Anda di halaman 1dari 4

Pengaruh Prinsip Non-interversi ASEAN Terhadap Konflik Rohingya

Dosen pengajar:

Badrus Shaleh S.Ag, M.A, Ph.D

Dibuat oleh:

Gaizcha Hermano Da Ajauro (11181130000127)

Muhammad Qolbun Salim (11181130000053)

Muhammad Daffa Fadhilah (11181130000098)

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

HUBUNGAN INTERNASIONAL

2018
A. Pendahuluan

Penulisan ini akan membahas persoalan konflik terjadi dan bagaimana


upaya atau peran yang akan diambil organisasi ASEAN (Association of
Southeast Asia Nations) dalam menangani konflik etnis yang terjadi di
Myanmar. Sebagimana kita ketahui bahwa ASEAN sebagai organisasi yang
berada di kawasan Asia Tenggara yang memberi banyak harapan bagi
terjalinnya hubungan internasional di kawasan yang semakin stabil. Sebagai
bentuk kerja sama kawasan, ASEAN dianggap sebagai salah satu instrumen
yang mampu menjaga kestabilan dan keamanan di kawasan Asia tenggara
bagi para anggotanya.
Konflik Rohingya merupakan permasalahan klasik bagi ASEAN.
Konflik etnis yang terjadi di Rohingya, Myanmar ini telah berlangsung sejak
dahulu sebelum Myanmar itu sendiri bergabung ke dalam ASEAN. Rohingya
merupakan nama sebuah etnis yang bertempat tinggal di wilayah Arakan atau
juga dikenal dengan nama Rakhine, sebelah barat Myanmar dan berbatasan
langsung dengan Bangladesh. Etnis Rohingya merupakan satu dari 135 etnis
yang ada di Myanmar. Tidak hanya etnis Rohingya saja yang mendapatkan
diskriminasi, namun yang membedakan adalah hanya etnis Rohingya yang
tidak diakui sebagai warga negara Myanmar.
Konflik ini telah menjadi tragedi kemanusiaan, perdamaian dan
keamanan dunia yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, bahkan beberapa
negara tetangga yang berada di kawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal
dengan sebutan ASEAN juga terkena dampak langsung dan tidak langsung
dari peristiwa ini. Akibatnya isu ini berkembang menjadi isu regional atau
kawasan di mana ASEAN sebagai organisasi harus berperan apalagi ASEAN
sudah mempunyai lembaga yang bertugas memerhatikan dan menangani kasus
HAM, yaitu lembaga yang bernama the ASEAN Intergovermental Commision
on Human Right (AICHR).
Terlepas dari semua tindakan diskriminasi maupun pembantaian yang
dilakukan pemerintahnya, persoalan konflik Rohingya di Myanmar ini
menjadi tantangan dan pembuktian kredibilitas organisasi ASEAN. Sebagai
organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN memiliki urgensi yang
besar terhadap penyelesaian konflik Rohingya. Namun, penyelesaian di bawah
mekanisme ASEAN ini memiliki berbagai hambatan di antaranya yaitu
prinsip non-intervensi yang dipegang teguh oleh ASEAN dan negara-negara
anggotanya. Prinsip non-intervensi merupakan prinsip yang menjamin
pengakuan kedaulatan negara anggota, juga jaminan perlindungan dari campur
tangan suatu negara anggota terhadap politik domestik negara anggota
lainnya1.
Dalam hal lain prinsip non-intervensi adalah prinsip yang
mengemukakan bahwa suatu negara tidak memiliki hak untuk mencampuri
urusan atau permasalahan dalam negeri dari negara lain. Prinsip ini merupakan
satu dari lima prinsip peaceful coexsistence yang tercantum dalam piagam
PBB yang kemudian diadopsi oleh para pendiri ASEAN dengan penyesuaian
tertentu terhadap norma-norma regional dalam hal ini khususnya yaitu norma-
norma regional asia tenggara yang tentu saja berbeda dengan organisasi-
organisasi lainnya.2 Prinsip non-intervensi selama ini dipegang teguh oleh
apara pendiri ASEAN dalam kebijakan regionalnya. Hal ini yang demikian
terjadi karena telah terdapat dasar hukum yaitu pada Piagam ASEAN sehingga
menyebabkan negara-negara anggota tidak memiliki legitimasi dan otoritas
yang cukum untuk mengintervensi masalah konflik dan pelanggaran HAM
internal negara-negara anggotanya. Pasal 2 Piagam ASEAN menyatakan
bahwa (e) non-interference in the internal affairs of Asean member states, (f)
respect the rights of every member states to leads its national exsistence free
form external interfence, subversion, and coersion.
Prinsip non-intervensi telah menjadi dasar fundamental bagi hubungan
antar negara anggota ASEAN. Nilai positif dari adanya prinsip ini yaitu untuk
mencegah dan memilimalisasi terjadinya konflik antar negara anggota
ASEAN itu sendiri. Dengan adanya prinsip ini setidaknya berhasil meredam
potensi konflik di kawasan. Sisi negatifnya yaitu pada kenyataannya prinsip
ini menghambat ASEAN untuk berperan signifikan dalam menyelesaikan
konflik domestik di masing-masing negara anggotanya, contohnya kasus
Rohingya di Myanmar ini.3
Prinsip non-intervensi ini melarang negara-negara anggota ASEAN
untuk mengintervensi permasalahan domestik suatu negara. Di satu sisi,
adanya prinsip non-intervensi memberikan kebebasan dan kelonggara bagi
negara untuk mengatur negaranya tanpa adanya ikut campur negara lain.
Namun, di sisi lain prinsip non-intervensi dari ASEAN ini kurang dapat
memiliki kewenangan untuk memberikan mekanisme-mekanisme tertentu
dalam menangani sebuah kasus yang bisa dibilang genting atau berbahaya
yang menyangkut tentang hak asasi manusia.

1
I Halina, ‘Menyoroti Prinsip Non-Intervensi ASEAN’, Multiversa: Journal of International Studies,
Vol. 1, No.1, 2011, p.14.
2
Rahmadhona, melihat kembali relevansi non-intervensi ASEAN, kompasiana 19 nov 2016
diakses pada tanggal 26 des 2019.
3
Tony Yuri Rahmanto, ‘Prinsip Non-intervensi Bagi ASEAN Ditinjau dari Presfektif Hak Asasi
Manusia’, Jurnal Ham, Vol. 8, No. 2, 2017, p.6
B. Rumusan Masalah

Pada penulisan ini akan mencoba menuliskan mengenai peran dan


upaya apa yang akan dilakukan oleh organisasi regional, yaitu ASEAN dalam
menangani konflik etnis yang ada di Myanmar. Dengan berbagai hambatan
salah satunya yaitu tentang prinsip non-intervensi atau tidak boleh campur
tangan terhadap negara anggotanya membuat sulit untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang ada. Dengan begitu adapun pertanyaan untuk menganalisis
tentang penulisan ini adalah ‘Bagaimana prinsip non-intervensi ASEAN
memengaruhi upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik Rohingya?’

Anda mungkin juga menyukai