Anda di halaman 1dari 9

Nama: Sri Indriyati Rohyani

Kelas: 2B
NIM: 11221120000054

Sistem Partai Politik dan Pelembagaan Kepartaian

A. Sistem Partai Politik

Partai politik merupakan ciri penting politik modern dan telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem politik baik negara penganut demokrasi maupun otoriter. Partai politik
merupakan penghubung fundamental antara negara dengan masyarakat sipil, institusi
pemerintahan dengan kelompok kepentingan dan lainnya. Menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 Tentang Partai Politik, partai politik dibentuk dengan pertimbangan untuk
menampung dinamika perkembangan masyarakat yang majemuk guna meningkatkan peran,
fungsi, dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi, Oleh karena itu
dibutuhkan kesepakatan untuk menentukan sistem kepartaian seperti apa yang sekiranya tepat
untuk diterapkan dalam suatu negara.

Sistem partai politik atau sistem kepartaian merupakan pola perilaku dan interaksi di
antara sejumlah partai politik dalam suatu sistem politik. Menurut Andrew Heywood, sistem
partai politik merupakan sebuah jaringan dari hubungan dan interaksi antara politik di dalam
sebuah sistem politik yang berjalan di suatu negara.1 Tidak hanya mengenai interaksi antara
partai politik, sistem kepartaian juga dapat menganalisis interaksi partai politik dengan unsur
lainnya di sistem politik, contohnya interaksi antara partai politik dengan pemerintah.

Terdapat empat pendekatan dalam memahami sistem kepartaian di sebuah negara, yaitu
pertama berdasarkan jumlah partai, kedua berdasarkan kekuataan relatif dan besaran partai,
ketiga berdasarkan formasi pemerintahan, dan keempat berdasarkan jarak ideologi partai.2
Menurut Maurice Duverger terdapat tiga kategori sistem kepartaian, yaitu sistem partai-tunggal,
sistem dwipartai, dan sistem multipartai. Berikut uraian mengenai ketiga sistem kepartaian
tersebut.3

1
Andrew Heywood, politics fourth edition (New York: Palgrave Macmillan, 2013), h.248.
2
Fajlurrahman Jurdi, Pengantar Hukum Partai Politik (Jakarta: Kencana, 2020), h.149-150.
3
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, 1992), h.124.
a. Sistem Partai Tunggal
Sistem partai tunggal atau sistem satu partai memiliki dua pengertian, yaitu yang
pertama di dalam suatu negara memang benar hanya terdapat satu partai politik, dan yang
kedua yaitu di dalam suatu negara terdapat beberapa partai tetapi hanya satu partai
dominan dan partai lainnya hanya sebuah pelengkap. Kondisi kepartaian negara yang
menganut sistem ini kurang kompetitif karena semua partai harus taat dan menerima
dipimpin oleh partai dominan serta tidak dikenankan untuk bersaing dengan partai
dominan tersebut. Sistem partai tunggal biasanya digunakan oleh negara yang baru saja
merdeka dari kolonialisme yang tujuannya untuk menghadapi masalah integrasi nasional
dan keterbelakangan ekonomi. Sebab dikhawatirkan jika keragaman sosial dan budaya
yang masih belum diatur dengan baik akan menimbulkan konflik sosial politik dan
menghambat usaha pembangunan pascakemerdekaan.
Dari beberapa kasus, partai tunggal biasanya digunakan oleh penguasa atau
pimpinan partai dominan sebagai alat mobilisasi masyarakat untuk mendukung kebijakan
yang dibuat partai tunggal. Pergerakan partai-partai politik yang menjadi partai minoritas
juga dibatasi. Partai politik yang menjadi partai tunggal tidak hanya menguasai sistem
kepartaian di negaranya, tetapi juga bangku pemerintahan. militer, dan seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Negara yang menganut sistem partai tunggal yaitu Vietnam
dengan Partai Komunis Vietnam, Republik Kuba dengan Partai Komunis Kuba, dan Laos
dengan Partai Revolusioner Rakyat Laos.
b. Sistem Dwipartai
Pada sistem kepartaian dwipartai terdapat dua partai yang bersaing untuk meraih
dan mempertahankan kewenangan pemerintahan melalui pemilihan umum, Pada sistem
ini terbentuk pembagian tugas untuk kedua partai yaitu, partai yang memenangkan
pemilihan umum akan menjadi partai pemerintah, sedangkan partai yang kalah dalam
pemilihan umum akan menjadi kekuatan oposisi dengan mengoreksi jalannya
pemerintahan agar lebih baik. Partai yang kalah dalam pemilihan umum akan melakukan
kontrol atas partai yang menang dalam pemilihan umum tetapi partai yang kalah harus
tetap menerima dan setia atas hasil pemilihan umum dan pemerintahan.
Namun pembagian tugas tersebut berlaku dalam negara yang menerapkan sistem
kabinet parlementer. Sementara untuk sistem pemerintahan presidensial , pembagian
tugas terwujud dalam pembagian anggota legislatif dan eksekutif, sebagai contoh di
Amerika Serikat. Pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, Presiden berasal dari
Partai Demokrat dan terdapat juga beberapa angggota kabinetnya yang berasal dari Partai
Republik seperti Robert Gates yang menjabat sebagai Menteri Pertahan.
Sistem dwipartai pada sistem pemerintahan parlementer dapat dilihat melalui
Negara Inggris. Di Inggris terdapat Partai Buruh dan Partai Konservatif yang tidak
memiliki banyak perbedaan pandangan mengenai asas dan tujuan politik. Dalam
perubahan pimpinan seperti perdana menteri juga umumnya tidak terlalu menggangu
keberlangsungan kebijakan pemerintah sebelumnya. Perbedaan mendasar antara kedua
partai hanya terdapat pada cara setiap partai melaksanakan program kerja yang
menyangkut pada permasalahan sosial, perdagangan, dan industri. Contohnya pada
bidang ekonomi, Partai Buruh lebih mendukung pemerintah untuk melaksanakan
pengendalian dan pengawasan di bidang ekonomi sedangkan Partai Konservatif lebih
mendukung kebebasan untuk berwirausaha.
Selain terdapat Partai Buruh dan Partai Konservatif terdapat partai kecil yaitu
Partai Demokrat Liberal di Inggris. Partai Demokrat Liberal memiliki pengaruh kecil dan
terbatas tetapi kedudukannya berubah krusial saat terjadi perbedaan kecil dalam hasil
perolehan suara dari kedua partai dominan dalam pemilihan umum. Di dalam situasi
seperti ini partai dominan biasanya terpaksa membentuk koalisi dengan Partai Demokrat
Liberal atau partai kecil lainnya.
Sistem kepartaian dwipartai dapat berjalan baik dengan dukungan tiga hal yaitu,
struktur masyarakat relatif homogen, kesepakatan nilai akan prinsip-prinsip dasar
penyelenggaraan dan tujuan negara yang fundamental, serta mekanisme pengaturan dan
penyelesaian konflik yang telah melembaga. Contoh dari negara yang menganut sistem
kepartaian dwipartai adalah Amerika Serikat dengan kedua partainya, Partai Demokrat
dan Partai Republik, Jamaica dengan Partai Buruh Jamaika dan Partai Rakyat Nasional,
dan Australia dengan Partai Liberal dan Partai Buruh.
c. Sistem Multipartai
Sistem multipartai adalah sistem partai politik yang terdiri lebih dari dua partai
dominan yang menguasai kepartaian dan pemerintahan di suatu negara. Sistem
multipartai muncul karena keberadaan masyarakatnya yang majemuk baik secara kultur
dan sosial-ekonomi. Setiap golongan atau kelompok sosial ingin ikut berpartisipasi dalam
kehidupan politik lewat didirikannya partai politik sebagai representasi politik. Sebab
setiap kelompok dan golongan dalam masyarakat relatif memiliki kecenderungan ikatan
terhadap asal-usul budayanya serta memiliki rasa perjuangan untuk kepentingan
kelompok atau golongan melalui partai politiknya tersendiri.
Sebab banyaknya partai yang bersaing untuk memperoleh dan menjaga
kekuasaannya melalui pemilihan umum maka beberapa partai politik menjalin koalisi
dengan partai politik lainnya untuk mencapai mayoritas di bangku parlemen. Koalisi
merupakan kerja sama antara beberapa partai untuk meperoleh suara lebih banyak dalam
parlemen, karena terkadang tidak ada partai yang secara mandiri dapat mencapai
mayoritas di parlemen. Untuk mencapai kesepakatan di antara partai politik yang saling
berkoalisi, sebelumnya memerlukan perundingan atau negoisasi dalam hal program kerja
dan kedudukan menteri. Dengan menggunakan sistem multipartai, besar kemungkinan
partai-partai kecil akan mendapatkan kursi di parlemen. Contoh negara yang
menggunakan sistem multipartai adalah Indonesia, Belanda, Prancis dan lainnya.
Berbeda dengan Maurice Devurger dalam mengklasifikasikan partai politik
berdasarkan jumlah partai, Giovani Sartori, seorang ilmuwan politik asal Italia membagi
sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi partai-partai politik yang ada, yaitu:4

Sistem Partai Kutub Polaritas Arah


Pluralisme Sederhana Bipolar Tidak ada Sentripetal
Pluralisme Moderat Bipolar Kecil Sentripetal
Pluralisme Ekstrem Multipolar Besar Sentrifugal
Keterangan istilah:
 Pluralisme berasal dari kata dasar plural yang berarti jamak, adalah keadaan
masyarakat yang majemuk dalam hal sistem sosial dan politik.
 Bipolar dalam hal ini merupakan kegiatan aktual suatu sistem partai yang
bertumpu pada dua kutub walaupun jumlah partai lebih dari dua karena sistem
kepartaian ini tidak memiliki perbedaan ideologi yang terlalu tajam.

4
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu Strategis
(Jakarta: Rajawali Pres, 2015), h.36-38.
 Multipolar dalam hal ini merupakan suatu sistem partai yang bertumpu pada lebih
dari dua kutub yang biasanya terdiri atas lebih dari dua partai dan di antara kutub-
kutub itu terdapat perbedaan ideologi yang sangat tajam.
 Polaritas adalah jarak antara kutub satu dengan kutub lainnya. Besar atau kecilnya
polaritas ditentukan oleh perbedaan ideologi atau nilai-nilai di antara kutub-kutub
tersebut. Semakin besar perbedaan ideologi atau nilai-nilai antara partai dalam
suatu negara berarti ketiadaan kesepakatan mengenai asas dan tujuan msyarakat
negara yang dicita-citakan.
 Sentripetal merupakan arah perilaku politik setiap partai yang menuju pada
integrasi nasional.
 Sentrifugal merupakan arah perilaku partai politik yang menuju pada disintegrasi
nasional. Arah perilaku ini disebabkan oleh sifat individualis setiap partai yang
berusaha untuk membentuk dan mengembangkan sistem menurut mereka masing-
masing yang pada akhirnya menimbulkan konflik dan perpecahan.
a. Sistem Kepartaian Pluralisme Sederhana
Sistem kepartaian pluralisme sederhana mempunyai kutub partai yang bipolar,
tidak mempunyai polaritas yang berarti jarak ideologi antara kedua kutub tidak terlalu
jauh atau berbeda, dan arahnya sentripetal yang berarti di dalam sebuah negara yang
menganut sistem ini hanya terdapat dua kutub partai yang bersaing dalam pemilihan
umum.
Dengan mempunyai kutub partai yang bipolar artinya sebuah negara memiliki dua
ideologi atau nilai-nilai yang tidak terlalu jauh jaraknya dan bukan berarti negara tersebut
hanya memiliki dua partai, tetapi bisa saja kutub satu terdiri dari beberapa partai yang
memiliki ideologi atau nilai-nilai yang sama begitu pula kutub kedua. Arah perilaku
partai politiknya juga sentripetal yang berarti perilaku partai politik terpusat dari kedua
pimpinan masing-masing kutub dan mengarah pada integrasi nasional. Gambaran atau
contoh negara yang menggunakan sistem ini adalah Amerika Serikat dengan sistem
dwipartainya.
b. Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat
Sistem kepartaian pluralisme moderat mempunyai kutub partai yang bipolar,
polaritas kecil, dan arahnya sentripetal. Pada sistem kepartaian ini terdapat tiga sampai
empat partai politik yang menjadi basis dan saling bersaing dalam pemilihan umum.
Terdapat polaritas di dalam kutub-kutub pada sistem ini tetapi relatif kecil dan arah
perilakunya menuju integrasi nasional. Jarak subideologi antar partai politik tidak terlalu
jauh berbeda sehingga perbedaan dan pertentangan kepentingan yang menyangkut
masyarakat dapat ditampung menjadi isu publik. Gambaran atau contoh dari sistem ini
adalah di Indonesia dengan sistem multipartainya.
c. Sistem Kepartaian Pluralisme Ekstrem
Sistem kepartaian pluralisme ekstrem mempunyai kutub partai yang multipolar,
polaritas antarkutub yang besar, dan arah perilaku politik yang sentrifugal. Berarti sebuah
negara yang menganut sistem ini mempunyai banyak partai yang bersaing dalam
pemilihan umum dan polaritas antar kutub-kutub nya sangat besar yang berarti jarak
ideologi masing-masing kutub sangat jauh, contohnya kutub satu berideologi komunis-
sosialis, kutub dua yang berideologi neofasis-kapitalis, kutub ketiga berideologi Kristen-
demokrat cenderung kapitalis dan macam-macam kutub lainnya. Arah perilaku partai
politiknya cenderung sentrifugal yang berarti setiap partai ingin mengembangkan sistem
tersendiri dan saling bertentangan yang menyebakan disintegrasi atau perpecahan
nasional.
Penerapan sistem ini cenderung menimbulkan konflik seperti yang terjadi pada
Perang Sipil Spanyol, 18 Juli 1936 yang berawal dari pemberontakan oleh Jenderal
Francisco Franco yang berideologi nasionalis melawan pemerintahan sah Spanyol yang
dpilih secara demokratis.5 Pemberontakan ini dengan cepat meningkat menjadi perang
sipil yang merupakan puncak polarisasi politik selama beberapa dekade antara kutub
republik dengan kutub nasionalis.
Kaum dari kutub republik merupakan pekerja, buruh tani, kelas menengah
terdidik, dan kelompok kiri secara luas, sedangkan kaum kutub nasionalis adalah orang-
orang sayap kanan mulai dari militer, jemaat gereja, bangsawan konservatif, dan abdi
monarki. Kutub nasionalis mendapatkan dukungan dari rekan fasis luar negeri seperti
Jerman dan Italia, sedangkan kutub republik mendapatkan dukungan dari Uni Soviet dan
Meksiko. Akibat dari konflik polarisasi ini menelan korban sekitar 500 ribu sampai satu
juta orang.

5
Micheal G. Roskin, dkk, Political Science An Introduction (London: Pearson Education Limited, 2017), h.217.
B. Pelembagaan Kepartaian

Pelembagaan merupakan proses organisasi dan sebuah prosedur memperoleh nilai baku
yang stabil, atau proses dimana partai politik berproses menjadi stabil dalam hal pola perilaku
yang terintegrasi dalam hal sikap dan budaya. Stabilitas dan kemapanan suatu partai politik
sangat tergantung oleh proses pelembagaan partai politik yang kuat. Salah satu bentuk upaya
mencapai pelembagaan yang kuat secara struktur dan nilai melalui kepengurusan partai politik
yang sesuai dengan struktur pemerintahan negara serta kemandirian dalam pengambilan
keputusan yang menyangkut hal internal dan eksternal.

Terdapat beberapa dimensi yang menunjukkan proses pelembagaan sebuah organisasi


yang dalam hal ini merupakan partai politik, yaitu sebagai berikut:6

1. Penyesuaian diri dan fleksibiltas.


Semakin mudah suatu organisasi dalam menyesuaikan diri, semakin tinggi pula
tingkat pelembagaannya, begitu pula sebaliknya apabila sebuah organisasi kurang dapat
beradaptasi dan lebih kaku maka kualitas pelembagaannya akan rendah pula.
Kemampuan adaptasi diukur dari segi umur, dimana terdapat tiga cara mengukur usia
suatu organisasi:
1) Perhitugan kronologis. Semakin tua eksistensi atau keberadaan suatu organisasi
maka semakin tinggi tingkat pelembagaannya. Asumsinya adalah peluang suatu
organisasi yang telah berusia sepuluh tahun akan mampu bertahan satu tahun lagi
dibandingkan asumsi akan organisasi yang baru saja berusia satu tahun.
2) Usia generasi. Selama suatu organisasi masih mempunyai anggota yang
merupakan pendiri organisasi tersebut dan selama tata caranya masih dilestarikan,
peluang untuk organisasi tersebut untuk bertahan cukup besar dan memahami
waktu untuk mengambil langkah memperbaharui tata cara jika dirasa sudah
tertinggal.
3) Segi fungsi. Organisasi yang sukses beradaptasi terhadap berbagai perubahan
yang terjadi di lingkungannya dan berhasil memperbaharui satu atau dua fungsi
utamanya terkadang jauh lebih melembaga dibandingkan organisasi yang statis.

6
Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia (Yogyakarta: Institute For Democracy and Welfarism, 2011),
h.70-72.
2. Kompleksitas dan kesederhanaan. Semakin komplek suatu organisasi akan semakin
tinggi pula tingkat pelembagaannya. Kompleksitas akan melahirkan jumlah subunit
organisasi.
3. Otonomi-subordinasi. Pada hal ini suatu pelembagaan dapat diukur sejauhmana tingat
ketergantungan terhadap lembaga atau organisasi lain. Perilaku organisasi yang otonom
cenderung memiliki kemandirian dari pengaruh-pengaruh kelompok lain.
4. Kesatuan dan perpecahan. Semakin terpadu dan utuhnya suatu organisasi, semakin tinggi
pula tingkat pelembagaannya. Sebaliknya semakin terpecah organisasi, semakin rendah
pula tingkat pelembagaannya. Kesepakatan juga merupakan persyaratan penting dalam
membangun kesatuan organisasi. Suatu organisasi yang efektif harus didukung dengan
sejumlah kesepakatan mengenai batas-batas fungsi kelompok atau berbagai tata cara yang
dirasa tepat untuk mengatasi perselisihan yang timbul.

Isu pelembagaan masih menjadi isu penting dalam studi kepartaian. Tidak hanya karena
posisi partai politik yang begitu vital dalam demokrasi, isu pelembagaan selalu relevan karena
banyak studi yang memperlihatkan justru demokrasi tidak berjalan dalam tubuh internal partai.
Sehingga isu mengenai pelembagaan akan terus relevan selama kepercayaan pembenahan pada
institusi demokrasi semacam partai politik akan berhubungan dengan peningkatan kualitas
demokrasi.7

7
Lucky Sandra Amalia, “Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi” Jurnal Penelitian Politik LIPI, 10 (2) 145-161.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Lucky Sandra. “ Evaluasi Sistem Kepartaian di Era Reformasi”. Jurnal Penelitian Politik
LIPI, 10 (2) 145-161.
Heywood, Andrew. Politics fourth edition. New York: Palgrave Macmillan, 2013.
Jurdi, Fajlurrahman. Pengantar Hukum Partai Politik. Jakarta: Kencana, 2020.
Labolo, Muhadam dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia:
Teori, Konsep, dan Isu Strategis. Jakarta: Rajawali Pres, 2015.
Pamungkas, Sigit. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute For
Democracy and Welfarism, 2011.
Roskin, Micheal G, Robert L.Cord, dan James A.Medeiros. Political Science An Introduction
London:Pearson Education Limited, 2017.
Subakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, 1992.

Anda mungkin juga menyukai