Dosen pengajar:
Dibuat oleh:
Roina
HUBUNGAN INTERNASIONAL
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Era Keemasan atau Renaissance terjadi pada akhir abad ke-14 sampai
abad ke-16 di kota yang dijuluki sebagai pusat berkembangnya abad keemasan ini
di dunia Barat yaitu Florence, sebuah city states di wilayah yang sekarang kita
sebut dengan Italia. Dari segi terminologi, kata Renaissance memiliki akar dari
bahasa latin yaitu ‘nasci’ yang berarti ‘lahir’ dan diturunkan ke bahasa Prancis
yaitu naitre. ‘Renaissance’ merupakan kata imbuhan re (yang memaknai
pengulangan) dari kata naissance bahasa Prancis yang artinya sebuah kelahiran.
Maka jika dilihat dari perspekif tersebut renaissance adalah terminology yang
mendeskripsikan kembali terlahirnya sesuatu yang dalam konteks ini berkaitan
erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Secara umum era keemasan adalah
era yang menjembatani antara era kegelapan yang terjadi pada abad ke -5 sampai
abad ke-14 awal, dimana diskursus terkait berbagai hal termasuk kekuasaan
berkaitan sangat erat dengan unsur teologi, menuju era pencerahan atau The
Enlightenment Age.1 Hal tersebut demikian karena pada era keemasan ini mulai
terdapat perkembangan ilmu pengetahuan yang didasari oleh ajaran-ajaran
positivis atau ajaran yang cenderung merujuk kepada logika manusia dan metode-
metode empiris, sehingga pendekatan agama yang dianggap sebagai sebuah
absolutisme dalam segala aspek kemasyarakatan dan institusi mulai digantikan
secara bertahap menjadi lebih mempunyai orientasi humanis.2
1
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan,p.109
2
Hunt, The Making of the West: Peoples and Cultures, pp. 53-102
Keluarga Medici. Sebelum sampai pada era keemasan, Florence mengalami
beberapa kejadian ketidakstabilan sosial seperti konflik sosial dengan gereja,
krisis ekonomi dan alam, segregasi kelas di masyarakat, dan persaingan politik
yang disebabkan oleh ancaman eksternal dan krisis internal. Selain itu, Florence
sempat terlibat dalam Perang Salib atau Crusades. Dibalik peristiwa-peristiwa
tersebut, ada banyak faktor yang membantu menanam benih perkembangan pesat
ilmu pengetahuan di era keemasan di Florence yaitu transisi intelektual yang
terjadi antara Eropa dan Arab yang merupakan dampak dari Perang Salib.
Kemudian, setelah Perang Salib, perdagangan yang perkembangannya
berdasarkan oleh merkantilisme dan kapitalisme, memperkuat kontak peradaban.
Dinamisnya aktivitas perdagangan Florence mendorong perubahan orientasi kota
tersebut dari agraris menjadi penuh dengan urbanisasi.3 Dari sini kemudian juga
terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang dimulai dari pergerakan para
sarjana dan artis yang didukung oleh kelompok elit yang menyumbangkan
kekayaannya untuk memfasilitasi kegiatan yang berkontribusi pada
perkembangan ilmu pengetahuan dan bangunan yang dijadikan platform untuk hal
tersebut melalui sistem patronage. Dalam hal ini, Keluarga Medici mempunyai
pengaruh yang dominan. Dinamika dari perkembangan ilmu pengetahuan tersebut
kemudian menghasilkan pencapaian intelektual dalam bidang kesenian, politik,
perdagangan dan humaniora yang berdampak besar pada peradaban di Barat
terutama Eropa pada era tersebut.4
Maka dari itu, renaissance disebut sebagai awal dari peradaban modern di
Eropa karena beberapa poin yaitu 1) perkembangan yang terjadi membangkitkan
semangat berfikir dan filsafat hidup yang membangun fondasi kehidupan modern;
2) adanya peningkatan minat terhadap kekayaan warisan pemikiran Yunani dan
Romawi kuno seperti Plato, Aristoteles dan Cicero; 3) membangkitkan
humanisme sekuler yang menitik beratkan bahwa sejarah merupakan rangkaian
kegiatan manusia yang didorong oleh intelektual, aktivitas fisik, dan emosi
manusia, bukan atas dasar divine providence atau alasan teologis sehingga
3
Hunt, The Making of the West: Peoples and Cultures, pp. 53-102
4
Ibid.
menempatkan individu dan negara dalam kajian sejarah; 4) perkembangan
intelektual yang terjadi memicu pemberontakan terhadap Gereja yang
memunculkan kebebasan intelektual dan agama; dan 5) melahirkan wawasan baru
terkait moral atau agama, politik dan negara serta hubungan antara hal-hal
tersebut.5
5
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan,p.110
6
Kelley, Renaissance Humanism
7
Soehino , Ilmi Politik, (Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1981), h.70
terkemuka, sehingga pantas bila ayahnya mendidik Macavelli untuk mempelajari
ilmu-ilmu kemanusiaan8.
8
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap
Dunia Ketiga, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h.106.
9
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, h.67.
karyanya berdasarkan pada situasi dan yang terjadi di Florence kala itu10. Dimana
dia menginginkan dari karyanya itu agar Florence tidak menjadi daerah jajahan
negara lain dan berada dalam penindasan dalam negerinya sendiri.
1. Pendidikan
Tidak begitu banyak literatur yang membicarakan riwayat pendidikan
Machiavelli. Hal ini dikarenakan lebih banyak orang yang memfokuskan pada
karya-karyanya. Namun dalam beberapa buku dituliskan bahwa Nicolo
Machiavelli mengikuti pendidikan yang diarahkan oleh ayahnya, karena ayahnya
menginginkan Machiavelli menjadi seorang yang terkemuka. Bisa disebt batu
permata yang ditanamkan dalam pendidikan Machiavelli adalah dari ayahnya
sendiri.
Karena ayahnya, Bernardo Machivelli adalah seorang pengagum karya-karya
klasik Yunani dan Romawi seperti karya Cicero “Phillipus On Moral Oblogation,
dan The Making Of an Orator”, serta karya Livius yaitu “History” dimana hasil
didikan ayahnya ini menjadi peletak batu pertama pemikiran politiknya11.
Meskipun di sisi lain diriwayatkan bahwa ibunya menginginkan Machiavelli
menjadi seorang Rohanian.
Selain itu Machiavelli mengenyam pendidikan forman, dimana pengaruh
pertama yang mempengaruhi pola pikirnya adalah pendidikan liveral yang
diberikan kepada anggota kelasnya12. Dalam salah satu tulisan ayahnya, dalam
usia 14 tahun Machiavelli dibawah asuhan Paulo mampu mebuat sebuah karya
humanis dengan gaya penuisan klasik13.
10
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
Modern, h. 258.
11
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h 126
12
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
Modern, h. 248.
13
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h 127.
Dalam usia yang sangat muda dia telah mempelajari bahasa Latin dan
ilmu-ilmu tentang humanora melalui seorang guru yang bernama Paulo
Ronsiglione dengan pemikiran dan kajian tentang humanisme 14. Pada fase
berikutnya Machiavelli melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi
Universitas Florence.
2. Pengalaman Politik
Dalam tahun 1498, Amchiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun
memperoleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Nicolo Machiavelli
pun masuk ke dalam kelompok kaselir yang tertinggi atas majelis sepuluh, yaitu
sebuah lembaga penting Republik Florence, dimana badan ini memiliki sejumlah
kekuasaan diplomasi, masalah peperangan, dan lain-lain. Dan tokoh ini sering
terlibat dalam pelbagai misi diplomatik atas namanya, melakukan perjalanan ke
Perancis dan Jerman. Di Florence, dia meraih kesuksesan di mata penguasa.
Termasuk ketika berhasil merebut Pisa dan mengembalikannya ke dalam republik
Firenze tahun 1508. Bahkan sebagian sejarawan ada yang mengatakan bahwa
Machiavelli pernah menjadi sekretaris di Republik Florence15. Nicolo Machiavelli
menjabat sebagai aparatur negara Republik Florence selama 14 tahun.
14
Ibid, h.127.
15
Kasman Singodimejo dan Mohamad Saleh, Machiavelli, (Jakarta: Permata Jakarta, 1937), h.7
pernyataan bahwa di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut
pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” polity).
Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap
hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang saat
itu paling baik dalam segi pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan bangsawan
dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari
parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali
dapat diminimalisir atau dapat dieliminasi16.
Akhir dari jabatan Machiavelli sendiri tergolong buruk, karena sesudah dia
dipenjarakan, dia dituduh sebagai komplotan yang mencoba menggulingkan
pemerintah pada saat itu. Namun dia tetap tidak mengakui akan hal itu, dan juga
tidak terbukti, maka tokoh politik dan penulis ini akhirnya dibebaskan, tetapi
pembebeasnnya ini berupa pengasingan terhadapnya ke wilayah terpencil daerah
pertanian di San Casciano.
16
Ibid, h.9.
17
J.F Otten, Konsep Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 1963), h. 6.
dari dua puluh enam pemikiran Machiavelli mengenai berbagai persoalan macam
kerajaan dan cara menegakannya, sebab-sebab kerajaan Darius yang ditaklukan
tidak memberontak terhadap penggantinya setelah kematiannya, perebutan
wilayah baru dengan kekuatan senjata, kewajiban raja terhadap angkatan perang,
kekuasaan konstitusional, negara gereja, bagaimana mengukur kekuasaan, saran-
saran untuk membebaskan bangsa Italian dan lain-lain. Dari semua topik salah
satu yang paling menarik dan patut mendapat perhatian khusus adalah ‘bagaimana
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
1. Penguasa negara dan kekuasaan
Gagasan kekuasaan Machiavelli patut dikaji setidaknya karena dua alasan:
pertama, gagasannya telah menjadi sumber indpirasi bagi banyak penguasa sejak
awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX. Banyak negarawan dan penguasa
dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui telah menjadikan buku
Machiavelli sebagai hand book mereka dalam memperoleh dan mempertahankan
kekuasaannya, misalnya Hitler dan Mussolini. Gagasan yang sama telah menjadi
basis intelektual bagi pelaksanaan diplomasi kaum realis. Realisme, sebagai suatu
aliran penting dalam kajian diplomasi internasional, banyak mendasarkan
asumsinya pada pemikiran kekuasaan Machiavelli.
Kedua, dari perspektif sejarah pemikiran politik, gagasannya itu
merupakan pemutusan hubungan total masa kini dengan masa lalu, suatu ciri
penting abad Renaisans. Berbeda dengan para pemikir abad pertengahan seperti
Santo Augustinus dan Thomas Aquinas yang mengaitkan kekuasaan dan negara
dengan agama dan Tuhan maupun moralitas, Machiavelli justru berpendapat
bahwa kekuasaan hendaknya dipisahkan dari semua itu. Tidak ada kaitan atau
relevansi antara kekuasaan dengan agama, kecuali sejauh agama dan moral itu
memiliki nilai utilitarianisme bagi kekuasaan dan negara. Bagi Machiavelli
kekuasaan merupakan alasan menjadi negara. Negara juga merupakan simbolisasi
tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua dan mutlak.
Menurutnya negara yang kuat adalah negara yang memiliki hukum yang kuat
untuk mengatur hidup masyarakat. Karena itu pula hukum harus ditegakkan
bersama dengan sistem militer yang kuat. Ia berpendapat bahwa angkatan
bersenjata merupakan basis penting yang harus dimiliki oleh seorang penguasa
negara. Pendapatnya ini dipengaruhi oleh kehancuran Italia sebelumnya karena
tidak memiliki angkatan bersenjata negara dan mengandalkan tentara sewaan yang
akhirnya berkhianat. Pengalaman sejarah juga telah membuktikan bahwa hanya
para penguasa dan negara Republik yang memiliki tentara kuat yang berhasil
dengan baik, seperti Romawi dan Sparta.
Dalam buku The Prince juga menguraikan tentang perlunya penguasa
mempelajari sifat-sifat terpuji dan tidak terpuji seperti kejam, bengis, khianat,
kikir selama tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut bernilai baik bagi negara dan
kekuasannya. Karena menurutnya untuk mencapai tujuan cara apa pun bisa
digunakan.18 Tanggung jawab utama penguasa adalah selalu beruapaya mencari
keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya dan menjamin
kelangusungan hidupnya.19
2. Nilai utilitarianisme politik agama
Berbda dengan para teolog pada abad pertengahan, seperti Augustinus dan
Aquinas yang melihat agama Kristen dari sudut pandang teologi dan filsafat,
Machiavelli justru melihat agama dari sudut pragmatisme dan kepentingan politik
praktis. Agama memiliki makna bila berguna bagi kepentingan politk dan
kekuasaan. Ia juga berkesimpulan bahwa agama Kristen hampa dan tak bermakna
dibandingkan dengan agama-agama kuno bangsa Romawi. Menurutnya agama
Romawi kuno lebih bersifat integratif fibandingkan agama kristen. Agama itu
berhasil mempersatukan negara, membina loyalitas, kepatuhan, dan ketunduhan
rakyat terhadap otoritas penguasa Romawi. Dalam buku The Doscourses,
Machiavelli menuliskan bahwa agama Romawi kuno berhasil membuat
keperingasan rakyat menjadi kepatuhan. Agama merupakan alat yang diperlukan
untuk memelihara suatu negara yang beradab dan telah menciptakan kejayaan
Romawi.20
18
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2001), 131-137
19
Robert Jackson dan Georg Sorenson, Pengantar Studi Hubungan Internasional (New York:
Pustaka Pelajar, 2013), 118
20
Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2001), 138-139
2.4 Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli dalam Hubungan Internasional
21
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan,p.128
22
Ibid., pp. 125-138
23
Cesa, Machiavelli on International Relations, pp.2-3
menghormatinya.24 Force atau kekuatan tersebut berasal dari kekuatan militer
yang mumpuni. Machiavelli adalah diplomat dari negara yang pada saat itu
tergolong kecil dan tidak mempunyai militer yang kuat sehingga pada peristiwa-
peristiwa seperti yang terjadi saat penyerangan terhadap Pisa, harus menggunakan
tentara bayaran yang pada akhirnya berkhianat dan menyerang Florence karena
tentara tersebut dibayar lebih tinggi oleh Pisa.25 Dari observasi inilah Machiavelli
menganggap bahwa penting untuk suatu negara mempunyai pasukan militernya
sendiri yang direkrut dari penduduknya. Sang penguasa pun harus menguasai atau
mempunyai ilmu tentang peperangan dan mengetahui medan negaranya agar
dapat membangun strategi perang yang baik.26
29
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara,
Masyarakat dan Kekuasaan, pp.130-134
BAB I
PENUTUP
1.4 Kesimpulan
Daftar Pustaka
J. Schmandt, Henrt. Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani
Kuno Sampai Modern. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan Media Utama,
2001.
Hunt, Lynn et al. (2019). The Making of the West: Peoples and Cultures, 6th ed.
Boston: Bedford St. Martins