Anda di halaman 1dari 24

RESUME EBOOK SISTEM POLITIK

Nama : Bajra Wira Baladika

NIM : 07041281924046

NO. Absen : 018

Kelas : B

BAB 1
KERANGKA KERJA SISTEM POLITIK: PENDEKATAN
SISTEM

A. Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu


kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan
aliran informasi, materi atau energi mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering dipergunakan untuk
menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali
bisa dibuat.
Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam
suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak, contoh umum misalnya seperti negara.
Negara merupakan suatu kumpulan dari beberapa elemen kesatuan lain seperti provinsi yang
saling berhubungan sehingga membentuk suatu negara di mana yang berperan sebagai
penggeraknya yaitu rakyat yang berada dinegara tersebut.
Kata "sistem" banyak sekali digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam forum diskusi
maupun dokumen ilmiah. Kata ini digunakan untuk banyak hal, dan pada banyak bidang pula,
sehingga maknanya menjadi beragam. Dalam pengertian yang paling umum, sebuah sistem
adalah sekumpulan benda yang memiliki hubungan di antara mereka.

B. Politik (Yunani: Politikos; Arab:  ‫سياسة‬, siyasah) (dari bahasa Yunani: politikos, yang


berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara
berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan
secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

 politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(teori klasik Aristoteles).
 politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
 politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat.
 politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.

C. Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif


atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu
unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap di antara
elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari
berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada
struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan
antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek,
sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari
suatu sistem politik. Dengan mengubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat
sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem
politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini
masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem
politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk
bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektivitas sistem
politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektivitas sistem politik diukur dari
kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak
membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.

D. Pengertian sistem politik menurut David Easton masih memegang posisi kunci dalam studi
politik negara. Pengertian struktural fungsional dari Gabriel Almond mempertajam konsep David
Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-
masing yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan
(kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja
untuk mencapai tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk memberi
penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik. Pendekatan sistem politik
dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya
mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik diinspirasikan oleh
sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari disiplin biologi).

Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem politik
hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti sistem ekonomi,
sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Sistem politik sendiri
merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di
tengah masyarakat.

Seperti telah dijelaskan, masyarakat tidak hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem politik
saja), melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang biasanya dipelajari kinerjanya adalah
sistem politik, sistem ekonomi, sistem agama, sistem sosial, atau sistem budaya-psikologi. Dari
aneka jenis sistem yang berbeda tersebut, ada persamaan maupun perbedaan. Perbedaan
berlingkup pada dimensi ontologis (hal yang dikaji) sementara persamaan berlingkup pada
variabel-variabel (konsep yang diukur) yang biasanya sama antara satu sistem dengan lainnya.

Untuk memahami sistem politik Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka
harus kita ketahui beberapa variabel kunci. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah
sistem adalah adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan, input, output, respon, dan
umpan balik.

Struktur adalah lembaga politik yang memiliki keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi
sistem politik. Dalam konteks negara (sistem politik) misal dari struktur ini struktur input,
proses, dan output. Struktur input bertindak selaku pemasok komoditas ke dalam sistem politik,
struktur proses bertugas mengolah masukan dari struktur input, sementara struktur output
bertindak selaku mekanisme pengeluarannya. Hal ini mirip dengan organisme yang
membutuhkan makanan, pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.

Struktur input, proses dan output umumnya dijalankan oleh aktor-aktor yang dapat dikategorikan
menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga aktor ini menjalankan tugas kolektif yang
disebut sebagai pemerintah (government). Namun, setiap aktor yang mewakili struktur harus
memiliki fungsi yang berbeda-beda: Tidak boleh suatu fungsi dijalankan oleh struktur yang
berbeda karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun merupakan dasar dari
disusunnya konsep Trias Politika (pemisahan kekuasaan) seperti digagas para pionirnya di
masalah abad pencerahan seperti John Locke dan Montesquieu.

Nilai adalah komoditas utama yang berusaha didistribusikan oleh struktur-struktur di setiap
sistem politik yang wujudnya adalah: (1) kekuasaan, (2) pendidikan atau penerangan; (3)
kekayaan; (4) kesehatan; (4) keterampilan; (5) kasih sayang; (6) kejujuran dan keadilan; (7)
keseganan, respek.[1] Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam kondisi yang tidak merata
persebarannya di masyarakat sehingga perlu campur tangan struktur-struktur yang punya
kewenangan (otoritas) untuk mendistribusikannya pada elemen-elemen masyarakat yang
seharusnya menikmati. Struktur yang menyelenggarakan pengalokasian nilai ini, bagi Easton,
tidak dapat diserahkan kepada lembaga yang tidak memiliki otoritas: Haruslah negara dan
pemerintah sebagai aktornya.

Norma adalah peraturan, tertulis maupun tidak, yang mengatur tata hubungan antar aktor di
dalam sistem politik. Norma ini terutama dikodifikasi di dalam konstitusi (undang-undang dasar)
suatu negara. Setiap konstitusi memiliki rincian kekuasaan yang dimiliki struktur input, proses,
dan output. Konstitusi juga memuat mekanisme pengelolaan konflik antar aktor-aktor politik di
saat menjalankan fungsinya, dan menunjuk aktor (sekaligus) lembaga yang memiliki otoritas
dalan penyelesaikan konflik. Setiap negara memiliki norma yang berlainan sehingga konsep
norma ini dapat pula digunakan sebagai parameter dalam melakukan perbandingan kerja sistem
politik suatu negara dengan negara lain.

Tujuan sistem politik, seperti halnya norma, juga terdapat di dalam konstitusi. Umumnya, tujuan
suatu sistem politik terdapat di dalam mukadimah atau pembukaan konstitusi suatu negara.
Tujuan sistem politik Indonesia termaktub di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat termaktub di
dalam Declaration of Independence.

Input dan output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang berhubungan erat. Apapun output
suatu sistem politik, akan dikembalikan kepada struktur input. Struktur input akan bereaksi
terhadap apapun output yang dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan atas
sistem, sementara jika negatif akan mendampak muncul tuntutan atas sistem. Umpan balik
(feedback) adalah situasi di mana sistem politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun
tindakan yang direspon oleh struktur output.

Analisis mengenai kinerja sistem politik sering merujuk pada teorisasi yang disusun oleh David
Easton. Uraian Easton mengenai sistem politik kendati abstrak dan luas tetapi unggul dalam
pencakupannya. Artinya, teori Easton ini mampu menggambarkan kinerja sistem politik hampir
secara holistik dan sebab itu sering disebut sebagai grand theory. Uraian Easton juga bersifat
siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem, sistem politik dipandang sebagai sebuah organisme
hidup yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami input, proses, output,
dan dikembalikan sebagai feedback kepada struktur input. Struktur input kemudian merespon
dan kembali menjadi input ke dalam sistem politik. Demikian proses tersebut berjalan berputar
selama sistem politik masih eksis.

Pemikiran sistem politik Easton juga tidak terlepas dari pandangan umum ilmu sosial yang
berkembang saat ia menyusun teorinya pada kurun 1953 hingga 1965. Era tersebut diwarnai
paradigma ilmu sosial mainstream yang bercorak fungsionalisme. Dalam fungsionalisme suatu
sistem dianggap memiliki kecenderungan menciptakan ekuilibrium, adaptasi, dan integrasi
dalam kerja struktur-strukturnya. Layaknya tubuh manusia – di mana organ tangan, kaki, kepala,
perut, dan lainnya – sistem politik pun memiliki aneka struktur yang fungsi-fungsinya satu sama
lain berbeda, saling bergantung, dan bekerja secara harmonis dalam mencapai tujuan dari sistem
tersebut.

Namun, pendekatan Easton ini kurang sempurna untuk diaplikasikan sebagai alat analisis sistem
politik di dalam skala mikro, yang meliputi perilaku politik individu dan lembaga-lembaga yang
tidak secara formal merepresentasikan suatu fungsi di dalam sistem politik. Kekurangan ini lalu
dimodifikasi oleh koleganya, Gabriel Abraham Almond. Almond (bersama James Coleman) ini
terutama mengisi abstraknya penjelasan Easton mengenai struktur, fungsi, kapabilitas
pemerintah, fungsi pemeliharaan dan adaptasi, serta dimensi perilaku warganegara dalam
kehidupan mikro politik sehari-hari sistem politik. Almond tetap bekerja menggunakan skema
besar sistem politik Easton, tetapi melakukan pendalaman analisis atas level individual di dalam
negara.

Analisis sistem politik Indonesia di dalam buku ini menggunakan bangunan teori Easton sebagai
kerangka makro dan Almond sebagai kerangka mikro. Keduanya akan digunakan secara
komplementatif. Komplementasi konsep Easton oleh Almond ini diantaranya telah ditulis secara
baik dan sistematis oleh Ronald H. Chilcote.[2]

Pendekatan Sistem Politik Easton

Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton dapat di rujuk pada tiga tulisannya
yaitu The Political System, A Framework for Political Analysis, dan A System Analysis of
Political Life.[3] Di dalam buku pertama yang terbit tahun 1953 (The Political System) Easton
mengajukan argumentasi seputar perlunya membangun satu teori umum yang mampu
menjelaskan sistem politik secara lengkap. Teori tersebut harus mampu mensistematisasikan
fakta-fakta kegiatan politik yang tercerai-berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan tertata
rapi.

Easton mendefinisikan politik sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif.
Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik Easton langsung terhubungan dengan
negara.[4] Atas definisi Easton ini Michael Saward menyatakan adanya konsekuensi-
konsekuensi logis berikut:[5]

1. Bagi Easton hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara;

2. Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif


yaitu hanya di tangan lembaga yang memiliki otoritas;

3. Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab itu: (a)
keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber dari konstitusi
dan (b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk
menghindari chaos politik; dan

4. Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secara legitimate.

Fakta cenderung tumpang-tindih dan semrawut tanpa adanya identifikasi. Dari kondisi chaos ini,
ilmu pengetahuan muncul sebagai obor yang menerangi kegelapan lalu peneliti dapat melakukan
klasifikasi secara lebih jelas. Ilmu pengetahuan melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan
hubungan antar fakta secara sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu
pengetahuan politik memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Easton
memaksudkan teori yang dibangunnya mampu mewakili ketiga unsur ilmiah tersebut.

Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang mampu
mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem politik untuk kemudian
merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum. Proses kerja sistem politik dari awal,
proses, akhir, dan kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu
merekam seluruh proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton
menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang
dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan
parsial. Misalnya, pengamatan atas meningkatnya tuntutan di struktur input tidak dilakukan
secara per se melainkan harus pula melihat keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam
struktur output.

Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan
atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan
ini disistematisasi ke dalam dua jenis data, psikologis dan situasional. Kendati masih abstrak,
Easton sudah mengantisipasi pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih
dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku warganegara
(seperti umum dalam pendekatan behavioralisme). Easton menekankan pada motif politik saat
suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton
ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis ataupun
topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya
lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik.
Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi disequilibriun (tidak
seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan bakar sehingga sistem politik
dapat selalu bekerja.

Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas
sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji dalam
upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki
kewenangan untuk pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan
dasar dari kerangka pikir ini.

Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi seputar perlunya
membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton
mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap kajian sistem politik, yang
terdiri atas:[7]

1.    Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik

Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit-
unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja
sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan
sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan
sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan
wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.

2.    Input-output

Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk dari
masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dan dukungan. Tuntutan secara
sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata atas ejumlah
unit masyarakat dalam sistem politik. Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat
untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem
politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output terbagi dua
yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah
pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk.
Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat.

3.    Diferensiasi dalam sistem

Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat
modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan
saja dalam proses penyusunan Undang-undang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR
sebagai penyusun utama, melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga-
lembaga pemantau kegiatan pemilu, kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai
politik, serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sehingga dalam konteks undang-undang
pemilu ini, terdapat sejumlah struktur (aktor) yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-
sendiri.

4.    Integrasi dalam sistem

Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama.
Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja
yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.

Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:[8]

Skema Kerja Sistem Politik Easton


Dalam gambar diatas, Easton memisahkan sistem politik dengan masyarakat secara keseluruhan
oleh sebab bagi Easton sistem politik adalah suatu sistem yang berupaya mengalokasikan nilai-
nilai di tengah masyarakat secara otoritatifAlokasi nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga
yang memiliki kewenangan yang legitimate (otoritatif) di mata warganegara dan konstitusi.
Suatu sistem politik bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan
(action) yang disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai.
Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik (political actions) yaitu
kondisi seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap Presiden, tuntutan elemen masyarakat
terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan
dari unit input.
Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: tuntutan dan dukungan.
Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari
lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan dengan barang dan
pelayanan (misalnya upah, hukum ketenagakerjaan, jalan, sembako), berkenaan dengan regulasi
(misalnya keamanan umum, hubungan industrial), ataupun berkenaan dengan partisipasi dalam
sistem politik (misalnya mendirikan partai politik, kebebasan berorganisasi).
Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di dalam sistem politik
yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui saluran-
saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain, dukungan (support) merupakan tindakan
atau orientasi untuk melestarikan ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat
disebutkan bahwa dukungan memiliki dua corak yaitu positif (forwarding)
dan negatif (rejecting) kinerja sebuah sistem politik.

Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya disebut sebagai
output, yang menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu keputusan (decision) dan tindakan
(action). Output ini pada kondisi lebih lanjut akan memunculkan feedback (umpan balik) baik
dari kalangan dalam sistem politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali
ke dalam format tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem
politik. Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis.

Di dalam karyanya yang lain - A Framework for Political Analysis (1965) dan A System Analysis
of Political Life (1965) Chilcote menyebutkan bahwa Easton mulai mengembangkan serta
merinci konsep-konsep yang mendukung karya sebelumnya – penjelasan-penjelasannya yang
abstrak – dengan coba mengaplikasikannya pada kegiatan politik konkrit dengan menegaskan
hal-hal sebagai berikut:[9]

 Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat terbuka;

 Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku
sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara otoritatif.
Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik dari Easton; dan

 Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.

Lingkungan intrasocietal terdiri atas lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan


sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkungan intrasocietal terdiri
atas:[10]

 Lingkungan ekologis (fisik, nonmanusia). Misal dari lingkungan ini adalah kondisi


geografis wilayah yagng didominasi misalnya oleh pegunungan, maritim, padang pasir,
iklim tropis ataupun dingin;
 Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras). Misal dari lingkungan ini
adalah semitic, teutonic, arianic, mongoloid, skandinavia, anglo-saxon, melayu,
austronesia, caucassoid dan sejenisnya;

 Lingkungan psikologis. Misal dari lingkungan ini adalah postcolonial, bekas


penjajah, maju, berkembang, terbelakang, ataupun superpower; dan

 Lingkungan sosial. Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi
ekonomi, dan demografis.

Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di


luar batasan sistem politik dan masyarakat tempat sistem politik berada.
Lingkungan extrasocietal terdiri atas:

 Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional adalah kondisi
pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan feminisme, gerakan
revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa yang kini dikenal dalam
terminologi International Regime  (rezim internasional) yang sangat banyak variannya.

 Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi internasional adalah keterpisahan
negara berdasar benua (amerika, eropa, asia, australia, afrika), kelangkaan sumber daya
alam, geografi wilayah berdasar lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan
seperti global warming atau berkurangnya hutan atau paru-paru dunia.

 Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik internasional adalah PBB, NATO,
ASEAN, ANZUS, Europa Union, kelompok negara-negara Asia Afrika, blok-blok
perdaganan dan poros-poros politik khas dan menjadi fenomena di aneka belahan dunia.
Termasuk ke dalam sistem politik internasional adalah pola-pola hubungan politik antar
negara seperti hegemoni, polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam lembaga-lembaga
internasional.

 Seluruh pikiran Easton mengenai pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan
model arus sistem politik berikut:


Model Arus Sistem Politik Easton


 Model arus sistem politik di atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan,
baik intrasocietal maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan
yang masuk ke dalam sistem politik. Terlihat dengan jelas bahwa skema ini merupakan
kembangan lebih rumit dan rinci dari skema yang dibuat Easton dalam karyanya tahun
1953. Keunggulan dari model arus sistem politik ini adalah Easton lebih merinci pada
sistem politik pada hakikatnya bersifat terbutka. Dua jenis
lingkungan, intrasocietal dan extrasocietal mampu mempengaruhi
mekanisme input (tuntutan dan dukungan) sehingga struktur proses dan output
harus lincah  dalam mengadaptasinya.
 Tuntutan dan dukungan dikonversi di dalam sistem politik yang bermuara pada output
yang dikeluarkan oleh Otoritas. Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan keputusan maupun tindakan dalam
bentuk policy (kebijakan), bukan sembarang lembaga, melainkan menurut Easton
diposisikan oleh negara (state). Output ini kemudian kembali dipersepsi oleh lingkungan
dan proses siklis kembali berlangsung.

Gabriel Abraham Almond dan Struktural Fungsional

Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna teori sistem politik Easton.
Namun, Almond kurang sreg dengan pendekatan Easton yang terlampau abstrak.
Almond juga menyayangkan kurangnya perhatian Easton pada kajian-kajian politik
dalam skala mikro.
Menurut Chilcote, pada tahun 1956 – jadi sekitar tiga tahun setelah David Easton
meluncurkan karyanya The Political System tahun 1953 -  Gabriel Abraham Almond
menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk
metode trial and error layaknya sebuah teori. Namun, Almond melakukan sejumlah
modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka Almond
membangun suatu middle-range theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun
Almond terdiri atas tiga tahap. Pentahapan pemikiran Easton ini mengikuti pendapat
Ronald H. Chilcote yang mengacu pada karya-karya penelitian Almond.[11]

Di dalam tulisannya Comparative Polititical System tahun 1956 Almond mengajukan tiga


asumsi yang harus dipertimbangkan dalam kajian sistem politik yang terdiri atas:

1. Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya dan keseimbangan di dalam


sistem selalu berubah;
2. Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal, melainkan juga
struktur informal serta peran yang dijalankannya; dan
3. Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya inilah
yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.

Bagi Almond, sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di dalamnya.
Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-aktor) politik formal
melainkan pula informal. Dapat dibayangkan pengaruh politik struktur-struktur non formal yang
dipimpin oleh Kardinal Sin sewaktu perubahan politik Filipina, Uskup Bello saat Timor Timur
masih berada di wilayah Indonesia, M. Amien Rais dan K. H. Abdurrachman Wahid yang
mewakili Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam pentas politik Indonesia, ataupun
pengaruh Pakubuwana secara spiritual bagi politik di tanah Jawa. Easton menghindari kajian atas
struktur-struktur seperti ini sementara Almond justru mengapresiasi signifikansinya.
Keseimbangan di dalam sistem politik menurut Almond selalu berubah sehingga sistem politik
lebih bersifat dinamis ketimbang statis. Perubahan keseimbangan ini tentu saja tidak lepas dari
pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal. Pengaruh tersebut membuat perimbangan
kekuatan antar struktur formal berubah dan contoh paling mudah adalah dominannya kekuatan
lembaga kepresidenan atas legislatif dan yudikatif di masa pra transisi politik 1998 berganti
dengan persamaan dan penyetaraan kekuatan di antara ketiga lembaga tersebut pasca transisi.
Kecenderungan orientasi politik individu atas sistem politik – atau biasa disebut budaya politik –
juga berbeda baik antar negara atau bahkan di dalam negara itu sendiri. Almond bersama Sidney
Verba secara khusus menyelidiki budaya politik ini yang tersusun di dalam buku The Civic
Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations yang terbit tahun 1963. Pada
perkembangannya, konsep budaya politik ini semakin populer dan luas digunakan para peneliti
di dunia termasuk Indonesia. Khusus mengenai budaya politik, Almond menyatakan bahwa yang
ia maksud dengannya adalah:[12]

1. Seperangkat orientasi politik yang bersifat subyektif dan berlaku di suatu bangsa, atau
sub-sub masyarakat yang ada di dalam bangsa tersebut;
2. Budaya politik terdiri atas komponen-komponen kognitif (pengetahuan dan kepercayaan
tentang realitas politik), afektif (rasa penghargaan atas politik), dan evaluatif (komitmen atas
nilai-nilai politik);
3. Budaya politik adalah hasil sosialisasi politik di masa kanak-kanak, pendidikan, terpaan
media, dan akibat sentuhan pengalaman di masa dewasa sehubungan kinerja sosial dan ekonomi
yang ditunjukkan pemerintah; dan
4. Budaya politik berdampak atas struktur dan kinerja pemerintah, di mana dampak ini
sifatnya lebih cenderung memaksa ketimbang otomatis menentukan struktur dan kinerja
pemerintah.

Budaya politik di masing-masing individu sifatnya subyektif. Subyektivitas ini mendorong


terdapatnya lebih dari satu macam budaya politik di dalam masyarakat suatu bangsa. Layaknya
budaya yang bersifat sosial (budaya daerah atau lokal), budaya politik masyarakat dalam satu
negara sangat mungkin berbeda. Sebagian warganegara Indonesia di propinsi Papua tidak
seluruhnya memiliki afeksi atas Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan hanya pada
sistem politik lokal yaitu suku-suku atau klan di mana mereka menjadi anggota (komunitas
politik lokal), pendukung Organisasi Papua Merdeka ataupun pro-integrasi.
Kembali pada masalah perkembangan pemikiran Gabriel Abraham Almond, bahwa dalam tahap
selanjutnya, Almond – kini bersama James Coleman di dalam bukunya The Political of the
Developing Areas  yang terbit tahun 1963 – berusaha menghindari terjebaknya analisa sistem
politik hanya pada kajian kontitusi ataupun lembaga politik formal. Almond (dan Coleman)
kemudian mengarahkannya pada struktur serta fungsi yang dijalankan masing-masing unit
politik dalam sistem politik. Dengan demikian, Almond memperkenalkan konsep fungsi guna
menggantikan konsep power, sementara konsep struktur digunakannya untuk mengganti
konsep lembaga politik formal.
Almond menegaskan bahwa sistem politik memiliki empat karakteristik yang bersifat universal.
Keempat karakteristik ini berlaku di negara manapun dan terdiri atas premis-premis:[13]

1. Setiap sistem politik memiliki struktur-struktur politik;


2. Fungsi-fungsi (dari setiap struktur) yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik;
3. Setiap struktur politik … bersifat multifungsi; dan
4. Setiap sistem politik telah bercampur dengan budaya politik (yang dianut warganegara
masing-masing).

Setelah mengajukan keempat premis tersebut, Almond memodifikasi


struktur input serta output David Easton dan hasilnya adalah Almond berhasil memperjelas
abstraknya Easton dalam menjelaskan masalah fungsi input dan output sistem politik sebagai
berikut:[14]
Fungsi Input terdiri atas:

 Sosialisasi dan rekrutmen politik. Fungsi sosialisasi dan rekrutmen politik selanjutnya
ditempatkan Almond sebagai fungsi pemeliharaan sistem politik.
 Artikulasi kepentingan. Struktur yang menjalankan fungsi artikulasi kepentingan adalah
kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisir yang meliputi tipe:
(a) Institutional;  (b) Non-Associational; (c) Anomic; dan (d) Associational.
 Agregasi (pengelompokan) kepentingan. Jalannya fungsi ini dipengaruhi oleh dua hal
yaitu sistem kepartaian yang berlaku di suatu negara dan penampilan fungsi-fungsi agregatif.
Sistem kepartaian (menurut Almond) misalnya Authoritarian, Dominant-Authoritarian,
Competitif, dan Competitive Multi-party. Penampilan fungsi-fungsi agregatif misalnya tawar-
menawar yang sifatnya pragmatis atau sekular, cenderung berorientasi nilai
absolut, dan bersifat tradisi ataupun partikularistik.
 Komunikasi politik. Guna membanding pola komunitasi politik antar sistem politik,
Almond mengajukan empat parameter yaitu: (1) Homogenitas informasi politik yang tersedia;
(2) Mobilitas informasi (vertikal atau horisontal; (3) Nilai informasi; dan (4) Arah dari arus
informasi yang berkembang (komunikator atau komunikan).

Fungsi output terdiri atas :

 Pembuatan peraturan. Berdasarkan tuntutan dan dukungan serta aneka pengaruh


lingkungan intrasocietal dan extrasocietal, input berusaha diterjemahkan menjadi kebijaksanaan
umum (policy).
 Penerapan peraturan. Ketika policy sudah terbentuk, hal yang harus dilakukan adalah
melakukan tindak administrasi guna mengimplementasikannya pada ranah publik.
 Pengawasan peraturan. Ada lembaga khusus yang melakukan pengawasan dan
menyelesaikan persengketaan dalam hal pembuatan dan pelaksanaan peraturan.
Menurut Chilcote, setelah merevisi teori sistem politik dari David Easton, Almond meringkas
pola pikir sistem politiknya ke dalam skema berikut: [15]

Gambar 3 Diagram Sistem Politik Almond dan Level-level Fungsi


Di level fungsi input, sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari aneka
kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam partai politik,
birokrasi, lembaga yudisial, dan sebagainya. Dalam perkembangan pemikirannya kemudian,
Almond memasukkan sosialisasi dan rekrutmen politik ke dalam fungsi konversi. Artikulasi
kepentingan merupakan ekspresi kepentingan dan tuntutan politik untuk melakukan tindakan.
Melalui skema di atas – masih menurut Chilcote – Almond membagi sistem politik ke dalam
tiga level. Level pertama terdiri atas enam fungsi konversi yaitu: (1) artikulasi
kepentingan (penyampaian tuntutan dan dukungan); (2) agregasi kepentingan (pengelompokan
ataupun pengkombinasian aneka kepentingan ke dalam wujud rancangan undang-undang);
(3) komunikasi politik; (4) pembuatan peraturan (pengkonversian rancangan undang-undang
menjadi undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat); (5) pelaksanaan
peraturan (penerapan aturan umum undang-undang dan peraturan lain ke tingkat warganegara),
dan; (6) pengawasan peraturan (pengawasan jalannya penerapan undang-undang di kalangan
warganegara).
Fungsi nomor satu hingga tiga berhubungan dengan tuntutan dan dukungan yang masuk melalui
mekanisme input sementara fungsi nomor emapt hingga enam berada di sisi keluaran berupa
keputusan serta tindakan. Mengenai penjelasan atas tuntutan (demands) dan dukungan (support)
yang dimaksud Almond, Jagdish Chandra Johari memetakannya ke dalam tiga aras penjelasan
yaitu input, konversi, dan output.[16]
Tuntutan dan Dukungan
Tuntutan adalah raw material atau bahan mentah yang kemudian diolah sistem politik menjadi
keputusan. Tuntutan diciptakan oleh individu maupun kelompok yang memainkan peran tertentu
di dalam sistem politik (baca: struktur input). Tuntutan sifatnya beragam dan setiap tuntutan
punya dampak yang berbeda atas sistem politik. Tuntutan berasal dari
lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal, yang variannya sebagai:[17]

1. Tuntutan atas komoditas dan pelayanan, misalnya jaminan sosial, kelancaran


bertransportasi, kesempatan menikmati pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan,
pembangunan saluran irigasi, ataupun pelayanan birokrasi negara yang tidak
berbelit. Konversi atas tuntutan ini berupa artikulasi kepentingan (atau tuntutan).
Output berlingkup pada kemampuan ekstraktif semisal pengenaan pajak untuk membiayai
jaminan sosial, peningkatan retribusi kendaraan untuk membangun jalan-jalan layang, penaikan
pajak perusahaan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, pengundangan investor asing untuk
membangun saluran irigasi, dan peningkatan hutang negara untuk menaikkan gaji Pegawai
Negeri Sipil.
2. Tuntutan untuk mengatur sejumlah perilaku warganegara seperti penertiban ormas-ormas
parayudisial, pembersihan tindak korupsi pejabat negara, atau kompilasi hukum Islam ke dalam
hukum publik. Konversi atas tuntutan ini berupa integrasi atau kombinasi kepentingan ke dalam
rancangan undang-undang (agregasi). Output berupa kemampuan regulatif yang mengatur
perilaku individu, kelompok, ataupun warganegara secara keseluruhan.
3. Tuntutan untuk berpartisipasi dalam sistem politik seperti hak pilih, hak dipilih,
mendirikan organisasi politik, melakukan lobby, atau menjalin kontak dengan pejabat-pejabat
publik.  Konversi atas tuntutan ini adalah mengubah rancangan undang-undang menjadi
peraturan yang lebih otoritatif. Output  konversi misalnya kemampuan regulatif misalnya
penetapan kuota caleg 30% perempuan dalam undang-undang pemilihan umum.
4. Tuntutan yang sifatnya simbolik meliputi penjelasan pejabat pemerintah atas suatu
kebijakan, keberhasilan sistem politik mengatasi masalah, upaya menghargai simbol-simbol
negara (lagu kebangsaan, lambang), ataupun upacara-upacara hari besar nasional. Konversi atas
tuntutan jenis ini misalnya dibuatnya ketentuan umum yang mengatur implementasi setiap
tuntutan yang sifatnya simbolik. Output yang sifatnya simbolik termasuk penegasan sistem
politik atas simbol-simbol negara, penegasan nilai-nilai yang dianut (di Indonesia adalah
Pancasila), serta penjelasan rutin dari pejabat negara atas isu-isu yang kontroversial dan menyita
perhatian publik. 

Jika tuntutan adalah bahan mentah untuk memproduksi keputusan-keputusan politik,


maka dukungan berkisar pada upaya mempertahankan atau menolak keberlakuan sebuah sistem
politik. Tanpa dukungan sistem politik kehilangan legitimasi dan otoritasnya. Dukungan terdiri
atas:[18]

1. Dukungan material warganegara bisa berupa kemauan membayar pajak atau peran aktif
mereka dalam program-program yang dicanangkan pemerintah (misalnya program kebersihan
lingkungan, penanaman sejuta pohon). Konversi dukungan ini adalah ajudikasi peraturan di
tingkat individu yaitu upaya penerapan sanksi bagi yang tidak menurut pada program pemerintah
serta kemampuan simbolik pemerintah untuk melakukan himbauan agar publik tertarik memberi
dukungan pada pemerintah.
2. Dukungan untuk taat pada hukum serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pemerintah. Konversi dukungan ini berupa pentransmisian informasi yang berkaitan dengan
ketaatan warganegara pada hukum di sekujur struktur sistem politik, antar sistem politik, serta
lingkungan extrasocietal-nya.
3. Dukungan untuk berpartisipasi dalam pemilu, ikut serta dalam organisasi politik, ataupun
mengadakan diskusi tentang politik.
4. Dukungan dalam bentuk tindakan untuk mempertahankan otoritas publik, upacara, serta
simbol-simbol negara. Misalnya mengamalkan Pancasila, menyayangi sarana-sarana publik (alat
transportasi umum, telepon umum, gedung-gedung pemerintah), menentang penggantian
ideologi Pancasila dengan ideologi lain, mencuci bendera merah putih yang terkotori debu dan
hujan asam, mensosialisasikan peran vital Pancasila dalam mengikat integrasi nasional
Indonesia.
BAB 2
ANALISIS SISTEM POLITIK:PENDEKATAN
BUDAYA POLITIK

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, peristiwa itu membuktikan bahwa budaya dipelajari.[1]
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini
tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai
yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya
seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Tiongkok.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman
mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian
dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara,


penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, norma kebiasaan yang
dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat diartikan
sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk
masyarakat seluruhnya.

Bagian-bagian budaya politik


Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :

1. Budaya politik apatis (tidak acuh, masa bodoh, dan pasif)


2. Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
3. Budaya politik partisipatif (aktif)

Tipe-tipe Budaya politik

 Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat
rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan Parokial apabila frekuensi orientasi
mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki
perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya
terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam
masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung,
kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat
politis, ekonomis atau religius.
 Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan
sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik
suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi
terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat
pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi
orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan
pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan
secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem
politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam
kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik
secara umum serta proses penguatan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
 Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik
yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan
politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah
memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran
pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam
proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang
aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran
tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.

Budaya politik yang berkembang di Indonesia


Gambaran sementara tentang budaya politik Indonesia, yang tentunya harus di telaah dan di
buktikan lebih lanjut, adalah pengamatan tentang variabel sebagai berikut :

 Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang
dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas,
kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
 Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik
partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan
dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari
kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
 Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya
berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap
keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
 kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan
sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal
bapak senang.
 Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan
pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.

Budaya Politik di Indonesia

 Hierarki yang Tegar/Ketat


Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat
hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa
(wong gedhe) dengan rakyat kebanyakan (wong cilik). Masing-masing terpisah melalui tatanan
hirarkis yang sangat ketat. Alam pikiran dan tatacara sopan santun diekspresikan sedemikian
rupa sesuai dengan asal usul kelas masing-masing. Penguasa dapat menggunakan bahasa 'kasar'
kepada rakyat kebanyakan. Sebaliknya, rakyat harus mengekspresikan diri kepada penguasa
dalam bahasa 'halus'. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara
lain tercemin pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya.

 Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola
hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam
ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari
atas daripada menggali dukungn dari basisnya.

 Kecendrungan Neo-patrimonisalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya
kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya
meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi,
perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter
patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:

 Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke
bawah dalam organisasi
 Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang tegas
 Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur
bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
 Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar
karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.

BAB 3
STRUKTUR POLITIK DAN FUNGSI POLITIK
Fungsionalisme struktural
Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi
yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang
saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal
fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah
analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini
sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam arti
paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan
setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan
kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu
dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]

Asumsi dasar
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya
dalam ilmu sosial pada abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional
yaitu August Comte, Émile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai
organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan
untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari
pemikiran Emile Durkheim, di mana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte
dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian
dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara
masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut
dengan requisite functionalism, di mana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan
penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat
terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah
kesatuan di mana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari
sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang.
Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang
tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi
sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain
itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk
berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max
Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

 Visi substantif mengenai tindakan sosial dan


 Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons
dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional


Hingga pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif
sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton di bawah pengaruh
tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya,
Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan.
Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia
mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson
membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi
harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar.
Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkret, tetapi kepada elemen-
elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh
karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari
kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang
menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada
hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini
terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi.
Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisis yang mencakup
persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.
Sistem tindakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini
bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment,
Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini.
Dalam karya berikutnya, The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi
dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif,
chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem
sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai
modes of orientation. Unit tindakan olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan
memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut
terhadap seorang aktor.
Akhir dari analisis ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi
manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan dunia
kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran
menggunakan media tersebut. Analisis ini pada akhirnya lebih filosofis daripada sosiologis,
yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali
pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari
structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah
marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi
structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan
mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.
Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga
postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh
Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

 Kesatuan fungsi masyarakat, seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard
bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam
masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level integrasi.
Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil
tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.
 Fungsionalisme universal, seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal
ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur, adat istiadat,
gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan
stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang
membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi
bertentangan.
 Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun
juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini
berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn
Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional
yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.
Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut
berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap
bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan
Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat
dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan
berlang, merespresentasikan unsure standard.
Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara
keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi
dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range
theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam
peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-
teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai: Teori yang terletak di
antara hipotesis kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian
dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang
akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf menengah
pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia
merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari
kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk
mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-
hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi
yang saling terhubung secara logis di mana kesatuan empiris bisa diperoleh.
The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja
mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang
inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki
berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan empiris,
merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku
social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan,
meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan
dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana.
Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa yang dia kritik
terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia
pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah
itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.
Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi
dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu,
para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi
stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi
sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian,
karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi, Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta
sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan
akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya
sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat
dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki
untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung
konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas.
Gagasan non fungsi pun, dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai
konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tetapi tidak
dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif
atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level
analisis fungsional.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi
laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka
dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara
fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan
selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang
dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten, menunjukan penjelasan Merton yang begitu
kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan
dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan
fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam
mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia
beraliran fungsionalis, tetapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi,
lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa
fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua
struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat
dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.
Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan
sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh
anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan
memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi
jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur
secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut.
Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut
norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang
dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan
demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi
disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits
tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini
aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu
berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis,
menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan
Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, di mana ada keteraturan maka
harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak
pada status di dalamnya tetapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir
dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor.
Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari
sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur, akan tetapi terus membawa
kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur
terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu
tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku
Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial
memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga
mereka lebih, menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton,
anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk
mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.
Dari berbagai penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk
mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya
fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah
bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

PENGERTIAN STRUKTUR DAN STRUKTUR POLITIK


Struktur adalah pengaturan dan pengorganisasian unsur-unsur yang saling terkait dalam suatu
objek material atau sistem, atau objek atau sistem yang terorganisasi.[1] Struktur material
meliputi benda-benda buatan manusia, seperti bangunan dan mesin; dan benda-benda alami,
seperti organisme biologis, mineral, dan bahan kimia. Struktur abstrak mencakup struktur data
dalam ilmu komputer dan bentuk musik. Jenis struktur terdiri dari hierarki (rangkai hubungan
satu-ke-banyak), jaringan yang menampilkan banyak-ke-banyak tautan, atau kisi yang
menampilkan koneksi antar komponen yang bertetangga dalam ruang.
struktur politik berasal dari dua kata, yaitu strukturdan politik. Struktur berarti badan adan
organisasi, sedangkan politik berarti urusan Negara. Jadi secara harafiah struktur politik adalah
badan atau organisasi yang berkenaan dengan urusan Negara. Struktur politik adalah
pelembagaan hubungan organisasi antara komponen-komponen tang membentuk bangunan itu.
Struktur Politik adalah Alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif yang dipengaruhi oleh distribusi
serta penggunaan kekuasaan.
Kekuasaan berarti kapasitas dalam menggunakan wewenang, hak dan kekuatan fisik.

Anda mungkin juga menyukai