Anda di halaman 1dari 107

SISTEM KEPARTAIAN

DAN PEMILIHAN UMUM

TINJAUAN MATA KULIAH

Kajian Sistem Kepartaian dan Pemilu tidak bisa dipisahkan


dari kajian praktek demokrasi Barat yang dipakai oleh berbagai
negara di dunia termasuk di Indonesia. Hubungan erat antara
kajian demokrasi dan partai politik serta Pemilu ini, disebabkan
dalam teori demokrasi Barat disebutkan bahwa sebuah negara
yang mengaku menganut paham demokrasi wajib memenuhi
prasyarat utama, yakni memberikan kebebasan berdirinya partai
politik dan memiliki serta mampu melak- sanakan Pemilu secara
berkala. Hal ini membuat kita harus menjelaskan bahasan tentang
kehadiran partai politik dan sistem Pemilu di berbagai negara juga
dalam perspektif teori-teori demokrasi yang dikemukakan oleh
para ilmuwan politik dari negara Eropa dan Amerika.
Buku ini terdiri dari 10 bab: bab 1 sampai dengan bab 6
secara khusus akan membahas tentang partai politik dan sistem
kepartaian. Pada bagian ini akan diutarakan definisi partai
politik dan sejarah perkembangannya yang didalamnya akan
dibahas definisi partai politik menurut para ahli dan peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia. Kemudian juga akan
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 1
dijelaskan teori-teori yang mampu menjelaskan penyebab lahirnya
partai politik di berbagai negara. Fungsi-fungsi partai
5
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
politik baik di negara demokrasi maju, negara otoriter, dan
totaliter juga akan dibahas di buku ini. Selanjutnya juga akan
dikemukakan model-model sistem kepartaian yang pernah
dipraktekkan di berbagai negara. Dalam buku ini secara khusus
juga akan dibahas bagaimana dinamika partai politik di
Indonesia pra kemerdekaan dan era orde lama, era orde baru,
dan era reformasi.
Selanjutnya pada bab 7 sampai dengan bab 10 akan
diutarakan materi tentang Pemilu yang dimulai dari sistem
Pemilu majoritarian (sistem Pemilu distrik), sistem Pemilu
proporsional dan kombinasi. Selanjutnya juga akan dikemukakan
berbagai metode seleksi yang digunakan oleh partai politik
dalam proses menetapkan kandidat pemegang jabatan politik
yang akan diusung oleh partainya. Kemudian pada bagian akhir
akan dibahas secara singkat segala sesuatu yang berhubungan
dengan kampanye Pemilu.

6
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
DAFTAR ISI

TINJAUAN MATA KULIAH............................................5


DAFTAR ISI.........................................................................7
Bab 1 : Definisi Partai Politik dan Sejarah Perkembangannya 9
Bab 2 : Tinjauan Teoritik Kelahiran Partai Politik
dan Tipologi Partai Politik................................................15
Bab 3 : Fungsi Partai Politik.........................................................23
Bab 4: Sistem Kepartaian dan Model Sistem Kepartaian
di Asia Tenggara..............................................................29
Bab 5 : Dinamika Partai Politik di Indonesia:
Pra Kemerdekaan dan Orde Lama..................................38
Bab 6 : Dinamika Partai Politik di Indonesia:
Orde Baru dan Reformasi................................................47
Bab 7 : Sistem Pemilihan Umum Majoritarian.............................56
Bab 8 : Sistem Pemilu Proporsional & Kombinasi............................63
Bab 9 : Seleksi kandidat Pemegang Jabatan Politik.....................70
Bab 10: Kampanye Pemilu..................................................................77
BIODATA PENULIS...........................................................83

7
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
8
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 1
Definisi Partai Politik dan
Sejarah Perkembangannya

A. Pendahuluan
Kehadiran partai politik sudah merupakan sebuah gejala
yang umum diberbagai negara, terutama di negara yang mengaku
menganut paham demokrasi. Partai politik saat ini telah menjadi
organisasi utama atau sarana yang sah untuk mengantarkan
seseorang untuk mendapat- kan jabatan politik yang dia inginkan.
Selain itu, partai politik men- jalankan fungsi-fungsi tertentu yang
penting dalam penyelenggaraan sebuah negara. Oleh karena
sangat strategisnya peran partai politik di sebuah negara, maka
seorang sarjana ilmu pemerintahan dan ilmu politik tentunya
harus mengetahui dan memahami berbagai hal yang berhubungan
dengan partai politik yang terdapat dalam bab 1 bahan ajar ini.
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa memahami secara
umum definisi partai politik dan sejarah perkembangan partai
politik dari dulu hingga sekarang. Sedangkan secara khusus
mahasiswa diharapkan dapat:
a. Mengetahui dan menjelaskan secara teoritik definisi partai politik.
b. Mampu membedakan partai politik dibandingkan
organisasi- organisasi lainnya.

9
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
c. Mengetahui proses kelahiran partai politik baik di dalam
parlemen maupun dari luar parlemen.
d. Mengetahui bagaimana perkembangan partai politik di masa
kini.

B. Definisi Partai Politik


Banyak para ahli yang telah berusaha memberikan definisi
yang memadai tentang partai politik, diantaranya Carl J.
Friedrich ber- pendapat bahwa partai politik adalah
sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan
tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintah bagi pimpinan partainya, dan ber- dasarkan
penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat idiil dan materiil. Kemudian,
Sigmun Neuman juga berpendapat bahwa artai politik adalah
organisisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha menguasai
kekuasaan peme- rintahan serta merebut dukungan rakyat
melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-
golongan lain yang mempunyai panda- ngan berbeda. Di sisi lain
Giovanni Sartori berpendapat partai politik adalah suatu kelompok
politik yang mengikuti pemilihan umum, dan melalui pemilihan
umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk
menduduki jabatan-jabatan publik. Selanjutnya definisi partai
politik yang lebih sederhana dikemukan oleh Rod Hague. et al.,
bahwa partai politik adalah organisasi permanen yang mengikuti
Pemilu, bertujuan mendapatkan kewenangan menentukan dalam
sebuah negara.
Selain definisi menurut para ahli di atas, dalam peraturan
per- undangan di Indonesia juga ditemukan definisi partai
politik. Di- antaranya UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik menjelaskan bahwa partai politik adalah organisasi
politik yang dibentuk seke- lompok warga negara republik
Indonesia secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan
cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa dan negara melalui Pemilu. Selanjutnya dalam UU No.10
Tahun 2008 tentang Pemilu dan Partai Politik
10
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
menjelaskan bahwa partai politik adalah organisasi politik yang
dibentuk sekelompok warga negara republik Indonesia secara
suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk
memper- juangkan kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negara serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Definisi partai politik dalam peraturan
perundangan di Indonesia menekankan pentingnya partai politik
memperjuang kepentingan politik masyarakat, bangsa dan negara.
Hal ini dapat dimaklumi sebab sepanjang sejarah bangsa
Indonesia, partai politik lebih cenderung memperjuangkan
kepentingan politik para elitnya dibandingkan kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara.

C. Sejarah Lahirnya Partai Politik


Partai politik secara umum lahir dengan dua cara, yakni
partai politik yang lahir dari dalam parlemen (intra parlemen) dan
partai politik yang lahir atau dibentuk masyarakat di luar
parelemen (ekstra par- lemen), yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Partai Politik Intra Parlemen
Partai politik pada awalnya tumbuh di Inggris dan Francis
Abad ke 18 yang disebabkan meluasnya gagasan masyarakat perlu
ikut serta dalam proses politik termasuk menentukan wakil-wakilnya
di parlemen. Hal ini disebabkan kekecewaan masyarakat
terhadap kinerja para bangsawan yang menjadi anggota
parlemen tidak mampu menjadi penghubungan antara rakyat dan
raja. Parlemen saat itu bersifat elitis dan aristokratis untuk
mempertahankan kepentingan bangsawan versus raja, sedangkan
kepentingan rakyat kurang diperhatikan. Oleh karena itu sistem
pemilihan anggota parlemen yang pada mulanya berdasarkan
jumlah harta kekayaan, yakni para bangsawan yang punya
banyak harta saja yang berhak menjadi anggota parlemen diubah
dengan syarat baru yakni seseorang bisa terpilih menjadi anggota
parlemen jika ia mendapat dukungan suara yang luas dari
masyarakat.
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 11
Disebabkan meluasnya hak pilih masyarakat dalam
menentukan anggota parlemen tersebut, para anggota parlemen
“dipaksa” membuat organisasi dari dalam parlemen, selanjutnya
memperluas jaringan orga- nisasinya ke tengah-tengah masyarakat
guna mendapatkan dukungan suara yang banyak untuk terpilih
kembali menjadi anggota parlemen. Di dalam parlemen Inggris
saat itu sebenarnya sudah terdapat dua kelompok (faksi) yang
memang selalu bersaing, yakni kelompok bangsawan Inggris
versus kelompok orang Irlandia. Kelompok bang- sawan Inggris
membentuk kelompok Torries dan kelompok orang Irlandia
membentuk kelompok Whig. Kemudian untuk memper-
tahankan eksistensinya di parlemen, kelompok Torries dan
Whig tersebut mengembangkan sayap organisasinya dengan
bergerak keluar parlemen membuat kelompok pendukung dan
organisasi massa. Pada abad ke-19, dilangsungkan Pemilu I di
Inggris yang diikuti oleh dua organisasi, yakni Torries dan Whig.
Dengan ikut sertanya dua orga- nisasi yang didirikan oleh
kalangan parlemen tersebut dalam Pemilu, maka secara resmi
lahirlah partai politik dan pada masa selanjutnya berkembang
menjadi penghubung massa dan pemerintah. Partai politik yang
lahir dalam parlemen ini memiliki ciri-ciri diantaranya meng-
utamakan kemenangan dalam pemilu, mengutamakan jumlah
anggota disiplin tidak ketat, bertindak semacam broker, dan
mempunyai progam tertentu.

2. Partai Politik Ekstra Parlemen


Menjelang Perang Dunia I, di dunia Barat muncul juga
partai yang lahir didirikan oleh masyarakat yang berada di luar
parlemen. Partai politik ini didirikan masyarakat untuk
memperjuangkan asas atau ideologi tertentu, misalnya ideologi
komunisme, sosialisme, fasisme, dan lain sebagainya. Partai politik
ini memiliki ciri mempunyai pandangan hidup (asas/ ideologi)
yang jelas, anggotanya berdisiplin ketat dan memiliki ikatan yang
kuat dengan ideologi partai. Partai politik ini lahir disebabkan
adanya pembedaan dan pertentangan dua ideologi

12
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
dihubungkan dengan ekonomi. Partai beridiologi kiri, yang
diwakili ideology komunis menginginkan campur tangan negara
secara total pada kehidupan sosial dan ekonomi, sedangkan
partai politik yang berideologi kanan yang diwakili ideologi liberal
menolak campur tangan negara dalam kehidupan sosial dan
ekonomi dan ingin mewujudkan pasar bebas.
Pada tahap selanjutnya menjelang Perang Dunia II, partai-
partai politik yang pada dasarnya memang bertujuan mendapat
dukungan sebanyak-banyaknya dalam pemilu, mulai berfikir untuk
mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat termasuk
masyarakat yang tidak se-ideologi dengan partai. Salah satu cara
yang digunakan untuk mendapatkan dukungan secara luas
adalah dengan meninggalkan pemakaian ideologi yang kaku,
sehingga memungkin semua orang untuk bergabung ataupun
memilih partai politik tersebut. Jenis partai-partai politik yang
berkeinginan mendapat dukungan dari semua kalangan dikenal
dengan nama catch all party. Kelebihan partai jenis ini adalah
kemauan dan kemampuannya yang lebih memperjuangkan
kepentingan umum dibandingkan kepentingan kelompok
berideologi tertentu, misalnya partai buruh di Inggris serta partai
Republik dan Demokrat di Amerika Serikat. Saat ini penggunaan
ideology yang kaku dan ekstrim oleh partai politik semakin
berkurang. Bahkan menurut Daniel Bell (1960) dalam bukunya
yang berjudul the end of ideology bahwa perbedaan ideology
telah berakhir yang ditandai dengan tercapainya konsensus antara
para intelektual tentang masalah politik yaitu : dite- rimanya
negara kesejahteraan, diidamkannya desentralisasi kekuasaan, sistem
ekonomi campuran,dan pluralisme politik.

D. Rangkuman
1. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli
mengenai definisi partai politik maka dapat disimpulkan
bahwa partai politik adalah sebuah organisasi yang
menjadi peserta Pemilu dan

13
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
berusaha menempatkan wakilnya di parlemen atau legislatif.
2. Berdasarkan sejarah awal lahirnya partai politik, maka
partai politik digolongkan dalam dua kelompok, yakni
partai politik yang lahir dalam parlemen dan partai politik
yang lahir dari luar parlemen.
3. Partai politik dewasa ini berusaha meninggalkan ideologi
dan berusaha mendapatkan dukungan masyarakat yang
melintasi ideologi (cath all party).

E. Soal latihan
1. Jelaskan definisi partai politik menurut Rod Hague et.al !
2. Jelaskan penyebab lahirnya partai politik dari dalam
parlemen!
3. Jelaskan ciri partai politik yang lahir di luar parlemen
4. Jelaskan hal yang menyebabkan partai politik saat ini,
mulai meninggalkan basis ideologi yang kaku!

Daftar Pustaka
Hague, Rod et.al (2001), Comparative Politics & Politics: An
Introduction : 4 .Ed, Hampshire: Mac Millan.
Budiardjo, Miriam (2008), Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Roni, Heriyandi (2006). Demokratisasi Internal Partai Golkar
Pasca Orde Baru (1998-2004 ), Disertasi, di Universitas
Indonesia.
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 10 tentang Pemilu dan Partai Politik
Tahun
2008.

14
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 2
Tinjauan Teoritik Kelahiran
Partai Politik dan Tipologi Partai
Politik

A. Pendahuluan
Sejak masa orde lama sampai orde reformasi, sudah
banyak partai-partai politik yang tumbuh dan bubar di pentas
politik nasional. Adapun faktor penyebab tumbuh dan bubarnya
partai-partai politik, tidak selalu sama diantara setiap partai,
melainkan didahului oleh penyebab yang khas untuk setiap
partai politik. Pengetahuan yang memadai tentang tentang
persfektif teoritik tentang kelahiran partai politik akan membantu
mahasiswa memahami dan menganalisasi faktor penyebab muncul
dan bubarnya partai-partai politik sepanjang sejarah Indonesia
pada masa orde lama, orde baru dan orde reformasi dan
kelahiran berbagai partai politik di negara lainnya. Selain itu
dalam Bab II ini juga akan dibahas konsep teoritik tipologi partai
politik serta bagaimana tipologi partai-partai politik yang ada di
Indonesia.
Setelah mempelajari bab II ini secara umum mahasiswa
di- harapkan memahami persektif teoritik tentang kelahiran partai
politik dan berbagai tipologi partai politik. Secara khusus
mahasiswa di- harapkan dapat :
1. Mengetahui berbagai persfektif teoritik yang mampu
menjelas- kan kelahiran partai politik di Indonesia
khususnya.
15
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
2. Mampu menganalisa fenomena kelahiran partai politik
berdasarkan persfektif teoritik yang ada.
3. Mengetahui dan mengetahui tipologi partai politik yang
dibagi berdasarkan kriteria tertentu.
4. Mampu menjelaskan tipologi partai-partai politik yang ada
di Indonesia.

B. Persfektif Teoritik Lahirnya Partai Politik


Menurut Ramlan Surbakti, setidaknya ada 3 teori yang
mampu menjelaskan asal usul Partai Politik, yaitu : 1) teori
kelembagaan yang merujuk pada kemunculan partai politik di
intra parlemen; 2) teori situasi historik yang menganggap
kemunculan partai politik sebagai upaya upaya sistim politik
menghadapi krisis perubahan secara luas di masyarakat; 3) teori
Pembangunan yang menghubungkan kelahiran partai politik
sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.
Teori kelembagaan melihat bahwa partai politik pada
awalnya dibentuk oleh kalangan legislatif, yang selanjutnya
lembaga atau orga- nisasi partai politik diperluas ke tengah-tengah
masyarakat disebabkan adanya kebutuhan para anggota parlemen
untuk mengadakan kontak dan membina dukungan dari
masyarakat. Setelah partai politik intra parlemen terbentuk dan
menjalankan fungsi, kemudian muncul akan lembaga atau partai
politik lain yang dibentuk oleh masyarakat diluar parlemen
sebagai lembaga baru untuk menyalurkan aspirasi dan ke-
pentingan mereka. Pendirian lembaga partai politik baru ini
disebabkan ketidakpercayaan sebagian masyarakat dan para
elitnya terhadap partai politik bentukan anggota parlemen yang
dinilai gagal atau tidak mampu menyalurkan aspirasi politik
mereka.
Di sisi lain teori situasi historis melihat kemunculan partai
politik disebabkan terjadinya krisis di tengah masyarakat. Hal ini
sebabkan oleh sistem politik mengalami masa transisi karena
perubahan mas- yarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur
sederhana menjadi
16
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Perubahan
yang terjadi antara lain : pertambahan penduduk karena perbaikan
fasilitas kesehatan, perluasan pendidikan, perubahan pola pertanian
dan industri, partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi
pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru, dan
munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan
tersebut memunculkan tiga macam krisis, yakni: krisis legitimasi,
integrasi, dan partisipasi.Artinya, perubahan- perubahan ini membuat
masyarakat mulai mempertanyakan prinsip- prinsip yang
mendasari legitimasi kewenangan pihak yang memerintah yang
bisa berujung pada krisis dalam identitas yang menyatukan mas-
yarakat sebagai suatu bangsa. Di saat yang sama muncul
tuntutan masyarakat yang semakin besar untuk ikut serta dalam
proses politik. Untuk mengatasi krisis tersebutlah partai politik
dibentuk sebagai sarana yang legal untuk berkuasa dan
menyalurkan aspirasi politik.
Selanjutnya teori modernisasi menganggap bahwa partai
politik memang merupakan kebutuhan masyarakat modern atau
partai politik merupakan produk logis dari modernisasi sosial
ekonomi. Modernisasi sosial ekonomi, seperti pembangunan
teknologi komunikasi berupa media massa dan transportasi,
perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi,
perluasan kekuasaan negara seperti birok- ratisasi, pembentukan
berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, dan
peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi
lingkungan. Disebab berbagai kemajuan tersebut, masing-masing
ke- lompok di dalam masyarakat yang modern berupaya
membentuk organisasi yang dirasa mampu untuk melindungi
kepentingannya. Organisasi tersebut adalah partai politik yang
akan melindungi ke- pentingan konstituen dalam pembuatan
peraturan perundangan dengan menempatkan wakilnya di
parlemen.
Sedangkan menurut Lipset & Rokan, partai politik lahir
dari beragamnya kepentingan yg saling bertentangan antara
kepentingan baru muncul versus kepentingan-kepentingan yang
terancam dengan perubahan. Penyebab kelahiran partai politik
dapat dilacak dengan
17
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
melihat pertentangan sosial yang dominan terjadi pada awal
pem- bentukan sebuah partai politik. Misalnya sejauhmana
konstelasi per- tentangan organisasi-organiasi massa yang
ikutserta dalam pemilu. Konflik-konflik kemasyarakatan yang
menonjol juga dapat mempe- ngaruhi terbentuknya partai politik
dan sistem kepartaian. Di bawah ini Lipset dan Rokan
menjelaskan tentang kemunculan partai politik berdasarkan
pertentangan, saat-saat kritis, dan isu yang bertentangan di tengah
masyarakat :
Tabel 1 : Kemunculan Partai Politik dan Pertentangan
Dalam Masyarakat
Pertentangan Saat-saat Kritis Isu-Isu Penggolongan Partai

Pusat—Pinggiran Reformasi Tandingan Agama nasional vs agama supranasional; Partai berbasis kesukuan
abad 16 ke 17 bahasa nasonal vs latin dan kebahasaan.

Negara vs Gereja Revolusi nasional tahun Kontrol sekuler vs keagamaan Partai-partai keagamaan
1789 dan sesudahnya atas pendidikan massa

Pertanian vs Revolusi industri abad Tingkat tarif produk2 petani; kontrol Partai2 agrarian;
Industri 19 vs kebebasan usaha industrial konservativ vs Liberal

Majikan vs Buruh Revolusi Rusia, 1917- Integrarasi politik nasional vs komitmen Partai2 sosialis dan
1991 terhadap gerakan revolusioner internasional komunis.

Materialis vs Pasca Revolusi kebudayaan, Kualitas lingkungan vs pertumbuhan Partai2 hijau/ ekologi
Materialis 1968 dan sesudahnya ekonomi

Kemudian Angelo Penebianco mengemukakan tiga faktor


utama yang menentukan terbentuknya partai politik, yakni: 1)
Pengaruh elit politik ditingkat lokal dan nasional; a) territorial
penetration, elit lokal dan regional berusaha membentukan
organisasi lokal dan regional dengan tujuan membentuk partai; b)
territorial diffusion, partai politik dibentuk sejumlah elit nasional
yang tergabung dalam kelompok independen. c) gabungan dari
keduanya; 2) ada organisasi ekternal yang mensponsori
terbentuknya partai politik; 3) ada tidaknya pengaruh pemimpin
kharismatik dalam pembentukan partai partai politik.
Kemudian Firmanzah juga mengemukakan beberapa
penyebab lahirnya partai politik, yaitu:

18
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
1. Fenomena pasca kolonialisme. Sebuah negara yang baru
mer- deka membutuhkan instusi politik mengelola kekuasaan.
Insitusi yang dianggap tepat adalah partai politik, oleh
karena itu partai politik didirikan untuk menfasilitasi dan
menyalurkan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat
melalui institusi yang legal. Disebabkan banyaknya
kepentingan dan kelompok-kelompok yang ingin
menentukan kebijakan, maka di negara itu akan terbentuk
banyak partai politik;
2. Buah sistem politik (strukturalisme). Lahir dan musnahnya
partai politik disebabkan adanya perubahan sistem politik
disebuah negara. Pada saat sebuah negara menerapkan
sistem politik demokrasi yang member ruang munculnya
partai-partai politik, maka akan banyaklah partai politik
yang lahir di negara itu. Sebaliknya jika sebuah negara
menerapkan sistem politik otoriter atau totaliter yang tidak
memberi ruang munculnya partai-partai politik, maka
sebagian besar partai politik akan musnah dan partai politi
baru sangat sulit untuk muncul.
3. Aspirasi Kelompok Masyarakat. Partai politik lahir
sebagai bentuk organisasi atas dasar aspirasi masyarakat
yang bertujuan melindungi kepentingan kelompoknya dari
ancaman kelompok lain dalam pengambilan kebijakan
secara nasional. Masyarakat menyadari bahwa kepentingan
mereka dapat dilindungi dalam pembuatan kebijakan di
parlemen, jika mereka mampu menem- patkan wakilnya di
lembaga tersebut. Salah satunya lembaga resmi yang bisa
menempatkan wakil di parlemen adalah partai politik, oleh
sebab itu partai politik dibentuk oleh berbagai kelompok
dalam masyarakat.
4. Pecahan. Partai politik juga bisa lahir disebabkan adanya
konflik internal dalam sebuah partai politik. Elit dan massa
yang kecewa dalam sebuah partai politik akan membentuk
partai politik baru.
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 19
C. Tipologi Partai Politik
Menurut Ramlan Surbakti, Partai politik dapat
diklasifikasikan berdasarkan kriteria tertentu, yaitu: berdasarkan
asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, basis sosial
dan tujuan. Berdasarkan asas dan orientasinya partai politik
dapat dikelompokkan: 1) partai politik pragmatis. Kegiatan partai
dan program partai politik ini tidak terikat pada ideologi yang
kaku, misalnya partai demokrat dan partai republik di Amerika
Serikat; 2) Partai politik doktriner. Program dan kegiatan partai
politik ini bersifat konkret sebagai penjabaran dari ideology,
contohnya partai komunis dan partai sosialis; 3) Partai politik
kepentingan. Partai politik ini dibentuk berdasarkan kepentingan
tertentu, misalnya partai politik untuk memperjuangkan etnis atau
agama.
Partai politik juga dapat dibedakan berdasarkan komposisi
dan jumlah anggotanya, yaitu: 1) Partai massa (Partai lindungan
—patro- nage). Partai politik ini mengandalkan keunggulan
jumlah anggota, memobilisasi massa sebanyak-banyaknya
mengembangkan diri, bertindak sebagai pelindung berbagai
kelompok dalam masyarakat. Misalnya UMNO di Malaysia; 2)
Partai kader. Partai politik ini mengandalkan kualitas anggota,
keketatan organisasi dan disiplin anggota sebagai kekuatan
utama, misalnya partai komunis.
Selanjutnya berdasarkan basis sosialnya, partai politik
dapat dikelompokkan menjadi : a) Partai politik yang
beranggotan lapisan- lapisan sosial dalam masyarakat, misalnya
partai politik yang secara khusus mengandalkan basis massa dari
kelas tertentu, misalnya atas, menengah dan bawah; b) Partai
yang berasal dari kelompok kepen- tingan tertentu, misalnya partai
politik yang bertujuan memperjuangkan kepentingan buruh, petani
ataupun pengusaha; c) Partai yang ang- gotanya dan
konstituennya berasal dari pemeluk-pemeluk agama tertentu,
misal partai politik Islam, kristen dll; d) Partai politik yang
anggotanya berasal dari kebudayaan tertentu. Misalnya suku
tertentu, bahasa tertentu dll.
20 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Berdasarkan tujuannya partai politik dapat digolongkan: a)
Partai Perwakilan kelompok. Partai Politik ini bertujuan menghimpun
kelompok- kelompok untuk memenangkan Pemilu; b) partai
pembinaan nasional. Partai politik ini dirikan untuk tujuan
membina persatuan nasional menindas kepentingan sempit,
misalnya PartaiAksi Singapura. c) Partai mobilisasi. Partai politik
ini bertujuan memobilisasi massa untuk men- capai tujuan partai,
peran-peran kelompok diabaikan, misalnya partai komunis.

D. Rangkuman
a. Ada beberapa ahli yang mengemukakan secara teoritik
penyebab lahirnya partai politik antara lain Ramlan
Surbakti, Lipset & Rokkan, Angelo Penebianco, Lipset &
Rokkan dan Firmanzah. Ramlan Surbakti mengemukakan
teori kelembagaan, teori situasi historis dan teori
modernisasi. Lipset & Rokan menyatakan partai politik
lahir disebabkan adanya pertentangan yag tidak dapat
diselesaikan ditengah masyarakat. Angelo Penebianco
menyatakan partai politik lahir disebabkan adanya prakarsa
elit lokal maupun nasional, dorongan organisasi eksternal
negara dan kehadiran tokoh kharismatik. Firmanzah
menyatakan partai politik lahir sudah merupakan gejala
umum di negara pasca kolo- nial, buah sistem politik,
disebabkan adanya aspirasi masyarakat dan disebabkan
konflik antar elit partai yang memunculkan partai baru yang
merupakan pecahan partai yang sebelumnya.
b. Secara umum partai politik dapat dikelompokkan
berdasarkan asas dan orientasinya komposisi dan fungsi
anggotanya, basis sosial pendukung utamannya dan serta
tujuan utama didirikannya sebuah partai politik.

21
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
E. Soal Latihan
1. Jelaskan teori penyebab kelahiran partai politik menurut
Ramlan Surbakti!
2. Jelaskan teori penyebab kelahiran partai politik menurut
Penebianco!
3. Jelaskan teori penyebab kelahiran partai politik menurut
Firmanzah!
4. Jelaskan jenis partai politik berdasarkan komposisi dan
jumlah anggotanya!

Daftar Pustaka
Firmanzah (2008). Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Klingeman et al (2000). Partai, Kebijakan dan Demokrasi.
Yogyakarta: Jentera.
Roni, Heriyandi. Demokratisasi Internal Partai Golkar Pasca Orde
Baru (1998-2004), Disertasi, Universitas Indonesia, 2006.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik.

22
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 3
Fungsi Partai Politik

A. Pendahuluan
Hadirnya partai-partai politik di sebuah negara pada
dasarnya disertai sebuah harapan yakni partai-partai politik
tersebut dapat menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang menunjang
keberhasilan sebuah negara. Namun pada kenyataannya partai
politik menjalankan fungsi yang berbeda diantara negara
demokrasi maju, negara otoriter dan totaliter dan negara
berkembang yang pernah dijajah oleh bangsa barat. Selain itu, jika
kita memakai konsep fungsi partai politik di negara demokrasi
maju untuk meneropong pelaksanaan fungsi partai politik di
negara dunia ketiga, maka kita akan menemukan bahwa partai
politik dinegara itu gagal menjalankan fungsinya. Namun
demikian sebagai salah satu negara dunia ketiga sudah selayaknya
lah partai-partai politik di Indonesia menjalankan fungsi
sebagaimana layaknya partai politik di negara maju, agar negara
kita juga bisa beranjak menuju kemajuan.
Setelah mempelajari bab 3 ini secara umum mahasiswa
diharap- kan memahami fungsi-fungsi utama yang harus
dijalankan oleh partai politik pada sebuah negara. Sedangkan
secara khusus mahasiswa diharapkan dapat :

23
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
1. Mengetahui fungsi partai politik di negara demokrasi,
negara otoriter/ totaliter dan fungsi partai politik di negara
dunia ketiga.
2. Mampu membandingkan fungsi partai politik di negara
demo- krasi, negara otoriter/ totaliter dan fungsi partai
politik di negara berkembang.
3. Mengetahui bagaimana lemahnya fungsi partai politik dan
kader partai politik di negara berkembang.
4. Mampu menganalisa pelaksanaan fungsi partai politik di
Indonesia berdasarkan teori-teori yang ada.

B. Fungsi Partai Politik


1. Fungsi Partai Politik di Negara Demokrasi
Menurut Kousoulas, partai politik di negara demokrasi
setidaknya mempunyai ciri dan fungsi sebagai berikut : 1) Memiliki
program berupa solusi masalah yang dijalankan pada saat
berkuasa; 2) Memiliki organisasi untuk mengartikulasikan
kepentingan dan melakukan rekrutmen politik; 3) Berpartisipasi
dalam proses politik, paling tidak menjadi sponsor kandidat
meraih jabatan politik dan pemerintahan;
4) Memakai cara kompetisi untuk meraih kekuasaan dan
merebut dukungan masyarakat. Di sisi lain Sigmund Neumann
berpendapat bahwa fungsi partai politik di negara demokrasi
antara lain :1) Sarana pengatur kehendak masyarakat yang sangat
beragam; 2) Mendidik masyarakat agar bertanggungjawab
secara politik; 3) Penghubung antara pemerintah dan
kepentingan masyarakat; 4) Memilih para pemimpin.
Fungsi partai politik di negara demokrasi menurut Gabriel
A. Almond adalah : 1) Sosialisasi politik, yaitu proses
pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat;
2) Partisipasi politik, yaitu proses mobilisasi warga negara ke
dalam kehidupan dan kegiatan politik yang merupakan fungsi khas
dari partai politik. Partisipasi partai

24
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
politik merupakan kegiatan warga negara biasa untuk
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
umum dalam ikut serta menentukan pemimpin pemerintah; 3)
Rekrutmen politik, yaitu seleksi dan pemilihan dalam rangka
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan
sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan
pemerintahan pada khususnya; 4) Komunikasi politik, yaitu proses
penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada
masyarakat dan sebaliknya; 5) Pemadu kepentingan, yaitu
menampung dan memadukan berbagai kepentingan masyarakat
yang berbeda-beda dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Sejalan dengan itu, Morlino juga mengemukakan
pendapatnya bahwa fungsi partai politik di negara demokrasi yaitu
: 1) Alat penarik dukungan massa dalam pemilu; 2) Sarana
Rekruitmen orang-orang untuk menduduki pos-pos jabatan
penting di pemerintahan nasional, parlemen maupun lokal; 3)
Pembuat formulasi pilihan politik alternatif bagi publik (Agregasi
Kepentingan); 4) Sabuk pengaman transimisi bagi tuntutan-
tuntutan sosial; 5) Menjadi Delegasi atau wakil dari masyarakat
sipil. Sedangkan menurut Firmanzah fungsi partai politik adalah
:1) Rekrutmen dan Seleksi Pemimpin; 2) Pembuatan Program dan
Opini Publik; 3) Kontrol terhadap pemerintah; 4) Integrasi Sosial
dalam ideologi Politik; 5) Edukasi Politik.

2. Fungsi Partai Politik di Negara Otoriter dan Totaliter


dan Negara Berkembang.
Menurut Sigmun Neumann setidaknya ada dua fungsi
partai politik di negara otoriter atau totaliter, yaitu :
a. Partai berperan dalam mengendalikan segala aspek
kehidupan masyarakat secara monopolistik. Partai komunis
misalnya akan menjalankan peran utama dalam
mengarahkan masyarakat agar sama-sama berusaha
mewujudkan masyarakat komunis. Agar cita-cita tersebut
dapat diwujudkan maka keberadaan partai

25
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
politik yang berbeda ideologi, maupun ideologi lain yang
ada di tengah masyarakat akan ditekan melalui perantara
partai tunggal.
b. Memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu
cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai.
Perbedaan pen- dapat dan ideologi di tengah masyarakat
tidak akan dipelihara, melainkan akan dihilangkan dengan
cara mengarahkan mas- yarakat dalam sebuah ideologi
komunis dan fungsi ini dijalankan oleh partai komunis.

3. Fungsi Partai Politik di Negara Berkembang


Menurut Miriam Budiardjo hanya ada satu fungsi partai
politik yang berjalan efektif di negara berkembang, yakni partai
politik ber- fungsi sebagai sarana integrasi nasional. Partai politik
di negara ber- kembang pada titik tertentu mampu mempersatukan
masyarakat yang berbeda sehingga dapat diajak bekerjasama untuk
kepentingan tertentu. Lebih jauh Budiardjo menjelaskan bahwa
fungsi lain sebagai mana fungsi partai politik di negara demokrasi
maju belum berhasil dijalankan oleh partai politik di negara
berkembang disebabkan lebarnya jarak antara “pemerintah” dan
“diperintah”. Kemudian Budiardjo merinci fungsi-fungsi yang
belum berhasil dijalankan oleh partai politik di negara berkembang:
1) Menjadi alat mengorganisir kekuasaan politik; 2)
Mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah; 3)
Menghubungkan masyarakat umum dengan proses politik; 4)
Merumuskan dan menya- lurkan aspirasi rakyat; 5) Mengatur
konflik kepentingan.
Kenneth Wollack (2002) membenarkan bahwa memang
telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik
di negara berkembang yang ditandai dengan : 1) Partai terlalu
lemah, personalistis, korup dan kurang memperjuangkan aspirasi
masyarakat; 2) Masya- rakat frustasi dengan partai politik, sebab
partai korup dan menyimpang dari kebutuhan masyarakat; 3)
Masyarakat ragu menjadi anggota partai; 4) Dukungan terhadap
partai melemah, sedangkan dukungan
26 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
untuk calon independen menguat dan gerakan anti partai
menguat. Selanjutnya menurut Aurel Croissant, kekecewaan
masyarakat juga terjadi terhadap wakil partai di parlemen di
negara berkembang, misal- nya di Philipina, Indonesia, Thailand,
Kamboja dan Korea Selatan. Hal ini yang disebabkan oleh : 1)
Parlemen—lemah dalam mewakili, kurang tanggap, dan bersifat
inclusive; 2) Ada jarak yang lebar antara keinginan pemilih
dengan wakil partai di parlemen; 3) Wakil partai di parlemen
tidak mampu menjalankan fungsinya secara efektif.

C. Rangkuman
1. Partai politik mempunyai peran berbeda di negara
demokrasi maju, negara otoriter/totaliter maupun negara
berkembang. Partai politik menjalankan berbagai fungsi
penting di negara demokrasi antara lain sarana sosialisasi
politik, rekrutmen politik, edukasi politik, artikulasi
kepentingan, agregasi kepentingan, komunikasi politik,
penghubungan antara masyarakat dan pemerintah,
mengontrol aktivitas pemerintah, integrasi sosial dan
menjadi alat efektif untuk menarik massa dalam pemilu.
2. Partai politik di negara komunis berfungsi sebagai alat
utama untuk mengarahkan masyarakat kepada tujuan
mewujudkan masyarakat komunis, partai politik bukan
sebagai pemadu ke- pentingan, melainkan sebagai alat
pemersatu kepentingan dengan cara menghilangkan
kepentingan yang tidak sejalan dengan kepentingan
partai.
3. Fungsi Partai politik di negara maju belum berhasil
dijalankan oleh partai politik di negara berkembang,
bahkan imej partai politik di masyarakat cenderung
negatif. Hal ini disebabkan perilaku partai politik dan kader
partai politik di parlemen yang korup, tidak mendengarkan
aspirasi masyarakat, menyimpang dari kebutuhan
masyarakat dan selalu memelihara jarak yang lebar dengan
kepentingan masyarakat.
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 27
D. Soal Latihan
1. Jelaskan fungsi Partai Politik di negara demokrasi maju
menurut Konsoulas!
2. Jelaskan fungsi partai politik di negara totaliter komunis
menurut Sigmun Neumann!
3. Jelaskan bentuk krisis partai politik di negara
berkembang menurut Kenneth Wollack!
4. Jelaskan bagaimana perilaku kader partai politik di
parlemen menurut Aurel Croisant!

Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam (2008), Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Firmanzah (2008). Mengelola Partai Politik. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Kartawidjaja, PR & Kusumah MW (2003). Kisah Mini Sistem
Kepartaian. ———: Closs.
Klingeman et al (2000). Partai, Kebijakan dan Demokrasi.
Yogyakarta: Jentera.
Roni, Heriyandi. Demokratisasi Internal Partai Golkar Pasca Orde
Baru (1998-2004 ), Disertasi, Universitas Indonesia, 2006.

28
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 4
Sistem Kepartaian dan Model Sistem
Kepartaian di Asia Tenggara

A. Pendahuluan
Pelaksanaan pemilu di setiap negara demokrasi biasanya
selalu diikuti oleh sejumlah partai politik. Adapun jumlah partai
politik yang selalu mengikuti pemilu di sebuah negara ada kalanya
jumlahnya selalu stabil sedang di negara yang lain sering pula
terlihat jumlah partai politik yang mengikuti pemilu selalu berubah-
ubah. Kestabilan jumlah partai politik yang hadir di setiap negara
menunjukkan kestabilan sistem kepartaian di negara itu. Selain
itu, sistem kepartaian merupakan cermin homogenitas atau
heterogenitas masyarakat sebuah negara, oleh karena itu pada
negara yang masyarakatnya heterogen akan muncul sistem
kepartaian multi partai, sedangkan dalam negara yang
masyarakatnya homogen cenderung muncul sistem kepartaian dua
partai.Adapun model sistem kepartaian yang dipraktekkan di
Indonesia, dari masa orde lama, orde baru dan reformasi,
Indonesia juga memiliki perbedaan. Dalam rangka memudahkan
kita memahami model sistem kepartaian di Indo- nesia, maka kita
perlu mempelajari model-model sistem kepartaian yang
dipraktekkan di negara-negara di asia tenggara yang memang
memiliki model sistem kepartaian yang mirip dengan Indonesia.

29
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Setelah mempelajari bab 4 ini, secara umum mahasiswa
diharap- kan memahami apa yang dimaksud dengan sistem
kepartaian, model- model sistem kepartaian, dan model sistem
kepartaian yang dipraktek- kan negara-negaraAsia Tenggara.
Sedangkan secara khusus mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mengetahui definisi sistem kepartaian dan model-model
sistem kepartaian yang dikemukakan para ahli.
2. Mampu menjelaskan secara teoritik berbagai model
sistem kepartaian yang dikemukakan para ahli.
3. Mengetahui dan memahami factor penyebab terjadinya
sistem kepartaian terten di negara Asia Tenggara.
4. Mampu menjelaskan dan menganalisa model-model
sistem kepartaian yang pernah berlaku di sepanjang
sejaran negara Indonesia.

B. Sistem Kepartaian dan Model Sistem Kepartaian


Menurut Dieter Nohlen dan Elmar Wiesendhal, sistem
kepartaian dipahami sebagai keseluruhan struktur susunan partai-
partai politik di satu negara. Indikator melihat sistem kepartaian
adalah : 1) Jumlah partai yang ada; 2) Derajat fragmentasi atau
pengelompokan partai- partai politik yang ada; 3) Hubungan
ideologis atau derajat polarisasi;
4) Pola interaksi antar partai politik berupa koalisi maupun
oposisi; 5) Hubungan partai dengan masyarakat; 6) Posisi partai
politik terhadap sistem politik yang ada, apakah sebagai
pendukung atau tidak; 7) Derajat kelembagaan sistem kepartaian
atau stabilnya kehadiran partai politik dalam setiap pemilu di
sebuah negara.
Lebih jauh Mair (1996) mengemukakan model-model
sistem kepartaian yang diungkapkan para ahli, berdasarkan
kriteria tertentu sebagai mana dapat dilihat pada tabel 2 berikut
ini:

30
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Tabel 2 : Model-Model Sistem Kepartaian
Penemu Prinsip-Kriteria Klasfikasi Tipe Sistem Kepartaian yang Teridentifikasi
Duverger (1954) Jumlah Partai 1. Sistem dua partai
2. Sistem multi partai.
Dhal (1966) Tingkat kompetisi dalam 1. Kompetisi kuat
beroposisi 2. Kooperatif—kompetisi
3. Koalisi—kompetisi
4. Koalisi kuat
Blondel (1968) Jumlah dan ukuran relatif partai 1. Sistem dua partai.
politik 2. Sistem dua partai dan beberapa partai
kecil.
3. Sistem multi partai dengan satu partai
dominan.
4. Sistem multi partai tanpa partai
dominan

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa Duverger


(1954) menjelaskan tipe sistem kepartaian berdasarkan kriteria
jumlah partai politik di sebuah negara, sehingga ia menemukan
dua tipe sistem kepartaian yakni sistem dua partai dan sistem
multi partai. Kemudian Blondel menjelaskan sistem kepartaian
dengan kriteria jumlah partai politik dan ukuran relatifnya dalam
sebuah negara, sehingga ia me- ngemukakan empat tipe sistem
kepartaian, yakni sistem dua partai, sistem dua partai dan
beberapa partai kecil, sistem multi partai dengan satu partai
dominan dan sistem multipartai tanpa partai dominan. Berbeda
dengan Duverger dan Blondel, Dahl membedakan sistem
kerpartaian berdasarkan tingkat kompetisi dalam beroposisi,
sehingga ia mengemukakan sistem kepartaian dengan kompetisi
kuat, koperatif- kompetisi, koalisi-kompetisi dan koalisi kuat.

C. Sistem Kepartaian di Asia Tenggara


Berdasarkan data FES (2002), maka model sistem
kepartaian dian sistem politik di beberapa negara asia tenggara
dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:

31
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Tabel 3 : Sistem Kepartaian dan Sistem Politik Beberapa
Negara Asia Tenggara
No Nama Negara Sistem Kepartaian Siatem Politik
1 Kamboja Multi Partai Non Demokrasi
2 Malaysia Multi partai Semi demokrasi
3 Singapura Multi Partai Semi demokrasi
4 Philipina Multi Partai Demokrasi
5 Thailand Multi partai Demokrasi

Data di tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa semua


negara tersebut walaupun memiliki model sistem politik yang
berbeda namun memiliki model sistem kepartaian yang sama,
yakni multi partai. Munculnya sistem kepartaian di negara-
negara Asia tenggara tidak bisa dilepaskan dari heterogenitas
masyarakat yang tinggi dalam sebuah negara. Semakin heterogen
sebuah masyarakat, semakin besar peluang lahirnya sistem
kepartaian multi partai di negara tersebut. Malaysia misalnya di
huni oleh tiga etnis besar yakni Melayu, China dan India yang
masing-masing bersaing untuk berkuasa di bidang politik, sehingga
memicu tiga etnis tersebut untuk mendirikan partai politik
untuk memperjuangkan kepentingan politik etnisnya dalam
pembuatan kebijakan pemerintahan nasional maupun lokal.
Berdasarkan tabel 3 di atas juga dapat dilihat bahwa ada
tiga negara memiliki sistem politik yang kurang demokratis, yakni
Singa- pura, Malaysia dan Kamboja, serta ada dua negara
memiliki sistem politik yang demokrasi yakni Philipina dan
Thailand. Menurut Alan Ware ada bebebrapa ciri sistem
kepartaian di negara non demokrasi, yakni :1) Kompetisi antar
partai dalam pemilu berupa kompetisi semu;
2) Sebagian besar partai menggunakan teknik mobilisasi dalam
meraih dukungan; 3) Adakalanya partai bergabung dengan
organisasi lain, misalnya militer; 4) terdapat partai dominan dapat
membatasi aktivitas partai lainnya; 5) sistem kepartaian biasanya
didasarkan ideologi. Sejalan itu, Almond (1996) juga
mengemukakan ciri sistem kepartaian non kompetitif (non
demokrasi/ kompetisi semu), yakni: 1) Tidak ada

32
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
kompetisi antar partai yang berarti dalam pemilu; 2) Koorporasi
partai politik—ada satu partai yang terlalu mendominasi partai
lainnya; 3) rezim militer yang kadang kala bekerjasama dengan
partai dominan.
Berdasarkan literatur setidaknya ada dua bentuk sistem
kepar- taian yang biasanya khas di negara dunia ketiga :
1. Multi Partai tidak Stabil. Menurut Giovanni Sartori, dalam
sistem multi partai tidak stabil, partai politik lebih
merupakan faksi di tengah masyarakat, partai politik tidak
memandang dirinya bagian dari sistem yang disepakati
bersama, tetapi cenderung bertindak sendiri berdasarkan
ideologi yang sempit.
2. Multi partai dengan satu Partai Dominan. Menurut
Konsoulas, partai politik dominan dalam sistem politik ini
mempunyai peran, yakni : 1) Alat efektif untuk melakukan
sosialiasi politik men- dukung pemerintahan; 2) Alat utama
pendukung integrasi nasio- nal; 3) alat pendukung
modernisasi ekonomi; 4) Meligitimasi pemerintahan
berkuasa; 5) Menekan partai yang menjadi sai- ngan, agar
tetap menjadi partai dominan dalam sistem politik.

D. Aplikasi Sistem Kepartaian di Asia Tenggara


1. Kamboja.
Sistem politik di Kamboja dinilai tidak demokrasi,
disebabkan kuatnya intervensi militer dibidang politik. Menurut
Kessie Neou di Kamboja tahun 1993 terjadi koalisi partai
politik yang diwarnai intervensi militer terhadap partai politik.
Ada tiga partai politik di Kamboja, yakni CPP (Cambodian
People Party), Funcipec ( Front Uni National Four un
Canbodge Independent, Neutre, Pecifique et Cooperatif) dan
SRP ( Sam Rainsy Party). Sistem pemilu yang dipakai adalah
sistem pemilu proporsional terbuka dengan multi member di
setiap daerah pemilihan, yang selalu membuka munculnya sistem
kepartaian multi partai. Partai-partai politik yang ada tidak
mampu bekerja sama dalam sebuah koalisi yang stabil. Di tahun
1993,
33
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
terjadi koalisi pemerintahan antara partai Funcinpec (45%) dan
CPP (38%). Walaupun, CPP pimpinan Hunsen bukan partai
pemenang pemilu, namun dalam menjalankan pemerintahan
CPP lebih berpe- ngaruh dan mendapat dukungan dari pihak militer
dibandingkan Funcipec. Ketika terjadi konflik antara Funcipec dan
CPP, militer mendukung CPP dan memaksa Funcipec keluar dari
pemerintahan dan menjadi partai oposisi. Kemudian pada
Pemilu 1998, CPP keluar sebagai pemenang pemilu dengan
perolehan suara sebesar 41%, Funcipec sebanyak 37% dan SRP
sebesar 14%. Disebabkan tidak ada partai mayoritas, CPP dan
Funcipec kembali berkoalisi dalam pemerintahan.

2. Malaysia
Sistem politik di Malaysia adalah semu demokrasi yang
diantaranya ditandai tidak adanya kompetisi yang jujur dan adil
dalam pemilu. Menurut Lim Hong Hai (2002), sistem kepartaian
di Malaysia adalah sistem multi partai dan sampai Pemilu 1999,
ada dua koalisi partai politik, yakni koalisi partai memerintah yang
dinamakan Barisan Nasional (UMNO ,MCA dan beberapa partai
kecil) dan koalisi partai oposisi yang terdiri dari PAS, DAP, dan
beberapa partai kecil lainnya. Koalisi Partai pemerintah selalu
berusaha melakukan tindakan non demokratis agar partai
oposisi tidak berkembang dengan cara :1) Membuat aturan
sistem pemilu Plurality Single Member District (FPTP)—
menguntungkan partai besar (berkuasa); 2) Mempengaruhi agar
lembaga penyelenggara pemilu agar tidak memproses protes
kelompok oposisi; 3) Melakukan kampanye negatif—fitnah
terhadap partai koalisi; 4) Ada tuduhan Kelompok oposisi
bahwa partai berkuasa merekayasa jumlah pemilih, serta
melakukan berbagai kecurangan dalam pelaksanaan pemilu.
Walaupun demikian, partai oposisi tetap berpartisipasi dalam
pemilu.

34
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
3. Singapura
Sistem politik di Singapura juga semu demokrasi dengan
ditandai adanya praktek-praktek politik yang non demokratis yang
dilakukan oleh satu partai dominan bekerjasama dengan
pemerintah. Menurut Yeo Lay Hwee, sistem kepartaian di
Singapura adalah sistem multi partai dengan satu partai dominan
yakni Partai Aksi (PAP) . Dalam setiap pemilu PAP selalu
mayoritas ( > 50%) mengalahkan partai SDP, SPP, NSP dan lain-
lain. Singapura memakai sistem pemilu Plurality- FPTP, yang
tentunya akan menguntungkan partai politik yang dominan. Ada
beberapa faktor yang membuat PAP selalu mendapat kemenangan
dalam Pemilu di Singapura, yakni : 1) Mampu memediasi
perbedaan ras dan kepentingan; 2) Selama PAP memerintah
ekonomi maju pesat dan pelayanan dan kehidupan sosial makin
baik; 3) Pimpinan PAP tidak korup dan melakukan pelayanan
publik dengan baik; 4) Ke- kuatan paksaan koersif terhadap
oposisi tidak diperlihatkan; 5) Inter- vensi dan penangkapan
oposisi oleh pihak keamanan Singapura; 6) Pengawasan
pemerintahan PAP terhadap media massa; 7) Pemberaian rumah
dan Apartemen bagi pemilih PAP oleh pemerintah; 8) Peme-
rintahan PAP, Mengawasi diskusi politik tentang partai politik;
9) Kooptasi semua organisasi dan kelompok kepentingan oleh
peme- rintahan PAP; 10) Memberikan nomor seri pada kertas
suara, sehingga para pemilih partai oposisi diketahui oleh
pemerintah.

4. Philipina
Sistem politik di Philipa lebih demokratis dengan sistem
ke- partaian multi partai dan terjadi kompetisi antar partai
politik yang cukup berarti dalam pemilu. Menurut Julio Teehankee
(2002) di sistem kepartaian multipartai yg kompetitif berlangsung di
Philipina, termasuk pada Pemilu legislatif tahun 2001. Sebagai
hasil pemilu tahun 2001 maka terbentuk terbentuk dua koalisi
besar, yakni koalisi partai meme- rintah yang terdiri dari partai
Lakas NUCD-UMPD, LP, Reforma
35
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
LM dan lain-lain, sedangkan koalisi partai oposisi terdiri dari
partai LDP dan LAMMP. Persaingan antar partai politik dalam
pemilu tetap memungkin partai-partai politik di Philipina untuk
berkoalisi. Walaupun menggunakan sistem pemilu FPTP, yang
sebenarnya menguntungkan partai besar namun partai-partai kecil
tetap mendapatkan suara, sebab mereka mengambil penguasa-
penguasa lokal yang berpengaruh untuk menjadi calon
legislatifnya. Pemanfaatan penguasa lokal sebagai calon legislatif
oleh partai-partai politik semakin memperkuat politik dinasty yang
telah terjadi di Philipa selama ini.

5. Thailand.
Sistem politik di Thailand cukup demokratis, namum
menghasil- kan sistem multi partai yang tidak stabil.Menurut
Orathai Kockpol pemerintahan di Thailand disusun berdasarkan
koalisi partai-partai tidak stabil yang ditandai dengan terjadinya 2
kali pergantian Perdana Menteri dan 3 kali reshufle kabinet sejak
tahun 1995 sampai dengan tahun 2001. Misalnya Perdana
Menteri Taksin Shinawatra dari thai rak thai sering terlihat tidak
mau berkompromi dengan koalisinya di parlemen, akibatnya
partai-partai koalisi menarik dukungan sehingga menyebabkan
kabinet menjadi jatuh. Selain itu, kekuatan masyarakat sipil sangat
kuat di Thailand bahkan kekuatan ini tidak jarang mampu
mengalahkan peran pemerintah dan partai politik.

E. Rangkuman
1. Sistem kepartaian didefinisikan sebagai keluruhan struktur
partai politik yang ada di sebuah negara. Klasifikasi sistem
kepartaian secara umum dibedakan berdasarkan jumlah
partai politik dan ukuran relatifnya pada sebuah negara.
Jenis sistem kepartaian antara lain : dua partai, dua partai
dengan beberapa partai kecil, multi partai dengan satu
partai dominan dan multi partai tanpa partai dominan.

36
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
2. Secara umum di negara-negara asia tenggara, muncul
sistem kepartaian multi partai tanpa partai dominan seperti di
Kamboja, Malaysia, Philipina, Thailand dan multi partai
dengan satu partai dominan di Singapura.

F. Soal Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian!
2. Jelaskan tipe sistem kepartaian yang di kemukakan Blondel!
3. Jelaskan dua model sistem kepartaian yang biasanya
muncul di negara dunia ketiga, termasuk di negara-negara
Asia tenggara!
4. Jelaskan faktor yang menyebabkan PAP selalu menjadi
partai dominan di Singapura!

Daftar Pustaka
Almond, Gabriel dan Powell, Bingham Jr. 1996. Comparative
Politics Today : A World View, Harper Collins College
Publisher.
Kartawidjaja, PR & Kusumah MW (2003). Kisah Mini Sistem
Kepartaian. ———: Closs
Stiftung, FE (2002). Electoral Politics in Southeast an East Asia.
Singapore: South East Printing Pte Ltd.
Taylor, RH (1996). The politics of elections in Southeast Asia. USA
: Woodrow Wilson Center and Cambridge.
Ware, Alan (1996). Political Parties and party Sistem. Britain :
Oxford University Press.

37
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 5
Dinamika Partai Politik di Indonesia:
Pra Kemerdekaan dan Orde Lama

A. Pendahuluan
Peran partai politik dan pimpinan partai politik di awal
kemer- dekaan sangat penting, bahkan peran partai politik
semakin starategis setelah sistem pemerintahan berubah dari
presidensiil ke parlementer yang dikenal dengan era demokrasi
parlementer. Pada masa itu, partai- partai politik lah yang
membentuk kabinet dan menentukan jalannya pemerintahan.
Namun disebabkan peran yang besar, tetapi belum diikuti oleh
kedewasaan berpolitik, membuat koalisi partai politik di kabinet
tidak berhasil menjalankan pemerintahan secara efektif. Adanya
kebebasan mendirikan partai politik, menyebabkan
terbentuknya sistem kepartaian multi partai tanpa partai dominan
di era demokrasi parlementer.
Secara umum setelah mempelajari bab 5 ini mahasiswa
diharap- kan mampu memahami sejarah munculnya partai politik
dan dinamika partai politik di era orde lama di Indonesia. Secara
khusus mahasiswa diharapkan dapat:
1. Mengetahui dinamika berubahnya organisasi pra
kemerdekaan menjadi partai politik setelah Indonesia
merdeka.

38
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
2. Mengetahui faktor pendukung hadirnya sistem kepartaian
multi partai di era orde lama.
3. Mengetahui perilaku partai politik di era orde lama.
4. Mengetahui dinamika partai politik yang terjadi dari
demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin.

B. Cikal Bakal Partai Politik di Era Pra Kemerdekaan


Pada masa penjajahan Belanda sebenarnya sudah ada
organisasi yang menempatkan wakilnya di parwakilan (parlemen),
namun penem- patan wakil di parlemen tersebut tidak melalui
pemilihan umum, yang memang pada masa penjajahan Belanda
tidak pernah dilaksanakan. Selain ini badan perwakilan yang
terbentuk juga tidak dilengkapi fungsi elementer parlemen seperti
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, sehingga perannya
badan ini tidak terlalu menonjol. Adapun lembaga perwakilan di
masa Belanda ini dinamakan Volksraad dan didalam badan
tersebut perwakilan organisasi pribumi dibolehkan secara terbatas.
Artinya jumlah wakil kaum penjajah (Belanda) selalu
mayoritas dibandingkan wakil kaum pribumi. Pada tahun 1918,
Volksraad terdiri dari 38 orang anggota dan 1 orang ketua, dari
38 orang anggota Volksraad, 15 orang diantaranya adalah wakil
pribumi, yakni Budi Utomo, Sarekat Islam dan beberapa
kalangan lainnya. Tahun 1931, muncul tuntutan dari kaum
pribumi agar wakil kaum pribumi di tambah di Volksraad,
merespon tuntutan tersebut Belanda mengubah kom- posisi
Volksraad, dengan menambah anggota Volksraad menjadi 60
orang ditambah 1 orang ketua. Selanjutnya 30 orang anggota
Volksraad diambil dari kaum pribumi.
Selain Budi Utomo dan Sarekat Islam yang menempatkan
wakil- nya di Volksraad, ada juga organisasi yang didirikan atas
dasarkan ideologi yang setelah Indonesia merdeka resmi di akui
sebagai partai politik. Organisasi tersebut dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:

39
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Tabel 4 : Organisasi Cikal Bakal Partai Politik Di
Indonesia Setelah Kemerdekaan
Organisasi/ Partai Tahun Berdiri Ideologi
Indische partij 1912 Kebangsaan
VABB 1911 Pro Belanda
NIVB 1916 Pro Pribumi
CEP 1917 Kristen Protestan
IKP 1918 Katolik
ISDP 1917 Sosial demokrat
ISDV 1919 Komunis
PKI 1920 Komunis
PARI 1927 Komunis
PNI 1927 Nasionalis
Partindo 1931 Nasionalis
PNI baru 1931 Nasionalis
Masyumi 1943 Islam

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa organisasi yang


menjadi cikal bakal partai politik di Indonesia mulai didirikan
pada tahun 1912 dan organisasi tersebut telah memiliki ideology
tertentu yang nantinya menjadi dasar perjuangan partai itu. Namun
partai politik modern dan yang benar-benar bersaing sebagai
partai politik pada pemilu 1955, baru mulai berdiri sejak tahun
1920-an, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan,
kemudian berdiri PARI di tahun 1927 dan diikuti oleh organisasi/
partai lainnya. Selanjutnya pada 1939 terjadi kerjasama partai
politik yang ideologi atau aliran politiknya sama, misalnya
berdiri GAPI yang merupakan gabungan partai-partai beraliran
nasional dan MIAI (Majelisul Islamil A’laa Indonesia)
membentuk KRI (Komite Rakyat Indonesia) yang berusaha
menjadi payung bagi partai-partai Islam.

C. Partai Politik di Era Demokrasi Parlementer


Partai politik lahir di Indoensia pada dasarnya sebagai alat
integ- rasi masyarakat untuk memperkuat perjuangan
mempertahankan kemerdekaan. Partai politik lahir atas Ide
Sjahrir yang mengusulkan pendirian partai politik dilegalkan dan
NKRI sebagai alat perjuangan untuk menggerakan revolusi
dengan tepat dan teratur, pimpinan harus

40
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
merupakan balatentara yang berbentengkan idiologi dan
pengetahuan yang tersusun rapi dalam suatu partai revolusioner.
Disebabkan kebutuhan mendapatkan dukungan dan pengakuan
sebagai sebuah negara yang merdeka dari negara pemenang
perang Dunia II dan menghilangkan kesan Indonesia sebagai
negara boneka Jepang, maka BPKNIP mengusulkan kepada
pemerintah untuk membentuk sistem kepartaian multi partai
dengan memberikan kebebasan yang luas untuk mendirikan partai-
partai politik dan mengubah sistem pemerintahan menjadi sistem
parlementer layaknya negara pemenang dunia II.
Usul BPKNIP tersebut setujui oleh pemerintah, dengan
menge- luarkan maklumat pemerintah no. X 1945 tentang
kebebasan men- dirikan partai politik yang berbunyi : pemerintah
menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya
partai politik itulah segala aliran paham yang ada dalam
masyarakat dapat dipimpin secara teratur. Diharapkan bahwa
partai-partai telah tersusun sebelum dilangsung- kannya pemilihan
umum tahun 1946. Keluarnya maklumat ini menjadi payung
hukum bagi lahirnya banyak partai politik di Indonesia, sehingga
Indonesia menjadi sebuah negara dengan sistem kepartaian multi
partai. Menurut Arbi Sanit, tujuan BPKNIP menuntut
pemerintah supaya memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada rakyat untuk men- dirikan partai-partai politik dengan
harapan partai-partai politik tersebut memperkuat perjuangan
mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai tindaklanjut usul BPKNIP, pemerintah
mengeluarkan dekrit pemerintah tanggal 14 Nov 1945 yang
mengamanatkan pengu- bahan sistem pemerintahan dari
presidensiil ke parlementer yang ditandai dengan menteri
bertanggungjawab kepada KNIP sebagai wakil rakyat. Semua
ini untuk menunjukkan di mata sekutu bahwa Indonesia benar-
benar terbebas dari pengaruh Jepang. Untuk menun- jukkan
keseriusan membangun kesan tersebut, maka Sjahrir yang
dikenal dengan tokoh non kolaboratif dengan penjajah ditunjuk
sebagai perdana menteri yang pertama. Kemudian Sjahrir
membentuk kabinet yang di isi oleh tokoh-tokoh partai sosialis
dan tokoh non partai.
41
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
kebijakan Sjahrir, yang memilih menteri kabinet dipilih bukan
atas pertimbangan kekuatan partai politik yang ada, melainkan
atas kede- katan personal dan ideologis membuat lemahnya
dukungan kalangan partai politik di KNIP terhadap kabinet
Sjahrir. Partai politik yang besar saat ini yakni PNI (Sarmidi
mangunsarkoro), Masyumi (Sukiman Wirjosanjdojo), Partai
sosialis (Sjahrir) dan PKI tidak menyukai kebi- jakan sjarir yang
tidak mempertimbangkan mereka dalam pemben- tukan kabinet,
sehigga kabinet Sjahrir jatuh dan digantikan kabinet Amir
Sjarifudin tahun 1947.
Perilaku tokoh-tokoh partai politik yang saling bersaing di
era demokrasi parlementer, membuat kabinet jatuh bangun
sehingga pemerintahan tidak berjalan efektif. Kabinet di isi oleh
gabungan partai- partai politik yang tidak mau berkoalisi secara
stabil. Berikut ini digambarkan pergantian kabinet di era
demokrasi parlementer :
Tabel 5 : Pergantian Kabinet di Era Demokrasi Parlemeter
Tahun 1949-1959
No Nama kabinet Perdana Menteri Partai Pendukung Masa kerja
1 RIS Hatta PNI-Masjumi 1949-1950
2 Natsir Natsir Masjumi-PIR 1950-1951
3 Sukiman Sukiman Masjumi-PNI 1951-1952
4 Wilopo Wilopo PNI-Masjumi 1952-1953
5 Ali sastroamidjojo I Ali sastroamidjojo PNI, NU, PIR 1953-1955
6 Burhanuddin Harahap Burhanuddin Harahap Masjumi, NU, PSII 1955-1956
7 Ali sastroamidjojo II Ali sastroamidjojo PNI, Masjumi, NU 1956-1957
8 Djuanda Djuanda PNI 1957-1959

Dalam tabel 5 tersebut dapat dilihat bahwa kabinet di era


demokrasi parlementer rata-rata hanya berumur 1 tahun, hal ini
menyebabkan pemerintahan tidak berjalan efektif dan keadaan
ekonomi dalam negeri menjadi memburuk.
Berikut ini di uraikan beberapa pendapat ahli tentang
kisruhnya peran partai politik dan kabinet di era demokrasi
parlementer. Menurut Miriam Budiardjo, penyebab krisis dalam
kabinet era demokrasi

42
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
parlementer antara lain adalah :
1. Partai-partai yang bersaing tidak ada yang mendapatkan
suara mayoritas di parlemen, sehingga untuk membentuk
kabinet, partai-partai harus berkoalisi dg partai lain
membentuk kabinet.
2. Tidak ada loyalitas dalam koalisi, setiap berbeda
pandangan dengan kinerja kabinet disikapi partai-partai
koalisi dengan langsung menarik dukungan, sehingga
kabinet jatuh.
3. Sikap partai yang tidak konsisten, ketika sebuah partai
menjadi partai oposisi, partai tersebut tidak menarik
menteri di kabinet dengan alasan kadernya menjadi menteri
disebabkan kedekatan pribadi, bukan disebabkan pengaruh
partainya.
4. Loyalitas anggota terhadap partai tipis, ketika anggota
berpe- ngaruh tidak mendapatkan jabatan di kabinet,
anggota partai tersebut membuat partai baru dan hal ini
mempertajam frag- mentasi partai.
Kemudian Lucian Pye juga mengemukakan beberapa
penyakit partai politik di masa demokrasi parlementer, yakni: 1)
Orientasi partai politik pada ideologi bukan program; 2) partai
lebih mengutamakan kepentingan kelompok dan memprovokasi
rakyat untuk mendukung melindungi kepentingan tersebut; 3)
Pemimpin partai politik diangkat dipusat, sehingga mereka tidak
merasa bertanggungjawab kepada pemilih. Sejalan dengan itu,
Giovanni Sartori berpendapat bahwa sistem multi partai tidak stabil
disebabkan oleh partai politik lebih merupakan faksi ditengah
masyarakat, partai politik tidak memandang dirinya bagian dari
sistem yang disepakati bersama, tetapi cenderung bertindak sendiri
berdasarkan ideologi yang sempit.

D. Partai Politik di Era Demokrasi Terpimpin


Ide demokrasi terpimpin dicetuskan oleh presiden
Soekarno karena kecewa melihat sikap kader partai politik di
parlemen yang sering membuat kabinet jatuh bangun,
pemerintahan tidak efektif,
43
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
keadaan ekonomi memburuk. Kekecewaan priseden dimulai di
tahun 1956, ketika PKI sebagai salah satu partai besar pemenang
pemilu tidak diikutsertakan dalam kabinet. Kemudian pada
tanggal 28 Okt 1956, Presiden Soekarno berpidator yang berjudul
mengubur partai- partai dan ia menawarkan konsep demokrasi
terpimpin (geleide demo- cratie). Atas usul Presiden soekarno ini
PKI, Murba, TNI AD dan PNI menyatakan dukungannya,
sedangkan NU, PSII, Parkindo, IPKI bersikap menolak berhati-
hati, sebaliknya Masyumi, PSI, P. Katolik,
M. Hatta menolak tegas usulan tersebut. Namun presiden
soekarno tetap melanjutkan konsep demokrasi terpimpin yang
kemudian efektif melalui dekrit presiden 5 Juli 1959.
Pada dasarnya konsep demokrasi terpimpin merupakan
usaha presiden soekarno untuk menghilangkan peran partai politik
di parlemen maupun di kabinet. Usaha mengkonkritkan usul
demokrasi terpimpin pada 21 Feb 1957 dimulai dengan usul
membentuk kabinet gotong royong yang berisi wakil seluruh
partai politik di parlemen dan membentuk dewan nasional yang
mewakili semua wakil golongan fungsional. Pada tanggal, 9
April 1957 presiden membentuk kabinet Juanda, dengan
memasukkan tokoh-tokoh non partai di tambah tokoh partai
politik PNI dan NU). Usaha menghilangkan peran partai di
kabinet dilanjutkan pada bulan juli 1959 dengan membentuk
kabinet kerja yang diisi oleh pengikut Soekarno (non partai) dan
TNI AD. Usaha menghilangkan peran partai politik di parlemen
mendapatkan momen ketika pemberontakan di daerah meluas,
DPR hasil Pemilu 1955 lumpuh sehingga negara dalam keadaan
darurat, maka pada tanggal 14-15 Agustus 1958, presiden
Soekarno membentuk DPR baru yang sebagian besar berisi
golongan fungsional dan membuat UU kepartaian baru
membolehkan partisipasi golongan fungsional.Akibat dua kebijakan
tersebut peran partai politik di parlemen sudah jauh berkurang.
Selain itu, presiden soekarno juga berusaha mengurangi
jumlah partai politik dengan hanya mengakui10 Partai dari 26
partai peserta Pemilu 1955, yakni: PNI, NU, PKI, Parkindo, P.
Katolik, PSII, Perti,
44
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Murba, IPKI dan Parkindo yang berhak atas 47,4% anggota
DPR- GR, sedangkan 52,6% anggota DPR-GR diambil dari
golongan fungsional. Kemudian mengeluarkan Perpres No. 7/1959
yang isinya bertujuan untuk menyederhanakan partai politik,
sedangkan Masyumi dan PSI dibubarkan sebab dianggap terlibat
PRRI Semesta. Presiden Soekarno— berhasil mematahlan kendali
partai politik di kabinet dan Parlemen.
Presiden Soekarno berhasil mematahlan kendali partai politik
di kabinet dan Parlemen namun beliau tidak berhasil mengubur
partai- partai politik sebab presiden butuh dukungan partai melalui
massanya untuk menghadapi hubungannya yang sering tegang
dengan TNI AD. PKI sebagai sebuah partai yang militan dibiarkan
berkembang sebagai penyeimbang TNI AD sehingga pada tahun
1965 PKI menunjukkan diri sebagai partai dominan di parlemen,
kabinet, massa bahkan dalam TNI.

E. Rangkuman
1. Sebelum kemerdekaan sudah ada organisasi yang mirip
partai politik dengan menempatkan wakilnya di Volkraad
(badan Per- wakilan) zaman Belanda, diantaranya Budi
Utomo dan Sarekat Islam. Selanjutnya di tahun 1920-an,
muncul organisasi-organisasi yang menjadi cikal bakal
partai politik di masa Indonesia merdeka, misalnya PKI,
PNI dll.
2. Sistem kepartaian di era demokrasi parlementer adalah
sistem multi partai tidak stabil yang ditandai jatuh
bangunnya kabinet disebabkan perilaku elit partai politik
yang terlalu berorientasi kepentingan ideologi dan
kepentingan kelompok.
3. Di masa demokrasi terpimpin, presiden soekarno
berusaha mengurangi peran partai politik di parlemen,
mengurangi peran partai politik di kabinet dan berusaha
menguragi jumlah partai politik.

45
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
F. Soal Latihan
1. Jelaskan dasar munculnya partai politik dan sistem
kepartaian di awal kemerdekaan!
2. Jelaskan apa penyebab sistem kepartaian tidak stabil di
era demokrasi parlementer menurut Miriam Budiardjo!
3. Jelaskan usaha-usaha yang dilakukan oleh presiden
Soekarno untuk mengurangi peran partai politik di kabinet
maupun di parlemen!
4. Jelaskan faktor yang menyebabkan presiden Soekarno
tetap membiarkan PKI berkembang sampai tahun 1965!

Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Feith Herbert (1999). Pemilihan Umum 1955. Jakarta: KPG.
Hamid, AF (2008). Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi
Politik dalam Negara Kebangsaan. Jakarta (Kemitraan).
Karim, M.R et. al (1983). Perjalanan Partai Politik di Indonesia.
Jakarta: CV. Rajawali.
Jurnal Ilmu Politik Volume 13 tahun 1993, AIPI dan LIPI, Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama.

46
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 6
Dinamika Partai Politik di Indonesia:
Orde Baru dan Reformasi

A. Pendahuluan
Berlakunya sistem politik otoriter dimasa orde baru secara
langsung mempengaruhi dinamika partai politik yang ada pada
masa itu. Di masa orde baru, penguasa melakukan berbagai upaya
non demokratis agar partai politik yang bukan pendukung
pemerintah tidak ber- kembang, bahkan menjadi bonsai. Di era
orde baru muncul sistem kepartaian multi partai dengan satu
partai dominan, yakni golongan karya. Sebaliknya di era
reformasi berlaku sistem politik yang lebih demokratis, sehingga
memunculkan sistem kepartaian multi partai tanpa partai dominan
mirip sistem kepartaian pada pemilu 1955. Dinamika partai
politik di masa ini menarik untuk dibahas, adanya perbedaan
sistem politik yang bertolak belakang di dua era ini.
Setelah mempelajari bab 6 ini secara umum mahasiswa
diharap- kan dapat memahami dinamika partai politik dan sistem
kepartaian yang terbentuk pada masa orde baru dan orde
reformasi. Sedangkan secara khusus mahasiswa diharapkan
dapat:
1. Mengetahui upaya-upaya penyederhanaan partai politik
yang dilakukan oleh pemerintah orde baru, sehingga
muncul sistem kepartaian multi partai dengan satu partai
dominan.

47
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
2. Mengetahui factor pendukung munculnya sistem
kepartaian multi partai tanpa partai politik dominan di era
reformasi.
3. Mengetahui metode penyederhanaan partai politik yang
dilakukan di era reformasi.

B. Partai Politik di Era Orde Baru


Era orde baru ditandai dengan mulai berkuasanya Soeharto
di tahun 1965 sampai dengan tahun 1998. Kehidupan partai
politik di masa orde baru ditandai dengan berbagai usaha
penguasa untuk me- ngurangi jumlah dan peran partai politik di
parlemen, di kabinet dan dalam aktivitas akar rumput. Kisah
pengurangan jumlah partai politik dimulai ketika soeharto
membekukan PKI dan Partindo yang diduga kuat terlibat dalam
gerakan 30 September 1965 berdasarkan surat perintah sebelas
maret dari presiden Soekarno yang sampai saat ini masih
kontroversi apa isi perintah yang sebenarnya ada dalam surat
tersebut.
Kemudian usaha mengurangi jumlah partai politik terus
diupaya- kan oleh penguasa sebelum pemilu 1971. Usaha
tersebut antara lain adalah mendesak PNI yang dianggap dekat
Soekarno untuk mem- bekukan diri di tahun 1967. Kemudian
penguasa menolak rehabilitasi Partai Masyumi di tahun 1968.
Selanjutnya Parmusi yang dianggap warisan Masyumi ditetapkan
pimpinannya oleh pemerintah orde baru tahun 1970. Keinginan
Hatta dan aktivis HMI untuk mendirikan Partai baru PDII ditolak
pendirian status hukumnya oleh pemerintah orde baru. Rencana
kongres umat Islam tahun 1969 untuk membangkitkan kembali
Partai Masyumi dilarang dan banyak anggota Masyumi dibuat
tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Selain itu penguasa orde baru juga ingin mempunyai “partai
politik” sendiri yang dibesarkan melalui cara-cara yang tidak fair.
Kendaraan tersebut adalah golangan karya, yang dijadikan
“partai” pendukung penguasa dengan tujuan memperoleh
dukungan massa dalam pemilu.
48 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Untuk membesarkan golongan karya, penguasa orde baru
memberi- kan fasilitas yang luar biasa termasuk dukungan
peraturan perundangan dan didukung oleh militer untuk menindas
partai-partai politik yang menjadi pesaing politik Golongan
Karya agar kalah dalam Pemilu. Pegawai negeri yang selama ini
menjadi pendukung PNI dilarang menjadi anggota partai politik
berdasarkan Peraturan Menteri No. 12 Tahun 1969. Kemudian
militer menekan basis-basis PKI, dan Masyumi di desa-desa
untuk berpaling mendukung Golkar.
Selain itu penguasa orde baru melalui Ali Murtopo
mengusulkan RUU pemilu tahun 1967 kepada parlemen yang
intinya menguntungkan Golongan Karya dan ABRI, yakni
pemakaian sistem pemilihan distrik, ABRI mendapatkan kursi di
DPR tanpa ikut Pemilu dan menjadikan Pancasila sebagai satu-
satunya asas partai dan ormas. Namun usul Ali Murtopo tersebut
mendapat tentangan keras dari partai politik, namun tetap diperoleh
kesepakatan pada tahun 1967 yakni penggunaan sistem pemilu
proporsional dan presiden berhak mengangkat 100 kursi Parle-
men dengan komposisi 75ABRI dan 25 nonABRI. Kemudian
Soeharto diangkat jadi presiden tanggal 27 Maret 1968 dan
Pemilu ditunda menjadi tahun 1971.
Pada Pemilu tahun 1971 Pemilu 3 juli 1971 : Golkar (62,82%),
NU (18,67%), Parmusi (7,36%), PNI (6,93%) dan 6 partai
lainnya dibawah 5%. Kemudian sesuai kesepakatan 100 kursi
parlemen diserahkan kepada 75 kursi untuk ABRI, dan 25 kursi
kalangan yang lainnya sesuai keinginan penguasa orde baru.
Kemenangan Golongan karya ini ditambah 100 kursi parlemen
memudahkan Soeharto kembali berkuasa dan usaha-usaha
mengurangi jumlah partai politik dilanjutkan dengan agenda fusi
partai politik di tahun 1975. Partai politik yang ada “dipaksa”
bergabung ke dalam 3 kelompok dan memakai azas tunggal
pancasila berdasarkan UU No.3 tahun 1975. Dampak dari
Undang-Undang tersebut Indonesia hanya memiliki 3 partai
politik yakni :

49
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
1. Golongan Nasionalis terdiri dari Partai Katolik, Parkindo,
PNI, IPKI dan Murba Bersatu dalam Partai Demokrasi
Indonesia (PDI)
2. Golongan Spritual yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan
Perti bersatu dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
3. Golongan Karya.
Kebijakan mengharuskan fusi partai dan pemakaian azas
tunggal Pancasila ini menyulitkan partai PDI dan PPP dan
menguntungkan partai Golkar. Basis fanatis islam kehilangan
minat memilih PPP, sebab PPP azasnya sudah berubah menjadi
pancasila, demikan juga dengan basis massa fanatik nasionalis
kehilangan minat untuk memilih PDI, sebab PDI azasnya pun
sudah pancasila juga. Sedangkan Golkar merupakan pihak
diuntungkan, dengan keluarnya basis massa fanatic masing-
masing partai tersebut, semakin memudahkan Golkar meme-
nangkan Pemilu. Menurut Deliar Noer, pemakaian asas tunggal
Pancasila menimbulkan masalah, yakni :1) Menafikan adanya
perbedaan paham dalam masyarakat; 2) Menghalangi orang yang
satu paham berkelompok memperjuangkan pahamnya; 3)
Menafikan hubungan antara agama dan politik—sekulerisasi; 4)
Mengandung kecenderungan kearah partai tunggal; 5)
Menghalangi berkembangnya paham-paham yang bersumber
agama dalam kegiatan politik.
Setelah pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 Golkar
selalu mendapatkan suara di atas 50% di setiap pemilu,
sedangkan PPP dan PDI tidak banyak memperoleh suara secara
nasional maupun lokal. Artinya sistem kepartaian kita di masa
orde baru adalah sistem kepar- taian multi parati dengan satu
partai dominan, yakni Golkar. Menurut Mochtar Mas’oed ada 6
Strategi yang dilakukan oleh penguasa orde baru untuk
mengendalikan partai politik saingan Golongan Karya, yakni: 1)
adanya mekanisme recall anggota parlemen oleh ketua partai atas
permintaan pemerintah; 2) Seleksi pimpinan partai harus mendapat
clearance (persetujuan) dari pemerintah; 3) Intervensi dalam
kongres
50
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
partai, agar calon yang tidak disetujui pemerintah tidak dapat dipilih;
4) Pegawai negeri dicegah menjadi anggota PPP dan PDI,
tetapi dianjurkan memilih Golkar; 5) Mencegah partai
mengorganisasikan massa sampai ke tingkat desa; 6) Melakukan
penelitian khusus ter- hadap Calon legislatif dan menyingkirkan
Calon Legislatif yang dianggap bertentangan dengan pemerintah.
Partai politik di era orde baru tidak dapat
mengembangkan dirinya secara optimal disebabkan berbagai
rekayasa oleh penguasa. Ada pun kondisi PDI dimasa Orde baru
menurut Abdul Majid antara lain: 1) Tidak mendapat
kesempatan untuk mencerdaskan dan meningkatkan kesadaran
politik dan kesadaran ideologi rakyat; 2) Kehilangan otonomi
untuk mengatur rumah tangga sendiri; 3) Kehilangan
kemerdekaan memilih pemimpin sendiri; 4) Tidak mampu
melakukan pengawasan secara teliti dan objektif terhadap
pelaksana pemerintahan; 5) Mengalami hambatan dan sumbatan
dalam melak- sanakan dan mewujudkan kedaulatan anggota
dengan sewajarnya dalam tubuh sendiri. Disebabkan berbagai
rekayasa penguasa orde baru dan kroni-kroninya, maka Golongan
Karya selalu menang mutlak dalam setiap pemilu.

C. Partai Politik di Era Reformasi


Di era reformasi terdapat kebebasan mendirikan partai
politik, akibatnya ratusan partai politik berdiri untuk menghadapi
pemilu 1999, namun setelah dilakukan verifikasi oleh panitia
penyelenggara pemilu nasional yang berhak menjadi peserta
pemilu 1999 hanya 48 partai politik. Hasil pemilu 1999
menunjukkan tidak adanya partai mayoritas dan kembalinya
hubungan ideologis antara massa pemilih dengan partai politik
reingkarnasi partai politik tahun 1955. W. Liddle menjelaskan
bahwa basis massa Partai pemenang Pemilu 1999 antara lain
PDIP mendapatkan 35% suara secara nasional berasal dari suara
basis PNI; PKB mendapatkan basis massa NU; PAN
mendapatkan basis

51
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
modernis Muhammadiyah; PBB mendapatkan basis massa
masyumi; PPP mendapatkan basis massa umat Islam;
sedangkan Golkar mendapatkan suara dari pemilihnya yang loyal.
Kehadiran partai politik yang demikian banyak dan tidak ada partai
yang mayoritas, menunjuk- kan sistem kepartaian di masa
reformasi adalah multi partai tanpa partai mayoritas.
Dalam persaingan untuk merebut kekuasaan sebagai
presiden dan ketua MPR, parati politik terbagi kedalam tiga
kekuatan politik utama, yaitu: 1) Kelompok Megawati (PDIP,
PKP, PBTI, PDKB, PNI-M, PNI F-M = 168); 2) Kelompok
Habibie (Golkar, TNI, PDI, IPKI, PDR, PP = 163); 2) Poros
Tengah (PPP, PKB, PAN, PBB,
PK, PKU, PSII, PNU = 169). Persaingan dalam merebut
jabatan presiden dan ketua MPR dimenangkan oleh poros tengah
yang mampu melobi kelompok Habibie. Ketua MPR dijabat
oleh Amien Rais, Presiden dijabat oleh Gusdur yang keduanya
berasal dari kelompok Poros Tengah.
Adapun usaha mengurangi partai politik di era reformasi
dilakukan secara halus, yakni dengan menetapkan ambang batas
perolehan suara partai secara nasional (elektoral threshold)
sebesar 2% sebagaimana tertuang dalam UU no. 3 tahun 1999
tentang Pemilu. Partai politik yang memperoleh suara dibawah
2% dinyatakan tidak lolos elektoral threshold dan diharuskan
berganti nama jika mengikuti pemilu 2004.
Pemilu 2004 dilaksanakan setelah amandemen UUD 1945
yang di dalamnya memberikan peran penting bagi partai politik
yakni mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil secara
langsung. Pemilu 2004 dilaksanakan berdasarkan UU No. 31
Tahun 2002 tentang Pemilu dan Partai Politik, yang diikuti 24
partai politik yakni 6 partai yang lolos elektoral threshold
Pemilu 1999 yakni PDIP, P. Golkar, PPP, PAN, PKB, PBB
ditambah dengan peserta baru yakni
P. Demokrat, PBR, PKS dll. Elektoral threshold Pemilu 2004
ditetapkan sebesar 3%, akibatnya hanya 7 partai yang lolos
yakni
52
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
PDIP, P. Golkar, P. Demokrat, PPP, PKB, PAN dan PKS. Bagi
partai politik yang tidak lolos electoral threshold diharuskan
mengganti nama untuk menghadapi Pemilu 2009, namun hukuman
tersebut tidak sempat dijalankan sebab menjelang pemilu
dilaksanakan UU Pemilu diganti dengan UU No.10 Tahun 2008,
yang tidak mengharuskan adanya pergantian nama.
Pada Pemilu Presiden secara langsung tahun 2004, partai
politik mengajukan calon-calon untuk diusulkan menjadi presiden
dan wakil presiden periode 2004-2009 yang dapat dirinci
sebagai berikut: 1) SBY-Kalla, didukung oleh Partai Demokrat,
PBB dan PKPI; 2) Mega- Hasyim, didukung oleh PDIP dan
PDS; 3) Wiranto—Gus Sholah, diusung oleh partai Golkar dan
PKB; 4) Amien—Siswono, diusung oleh PAN; 5) Hamzah—
Agum, diusung oleh PPP. Disebabkan tidak adanya pasangan
calon yang mendapatkan suara lebih dari 50%+1, maka
pemilihan presiden dilanjutkan ke putaran kedua, yang diikuti
oleh dua pasangan calon, yakni pasangan SBY-Kalla yang
didukung oleh Partai Demokrat, PBB , PKPI—PAN dan PKS
melawan pasangan Mega-Hasyim yang didukung oleh PDIP
,PDS, P. Golkar, PPP dan PKB. Pemilu 2004 dimenangkan oleh
pasangan SBY-Kalla, pasangan ini tetap melibatkan partai-
partai politik yang bukan pendukungnya dalam pemilihan
presiden dalam kabinet mereka.
Selanjutnya pada tahun 2009, penyederhanaan partai
politik menggunakan sistem parlementary threshold 2,5%. Sesuai
pasal 202 ayat 1 UU No.10 Tahun 2008 dijelaskan bahwa partai
politik yang mendapat suara kecil 2,5%, tidak berhak
mendapatkan kursi di parlemen, dengan demikian suaranya
hangus. Kemudian dalam Pasal 202 ayat 2 dijelaskan bahwa
konsep parlementary threshold tidak berlaku pada penentuan
kursi DPRD provinsi & kabupaten/ kota. Adapun partai politik
yang lolos Parlementary Threshold pada pemilu 1999 adalah
Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PPP, PKS, PAN, PKB, P.
Gerindra dan P. Hanura.

53
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
D. Rangkuman
1. Sistem kepartaian di Indonesia pada masa orde baru
adalah multipartai dengan satu partai dominan yakni
golongan karya. Penguasa orde baru melakukan berbagai
usaha yang tidak demokratsi untuk selalu membuat
Golongan Karya selalu unggul dan PDI serta PPP tetap
menjadi partai bonsai.
2. Usaha penyederhanaan partai politik di era orde baru
dilakukan secara paksaan dengan menfusikan partai politik
ke dalam dua golongan yakni golongan nasionalis dan
golongan agama.
3. Di sebabkan adanya kebebasan mendirikan partai politik,
maka pada masa reformasi muncul sistem kepartaian multi
partai tanpa partai dominan.
4. Usaha penyederhanaan partai politik dilakukan lewat cara
yang lebih lunak, yakni dengan memberlakukan electoral
threshold pada Pemilu 1999 & Pemilu 2004, sedangkan
pada Pemilu 2009 diberlakukan parlementary threshold.

E. Soal Latihan
1. Jelaskan teknik yang digunakan pemerintah orde baru
untuk mengendalikan partai politik!
2. Jelaskan keadaan PDI dimasa orde baru menurut Abdul
Madjid!
3. Jelaskan perbedaan model sistem kepartaian yang berlaku
di era orde baru dan reformasi!
4. Jelaskan metode penyederhanaan partai politik yang
diterapkan pada masa reformasi!

Daftar Pustaka
Hamid, AF (2008). Partai Politik Lokal di Aceh: Desentralisasi
Politik dalam Negara Kebangsaan. Jakarta (Kemitraan).

54
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Karim, M.R et. al (1983). Perjalanan Partai Politik di Indonesia.
Jakarta: CV. Rajawali.
Sanit, Arbi (2007). Sistem Politik Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Suharsono (1999). Cermerlangnya Poros Tengah. Jakarta: Perenial
Press.
Jurnal Ilmu Politik Volume 13 tahun 1993, AIPI dan LIPI,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

55
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 7
Sistem Pemilihan Umum Majoritarian

A. Pendahuluan
Sistem pemilu majoritarian biasa digunakan untuk
memilih anggota legislatif maupun memilih pimpinan eksekutif
diberbagai negara. Sistem pemilu ini memiliki cukup banyak
variasi, yang beberapa di- antaranya dipakai di dalam pemilihan
anggota Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan Presiden dan
Pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota di Indonesia. Pengetahuan
yang memadai tentang sistem Pemilu majo- ritarian menambah
wawasan sekaligus membuat kita mampu men- jelaskan
bagaimana mekanisme Pemilihan Presiden dan Pemilihan
Gubernur, Bupati/Walikota di Indonesia sebagaimana yang telah
di- amanatkan dalam aturan perundangan.
Setelah mempelajari bab 7 ini, secara umum mahasiswa
diharap- kan dapat memahami dan menjelaskan model-model
sistem Pemilu majoritarian. Secara khusus mahasiswa diharapkan
dapat:
1. Menjelaskan secara detail varian-varian sistem pemilihan
majoritarian.
2. Mengetahui sistem Pemilu majoritarian yang biasa di
gunakan pada pemilu legislatif.

56
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
3. Mengetahui sistem pemilu majoritarian yang biasa
digunakan untuk memilih pimpinan eksekutif.

B. Model Sistem Pemilihan Majoritarian


Menurut Norris (2004) system pemilihan majoritarian
memakai prinsip yang dipakai “ winner take all”, individu atau
partai pemenang akan mengambil alih dukungan partai yang
kalah. Maksudnya barang siapa yang mendapat suara mayoritas
dalam sebuah pemilihan maka ditetapkan sebagai pemenang
kompetisi tersebut. Tujuan pemakaian system pemilu majoritarian
adalah memunculkan sebuah partai mayo- ritas untuk memerintah
dan bekerja secara efektif di parlemen. Selain itu, juga bertujuan
mengkonsentrasikan kekuasaan pada sebuah partai, dan bukan
menyediakan perwakilan semua golongan minoritas.
Sistem pemilihan majoritarian mempunyai dua varian,
yakni varian plurality yang terdiri dari FPTP, SNTV, BV serta
varian majority yang terdiri dari runoff dan AV. Varian sistem
pemilihan majoritarian dapat dilihat pada bagan sebagai berikut:
Bagan Sistem Pemilu Majoritarian
MAJORITARIAN

MAJORITY PLURALITY

AV FPTP SNTV BV

RUNOFF

Adapun penjelasan varian-varian sistem pemilihan plurality


seba- gaimana yang di gambarkan pada bagan tersebut diuraikan
sebagai berikut:

57
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
1. First-Pass-The-Post (FPTP).
Sistem Pemilu ini biasa digunakan dalam pemilihan
untuk setiap distrik satu orang wakil (single member plurality
election), pemilih hanya mempunyai satu suara untuk
memilih satu orang calon. Kandidat yang memperoleh suara
terbanyak diantara rival- rivalnya dinyatakan sebagai pemenang
pemilihan itu. Dalam sistem ini pemenang tidak ditentukan
dengan prinsip harus mendapatkan suara mayoritas absolut
(50% + 1), tetapi barangsiapa yang mendapatkan suara
terbanayak tidak harus mencapai mayoritas absolut langsung
ditetapkan sebagai pemenang. Di AS, system ini digunakan
untuk memilih beberapa wakil yang masing-masing
mempunyai perbedaan jabatan yang dituju dalam satu
distrik. System ini dipakai di 54 negara, yakni Inggris, India
dll.
2. SNTV (Single Non Tranferable Vote).
Dalam system pemilu ini setiap pemilih punya satu suara
dan hanya memilih satu orang calon (kandidat). Dalam distrik
tersebut terdapat beberapa kursi (multi member district), dan
pemilih hanya diperkenankan memilih satu orang calon yang
ada di distrik tersebut. Masing-masing kandidat akan bersaing
baik secara intern partai maupun dengan kandidat dari partai
lainnya. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak sesuai
jumlah kursi yang dibutuhkan dinyatakan sebagai pemenang.
Sistem ini dipakai di Jepang untuk memilih sebagian anggota
legislatifnya dan untuk memilih anggota dewan perwakilan
rakyat daerah di Indonesia.
3. Bloc Vote.
Dalam system pemilu ini, setiap pemilih diperbolehkan
memilih calon sebanyak jumlah kursi yang tersedia. Jika kursi
tersedia 4, maka seorang pemilih boleh memilih 4 calon tanpa
mempedulikan partai. Satu daerah pemilihan lebih dari satu
kursi (multi member district), jumlah kursi setiap daerah
pemilihan bisa dua, tiga dll. Kandidat peraih suara terbanyak
sesuai jumlah kursi dinyatakan
58 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
sebagai pemenang. System pemilu ini dipakai di 9 negara,
misalnya: Laos, Maldives dll.

Selanjutnya Norris (2004) menjelaskan Varian Majority


Election, yakni:
1. Second Ballot Election— “runoff” Election.
Dalam system pemilihan ini, setiap pemilih punya satu
suara, dan hanya boleh memilih untuk satu kandidat atau
pasangan kandidat. Kandidat hanya akan dinyatakan
menang, jika men- dapatkan suara mayoritas absolute (50%
+1). Pemilihan dapat dilakukan dalam sekali putaran, namun
tidak menutup kemungkinan dilakukan pemilihan dalam dua
putaran. Jika tidak ada kandidat yang menang 50% + 1 pada
Pemilu putaran pertama, maka diadakan pemilihan
selanjutnya dengan pesertanya adalah dua kandidat yang
memperoleh suara terbanyak (terbanyak 1 dan Terbanyak
2). Selanjutnya kandidat yang memperoleh suara 50%
+ 1 lah yang selanjutnya dinyatakan sebagai pemenang.
Sistem pemilu ini dipakai di 24 negara antara lain di
Indonesia, Kongo, Iran, Kuba dll.
2. Alternatif Vote (AV).
Sistem pemilu ini dilakukan untuk memilih satu orang
wakil di setiap distrik (Single Member District). Setiap
pemilih boleh memilih lebih dari satu calon yang dikehendaki,
dengan menandai prioritas satu, prioritas kedua dan
seterusnya. Kandidat terpilih adalah kandidat yang paling
banyak mendapatkan prioritas pertama sebanyak 50% + 1.
Jika kandidat tidak ada yang men- capai mayoritas 50% +1,
maka kandidat terpilih adalah kandidat yang mendapat
prioritas pertama dan kedua dari pemilih. System pemilu ini
dipakai di Australia dan di negara Fiji.

59
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
C. Sistem Pemilihan Presiden
Sistem pemilihan majoritarian biasanya juga digunakan
untuk memilih presiden di beberapa negara. Reynold & Reilly
(2001), merinci sistem pemilihan presiden di beberapa negara,
yakni:
1. FPTP, dipakai di Venezuela tahun 1993, sehingga Rafael
Caldera yang mendapatkan suara tertinggi yakni 30,5%
ditetapkan se- bagai pemenang. Pada tahun 1990-an,
sistem ini dipakai untuk memilih presiden Fidel Ramos
dengan suara terbanyak 25%.
2. Sistem dua putaran:
a. Dua calon terkuat (majority-runoff).Dalam
sistem ini kandidat dinyatakan jika mendapatkan
suara mayoritas mutlak (minimal 50%+1), jika
tidak ada yang mendapatkan suara mayoritas
mutlak pada pu- taran pertama, maka kandidat
yang memperoleh suara terbanyak 1 dan terbanyak
2 kembali bertarung pada putaran kedua dan
calon yang mendapat suara moyoritas mutlaklah
yang ditetapkan sebagai pemenang. Misalnya system
pemilihan presiden di Indonesia.
b. Antara lebih dari dua calon (majority-plurality).
Kandidat dinyatakan menang jika mendapatkan
suara terbanyak, tidak harus mayoritas absolut,
misalnya pemilihan presiden di Argentina yang
menetapkan kandidat pemenang jika yang
bersangkutan memperoleh suara lebih dari 45%),
sedangkan di Kostarika syarat presiden dinyatakan
menang jika mendapatkan suara besar dari 40%.
Di beberapa negara, dipakai persyaratan
penyebaran suara, misalnya di Negeria,
pemenang diharuskan dapat 1/3 suara dari 2/3
provinsi.
3. Preferential Voting (AV). Kandidat yang dinyatakan
peme- nang adalah kandidat yang mendapatkan prioritas
pertama secara mutlak (minimal 50% + 1). Jika tidak ada
calon menang

60
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
mutlak, semua calon selain dua calon yang memperoleh
alter- natif 1 terbanyak dicoret dan suaranya dipindahkan
ke dua calon yang memperoleh alternatif 1 terbanyak.
Pemindahan suara itu dengan melihat preferensi pemilih
terhadap dua calon tersebut. Kandidat yang lebih banyak
mendapatkan prioritas 1 dan 2 ditetapkan sebagai
pemenang.

D. Rangkuman
1. Sistem pemilu majoritarian memakai prinsip yang
menang mengambil alih semua jatah kursi. Sistem ini
menguntungkan partai mayoritas dan bertujuan membentuk
pemerintahan yang efektif.
2. Sistem pemilu majoritarian terdiri dari dua varian yakni
plurality dan majority. Varian majority terdiri dari runoff dan
AV, sedang- kan varian plurality terdiri dari FPTP, SNTV
dan BV.
3. Sistem pemilu majoritarian biasa juga dipakai untuk
memilih presiden di berbagai negara, misalnya runoff,
SNTV, FPTP dan majority-plurality.

E. Soal Latihan
1. Jelaskan prinsip utama system pemilu majoritarian!
2. Jelaskan prinsip sistem pemilu AV!
3. Jelaskan prinsip sistem pemilu BV!
4. Jelaskan prinsip sistem pemilu FPTP!

Daftar Pustaka
ACE Project, 1998. Sistem Pemilu. Kerjasama IDEA, UN dan IFES
Asfar, Muhammad dkk (2002). Model-model Sistem Pemilihan di
Indonesia. Surabaya: Pusat Studi Demokrasi dan HAM.

61
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
LeDuc, Lawrence, et al (1996). Comparing Democraties
Election and Voting in Global Persfektif. California: Sage
Publication, Inc.
Norris, Pippa (2004). Electoral Engineering: Voting Rules and
political Behavior. New York: Cambridge university press.

62
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 8
Sistem Pemilu
Proporsional &
Kombinasi

A. Pendahuluan
Sistem pemilu proporsional dengan beberapa variasinya
telah biasa digunakan untuk memilih anggota dewan perwakilan
rakyat di Indonesia. Sistem pemilu ini masih memberi ruang
bertahannya partai politik dengan kategori menengah dan partai
kecil. Sistem pemilu ini, masih dipertahankan di Indonesia
mengingat heterogonitasnya masyarakat Indonesia yang sangat
tinggi. Tetap berlakunya sistem pemilu proporsional ini membuat
sistem kepartaian Indonesia dengan multi partai tanpa partai
dominan. Sedangkan sistem pemilu kombinasi juga dipakai di
Indonesia yakni untuk memilih anggota DPR secara proporsional
dan memilih anggota DPD dengan sistem pemilu SNTV
(majoritarian). Mengingat eksisnya sistem pemilu proporsional
di Indonesia, maka pengetahuan yang memadai tentang sistem
pemilu proporsional perlu didapatkan.
Setelah membaca bab 8 ini, secara umum mahasiswa
diharapkan dapat mengetahui varian-varian sistem pemilu
proporsional dan sistem pemilu kombinasi. Sedangkan secara
khusus mahasiswa diharapkan dapat:

63
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
1. Memahami pemakaian formula yang digunakan untuk
me- nentukan partai politik mana yang berhak
mendapatkan kursi di derah pemilihan tersebut.
2. Mampu menjelaskan berbagai varian sistem Pemilu
proporsional.
3. Mampu menjelaskan berbagai varian sistem pemilu
kombinasi.

B. Sistem Pemilu Proporsional


Menurut Norris (2004) ada dua formula yang dipakai
dalam penentuan kursi dalam sistem pemilu proporsional, yaitu
menggunakan bilangan pembagi (the highest averages) atau sisa
suara suara terbesar atau quota ( the largest remainders). Variasi
metode bilangan pembagi (the highest averages), memakai dua
jenis formula yakni :
1. d’Hondt formula
Dalam formula ini, kursi ditentukan dengan beberapa kali
perhitungan dengan perhitungan pertama, kedua dan
selanjutnya. Setiap perhitungan dilakukan dengan membagi
perolehan suara tertinggi dengan ( 1, 2, 3, 4 dst). Kemudian
Partai atau kandidat yang mendapatkan kursi ialah partai
yang suara di atas pembagi terakhir sesuai jumlah kursi.
formula d’Hondt menguntungkan partai besar.
2. Sainte-Lague formula
Dalam formula ini, kursi ditentukan dengan beberapa kali
perhitungan pertama dan seterusnya dengan bilangan
pembagi suara (1,4 ; 3; 5; 9…). Partai atau kandidat yang
mendapatkan suara di atas jumlah bilangan pembagi suara
dinyatakan sebagai kandidatterpilih.FormulaSainte-
Laguemenguntungkanpartaikecil.

Kemudian penentuan kursi yang didapatkan partai politik


dengan metode sisa suara terbesar ( the largest remainders)
diuraikan sebagai berikut:
64 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
1. Kuota Hare
Bilangan Pembagi pemilih (BPP), yang ditentukan dengan
prinsip kuota hare dilakukan dengan membagi jumlah total
suara dengan jumlah kursi yang tersedia di daerah
pemilihan. Perolehan suara partai politik dibagi dengan BPP
menunjukkan jumlah kursi yang didapatkan partai di daerah
pemilihan tersebut. Adapun nilai yang didapatkan partai
setelah dibagi BPP dengan misalnya (1, 89), hal ini berarti
partai tersebut mendapatkan 1 kursi dan sisa suara 0,89.
Kemudian partai politik yang memiliki sisa suara tertinggi
berhak mendapatkan kursi sesuai alokasi suara di daerah
pemilihan. Kuota hare pada dasarnya menguntungkan
partai- partai kecil.
2. Kuota Droop:
Bilangan pembagi Pemilih (BPP), yang ditentukan dengan
kuota droop ditentukan dengan membagi jumlah total suara
dengan jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan + 1.
Perolehan suara partai di bagi dengan BPP menunjukkan
jumlah kursi yang berhak dimiliki partai tersebut. Nilai
yang didapatkan partai setelah dibagi dengan BPP
misalnya ( 1, 89), berarti men- dapatkan 1 kursi dan sisa
suara 0,89. Partai yang memiliki sisa suara tertinggi berhak
mendapatkan kursi sesuai alokasi suara di daerah
pemilihan. Kuota droop menguntungkan partai-partai besar.

Selanjutnya Norris (2004) menjelaskan varian sistem


pemilu proportional yakni :
1. Party List Sistem (Pr-List).
Dalam sistem Pemilu proporsional terdaftar ini, biasanya
jumlah kursi di setiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan
jumlah penduduk. Adapun partai yang mendapatkan kursi
ditentukan berdasarkan kuota ataupun metode bilangan pembagi
(BPP) dengan memakai kuota hare,

65
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
kuota droop, d’hondt ataupun sainte-lague. Pemilih hanya boleh
memilih satu kandidat atau partai atau memakai prinsip one
man one vote. Varian sistem pemilu ini ada 2, yakni:
a. Sistem daftar tertutup. Dalam sistem ini pemilih hanya
dapat memilih partai atau mencontreng tanda gambar
partai, sedang- kan siapa yang duduk atau terpilih menjadi
anggota legislatif ditetapkan sepihak oleh partai politik.
Sistem pemilu ini dipakai di Portugal, Israel dan lain-lain.
b. Sistem daftar terbuka. Dalam sistem ini pemilih dapat
memilih partai yang disukai dan diperkenankan memilih
kandidat yang disukainya namun dalam partai tersebut.
Artinya pemilih dapat memilih kandidat dalam sebuah
partai yang disukainya. Sistem pemilu ini dipakai di
Finlandia, Belanda, Norwegia dan lain-lain.

2. Single Transferable Votes (STV).


Dalam sistem Pemilu ini, biasanya jumlah kursi di setiap
daerah pemilihan juga ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk.
Penentuan kandidat di partai yang mendapatkan kursi ditentukan
berdasarkan kuota droop. Kemudian pemilih hanya boleh
memilih satu kandidat atau partai (memakai prinsip one man
one vote). Kandidat yang mendapatkan suara melebihi kuota
yang ditentukan langsung terpilih. Kemudian, jika tidak ada
kandidat yang memperoleh suara melebihi kuota, maka
penentuan kandidat yang berhak mendapatkan kursi dilakukan
cara melakukan transfer antar kandidat dalam partai tersebut
berdasarkan prioritas partai (misalnya nomor urut). Sistem pemilu
ini pernah di pakai pada Pemilu legislative tahun 2004 di Indonesia,
dimana jika tidak ada kandidat yang mendapatkan suara melebihi
BPP, maka suara kandidat di dalam partai tersebut ditransfer ke
nomor urut 1. Kemudian sistem pemilu ini juga di pakai di dua
negara yaitu Irlandia dan Malta.

66
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
C. Sistem Pemilu Kombinasi Majoritarian dan Proportional
Menurut Norris (2004) ada dua varian sistem pemilu
kombinasi majoritarian dan proportional, yakni:
1. Combined-Dependent Sistem (—lebih dekat ke proporsional)
Sistem Pemilu ini biasanya digunakan untuk memilih
anggota lembaga legislatif yang dua kamar. Untuk mengisi
dua kamar tersebut, digunakan sistem pemilu yang berbeda
antara kamar yang satu dengan kamar yang lainnya,
misalnya kamar yang pertama diisi oleh anggota yang
dipilih dengan sistem pemilu majoritarian, sedangkan kamar
yang kedua dipilih dengan sistem pemilu majoritarian. Oleh
sebab itu dalam sistem pemilu ini pemilih diberikan
kesempatan kepada pemilih untuk mengguna- kan dua
kertas suara, satu kertas suara untuk memilih satu
kandidat dengan sistem majoritarian dan satu kertas suara
lagi untuk memilih kelompok wakil secara proporsional.
Sistem pemilu majoritarian yang digunakan biasanya
plurality dengan single member (FPTP) untuk kamar yang
pertama di kombinasikan dengan sitem pemilu Proporsional
terdaptar pada lembaga kedua. Dalam sistem pemilu
kombinasi dependen ini, disediakan kompensasi (hadiah
kursi) dari lembaga yang dipilih melalui sistem Pemilu
proporsional untuk mengurangi kesenjangan perolehan kursi
partai tersebut dilembaga yang dipilih dengan sistem
pemilu majoritarian. Dalam sistem ini dikenal pemakaian
ambang batas perolehan suara partai politik (electoral
threshold), partai yang tidak lolos electoral threshold
suaranya dihilangkan. Dipakai di 8 negara antara lain di
Jerman, Selandia baru.
2. Combined-Independent Sistem (lebih dekat ke majoritarian)
Sistem pemilu ini juga biasanya digunakan untuk memilih
anggota lembaga legislatif yang dua kamar. Untuk mengisi
dua kamar tersebut, digunakan sistem pemilu yang berbeda
antara kamar yang satu dengan kamar yang lainnya,
misalnya kamar yang
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 67
pertama diisi oleh anggota yang dipilih dengan sistem
pemilu majoritarian, sedangkan kamar yang kedua dipilih
dengan sistem pemilu majoritarian. Oleh sebab itu dalam
sistem pemilu ini pemilih diberikan kesempatan kepada
pemilih untuk mengguna- kan dua kertas suara, satu kertas
suara untuk memilih satu kandidat dengan sistem
majoritarian dan satu kertas suara lagi untuk memilih
kelompok wakil secara proporsional. Namun
pengalokasian kursi dan penentuan pemenang
menggunakan sistem majoritarian (single ataupun multi
member ) dengan alokasi kursi yang lebih banyak atau
kadangkala sama banyak- nya dengan alokasi kursi yang
pemenangnya ditentukan secara proporsional. Dalam sistem
ini tidak dikenal kompensasi kursi seperti sistem Pemilu
kombinasi dependen. Dalam sistem ini dikenal pemakaian
ambang batas perolehan suara partai politik (electoral
threshold), partai yang tidak lolos electoral threshold
suaranya dihilangkan. Dipakai di 21 negara antara lain
Taiwan dan Ukraina.

D. Rangkuman
1. Sistem pemilu proporsional bertujuan menghasilkan
perwakilan yang berimbang dengan member peluang bagi
partai menengah dan partai kecil mendapatkan kursi
parlemen.
2. Dalam sistem pemilu proporsional, jumlah kursi parlemen
yang berhak didapatkan oleh masing-masing partai politik
diban- dingkan dengan bilangan pembagi pemilih (BPP).
Ada beberapa rumus yang biasanya dipakai dalam
menentukan BPP yaitu kuota hare, kuota droop, d’hondt
ataupun sainte-lague.
3. Jenis sistem pemilu proporsional adalah single tranferable
vote, proporsional daftar terbuka dan proporsional daftar
tertutup.
4. Di beberapa negara yang memiliki lembaga legislatif dua
kamar, di kenal sistem pemilu kombinasi proporsional dan
majoritarian

68
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
yang digunakan untuk mengisi dua kamar di lembaga
legislatifnya. Sistem pemilu kombinasi ini jenisnya dua,
yakni sistem pemilu kombinasi dependen dan sistem pemilu
kombinasi independen.

E. Soal Latihan
1. Jelaskan tujuan pemakaian sistem pemilu proporsional!
2. Jelaskan metode yang digunakan untuk menentukan partai
yang berhak mendapatkan kursi pada sistem pemilu
proporsional!
3. Jelaskan aturan yang dipakai dalam sistem pemilu
kombinasi dependen!
4. Jelaskan aturan yang dipakai dalam sistem pemilu
kombinasi independen!

Daftar Pustaka
Asfar, Muhammad dkk (2002). Model-model Sistem Pemilihan di
Indonesia. Surabaya : Pusat Studi Demokrasi dan HAM.
LeDuc, Lawrence, et al (1996). Comparing Democraties Election and
Voting in Global Persfektif. California: Sage Publication, Inc.
Norris, Pippa (2004). Electoral Engineering: Voting Rules and
Political Behavior. New York: Cambridge University Press.

69
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 9
Seleksi Kandidat
Pemegang Jabatan
Politik

A. Pendahuluan
Seorang kandidat yang dijual oleh partai politik sebagai
calon pemegang jabatan di legislatif maupun eksekutif biasanya
melalui proses seleksi internal di dalam partai politik. Hanya
kandidat yang lolos seleksi internal partailah yang berhak menjadi
calon dan bersaing mempe- rebutkan jabatan di legislatif maupun
eksekutif melalui pemilihan oleh masyarakat umum (Pemilu).
Seleksi kandidat ini sering juga dikenal dengan istilah rekrutmen
politik dan pada prakteknya metode rekrutmen politik yang
digunakan masing-masing partai politik sangat bervariasi. Oleh
karena di Indonesia terdiri dari banyak partai politik yang berbeda
ideologi dan kepentingan tentunya metode seleksi satu partai
politik dengan partai politik lainnya tentu akan berbeda pula.
Setelah membaca bab 9 ini, secara umum mahasiswa
diharapkan dapat:
1. Menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
seleksi kandidat oleh partai politik di berbagai negara.

70
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
2. Menjelaskan faktor-faktor utama yang dipertimbangkan
partai politik dalam menentukan calon legislatifnya.
3. Menjelaskan metode seleksi kandidat calon presiden.

B. Model Seleksi Kandidat Legislatif


Norris (1996), menjelaskan bahwa istilah rekrutmen politik
merujuk pada proses seleksi kandidat oleh internal partai politik
dan pemilihan kandidat melalui Pemilu. Mengenai seleksi kandidat,
De Luca (2002) berpendapat bahwa metode seleksi kandidat akan
menentukan kualitas kandidat yang akan terpilih dan bagaimana
kandidat-kandidat itu menjalankan tugasnya. Kemudian Hazan
(2002) menjelaskan bahwa seleksi kandidat yang dilakukan
secara terbuka dan melibatkan banyak orang yang ikut serta
dalam pemilihan tersebut dinilai lebih demokratis dibandingkan
seleksi kandidat yang dilakukan secara tertutup atau hanya
melibatkan segelintir orang. Sejalan dengan itu, Carey & Polga
Hevimovich (2004) menyatakan bahwa orang yang terpilih secara
demokratis oleh pemilih sebagai kandidat bisa mengklaim dirinya
lebih legitimate dibandingkan kandidat yang ditentukan hanya oleh
para pimpinan partai.
Kemudian, Pippa Norris (1997) mengemukakan bahwa
setidak- nya ada 4 hal yang mempengaruhi pelaksanaan rekrutmen
calon legislatif di berbagai Negara, yaitu :
1. Sistem politik (political system) suatu negara, khususnya
aturan hukum, sistem kepartaian dan sistem Pemilu yang
menggambar- kan peluang kandidat dalam ruang pasar
politik di negara itu.
2. Proses rekrutmen (recruitment process) di internal partai,
ter- utama sekali tingkat demokratitasi di internal partai
dalam pembuatan dan pelaksanaan aturan seleksi kandidat
legislatif.
3. Kandidat yang menawarkan diri untuk mengikuti pemilihan

71
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
(supply), berhubungan dengan tingkat motivasi dan modal
politik yang mereka miliki.
4. Permintaan kelompok penentu kebijakan partai (demands
of gatekeepers)—misalnya pemilih, anggota partai, donatur
partai dan pimpinan partai yang berhak menyeleksi dan
menentukan hasil seleksi para calon legislatif.

Kemudian Norris (2004) juga menjelaskan beberapa faktor


yang mempengaruhi Model seleksi kandidat legislative sebuah
negara, yaitu:
1. Budaya politik&modernisasi sosial yang terjadi pada sebuah
negara.
2. Sejauhmana membuminya sikap egalitarian dan perubahan
ke- biasaan tradisional
3. Aturan Pemilu yang dipakai dinegara tersebut apakah
majori- tarian, kombinasi atau proporsional, pemakian
kuota gender dan jumlah kursi legislatif yang tersedia.
4. Prosedur seleksi kandidat secara internal oleh partai politik
itu sendiri yang mempertimbangkan kuota gender dan aturan
partai
5. Permintaan kriteria tertentu yang diinginkan oleh para
penyeleksi internal partai.
6. Kondisi kandidat yang menawarkan diri yang dianggap
meme- nuhi syarat.

Menurut Matland, pencalonan kandidat oleh partai


didasarkan oleh aturan partai dan norma partai. Berbeda partai,
berbeda pula aturan dan norma yang dianutnya. Hal ini
menyebabkan calon legislatif yang menjadi kontestan pemilihan
umum memiliki karakter pribadi dan latar belakang yang berbeda.
Sejalan dengan itu, De luca menjelaskan bahwa ada dua model
rekrutmen legislatif yaitu seleksi yang diatur atau ditentukan
langsung oleh elit partai dan model pemilihan pendahuluan
72 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
(konvensi partai).Adapun hal penting yang dipertimbangan partai
untuk memilih kandidat menurut Matland adalah keyakinan bahwa
kandidat tersebut mampu memaksimalkan suara partai. Artinya
kandidat yang mempunyai basis pendukung yang luas di tengah
masyarakat lebih berpeluang untuk dicalonkan sebagai calon
legislatif oleh sebuah partai politik tertentu. Kemudian, Gallager
menjelaskan bahwa salah satu nilai penting yang
dipertimbangkan partai partai politik dalam menetapkan
kandidatnya adalah bagaimana track record kandidat di internal
partai dan di mata konstituen pemilih.
Leijenaar &Niemoller (1997) mengemukakan beberapa
faktor yang dipertimbangkan oleh Partai politik di Belanda dalam
menentukan calon legislatif nya, yakni:
1. Karakteristik kemampuan (Acquired Characteristics)
meliputi: pembicara yang baik (orator), punya keahlian
khusus, memiliki semangat dan antusiasme tinggi serta
mempunyai pengetahuan yang dalam terhadap isu-isu
politik.
2. Karakteristik yang melekat (inherited characteristic) meliputi
: jenis kelamin, usia, etnis dan penampilan.
3. Tingkat orientasi lokal ( local orientation ) meliputi :
komitmen pada daerah pemilihan, popularitas di tingkat
lokal, dukungan massa partai politik dan organisasi
kemasyarakatan.
4. Agama, norma dan nilai (religion, norms, values) meliputi
ke- taatan beragama dan kestabilan dalam kehidupan rumah
tangga.
5. Pengalaman politik (political experience) meliputi
pengalaman politik dan pengalaman sebagai pekerja partai.

C. Model Seleksi Calon Presiden


Menurut Camilla Gjerde setidaknya ada 4 metode seleksi
kan- didat presiden baik melalui selesksi yang bersifat inklusif
maupun eksklusif, yakni :
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 73
1. Elit Partai : Seleksi dilakukan secara tertutup (ekslusif) oleh
elit partai dengan cara mengatur kandidat yang akan jadi
(pengaturan elit partai)—nominasi biasanya satu orang
tanpa saingan.
2. Konvensi partai : Seleksi kandidat dilakukan lebih terbuka
dan transparan, tetapi yang dilibatkan untuk menyeleksi
kandidat hanyalah anggota partai atau sejumlah seratus atau
ribuan pengurus partai.
3. Pemilihan Pendahuluan : Pemilihan kandidat yang
melibatkan seluruh pemilih (terbuka) atau hanya anggota
partai dan simpa- tisan partai (semi terbuka).
4. Calon Independen—Seleksi dilakukan dengan
mengumpulkan sejumlah tanda tangan sebagai bukti
dukungan pemilih.

Kemudian Rahat & Hazan (2001) membuat model Metode


Seleksi Kandidat Presiden di berbagai negara, yaitu :
Pemilihan Pendahuluan Partai Konvensi Partai Diatur Elit

Melibatkan Seluruh pemilih Melibatkan Delegasi partai Melibatkan Hanya Pimpinan partai
anggota partai

Inklusif (terbuka) Ekslusif (tertutup)

D. Rangkuman
1. Setiap yang ingin ditetapkan menjadi calon pemegang
jabatan legislatif maupun legislatif oleh partai politik di
negara demokrasi, biasanya akan melewati proses seleksi
dalam internal internal partai politik.
2. Faktor-faktor yang membuat seseorang bisa ditetapkan
menjadi calon pemegang jabatan politik oleh partai politik
antara lain adalah norma-norma dan budaya politik yang
berlaku dalam

74
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
sistem politik di sebuah negara, aturan pemilu, aturan partai
dan sejauhmana orang yang menawarkan diri untuk
menjadi calon dari partai tersebut.
3. Partai politik merupakan pihak yang paling dominan
menentukan calon pemegang jabatan politik dari partainya
dibandingkan faktor lainnya.
4. Karakteristik yang biasa dipertimbangkan partai politik
dalam menentukan calon dari partainya antara lain adalah
kemampuan, pengalaman politik, tingkat orientasi lokal
karakteristik pribadi, norma, agama dan nilai yang dianut
oleh peserta seleksi.
5. Metode seleksi calon pemegang jabatan eksekutif
dilakukan dengan mekanisme antara lain: ditentukan oleh
segelintir elit partai, konvensi Partai, pemilihan pendahuluan
oleh pendukung partai dan melalui jalur independen.

E. Soal Latihan
1. Jelaskan faktor-faktor umum yang mempengaruhi
pelaksanaan seleksi anggota legislatif diberbagai negara!
2. Jelaskan kriteria utama yang digunakan oleh partai politik
dalam menetapkan calon legislatifnya!
3. Jelaskan jenis metode seleksi yang digunakan partai politik
dalam menentukan calon presiden dari partainya!
4. Jelaskan metode penentuan calon presiden yang tidak
melibatkan partai politik!

Daftar Pustaka
Camilla Gjerde “Presidential Recruitment: Selection of presidential
candidate in Africa, Asia and latin America.
LeDuc, Lawrence, et al (1996). Comparing Democraties Election
and Voting in Global Persfektif. California: Sage Publication,
Inc.

75
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Norris, Pippa (ed), 1997. Passage to Power : Legislative
Recruitment in Advanced Democracies. Cambridge :
Cambridge University Press
Pippa Norris (2004) “Building Political Parties: Reforming
legal regulations and internal rules. Report commisioned
international IDEA.
Ricard E. Matland (1999). Legislative Recruitment : A General
Model and Discussion of Issues of Spesial Relevan for
Women.

76
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
Bab 10
Kampanye Pemilu

A. Pendahuluan
Setelah para kandidat calon legislatif maupun calon
pemegang jabatan eksekutif ditetapkan oleh masing-masing partai
politik, maka masing calon dan partai politiknya akan
melaksanakan proses kam- panye Pemilu sebagai usaha
memaksimal perolehan suara pemilih. Calon yang mampu
memanfaatkan momen kampanye dengan baik, mempunyai
peluang menang lebih besar dibandingkan calon yang tidak mampu
memanfaatkan momen kampanye dengan baik. Di Indonesia
dewasa ini sudah sangat semarak, dan melibatkan berbagai
media, baik baliho, spanduk, stiker termasuk media cetak dan
elektronik bah- kan melalui media internet.
Setelah membaca bab 10, secara umum mahasiswa diharapkan
dapat:
1. Menjelaskan definisi dan tujuan kampanye.
2. Menjelaskan bentuk-bentuk pesan kampanye.
3. Menjelaskan jenis media kampanye.
4. Menjelaskan hal-hal yang dilarang dilakukan dalam kampanye.
5. Menggambarkan metode positioning politik.

77
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
B. Definisi dan Tujuan Kampanye
Menurut Farrel, kampanye Pemilu merupakan sebuah
proses yang dilakukan oleh partai politik, kandidat atau kelompok
kepentingan khusus untuk memaksimalkan perolehan suara dalam
Pemilu. Kemudian Wilson berpendapat bahwa kampanye
sebenarnya ditujukan untuk mempengaruhi pikiran pemilih yang
belum menetapkan pilihannya. Dalam UU No. 8/ 2012 pasal 1
disebutkan bahwa kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta
Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi
dan program peserta pemilu. Kampanye Pemilu harus dilakukan
dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan bagian dari
pendidikan politik masyarakat.
Blodgett & Lofy (2008) merinci beberapa strategi
memenangkan Pemilu Melalui proses pelaksanaan kampanye
antara lain:
1. Hadirkan kandidat & manajer kampanye yang kualitasnya
bagus.
2. Buat rencana kampanye dan gambarkan proyeksi
keberhasilannya.
3. Buat pesan politik dan sampaikan pada audience yang dituju.
4. Identifikasi basis massa, pemilih mengambang dan basis
massa lawan.
5. Kirimkan surat/ email pada pemilih pada pemilih yang
spesifik.
6. Dapatkan pemilih melalui penyebaran iklan kampanye.
7. Jalin kerjasama dengan berbagai media massa untuk
meng- komunikasi pesan kampanye kepada khalayak.
8. Gunakan uang/ dana kampanye secara efektif.
9. Pahami kelebihan & kekurangan sendiri termasuk kelebihan
& kekurangan lawan.
10.Gunakan kemajuan teknologi untuk memaksimalkan
kampanye.

Sejalan dengan itu Trammell (2007) mengemukakan


beberapa bentuk khusus pesan yang disampaikan pada saat
berkampanye, yakni:

78
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
1. Menyerang track record kinerja kompetitor.
2. Janji kandidat menyuarakan aspirasi rakyat.
3. Menyerang sifat pribadi lawan.
4. Mengajak pemilih berpartisipasi.
5. Memberikan harapan yang lebih baik kedepan.
6. Menggunakan data statistik –potensi kemenangan.
7. Menampilkan kemampuan berpolitik.
8. Menampilkan dukungan kandidat terhadap ideologi partai.
9. Menampilkan keahlian & pengalaman kerja yang dimiliki.

Selanjutnya pesan-pesan kampanye biasanya di sampaikan


lewat media massa baik cetak maupun eletroknik. Media sebagai
sarana penyampai informasi pesan kampanye dari waktu kewaktu
terus ber- kembang. Norris (2003), menggambarkan
perkembangan model kampanye partai politik melalui media
sebagai berikut:
Daerah Sasaran Model Kampanye & Jenis Media
Kampanye Pre Modern Modern Post Modern
Nasional Koran nasional dan Radio/ TV nasional, Website Partai,
konferensi Partai Koran nasional dan internet intra partai,
konferensi Partai Radio/ TV nasional,
Koran nasional dan
konferensi Partai
Regional Koran regional, Rapat Radio/ TV regional, Diskusi lewat radio,
Cabang Partai & rapat Koran regional, Rapat Radio/ TV regional,
umum tingkat lokal Cabang Partai & rapat Koran regional, Rapat
umum tingkat lokal Cabang Partai & rapat
umum tingkat lokal
Lokal Telepon & diskusi Telepon, diskusi Email, diskusi lewat
personal personal, koran lokal internet, Telepon,
& radio lokal diskusi personal,
koran lokal & radio
lokal

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada masa


pra modern, media kampanye yang dimanfaatkan masih terfokus
pada pemanfaatan media cetak berupa koran dan teknik bertemu
langsung dengan pengurus partai maupun konstituen. Selanjutnya
pada zaman

79
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
modern, media kampanye yang digunakan adalah media
elektronik seperti TV dan radio, sedangkan di era post modern
media kampanye yang digunakan berupa pemanfaatan fasilitas
internet, email dan lain- lain.
Dalam UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 82 disebutkan
metode kampanye yang diperbolehkan antara lain :
1. Pertemuan terbatas.
2. Pertemuan tatap muka.
3. Penyebaran bahan kampanye kepada umum.
4. Pemasangan alat peraga ditempat umum.
5. Iklan di media massa cetak dan media massa elektronik.
6. Rapat umum.
7. Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye
Pemilu dan ketentuan peraturan perundangan undangan.

Kemudian dalam UU No. 8 Tahun 2012 Tentang


Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal
86 disebutkan beberapa kegiatan yang dilarang dilakukan dalam
kampanye, yaitu :
1. Mempersoalkan Pancasila, UUD 1945 & NKRI.
2. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI.
3. Menghina seseorang-SARA peserta lain.
4. Menghasut & mengadu domba Masyarakat.
5. Mengganggu ketertiban umum.
6. Mengancam untuk melakukan kekerasan.
7. Merusak/ menghilangkan alat peraga peserta pemilu.

80
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
8. Menggunakan fasilitas pemerintah, pendidikan dan tempat ibadah.
9. Membawa atribut atau tanda gambar selain peserta lain.
10.Menjanjikan/ memberikan uang atau materi lain kepada
peserta
kampanye.

C. Rangkuman
1. Kampanye adalah sebuah proses yang digunakan oleh
kandidat atau partai politik untuk menyakinkan pemilih agar
memperoleh suara maksimal dalam Pemilu.
2. Momen kampanye yang terbatas perlu dimanfaatkan oleh
kandidat dan partai politik dengan membuat strategi
kampanye berikut strategi khusus dalam menyampaikan
pesan kampanye.
3. Media kampanye yang digunakan oleh kandidat dan
partai politik dari masa ke masa terus berkembang, mulai
dari peng- gunaan media cetak dan tatap muka secara
langsung, kemudian menggunakan media elektronik berupa
televisi dan radio, serta terus berkembang dengan
memanfaatkan fasilitas internet.
4. Tata cara kampanye Pemilu legislatif tahun 2014 yang
akan datang di Indonesia, termuat dalam UU No. 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.

D. Soal Latihan
1. Jelaskan definisi kampanye menurut para ahli!
2. Jelaskan bentuk-bentuk media kampanye post modern!
3. Jelaskan bentuk-bentuk kampanye yang dizinkan oleh UU
No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah!
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum 81
4. Jelaskan bentuk-bentuk kegiatan kampanye yang dilarang
oleh UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah!

Daftar Pustaka
Blodgett, Jeff & Lofy, Bill (2008). Winning Your Election the
Wallstone Way: Comprehensive Guide To Candidates and
Campaign Workers. Minneapolis: The University
Minnesota.
Firmanzah (2008). Mengelola Partai Politik. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
Gronke, Paul (2004). The Electrorate, The Campaign, and The
Office: A Unified Approach to Senate and House Election.
USA : University of Machigan Press.
LeDuc, Lawrence et al (1996). Comparing Democracies :
Election an Voting in Global Perspective. Thousand
Oaks : SAGE Publications.
Norris, Pippa (2003). A Virtuous Circle: Political Communication
in Post Industrial Societies. Cambridge: Cambridge University
Press.
Trammell, KDS (2007). “Candidat Campaign Blogs: Directly
Reaching Out to The Youth Vote. http: ABS.
Sagepub.Com.
Undang Undang No 8 tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

82
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
BIODATA PENULIS

Nama : Adlin, S.Sos, M.Si


Tempat/Tanggal Lahir : Kuantan Singingi, 8 Februari
1981 Alamat : Jl. Taman Sari II No.4
Pekanbaru.
HP 08127518764
Pendidikan Terakhir : Magister Ilmu Politik Universitas
Indonesia Pekerjaan : Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.

83
Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum
84 Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai