NIM : 07041281924046
Kelas : B
BAB 1
KERANGKA KERJA SISTEM POLITIK: PENDEKATAN
SISTEM
politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(teori klasik Aristoteles).
politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat.
politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik.
D. Pengertian sistem politik menurut David Easton masih memegang posisi kunci dalam studi
politik negara. Pengertian struktural fungsional dari Gabriel Almond mempertajam konsep David
Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-
masing yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan
(kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja
untuk mencapai tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk memberi
penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik. Pendekatan sistem politik
dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya
mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik diinspirasikan oleh
sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari disiplin biologi).
Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem politik
hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti sistem ekonomi,
sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain sebagainya. Sistem politik sendiri
merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di
tengah masyarakat.
Seperti telah dijelaskan, masyarakat tidak hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem politik
saja), melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang biasanya dipelajari kinerjanya adalah
sistem politik, sistem ekonomi, sistem agama, sistem sosial, atau sistem budaya-psikologi. Dari
aneka jenis sistem yang berbeda tersebut, ada persamaan maupun perbedaan. Perbedaan
berlingkup pada dimensi ontologis (hal yang dikaji) sementara persamaan berlingkup pada
variabel-variabel (konsep yang diukur) yang biasanya sama antara satu sistem dengan lainnya.
Untuk memahami sistem politik Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka
harus kita ketahui beberapa variabel kunci. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah
sistem adalah adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan, input, output, respon, dan
umpan balik.
Struktur adalah lembaga politik yang memiliki keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi
sistem politik. Dalam konteks negara (sistem politik) misal dari struktur ini struktur input,
proses, dan output. Struktur input bertindak selaku pemasok komoditas ke dalam sistem politik,
struktur proses bertugas mengolah masukan dari struktur input, sementara struktur output
bertindak selaku mekanisme pengeluarannya. Hal ini mirip dengan organisme yang
membutuhkan makanan, pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.
Struktur input, proses dan output umumnya dijalankan oleh aktor-aktor yang dapat dikategorikan
menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga aktor ini menjalankan tugas kolektif yang
disebut sebagai pemerintah (government). Namun, setiap aktor yang mewakili struktur harus
memiliki fungsi yang berbeda-beda: Tidak boleh suatu fungsi dijalankan oleh struktur yang
berbeda karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun merupakan dasar dari
disusunnya konsep Trias Politika (pemisahan kekuasaan) seperti digagas para pionirnya di
masalah abad pencerahan seperti John Locke dan Montesquieu.
Nilai adalah komoditas utama yang berusaha didistribusikan oleh struktur-struktur di setiap
sistem politik yang wujudnya adalah: (1) kekuasaan, (2) pendidikan atau penerangan; (3)
kekayaan; (4) kesehatan; (4) keterampilan; (5) kasih sayang; (6) kejujuran dan keadilan; (7)
keseganan, respek.[1] Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam kondisi yang tidak merata
persebarannya di masyarakat sehingga perlu campur tangan struktur-struktur yang punya
kewenangan (otoritas) untuk mendistribusikannya pada elemen-elemen masyarakat yang
seharusnya menikmati. Struktur yang menyelenggarakan pengalokasian nilai ini, bagi Easton,
tidak dapat diserahkan kepada lembaga yang tidak memiliki otoritas: Haruslah negara dan
pemerintah sebagai aktornya.
Norma adalah peraturan, tertulis maupun tidak, yang mengatur tata hubungan antar aktor di
dalam sistem politik. Norma ini terutama dikodifikasi di dalam konstitusi (undang-undang dasar)
suatu negara. Setiap konstitusi memiliki rincian kekuasaan yang dimiliki struktur input, proses,
dan output. Konstitusi juga memuat mekanisme pengelolaan konflik antar aktor-aktor politik di
saat menjalankan fungsinya, dan menunjuk aktor (sekaligus) lembaga yang memiliki otoritas
dalan penyelesaikan konflik. Setiap negara memiliki norma yang berlainan sehingga konsep
norma ini dapat pula digunakan sebagai parameter dalam melakukan perbandingan kerja sistem
politik suatu negara dengan negara lain.
Tujuan sistem politik, seperti halnya norma, juga terdapat di dalam konstitusi. Umumnya, tujuan
suatu sistem politik terdapat di dalam mukadimah atau pembukaan konstitusi suatu negara.
Tujuan sistem politik Indonesia termaktub di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat termaktub di
dalam Declaration of Independence.
Input dan output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang berhubungan erat. Apapun output
suatu sistem politik, akan dikembalikan kepada struktur input. Struktur input akan bereaksi
terhadap apapun output yang dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan atas
sistem, sementara jika negatif akan mendampak muncul tuntutan atas sistem. Umpan balik
(feedback) adalah situasi di mana sistem politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun
tindakan yang direspon oleh struktur output.
Analisis mengenai kinerja sistem politik sering merujuk pada teorisasi yang disusun oleh David
Easton. Uraian Easton mengenai sistem politik kendati abstrak dan luas tetapi unggul dalam
pencakupannya. Artinya, teori Easton ini mampu menggambarkan kinerja sistem politik hampir
secara holistik dan sebab itu sering disebut sebagai grand theory. Uraian Easton juga bersifat
siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem, sistem politik dipandang sebagai sebuah organisme
hidup yang mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami input, proses, output,
dan dikembalikan sebagai feedback kepada struktur input. Struktur input kemudian merespon
dan kembali menjadi input ke dalam sistem politik. Demikian proses tersebut berjalan berputar
selama sistem politik masih eksis.
Pemikiran sistem politik Easton juga tidak terlepas dari pandangan umum ilmu sosial yang
berkembang saat ia menyusun teorinya pada kurun 1953 hingga 1965. Era tersebut diwarnai
paradigma ilmu sosial mainstream yang bercorak fungsionalisme. Dalam fungsionalisme suatu
sistem dianggap memiliki kecenderungan menciptakan ekuilibrium, adaptasi, dan integrasi
dalam kerja struktur-strukturnya. Layaknya tubuh manusia – di mana organ tangan, kaki, kepala,
perut, dan lainnya – sistem politik pun memiliki aneka struktur yang fungsi-fungsinya satu sama
lain berbeda, saling bergantung, dan bekerja secara harmonis dalam mencapai tujuan dari sistem
tersebut.
Namun, pendekatan Easton ini kurang sempurna untuk diaplikasikan sebagai alat analisis sistem
politik di dalam skala mikro, yang meliputi perilaku politik individu dan lembaga-lembaga yang
tidak secara formal merepresentasikan suatu fungsi di dalam sistem politik. Kekurangan ini lalu
dimodifikasi oleh koleganya, Gabriel Abraham Almond. Almond (bersama James Coleman) ini
terutama mengisi abstraknya penjelasan Easton mengenai struktur, fungsi, kapabilitas
pemerintah, fungsi pemeliharaan dan adaptasi, serta dimensi perilaku warganegara dalam
kehidupan mikro politik sehari-hari sistem politik. Almond tetap bekerja menggunakan skema
besar sistem politik Easton, tetapi melakukan pendalaman analisis atas level individual di dalam
negara.
Analisis sistem politik Indonesia di dalam buku ini menggunakan bangunan teori Easton sebagai
kerangka makro dan Almond sebagai kerangka mikro. Keduanya akan digunakan secara
komplementatif. Komplementasi konsep Easton oleh Almond ini diantaranya telah ditulis secara
baik dan sistematis oleh Ronald H. Chilcote.[2]
Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton dapat di rujuk pada tiga tulisannya
yaitu The Political System, A Framework for Political Analysis, dan A System Analysis of
Political Life.[3] Di dalam buku pertama yang terbit tahun 1953 (The Political System) Easton
mengajukan argumentasi seputar perlunya membangun satu teori umum yang mampu
menjelaskan sistem politik secara lengkap. Teori tersebut harus mampu mensistematisasikan
fakta-fakta kegiatan politik yang tercerai-berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan tertata
rapi.
Easton mendefinisikan politik sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif.
Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik Easton langsung terhubungan dengan
negara.[4] Atas definisi Easton ini Michael Saward menyatakan adanya konsekuensi-
konsekuensi logis berikut:[5]
3. Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab itu: (a)
keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber dari konstitusi
dan (b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk
menghindari chaos politik; dan
4. Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secara legitimate.
Fakta cenderung tumpang-tindih dan semrawut tanpa adanya identifikasi. Dari kondisi chaos ini,
ilmu pengetahuan muncul sebagai obor yang menerangi kegelapan lalu peneliti dapat melakukan
klasifikasi secara lebih jelas. Ilmu pengetahuan melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan
hubungan antar fakta secara sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu
pengetahuan politik memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Easton
memaksudkan teori yang dibangunnya mampu mewakili ketiga unsur ilmiah tersebut.
Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang mampu
mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem politik untuk kemudian
merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum. Proses kerja sistem politik dari awal,
proses, akhir, dan kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu
merekam seluruh proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton
menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang
dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan
parsial. Misalnya, pengamatan atas meningkatnya tuntutan di struktur input tidak dilakukan
secara per se melainkan harus pula melihat keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam
struktur output.
Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan
atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan
ini disistematisasi ke dalam dua jenis data, psikologis dan situasional. Kendati masih abstrak,
Easton sudah mengantisipasi pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih
dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku warganegara
(seperti umum dalam pendekatan behavioralisme). Easton menekankan pada motif politik saat
suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton
ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis ataupun
topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain tentunya
lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik.
Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi disequilibriun (tidak
seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan bakar sehingga sistem politik
dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas
sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji dalam
upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki
kewenangan untuk pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan
dasar dari kerangka pikir ini.
Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat asumsi seputar perlunya
membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton
mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap kajian sistem politik, yang
terdiri atas:[7]
Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit-
unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja
sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan
sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan
sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan
wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk dari
masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dan dukungan. Tuntutan secara
sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan yang alokasinya belum merata atas ejumlah
unit masyarakat dalam sistem politik. Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat
untuk mendukung keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem
politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output terbagi dua
yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah
pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk.
Sementara itu, tindakan adalah implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat.
Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat
modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan
saja dalam proses penyusunan Undang-undang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR
sebagai penyusun utama, melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga-
lembaga pemantau kegiatan pemilu, kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai
politik, serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sehingga dalam konteks undang-undang
pemilu ini, terdapat sejumlah struktur (aktor) yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-
sendiri.
Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama.
Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja
yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.
Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya disebut sebagai
output, yang menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu keputusan (decision) dan tindakan
(action). Output ini pada kondisi lebih lanjut akan memunculkan feedback (umpan balik) baik
dari kalangan dalam sistem politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali
ke dalam format tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem
politik. Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis.
Di dalam karyanya yang lain - A Framework for Political Analysis (1965) dan A System Analysis
of Political Life (1965) Chilcote menyebutkan bahwa Easton mulai mengembangkan serta
merinci konsep-konsep yang mendukung karya sebelumnya – penjelasan-penjelasannya yang
abstrak – dengan coba mengaplikasikannya pada kegiatan politik konkrit dengan menegaskan
hal-hal sebagai berikut:[9]
Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat terbuka;
Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku
sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara otoritatif.
Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik dari Easton; dan
Lingkungan sosial. Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi
ekonomi, dan demografis.
Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional adalah kondisi
pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan feminisme, gerakan
revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa yang kini dikenal dalam
terminologi International Regime (rezim internasional) yang sangat banyak variannya.
Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi internasional adalah keterpisahan
negara berdasar benua (amerika, eropa, asia, australia, afrika), kelangkaan sumber daya
alam, geografi wilayah berdasar lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan
seperti global warming atau berkurangnya hutan atau paru-paru dunia.
Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik internasional adalah PBB, NATO,
ASEAN, ANZUS, Europa Union, kelompok negara-negara Asia Afrika, blok-blok
perdaganan dan poros-poros politik khas dan menjadi fenomena di aneka belahan dunia.
Termasuk ke dalam sistem politik internasional adalah pola-pola hubungan politik antar
negara seperti hegemoni, polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam lembaga-lembaga
internasional.
Seluruh pikiran Easton mengenai pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan
model arus sistem politik berikut:
Gabriel Abraham Almond adalah salah satu pengguna teori sistem politik Easton.
Namun, Almond kurang sreg dengan pendekatan Easton yang terlampau abstrak.
Almond juga menyayangkan kurangnya perhatian Easton pada kajian-kajian politik
dalam skala mikro.
Menurut Chilcote, pada tahun 1956 – jadi sekitar tiga tahun setelah David Easton
meluncurkan karyanya The Political System tahun 1953 - Gabriel Abraham Almond
menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk
metode trial and error layaknya sebuah teori. Namun, Almond melakukan sejumlah
modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka Almond
membangun suatu middle-range theory. Secara umum, teori sistem yang dibangun
Almond terdiri atas tiga tahap. Pentahapan pemikiran Easton ini mengikuti pendapat
Ronald H. Chilcote yang mengacu pada karya-karya penelitian Almond.[11]
Bagi Almond, sistem politik adalah totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di dalamnya.
Interaksi tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-aktor) politik formal
melainkan pula informal. Dapat dibayangkan pengaruh politik struktur-struktur non formal yang
dipimpin oleh Kardinal Sin sewaktu perubahan politik Filipina, Uskup Bello saat Timor Timur
masih berada di wilayah Indonesia, M. Amien Rais dan K. H. Abdurrachman Wahid yang
mewakili Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam pentas politik Indonesia, ataupun
pengaruh Pakubuwana secara spiritual bagi politik di tanah Jawa. Easton menghindari kajian atas
struktur-struktur seperti ini sementara Almond justru mengapresiasi signifikansinya.
Keseimbangan di dalam sistem politik menurut Almond selalu berubah sehingga sistem politik
lebih bersifat dinamis ketimbang statis. Perubahan keseimbangan ini tentu saja tidak lepas dari
pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal. Pengaruh tersebut membuat perimbangan
kekuatan antar struktur formal berubah dan contoh paling mudah adalah dominannya kekuatan
lembaga kepresidenan atas legislatif dan yudikatif di masa pra transisi politik 1998 berganti
dengan persamaan dan penyetaraan kekuatan di antara ketiga lembaga tersebut pasca transisi.
Kecenderungan orientasi politik individu atas sistem politik – atau biasa disebut budaya politik –
juga berbeda baik antar negara atau bahkan di dalam negara itu sendiri. Almond bersama Sidney
Verba secara khusus menyelidiki budaya politik ini yang tersusun di dalam buku The Civic
Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations yang terbit tahun 1963. Pada
perkembangannya, konsep budaya politik ini semakin populer dan luas digunakan para peneliti
di dunia termasuk Indonesia. Khusus mengenai budaya politik, Almond menyatakan bahwa yang
ia maksud dengannya adalah:[12]
1. Seperangkat orientasi politik yang bersifat subyektif dan berlaku di suatu bangsa, atau
sub-sub masyarakat yang ada di dalam bangsa tersebut;
2. Budaya politik terdiri atas komponen-komponen kognitif (pengetahuan dan kepercayaan
tentang realitas politik), afektif (rasa penghargaan atas politik), dan evaluatif (komitmen atas
nilai-nilai politik);
3. Budaya politik adalah hasil sosialisasi politik di masa kanak-kanak, pendidikan, terpaan
media, dan akibat sentuhan pengalaman di masa dewasa sehubungan kinerja sosial dan ekonomi
yang ditunjukkan pemerintah; dan
4. Budaya politik berdampak atas struktur dan kinerja pemerintah, di mana dampak ini
sifatnya lebih cenderung memaksa ketimbang otomatis menentukan struktur dan kinerja
pemerintah.
Sosialisasi dan rekrutmen politik. Fungsi sosialisasi dan rekrutmen politik selanjutnya
ditempatkan Almond sebagai fungsi pemeliharaan sistem politik.
Artikulasi kepentingan. Struktur yang menjalankan fungsi artikulasi kepentingan adalah
kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisir yang meliputi tipe:
(a) Institutional; (b) Non-Associational; (c) Anomic; dan (d) Associational.
Agregasi (pengelompokan) kepentingan. Jalannya fungsi ini dipengaruhi oleh dua hal
yaitu sistem kepartaian yang berlaku di suatu negara dan penampilan fungsi-fungsi agregatif.
Sistem kepartaian (menurut Almond) misalnya Authoritarian, Dominant-Authoritarian,
Competitif, dan Competitive Multi-party. Penampilan fungsi-fungsi agregatif misalnya tawar-
menawar yang sifatnya pragmatis atau sekular, cenderung berorientasi nilai
absolut, dan bersifat tradisi ataupun partikularistik.
Komunikasi politik. Guna membanding pola komunitasi politik antar sistem politik,
Almond mengajukan empat parameter yaitu: (1) Homogenitas informasi politik yang tersedia;
(2) Mobilitas informasi (vertikal atau horisontal; (3) Nilai informasi; dan (4) Arah dari arus
informasi yang berkembang (komunikator atau komunikan).
1. Dukungan material warganegara bisa berupa kemauan membayar pajak atau peran aktif
mereka dalam program-program yang dicanangkan pemerintah (misalnya program kebersihan
lingkungan, penanaman sejuta pohon). Konversi dukungan ini adalah ajudikasi peraturan di
tingkat individu yaitu upaya penerapan sanksi bagi yang tidak menurut pada program pemerintah
serta kemampuan simbolik pemerintah untuk melakukan himbauan agar publik tertarik memberi
dukungan pada pemerintah.
2. Dukungan untuk taat pada hukum serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pemerintah. Konversi dukungan ini berupa pentransmisian informasi yang berkaitan dengan
ketaatan warganegara pada hukum di sekujur struktur sistem politik, antar sistem politik, serta
lingkungan extrasocietal-nya.
3. Dukungan untuk berpartisipasi dalam pemilu, ikut serta dalam organisasi politik, ataupun
mengadakan diskusi tentang politik.
4. Dukungan dalam bentuk tindakan untuk mempertahankan otoritas publik, upacara, serta
simbol-simbol negara. Misalnya mengamalkan Pancasila, menyayangi sarana-sarana publik (alat
transportasi umum, telepon umum, gedung-gedung pemerintah), menentang penggantian
ideologi Pancasila dengan ideologi lain, mencuci bendera merah putih yang terkotori debu dan
hujan asam, mensosialisasikan peran vital Pancasila dalam mengikat integrasi nasional
Indonesia.
BAB 2
ANALISIS SISTEM POLITIK:PENDEKATAN
BUDAYA POLITIK
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan,
dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, peristiwa itu membuktikan bahwa budaya dipelajari.[1]
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini
tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari
budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai
yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya
seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan
"kepatuhan kolektif" di Tiongkok.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman
mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian
dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat
rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan Parokial apabila frekuensi orientasi
mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki
perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya
terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. dalam
masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung,
kyai, atau dukun,yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat
politis, ekonomis atau religius.
Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan
sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik
suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi
terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat
pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi
orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan
pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah dan
secara efektif mereka di arahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem
politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam
kebudayaan politik subyek, sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik
secara umum serta proses penguatan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik
yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan
politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah
memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran
pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam
proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung di arahkan pada peran pribadi yang
aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran
tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.
Konfigurasi subkultur di Indonesia masih aneka ragam, walaupun tidak sekompleks yang
dihadapi oleh India misalnya, yang menghadapi masalah perbedaan bahasa, agama, kelas,
kasta yang semuanya relatif masih rawan/rentan.
Budaya politik Indonesia yang bersifat Parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik
partisipan di lain pihak, di satu segi masa masih ketinggalan dalam mempergunakan hak dan
dalam memikul tanggung jawab politiknya yang mungkin di sebabkan oleh isolasi dari
kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme, bapakisme, dan ikatan primordial.
Sikap ikatan primordial yang masih kuat berakar, yang di kenal melalui indikatornya
berupa sentimen kedaerahan, kesukaan, keagamaan, perbedaan pendekatan terhadap
keagamaan tertentu; purutanisme dan non puritanisme dan lain-lain.
kecendrungan budaya politik Indonesia yang masih mengukuhi sikap paternalisme dan
sifat patrimonial; sebagai indikatornya dapat di sebutkan antara lain bapakisme, sikap asal
bapak senang.
Dilema interaksi tentang introduksi modernisasi (dengan segala konsekuensinya) dengan
pola-pola yang telah lama berakar sebagai tradisi dalam masyarakat.
Kecendrungan Patronage
Pola hubungan Patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia.Pola
hubungan ini bersifat individual. Dalam kehidupan politik, tumbuhnya budaya politik semacam
ini tampak misalnya di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari dukungan dari
atas daripada menggali dukungn dari basisnya.
Kecendrungan Neo-patrimonisalistik
Salah satu kecendrungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya
kecendrungan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonisalistik; artinya
meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik zeperti birokrasi,
perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter
patrimonial.
Ciri-ciri birokrasi modern:
Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke
bawah dalam organisasi
Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing mempunyai tugas dan
tanggung jawab yang tegas
Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formalyang mengatur
bekerjanya organisasi dan tingkah laku anggotanya
Adanya personel yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar
karier, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan.
BAB 3
STRUKTUR POLITIK DAN FUNGSI POLITIK
Fungsionalisme struktural
Fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi
yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang
saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal
fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah
analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini
sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.[1] Dalam arti
paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan
setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan
kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu
dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.[2][3]
Asumsi dasar
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya
dalam ilmu sosial pada abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional
yaitu August Comte, Émile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai
organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan
tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan
untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari
pemikiran Emile Durkheim, di mana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte
dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian
dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara
masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut
dengan requisite functionalism, di mana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan
penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat
terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah
kesatuan di mana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari
sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang.
Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang
tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi
sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain
itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk
berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max
Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah
Kesatuan fungsi masyarakat, seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard
bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam
masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level integrasi.
Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil
tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.
Fungsionalisme universal, seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal
ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur, adat istiadat,
gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan
stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku kadang-kadang
membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi
bertentangan.
Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun
juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini
berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn
Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional
yang ada di dalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.
Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut
berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap
bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan
Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat
dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan
berlang, merespresentasikan unsure standard.
Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara
keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi
dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range
theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam
peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-
teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai: Teori yang terletak di
antara hipotesis kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian
dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang
akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf menengah
pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia
merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari
kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk
mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-
hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi
yang saling terhubung secara logis di mana kesatuan empiris bisa diperoleh.
The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja
mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang
inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki
berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan empiris,
merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku
social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan,
meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan
dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana.
Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa yang dia kritik
terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia
pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah
itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.
Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi
dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu,
para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi
stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi
sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian,
karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi, Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta
sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan
akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya
sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat
dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki
untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung
konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas.
Gagasan non fungsi pun, dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai
konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tetapi tidak
dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif
atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level
analisis fungsional.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi
laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka
dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara
fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan
selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang
dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten, menunjukan penjelasan Merton yang begitu
kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan
dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan
fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam
mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia
beraliran fungsionalis, tetapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi,
lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa
fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua
struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat
dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.
Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan
sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh
anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan
memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi
jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur
secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut.
Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut
norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang
dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan
demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi
disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits
tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini
aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu
berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis,
menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan
Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, di mana ada keteraturan maka
harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak
pada status di dalamnya tetapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir
dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor.
Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari
sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur, akan tetapi terus membawa
kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur
terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu
tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku
Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial
memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga
mereka lebih, menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton,
anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk
mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.
Dari berbagai penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk
mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya
fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah
bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.