perguruan Tinggi memfasilitasi pelaksanaan tugas dan
wewenang Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
(2) Fasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. penyediaan sarana dan prasarana operasional;
b. pembiayaan operasional Pencegahan dan Penanganan;
c. pelindungan keamanan bagi anggota Satuan Tugas; dan
d. pendampingan hukum bagi anggota Satuan Tugas dalam
menghadapi permasalahan hukum terkait pelaksanaan tugas dan
wewenang.
BAB V
MEKANISME PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL OLEH
SATUAN TUGAS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
Satuan Tugas menangani laporan Kekerasan Seksual melalui mekanisme:
a. penerimaan laporan;
b. pemeriksaan;
c. penyusunan kesimpulan dan rekomendasi;
d. pemulihan; dan
e. tindakan Pencegahan keberulangan.
1
Bagian Kedua
Penerimaan Laporan
Pasal 39
(1) Pelaporan Kekerasan Seksual dilakukan oleh Korban dan/atau saksi
pelapor.
(2) Pelaporan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan melalui:
a. telepon;
b. pesan singkat elektronik;
c. surat elektronik; dan/atau
d. laman resmi milik Perguruan Tinggi.
(3) Pelaporan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan mekanisme yang mudah diakses penyandang
disabilitas.
Pasal 40
(1) Penerimaan laporan dilakukan pada setiap pengaduan yang berasal dari
Korban atau saksi pelapor.
(2) Dalam menerima laporan, Satuan Tugas melakukan:
a. identifikasi Korban atau saksi pelapor;
b. penyusunan kronologi peristiwa Kekerasan Seksual;
c. pemeriksaan dokumen/bukti yang disampaikan pelapor;
d. inventarisasi kebutuhan Korban dan/atau saksi pelapor; dan
e. pemberian informasi mengenai hak Korban atau saksi pelapor,
mekanisme Penanganan Kekerasan Seksual, kemungkinan
risiko
Bagian Ketiga
Pemeriksaan
1
Pasal 41
1
(1) Satuan Tugas melakukan Pemeriksaan atas laporan Kekerasan Seksual.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
mengumpulkan keterangan dan/atau dokumen yang terkait dengan
laporan Kekerasan Seksual.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
Korban, saksi, dan/atau Terlapor.
(4) Dalam hal Korban, saksi, dan/atau Terlapor merupakan penyandang
disabilitas, Satuan Tugas menyediakan pendamping disabilitas dan
pemenuhan akomodasi yang layak.
(5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara
tertutup.
(6) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
ayat
(4) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(7) Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan
dalam berita acara Pemeriksaan.
Pasal 42
Selama Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pemimpin
Perguruan Tinggi dapat memberhentikan sementara hak pendidikan Terlapor
yang berstatus sebagai Mahasiswa atau hak pekerjaan Terlapor yang
berstatus sebagai Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.
Bagian Keempat
Penyusunan Kesimpulan dan Rekomendasi
Pasal 43
Satuan Tugas menyusun kesimpulan dan rekomendasi Penanganan
Kekerasan Seksual.
1
Pasal 44
(1) Kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 memuat
pernyataan terbukti atau tidak terbukti adanya Kekerasan
Seksual.
(2) Dalam hal terbukti adanya Kekerasan Seksual, kesimpulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat
uraian:
a. identitas pelaku;
b. bentuk Kekerasan Seksual;
c. pendampingan Korban dan/atau saksi; dan
d. pelindungan Korban dan/atau saksi.
(3) Dalam hal tidak terbukti adanya Kekerasan Seksual, kesimpulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat
uraian:
a. identitas Terlapor;
b. dugaan Kekerasan Seksual;
c. ringkasan Pemeriksaan; dan
d. pernyataan tidak terbukti adanya Kekerasan Seksual.
Pasal 45
(1) Rekomendasi dalam hal terbukti adanya Kekerasan Seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) paling sedikit
memuat usulan:
a. pemulihan Korban;
b. sanksi kepada pelaku; dan
c. tindakan Pencegahan keberulangan.
(2) Dalam hal tidak terbukti adanya Kekerasan Seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3), Satuan Tugas merekomendasi
pemulihan nama baik Terlapor.
12
Pasal 46
Rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ditetapkan
Bagian
Kelima
Pemulihan
Pasal 47
(1) Satuan Tugas memfasilitasi Pemulihan terhadap Korban.
(2) Bentuk fasilitasi Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. pelaksanaan jangka waktu Pemulihan Korban selama masa
yang sudah ditetapkan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi;
b. kerja sama dengan pihak terkait untuk pemberian
Pemulihan Korban;
c. pemberitahuan ke pihak terkait di Perguruan Tinggi bahwa:
1. selama masa Pemulihan bagi Korban yang berstatus
sebagai Mahasiswa tidak mengurangi masa studi atau
tidak dianggap cuti studi;
2. selama masa pemulihan, Korban yang berstatus
sebagai Pendidik atau Tenaga Kependidikan
memperoleh hak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan/atau
3. Korban yang berstatus sebagai Mahasiswa yang
mengalami ketertinggalan akademik, memperoleh hak
untuk mendapatkan bimbingan akademik tambahan
dari Pendidik; dan
d. pemantauan proses Pemulihan Korban dan perkembangan
kondisi Korban yang dilakukan melalui koordinasi dengan
penyedia layanan Pemulihan Korban.
12
(3) Pemberian fasilitasi Pemulihan Korban selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persetujuan Korban.
Pasal 48
(1) Dalam hal Terlapor tidak terbukti melakukan Kekerasan Seksual,
Satuan Tugas memberikan rekomendasi kepada Pemimpin
Perguruan Tinggi untuk melakukan pemulihan nama baik
Terlapor.
(2) Pemulihan nama baik Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.
Bagian Keenam
Tindakan Pencegahan Keberulangan
Pasal 49
(1) Tindakan pencegahan keberulangan Kekerasan Seksual paling
sedikit meliputi perbaikan:
a. pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2);
b. penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3); dan
c. penguatan budaya komunitas
sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (4).
(2) Penguatan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat berupa:
a. mengembangkan materi modul;
b. mengembangkan metodologi pembelajaran;
c. melakukan diseminasi dan sosialisasi materi modul secara
intensif;
d. melakukan evaluasi pemahaman materi
modul; dan/atau
12
e. kegiatan lain dalam rangka
pencegahan keberulangan Kekerasan Seksual.
(3) Perbaikan penguatan tata kelola sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi perbaikan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan Perguruan Tinggi dalam Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual.
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Seksual, serta mekanisme kerja Satuan
Tugas diatur oleh Pemimpin Perguruan Tinggi.
BAB VI
PEMERIKSAAN
ULANG
Pasal 51
(1) Dalam hal Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 dianggap tidak adil, Korban atau
Terlapor berhak untuk meminta Pemeriksaan ulang.
(2) Permintaan Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan melalui kanal pelaporan Kementerian.
12
Pasal 52
(1) Pemeriksaan ulang dilakukan oleh direktur jenderal yang
membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai dengan
kewenangan.
(2) Hasil Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. menguatkan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46; atau
12
kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
(6) Petunjuk teknis Pemeriksaan ulang ditetapkan oleh direktur
jenderal yang membidangi urusan pendidikan tinggi sesuai
dengan kewenangan.
BAB VII
HAK KORBAN DAN SAKSI
Pasal 53
(1) Korban Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi berhak:
a. mendapatkan jaminan atas kerahasiaan identitas diri;
b. meminta pendampingan, pelindungan, dan/atau pemulihan
dari Perguruan Tinggi melalui Satuan Tugas; dan
BAB VIII
PEMANTAUAN DAN
EVALUASI
Pasal 54
(1) Pemimpin Perguruan Tinggi wajib melakukan pemantauan dan
evaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang
dilaksanakan oleh Satuan Tugas.
(2) Laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
12
pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri melalui unit kerja di
Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas penguatan
karakter paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan atau
sewaktu-waktu jika diperlukan.
(3) Laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memuat:
a. kegiatan Pencegahan Kekerasan Seksual;
b. hasil survei yang dilakukan oleh Satuan Tugas;
c. data pelaporan Kekerasan Seksual;
d. kegiatan Penanganan Kekerasan Seksual; dan
e. kegiatan Pencegahan keberulangan
Kekerasan Seksual.
Pasal 55
(1) Dalam hal Pemimpin Perguruan Tinggi tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis bagi Pemimpin Perguruan Tinggi; atau
Pasal 56
Menteri dapat sewaktu-waktu melakukan pemantauan dan evaluasi
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
dalam hal terjadi Kekerasan Seksual yang:
a. skala berat;
b. kondisi Korban kritis;
12
c. Korban berada di wilayah negara berbeda atau lintas yurisdiksi;
dan/atau
d. melibatkan pelaku yang karena tugas dan kedudukannya
memiliki kewenangan melakukan Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
BAB IX
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 57
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Satuan Tugas yang menangani Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual yang sudah ada di Perguruan Tinggi harus
menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini paling
lama 1 (satu) tahun; dan
b. Perguruan Tinggi yang belum memiliki Satuan Tugas harus
membentuk Satuan Tugas berdasarkan ketentuan Peraturan
Menteri ini paling lama 1 (satu) tahun, terhitung sejak Peraturan
Menteri ini diundangkan.
Pasal 58
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
12
pada tanggal 31 Agustus 2021
MENTERI PENDIDIKAN,
KEBUDAYAAN RISET, DAN
TEKNOLOGI
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 September 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BENNY RIYANTO
ttd.
12
Dian Wahyuni
NIP 196210221988032001
DAFTAR PUSTAKA
1
Istilah moderasi beragama diperkenalkan oleh Kementerian Agama melalui buku yang berjudul
"Moderasi Beragama; Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Moderasi
Beragama. Jakarta. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia".
2
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/moderasi
3
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kekerasan
4
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/keekstreman
5
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/moderat
6
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wasit
7
Durkheim, E. (1995). The Elementary Forms of Religious Life. New York: The Free Press.
8
Weber, M. (1995). The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. London and New York.
Routledge.
9
Marx, K. (1970). Critique of Hegel's Philosophy of Right. Oxford University Press.
10
Huntington, S. P. (1993). The Clash of Civilizations? Foreign Affairs, 72(3), 22–49.
https://doi.org/10.2307/20045621
11
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/adil
12
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/imbang
13
Kamali, M. H. (2015). The Middle Path of Moderation in Islam, the Qur’anic Principle of
Wasathiyah. Oxford: Oxford University Press.
14
https://www.vatican.va/content/francesco/en/travels/2019/outside/documents/papa-
francesco_20190204_documento-fratellanza-umana.html
15
Borelli, J. (2010). The Origins and Early Development of Interreligious Relations during the
Century of the Church (1910-2010). U.S. Catholic Historian, 28(2), 81-105. Retrieved July
29, 2021, from http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/40731265
16
Abu-Nimer, M., & Smith, R. (2016). INTRODUCTION: Interreligious and intercultural
education for dialogue, peace and social cohesion. International Review of Education /
Internationale Zeitschrift Für Erziehungswissenschaft / Revue Internationale De
L'Education, 62(4), 393-
13
405. Retrieved June 27, 2021, from http://www.jstor.org/stable/24756431
13
17
Webb, A. (2009). INTERRELIGIOUS DIALOGUE AND COSMOPOLITAN
FAITH. Soundings: An Interdisciplinary Journal, 92(1/2), 159-187. Retrieved July 6,
2021, from http://www.jstor.org/stable/41179242
18
Landres, J., & Bolger, R. (2007). Emerging Patterns of Interreligious Conversation: A
Christian- Jewish Experiment. The Annals of the American Academy of Political and
Social
Science, 612, 225-239. Retrieved July 7, 2021, from http://www.jstor.org/stable/25097938
19
Scheitle, C., & Smith, B. (2011). A Note on the Frequency and Sources of Close Interreligious
Ties. Journal for the Scientific Study of Religion, 50(2), 410-421. Retrieved July 8, 2021,
from http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/41307084
20
Dijkhuizen, P. (2015). Editorial: Some Thoughts on Interreligious
Dialogue. Neotestamentica, 49(2), 227-234. Retrieved June 20, 2021,
from http://www.jstor.org/stable/43927235
21
Cheetham D., D. Pratt, and D. Thomas, eds. 2013. Understanding Interreligious Relations. Oxford;
Oxford University Press, 401.
22
Marchadour, A., Neuhaus, D., & MARTINI, C. (2007). Interreligious Dialogue. In The Land,
the Bible, and History: Toward the Land That I Will Show You (pp. 160-176). New
York: Fordham University Press. Retrieved June 20, 2021, from
http://www.jstor.org/stable/j.ctt1x76fwt.15
23
Rieger, J. (2014). Occupy Religion: Theology of the Multitude and Interreligious
Dialogue. Buddhist-Christian Studies, 34, 167-172. Retrieved June 22, 2021,
from http://www.jstor.org/stable/24801362
24
Beldermann, J. (2015). OUTCOMES OF INTERRELIGIOUS DIALOGUE: An Example from
Bielefeld: Bethel. European Judaism: A Journal for the New Europe, 48(2), 54-59.
Retrieved June 22, 2021, from http://www.jstor.org/stable/43740773
25
Remme, J. (2012). Separating Encounters: Tangency in an Interreligious Encounter in Ifugao,
the Philippines. Anthropos, 107(2), 427-434. Retrieved June 22, 2021, from
http://www.jstor.org/stable/23510050
26
Yong, A. (2016). Many Tongues, Many Buddhisms in a Pluralistic World: A Christian
Interpretation at the Interreligious Crossroads. Japanese Journal of Religious Studies,
43(2), 357-376. Retrieved June 22, 2021, from
http://www.jstor.org/stable/japajrelistud.43.2.357
27
Anthony, F., Hermans, C., & Sterkens, C. (2015). Causes of Interreligious Conflict. In Religion
and Conflict Attribution: An Empirical Study of the Religious Meaning System of
Christian, Muslim and Hindu Students in Tamil Nadu, India (pp. 168-193). LEIDEN;
BOSTON: Brill. Retrieved June 22, 2021, from
http://www.jstor.org/stable/10.1163/j.ctt1w76vhj.11
28
Plate, S. (2018). INTERRELIGIOUS AESTHETICS: From Dialogue to the Senses.
13
CrossCurrents, 68(3), 329-335. Retrieved June 22, 2021, from
https://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/26642429
13
29
Gill, S. (2016). Universities as spaces for engaging the other: A pedagogy of encounter for
intercultural and interreligious education. International Review of Education /
Internationale Zeitschrift Für Erziehungswissenschaft / Revue Internationale De
L'Education, 62(4), 483-
500. Retrieved June 23, 2021, from http://www.jstor.org/stable/24756436
30
Kwakye-Nuako, K. (2020). Interreligious Dialogue and Governance in Africa: Response to
Sulayman Nyang. In Jones R. (Ed.), Fine Differences: The Al-Alwani Muslim-
Christian Lectures 2010-2017 (pp. 155-159). LONDON; WASHINGTON:
International Institute of Islamic Thought. doi:10.2307/j.ctv19prr4t.18
31
White, T. (2016). Catholicism and Its Discontents: Revelation in an Ecumenical and
Interreligious Context. Angelicum, 93(3), 401-418. Retrieved June 23, 2021, from
https://www.jstor.org/stable/26392572
32
Bidwell, D., & Schipani, D. (2019). Interreligious Care in Totalitarian Contexts: Learnings from
Cuba and Vietnam. In Snodgrass J. (Ed.), Navigating Religious Difference in Spiritual
Care and Counseling: Essays in Honor of Kathleen J. Greider (pp. 115-134).
Claremont, CA: Claremont Press. doi:10.2307/j.ctvwrm4c3.11
33
Mosher, L. (2018). WRITING THE SUBLIME: Visual Hagiography and the Promotion of
Interreligious Understanding. CrossCurrents, 68(3), 383-393. Retrieved June 23, 2021,
from https://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/26642434
34
Nyang, S. (2020). African Nationalism and Its Effects on Interreligious Relations. In Jones R.
(Ed.), Fine Differences: The Al-Alwani Muslim-Christian Lectures 2010-2017 (pp. 148-
154). LONDON; WASHINGTON: International Institute of Islamic Thought.
doi:10.2307/j.ctv19prr4t.17
35
Scheffler, T. (2007). Interreligious Dialogue and Peacebuilding. Die Friedens-Warte, 82(2/3),
173-187. Retrieved July 7, 2021, from
http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/23773933
36
Merino, S. (2010). Religious Diversity in a "Christian Nation": The Effects of Theological
Exclusivity and Interreligious Contact on the Acceptance of Religious Diversity. Journal
for the Scientific Study of Religion, 49(2), 231-246. Retrieved July 7, 2021, from
http://www.jstor.org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/40664698
37
Forst, R. (2003). Toleration, justice and reason. In C. McKinnon & D. Castiglione (Eds.), The
culture of toleration in diverse societies: Reasonable tolerance (pp. 71–85). Manchester
University Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt155jc8v.9
38
Huntington, S. P. (1993). op. cit.
39
Webb, M. O. (1997). Trust, Tolerance, and the Concept of a Person. Public Affairs Quarterly,
11(4), 415–429. http://www.jstor.org/stable/40436000
40
Thomassen, L. (2006). The Inclusion of the Other? Habermas and the Paradox of Tolerance.
Political Theory, 34(4), 439–462. http://www.jstor.org/stable/20452474
13
41
ERSPAMER, P. R. (1997). Concluding Remarks: Beyond the Tolerance Debate. In The
Elusiveness of Tolerance: The “Jewish Question" From Lessing to the Napoleonic Wars
(Vol. 117, pp. 151–156). University of North Carolina Press.
http://www.jstor.org/stable/10.5149/9781469656489_erspamer.9
42
YAN, M. (2012). Tolerance or Hospitality? Frontiers of Philosophy in China, 7(1), 154–163.
http://www.jstor.org/stable/44259377
43
FERRETTI, M. P., & LÆGAARD, S. (2013). A Multirelational Account of Toleration.
Journal of Applied Philosophy, 30(3), 224–238. http://www.jstor.org/stable/24355991
44
Kant, I. (1927). Perpetual Peace- A Philosophical Proposal, trans, by Helen O'Brien. London:
Sweet & Maxwll, Limited.
45
Kellner, M. (2021). Tolerance. In We Are Not Alone: A Maimonidean Theology of the Other
(pp. 105–136). Academic Studies Press. https://doi.org/10.2307/j.ctv1zjg9tv.10
46
Lombardini, J. (2015). STOICISM AND THE VIRTUE OF TOLERATION. History of
Political Thought, 36(4), 643–669. http://www.jstor.org/stable/26228611
47
Tan, K.-C. (2011). Two Conceptions of Liberal Global Toleration. The Monist, 94(4), 489–
505. http://www.jstor.org/stable/41418999
48
Lee, F. L. F. (2014). “Tolerated One Way but Not the Other”: Levels and Determinants of
Social and Political Tolerance in Hong Kong. Social Indicators Research, 118(2), 711–
727. http://www.jstor.org/stable/24721028
49
Mensch, J. R. (2009). Sustaining the Other: Tolerance as a Positive Ideal. In Embodiments:
From the Body to the Body Politic (pp. 141–147). Northwestern University Press.
https://doi.org/10.2307/j.ctv47w4k1.16
50
Puri, B. (2021). Re-Thinking Religious Pluralism: Moving Beyond Liberal Tolerance.
Singapore. Springer.
51
Velassery, S. (2021). Religious Violence in a World of Conflicts: A Phenomenological
Narrative. In Re-Thinking Religious Pluralism: Moving Beyond Liberal Tolerance (pp.
21-36). Singapore. Springer.
52
Lacorne, D. (2019). The Limits of Tolerance: Enlightenment Values and Religious Fanaticism.
New York. Columbia University Press.
53
Glaser, E. (eds). (2014). Religious Tolerance in the Atlantic World: Early Modern and
Contemporary Perspectives. UK. Palgrave Macmillan.
54
Meza, P. T. (1981). Gilbert Burnet’s Concept of Religious Toleration. Historical Magazine of
the Protestant Episcopal Church, 50(3), 227–242. http://www.jstor.org/stable/42973846
55
Jenks, C. W. (1967). TOLERANCE AND GOOD NEIGHBOURLINESS: AS CONCEPTS
OF INTERNATIONAL LAW. Malaya Law Review, 9(1), 1–9.
http://www.jstor.org/stable/24862383
56
Lester, E., & Roberts, P. S. (2006). The Distinctive Paradox of Religious Tolerance: Active
Tolerance as a Mean between Passive Tolerance and Recognition. Public Affairs
Quarterly, 20(4), 329–362. http://www.jstor.org/stable/40441448
13
57
Mondak, J. J., & Sanders, M. S. (2005). The Complexity of Tolerance and Intolerance
Judgments: A Response to Gibson. Political Behavior, 27(4), 325–337.
http://www.jstor.org/stable/4500202
58
Spinner-Halev, J. (2005). Hinduism, Christianity, and Liberal Religious Toleration. Political
Theory, 33(1), 28–57. http://www.jstor.org/stable/30038394
59
UNESCO. (1995). Declaration of Principles on Tolerance.
60
Jarman, N. (2016). Prejudice and (in)tolerance in Ulster. In I. HONOHAN & N. ROUGIER
(Eds.), Tolerance and diversity in Ireland, north and south (pp. 189–210). Manchester
University Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt18dzqvw.16
61
Gallagher, T., & Duffy, G. (2016). Recognising difference while promoting cohesion: the role
of collaborative networks in education. In I. HONOHAN & N. ROUGIER (Eds.),
Tolerance and diversity in Ireland, north and south (pp. 35–54). Manchester University
Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt18dzqvw.8
62
Mulligan, T. (2015). THE LIMITS OF LIBERAL TOLERANCE. Public Affairs Quarterly,
29(3), 277–295. http://www.jstor.org/stable/43574673
63
Collier, C. W. (1998). A Legal Theory of Tolerance and Perspective. ARSP: Archiv Für
Rechts- Und Sozialphilosophie / Archives for Philosophy of Law and Social Philosophy,
84(1), 59–86. http://www.jstor.org/stable/23681244
64
https://penakatolik.com/2015/07/31/dialog-kehidupan-jadi-penekanan-gereja-katolik-dalam-
toleransi-umat-beragama/
65
Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama,
Februari 2019.
66
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/akomodasi
67
https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-akomodasi.html
68
https://dosensosiologi.com/contoh-akomodasi/
69
Lovett, F. (2010). Cultural Accommodation and Domination. Political Theory, 38(2), 243–267.
http://www.jstor.org/stable/25655550
70
Ajaran Gereja Katolik ditambahkan di depan uraian materi Wawasan Kebangsaan. Seluruh isi
materi Wawasan Kebangsaan ini merupakan hasil suntingan kembali dari Modul
Wawasan Kebangsaan yang disusun oleh LAN (Lembaga Administrasi Negara). (2019).
Wawasan Kebangsaan dan Nilai-nilai Bela Negara. Modul Pelatihan Dasar Calon
Pegawai Negeri Sipil Golongan II dan Golongan III. Jakarta. LAN.
71
https://www.indonesianpapist.com/2013/08/orang-katolik-harus-cinta-tanah-air.html
72
https://www.un.org/en/observances/non-violence-day
73
Coghlan, R. (2000). The Teaching of Anti-Violence Strategies within the English Curriculum.
The English Journal, 89(5), 84–89. https://doi.org/10.2307/822301
13
74
Sudbury, J. C. (2003). Toward a Holistic Anti-Violence Agenda: Women of Color as Radical
Bridge-Builders. Social Justice, 30(3 (93)), 134–140.
http://www.jstor.org/stable/29768214
75
Anne Kirkner, Michael Bowser, & Katie Ashby. (2014). Speak Up: Engaging Youth in
School-Based Primary Prevention of Sexual Violence. Children, Youth and
Environments, 24(1), 173–182. https://doi.org/10.7721/chilyoutenvi.24.1.0173
76
Subramaniam, M., Krishnan, P., & Bunka, C. (2014). Women’s Movement Groups in State
Policy Formulation: Addressing Violence Against Women in India. Indian
Anthropologist, 44(1), 37–52. http://www.jstor.org/stable/43899762
77
Barbosa, E. (2014). Regina José Galindo’s Body Talk: Performing Feminicide and Violence
against Women in “279 Golpes.” Latin American Perspectives, 41(1), 59–71.
http://www.jstor.org/stable/24573976
78
Richie, B. E. (2000). A Black Feminist Reflection on the Antiviolence Movement. Signs,
25(4), 1133–1137. http://www.jstor.org/stable/3175500
79
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan
Perguruan Tinggi
80
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga
81
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
82
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2015
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan
Pendidikan
13