Anda di halaman 1dari 17

INTERAKSI MOTIVASI KERJA KARYAWAN PERUSAHAAN

KELUARGA X DAN REPLIKASI KEPEMIMPINAN GENERASI


PENERUS SEBAGAI SEBUAH STRATEGI

A. PENDAHULUAN

Berdasarkan data sensus ekonomi tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik,
terdapat 15.741.563 perusahaan keluarga dari jumlah total 16.426.933 perusahaan yang ada di
Indonesia (Faustine, 2010). Sumbangan yang diberikan perusahaan-perusahaan keluarga
tersebut mencapai 82,44% dari Produk Domestik Bruto perusahaan menengah dan kecil di
Indonesia. Data tersebut menggambarkan andil perusahaan keluarga di Indonesia bagi negara
Republik Indonesia.

Meskipun referensi mengenai perusahaan keluarga di Indonesia sangat terbatas, beberapa


survei telah dilakukan untuk memperkaya wawasan masyarakat dalam memahami fenomena
perusahaan keluarga di Indonesia. Mengutip artikel www.eksekutif.com (2003), Grant Thornton
Indonesia meneliti 250 perusahaan keluarga di Indonesia. Dari penelitian tersebut ditemukan
bahwa sebagian besar perusahaan keluarga bergerak di bidang perdagangan besar dan eceran
(36%); manufaktur dan distribusi (24%); jasa profesional (14%); dua jenis bidang usaha (13%);
pertanian dan perikanan (4%); konstruksi (3%); keuangan dan real estate serta transportasi (2%);
dan hotel dan hiburan serta jasa perusahaan (1%). Dari data survei tersebut, terlihat bahwa
perusahaan keluarga di Indonesia menyebar dalam berbagai bidang industri dan organisasi.

Susanto dkk (2007) menyatakan bahwa perusahaan keluarga berhadapan dengan permasalahan
organisasi sekaligus permasalahan keluarga. Permasalahan organisasi pada perusahaan
keluarga terkait dengan pengelolaan perusahaan sedangkan permasalahan keluarga terkait
dengan isu suksesi. Dalam menghadapi kedua permasalahan tersebut, seringkali terjadi konfl ik
yang dapat menyebabkan terganggunya hubungan antar keluarga dan terhambatnya
pencapaian tujuan bisnis. Oleh karena itu, bidang Psikologi Industri dan Organisasi memiliki
peranan yang penting dalam menengahi permasalahan tersebut. Hal ini sesuai dengan batasan
yang diberikan oleh Munandar (2001) bahwa Psikologi Industri dan Organisasi merupakan ilmu
yang mempelajari perilaku manusia baik secara perorangan maupun kelompok, dengan
maksud agar temuannya dapat diterapkan dalam industri dan organisasi dan untuk
kepentingan dan kemanfaatan manusianya dan organisasinya.

Seperti yang telah disebutkan, pengelolaan perusahaan menjadi salah satu permasalahan
organisasi yang dihadapi oleh perusahaan keluarga, sama seperti perusahaan pada umumnya.
Kanungo dan Mendonca (1994) mengatakan bahwa pengelolaan perusahaan membutuhkan
penggunaan yang efektif dari tiga sumber daya, yaitu ekonomi atau moneter, fi sik atau materi,
dan sosial atau manusia; dimana sumber daya manusia merupakan hal yang paling penting.
Sumber daya manusia dikatakan paling penting karena dengan penggunaan sumber daya
manusia, sumber daya lainnya dapat berkembang dan menghasilkan sesuatu yang lebih

1
bermakna bagi perusahaan. Sumber daya manusia yang dimaksud tak lain adalah pemimpin
perusahaan dan karyawan. Karyawan menjadi kunci keberhasilan bagi perusahaan keluarga
karena karyawan dapat menjamin keberlangsungan produksi di dalam perusahaan.
Keberlangsungan produksi yang efektif merupakan hasil dari unjuk kerja atau performance
karyawan. Robbins (2006) mengatakan bahwa unjuk kerja karyawan merupakan hasil dari
interaksi antara motivasi kerja, kemampuan (abilities), serta peluang (opportunities) yang dimiliki
oleh karyawan. Dengan demikian, motivasi kerja karyawan menjadi salah satu hal menentukan
bagi keberlangsungan perusahaan.

Dalam berbagai literatur perilaku organisasi, motivasi kerja didefi nisikan sebagai proses
psikologis yang mendasari perilaku karyawan dalam situasi kerja (Kanungo & Mendonca, 1994).
Herzberg mengusulkan suatu teori motivasi kerja yang didasarkan pada asumsi bahwa manusia
dilahirkan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus dipuaskan (dalam Landy &
Trumbo, 1980). Ia mengatakan bahwa manusia memiliki dua bentuk kebutuhan, yaitu
kebutuhan hygiene dan kebutuhan motivator. Kebutuhan hygiene adalah kebutuhan dasar yang
ditandai dengan adanya lingkungan yang sehat. Di dalam situasi pekerjaan, kebutuhan ini
meliputi rekan kerja, gaji, keamanan, kondisi kerja, dan kebijakan perusahaan. Sedangkan
kebutuhan motivator merupakan kebutuhan tingkat tinggi atau kebutuhan untuk berkembang.
Kebutuhan ini terbilang unik dan membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya karena
kebutuhan ini berhubungan dengan karakteristik innate dari manusia yang mencari tantangan,
rangsangan, dan otonomi. Dalam situasi pekerjaan, kebutuhan ini meliputi pekerjaan itu sendiri.
Kedua kebutuhan ini dipandang sebagai faktor-faktor dari motivasi kerja yang akan mengarah
pada kepuasan kerja. Dari uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa motivator yang sering
disebut sebagai satisfi er merupakan faktor instrinsik dan hygiene yang sering disebut sebagai
dissatisfi er merupakan faktor ekstrinsik yang dapat mendorong karyawan untuk bekerja.

Teori yang dikemukakan oleh Herzberg ini menuai banyak kritik. Berbagai penelitian dilakukan
untuk mengetahui apakah teori ini menganut unidimensional atau multidimensional untuk
menjelaskan fenomena kepuasan kerja yang timbul dari kedua faktor motivasi kerja tersebut.
Burke (1965) meneliti bahwa faktor hygiene dan faktor motivator yang dikemukakan Herzberg
bukanlah satu dimensi atau unidimensi, tetapi juga tidak dapat dilihat sebagai konstruk yang
terpisah atau independen. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan dua faktor dari motivasi
kerja yang dikemukakan oleh Herzberg dan memandangnya sebagai dua faktor yang berbeda
namun bukanlah konstruk yang terpisah, yaitu sebagai faktor hygiene-motivator. Di dalam
konteks organisasi, motivasi kerja dipengaruhi oleh empat hal, yaitu karakteristik individu,
karakteristik pekerjaan, karakteristik lingkungan kerja, dan karakteristik lingkungan eksternal
dari pekerjaan (Perry & Porter, 1982). Salah satu dimensi interpersonal dari karakteristik
lingkungan kerja yang mempengaruhi motivasi adalah kualitas pemimpin. Kualitas pemimpin
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kepemimpinan yang dipersepsikan karyawan.
Persepsi merupakan proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan kesan
inderanya dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan (Robbins, 2006). Persepsi
karyawan terhadap perilaku kepemimpinan atasan merupakan hal yang lazim dilakukan dalam

2
dunia kerja (Furnham, 2005). Ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi, yaitu faktor pelaku
persepsi, faktor pada target, dan faktor situasi. Target yang dipersepsikan dalam hal ini adalah
atasan, atau generasi penerus perusahaan keluarga. Sedangkan faktor pada target yang ingin
dilihat dalam penelitian ini adalah kepemimpinan. Bass (1985) mengatakan bahwa penilaian
mengenai efektivitas kepemimpinan dapat dilihat dengan obyektif jika dilakukan oleh bawahan
daripada pemimpin itu sendiri sehingga diperlukan persepsi karyawan terhadap kepemimpinan
atasan.

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Menurut Susanto dkk (2007), perusahaan keluarga memiliki beberapa karakteristik yang unik,
yaitu adanya kepemilikan oleh keluarga dan keterlibatan anggota keluarga dalam manajemen.
Di dalam perusahaan keluarga, anggota keluarga akan mengantisipasi bahwa kepemimpinan

dilakukan oleh keluarga dan akan diturunkan kepada generasi penerus. Kepemimpinan ini
meliputi pengawasan, pengambilan keputusan dan kebijakan penyusunan strategi dan kegiatan
bisnis lainnya.

Adanya keterlibatan anggota keluarga menyebabkan tingginya saling keterandalan sehingga


perusahaan dapat tetap berjalan meskipun pemimpin tidak berada di tempat. Selain itu, di
dalam perusahaan keluarga terdapat kekuatan emosi yang menimbulkan rasa kekeluargaan. Hal
ini ditampilkan oleh para manajer dalam perusahaan keluarga yang menggunakan pendekatan
pribadi dan memberikan kepercayaan kepada para karyawannya.

C. ANALISA PERMASALAHAN

Organisasi yang baik adalah organisasi yang bertumbuh. Perusahaan yang baik adalah
perusahaan yang bertumbuh. Tujuan organisasi sebuah perusahaan adalah mencapai
pertumbuhan yang optimal. Diperlukan berbagai strategi untuk mencapai pertumbuhan. Salah
satu strategi untuk mencapai pertumbuhan adalah strategi replikasi.

Winter dan Szulanski (2001) menyebut replikasi sebagai strategi (replication as strategy) pada
perusahaan dalam menciptakan keunggulan kinerja dan pertumbuhan (growth). Instrumen
utama pada kegiatan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) adalah replikasi praktek terbaik
(best practices) dan disebarkan pada seluruh unit-unit dan lapisan organisasi dengan sedikit
adaptasi yang diperlukan sesuai dengan kondisi setempat (Love, 1995; Winter dan Szulanski,
2001).

Winter dan Szulanski (2001) mempelajari pertumbuhan perusahaan yang cepat seperti
McDonald, KFC dan Starbuck Coffee dalam penyebaran bisnisnya pada pasar dunia adalah
peran replikasi best practices yang disebarkan pada seluruh unit dan lapisan organisasi yang
terpisah lokasinya. Mereka tampil di tempat strategis pusat perbelanjaan, sentra bisnis dan di
pusat kota.

3
Berdasarkan analisis yang dilakukan, kedua faktor dari motivasi kerja yaitu faktor hygiene dan
faktor motivator, lebih dipengaruhi oleh kepemimpinan transformasional generasi penerus yang
dipersepsikan karyawan Restoran X daripada kepemimpinan transaksional generasi penerus
yang dipersepsikan karyawan Restoran X. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Bycio, Hackett, & Allen (1995) bahwa pemimpin transformasional dipandang sebagai pemimpin
yang dapat meningkatkan kesadaran bawahan untuk mencapai hasil tertentu melebihi transaksi
yang bersifat ekonomis, yaitu dengan cara memperluas dan meningkatkan kebutuhan bawahan
serta mendorong bawahan untuk menggapai minat pribadinya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional generasi penerus yang dipersepsikan
karyawan Restoran X mampu menimbulkan kedua faktor motivasi kerja, yaitu faktor hygiene
yang berdasarkan pada kebutuhan dasar dan faktor motivator yang berdasarkan pada
kebutuhan akan perkembangan.

D. PEMBAHASAN MASALAH

1. Kepemimpinan Dalam Perusahaan Keluarga

Kepemimpinan adalah proses dalam mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau


kelompok dalam usahanya mencapai tujuan di dalam suatu situasi tertentu. Dengan
penerapan kepemimpinan yang sesuai dengan konteks perusahaan, seorang pemimpin
dapat membawa perusahaan pada kesuksesan. Seorang pemimpin yang efektif mampu
mempengaruhi karyawan karena ia memiliki pengetahuan tentang perilaku karyawan dan
hal-hal yang mendasarinya, misalnya mengenai motivasi kerja karyawan (Kanungo &
Mendonca, 1994). Memberi motivasi pada orang lain merupakan hal yang penting dalam
kepemimpinan (Hughes, Ginnet, & Curphy, 1999).

Di dalam dunia bisnis, kepemimpinan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
kehidupan organisasi (Harsiwi dan Pidekso, 2001). Hal tersebut berlaku pada setiap
organisasi, termasuk juga perusahaan keluarga. Kepemimpinan merupakan isu utama yang
perlu diperhatikan di dalam setiap organisasi, termasuk perusahaan keluarga.
Kepemimpinan dalam perusahaan keluarga sangat erat kaitannya dengan regenerasi
perusahaan atau suksesi perusahaan, yang dapat menjadi permasalahan keluarga dalam
perusahaan keluarga. Suksesi terjadi saat pendiri atau generasi awal perusahaan
menyerahkan perusahaan pada generasi penerusnya, demi kelangsungan kehidupan
perusahaan keluarga.

Susanto dkk (2007) menekankan bahwa perusahaan keluarga melibatkan anggota keluarga
dalam manajemen perusahaan. Generasi penerus merupakan salah satu anggota keluarga
yang diikut sertakan dalam manajemen sejak kecil. Tingginya keterlibatan generasi penerus
menghasilkan jiwa bisnis yang telah meresap dan mendarah daging sehingga komitmennya
terhadap bisnis pun tinggi. Komitmen terhadap bisnis pada generasi penerus menjadi lebih
tinggi karena ada tuntutan dari generasi sebelumnya untuk meneruskan bisnisnya. Di masa

4
yang akan datang, generasi penerus dituntut untuk mampu membangun perusahaan
menjadi lebih segar, kreatif, inovatif, kompetitif, mengglobal, bernafaskan sosial dan
spriritual, serta ramah lingkungan (Djatmiko, 2008). Generasi penerus sedikit banyak
mempelajari kepemimpinan dari generasi sebelumnya, yaitu orangtuanya. Pandangan dan
strategi yang dimiliki oleh generasi penerus merupakan gabungan dari visi yang telah
diturunkan oleh orangtuanya dan pemikirannya sendiri. Hal tersebut menjadi visi baru
dalam menjalankan organisasi ke arah yang lebih baik.

Pola-pola perilaku pemimpin yang diperlukan oleh generasi penerus dalam menjalankan
perusahaan keluarga sesuai dengan polapola perilaku dalam kepemimpinan transaksional
dan transformasional dari Bass. Kepemimpinan transaksional menekankan pada proses
hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan
psikologis sesuai dengan kontrak yang telah disetujui oleh atasan dan bawahan (Wutun,
2001). Polapola perilaku dari kepemimpinan ini dibutuhkan perusahaan keluarga karena
salah satu kunci sukses perusahaan keluarga adalah kemampuan mengelola kompetensi
yang beragam diantara pemilik, manajer, karyawan, dan anggota keluarga (Susanto dkk,
2007). Hal ini dapat dilakukan melalui pertukaran antara imbalan dengan unjuk kerja yang
diberikan menurut kompetensi masingmasing pihak.

Sedangkan kepemimpinan transformasional menekankan pada proses membangun


kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan kebutuhan
melampaui minat pribadi, serta mendorong perubahan tesebut ke arah kepentingan
bersama termasuk kepentingan organisasi (Wutun, 2001). Pola-pola perilaku dari
kepemimpinan ini dibutuhkan perusahaan keluarga karena adanya generasi penerus
dituntut untuk memiliki sifat kreatif, inovatif, dan mampu bekerja sama dengan orang lain
dalam membentuk kembali strategi dan taktik perusahaan. Menurut McKenna (2000), ciri-
ciri tersebut merujuk pada pentingnya penerapan kepemimpinan transformasional pada
perusahaan yang sedang mengalami perubahan.

Konsep kepemimpinan transaksional dan transformasional pada dasarnya merupakan suatu


proses yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Bass (1985) mengatakan bahwa
meskipun keduanya berbeda secara konseptual, kepemimpinan transaksional dan
transformasional dapat muncul pada seseorang dalam jumlah dan intensitas yang berbeda
dan saling melengkapi. Bycio, Hackett, & Allen (1995) mengatakan bahwa pemimpin
transformasional dipandang sebagai pemimpin yang dapat meningkatkan kesadaran
bawahan untuk mencapai hasil tertentu melebihi transaksi yang bersifat ekonomis, yaitu
dengan cara memperluas dan meningkatkan kebutuhan bawahan serta mendorong
bawahan untuk menggapai minat pribadinya. Hal tersebut mengandung arti bahwa kualitas
kepemimpinan transformasional dilengkapi dan didukung oleh adanya kepemimpinan
transaksional. Bass dan Avolio (dalam Wutun, 2001) berpendapat bahwa pemimpin tertentu
terlihat memiliki tipe transaksional namun sering berperilaku transformasional. Meskipun
kepemimpinan transformasional memperbesar efektivitas kepemimpinan transaksional,

5
peran kepemimpinan transformasional bukan untuk menggantikan kepemimpinan
transaksional (Wutun, 2004). Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini mencoba untuk
melihat kedua tipe kepemimpinan tersebut sebagai dua hal yang berbeda namun tidak
terpisah, yaitu sebagai kepemimpinan transaksionaltransformasional.

Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini mengajukan permasalahan yaitu sebagai


berikut: “Bagaimana interaksi antara faktor-faktor motivasi kerja karyawan dengan faktor-
faktor kepemimpinan generasi penerus yang dipersepsikan oleh karyawan perusahaan
keluarga X?”. Interaksi antara motivasi kerja karyawan dan kepemimpinan yang
dipersepsikan karyawan di dalam perusahaan keluarga dalam hal ini akan dikaji dengan
menggunakan analisis persamaan model struktural dengan pertimbangan bahwa motivasi
kerja karyawan terdiri atas dua faktor yang berbeda namun tidak terpisah, begitu juga
dengan kepemimpinan yang dipersepsikan oleh karyawan. Selain itu, melalui analisis ini
dapat dilakukan peninjauan secara menyeluruh dan serentak. Penelitian ini menjadi penting
karena terbatasnya penelitian di dalam bidang perusahaan keluarga.

Menurut Yukl (2006), kepemimpinan merupakan sebuah proses dalam mempengaruhi


orang lain untuk memahami dan menyetujui tentang sesuatu yang harus dilakukan dan
bagaimana melakukannya, serta sebagai proses dalam memfasilitasi usaha individu dan
kelompok untuk menyelesaikan tujuan tertentu. Sesuai dengan permasalahan pada
penelitian ini, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepemimpinan
transaksional dan transformasional.

Menurut Bass, kepemimpinan transaksional merupakan kepemimpinan yang biasa


diterapkan dalam organisasi atau perusahaan (Miner, 1992). Bass (1985) mengatakan bahwa
seorang pemimpin transaksional mengetahui dan berusaha memperjelas peran dan tugas
yang perlu dilakukan oleh bawahan demi tercapainya tujuan. Hal ini memberikan keyakinan
pada bawahan untuk mengeluarkan usaha demi peran dan tugas tersebut. Seorang
pemimpin transaksional juga mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh
bawahan dan menegaskan bahwa keinginan dan kebutuhan tersebut dapat dipenuhi bila
bawahan memberikan usaha yang diperlukan demi tercapainya tujuan. Dengan kata lain,
pemimpin akan menukar imbalan dan janji akan imbalan untuk setiap usaha yang
dikeluarkan oleh bawahan. Wutun (2001) menjelaskan bahwa terdasapat empat aspek dii
dalam kepemimpinan

transaksional, yaitu: Contingent Reward, di mana pemimpin menawarkan dan menyediakan


sejumlah imbalan jika hasil kerja bawahan memenuhi kesepakatan; Management By
Exception-Active, di mana pemimpin menetapkan sejumlah aturan yang perlu ditaati dan
secara ketat melakukan pengawasan agar bawahan terhindar dari berbagai kesalahan,
kegagalan, dan melakukan intervensi dan koreksi untuk perbaikan; Management By
Exception-Passive, di mana pemimpin hanya melakukan intervensi dan koreksi jika terjadi
masalah yang bertambah serius; dan Laissez-Faire, di mana pemimpin membiarkan
bawahan bebas melakukan pekerjaan mereka tanpa ia terlibat secara aktif.

6
Bass mendefi nisikan kepemimpinan transformasional sebagai kemampuan pemimpin
mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, dan pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang
dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk
mencapai tujuan organisasi (Wutun, 2001). Kepemimpinan transformasional dapat dilihat
sebagai kunci dalam menyegarkan suatu perusahaan (Miner, 1992). Pemimpin
transformasional dapat mengembangkan visi baru untuk perusahaan dan menggerakan
bawahannya untuk menerima dan bekerja sesuai dengan visi tersebut. Wutun (2001) dan
Munandar (2001) mengatakan ada lima aspek perilaku dalam kepemimpinan ini, yaitu:
Attributed charisma, di mana pemimpin bersikap tenang dalam menghadapi situasi kritikal
dan yakin dapat mengatasinya dengan baik dan mendahulukan kepentingan perusahaan
dan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadinya; Idealized infl uence, di mana
pemimpin berupaya mempengaruhi bawahan melalui komunikasi langsung dengan
menekankan pentingnya nilai-nilai, asumsi-asumsi, komitmen dan keyakinan; Inspirational
leadership/motivation, di mana pemimpin memberikan visi masa depan dengan lebih jelas
dan memberikan kesempatan bagi bawahannya untuk mengenal arti dari pekerjaan yang
mereka lakukan; Intellectual stimulation, di mana pemimpin menunjukkan cara-cara baru
dalalm melihat suatu permasalahan dan menekankan bahwa perbedaan yang dihadapi
dalam suatu pekerjaan merupakan masalah yang harus dipecahkan secara rasional; dan
Individualized consideration, di mana pemimpin memperlakukan setiap bawahannya
sebagai seorang pribadi dengan kecakapan, kebutuhan, dan keinginannya masing-masing.

Bass (1985) mengatakan bahwa untuk melihat gaya kepemimpinan atasan, akan lebih
obyektif bila kita melihat dari segi bawahan menilai gaya kepemimpinan atasannya
daripada atasan menilai sendiri bagaimana ia menampilkan gaya kepemimpinannya.

2. Replikasi Kerja Kepemimpinan

Orang Inggris menyatakan kita tidak perlu lagi menemukan roda (wheel) karena sudah
ditemukan 2000 tahun yang silam. Dilingkungan organisasi dan perusahaan kalau sudah
ditemukan cara-cara terbaik, semestinya anggota organisasi dan perusahaan yang lain
tinggal mencontoh (replikasi) apa yang sudah dimiliki perusahaan dan organisasi. Berbicara
dari perspektif knowledge, mencontoh yang baik sangat diperlukan oleh perusahaan selain
akan menghemat biaya, mengganti praktek-praktek yang buruk. Konsep mencontoh yang
terbaik merupakan inti dari Strategi Replikasi.

Kemampuan mencontoh bagi masyarakat Indonesia relatif mudah apalagi mencontoh yang
baik. Ini berbeda dengan situasi ujian di sekolah dengan larangan mencontoh punya teman.

Di dalam perspektif knowledge sharing dianjurkan semua anggota organisasi untuk


mencontoh yang baik yang ada di lingkungan internal dalam memberikan yang terbaik
bagi organisasi dan perusahaan. Jadi kemampuan mencontoh (kemampuan replikasi)
merupakan bagian yang strategis dalam mencapai pertumbuhan. Hal yang menjadi soal,

7
bagaimana agar dalam mencontoh ini dilembagakan untuk menjadi kegiatan yang rutin
sehari-hari. Melembagakan sesuatu yang baik di dalam organisasi relatif sulit. Ini sesuai
dengan penelitian Rogers (1983) dan Tucker (1987). Suatu best practices sharing dikatakan
mencapai puncak pelembagaan yang efektif bila knowledge tersebut digunakan dalam
kegiatan layanan dan dipertahankan pemakaiannya sepanjang memberi manfaat konkrit di
tempat kerja (Glaser, et al, 1983; Druckman & Bjork, 1991).

Seperti sukses McDonald, KFC dan Starbuck Coffee merupakan contoh kemampuan
mereplikasi best practices yang sudah ada sebelumnya. Kegiatan-kegiatan yang sudah ada
dan berhasil baik selayaknya dicontoh anggota dan unit organisasi secara internal.
Diperlukan model dan cara penyebaran best practices ke segenap lapisan organisasi melalui
peran management.

Menurut Buckel dan Moss (2007) peranan management dalam kesuksesan replikasi adalah
untuk memfasilitasi dan memotivasi terjadinya best practices sharingang berkelanjutan.
Perlu dipelihara kondisi trust yang baik di dalam internal organisasi. Hubungan antar
karyawan yang berbasis trust merupakan persayarat bagi efektifitas proses sharing (Nonaka,
1991). Selain itu management juga menjaga dan meningkatkan situasi kerjasama sesama
anggota organisasi. Menurut Wagner (1995), kerjasama (cooperation) adalah norma atau
perilaku dalam perusahaan yang mengarahkan karya personal untuk mencapai group
outcomes , meskipun terjadi dalam konteks tugas-tugas yang berseberangan dengan
kepentingan individual outcomes.

3. Motivasi Kerja

Motivasi berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu “movere” yang berarti berpindah atau to
move. Robbins (2006) mengatakan bahwa motivasi dikatakan sebagai suatu proses yang
ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran.
Steers dan Porter (1991) mengidentifi kasi tiga komponen utama dari motivasi yaitu
energizing (menguatkan atau mendorong), directing (mengarahkan), dan maintaining atau
sustaining (memelihara). Berdasarkan komponen tersebut, motivasi kerja didefi nisikan
sebagai suatu kondisi yang mempengaruhi dorongan, arahan, dan pemeliharaan tingkah
laku yang relevan dalam situasi pekerjaan.

Herzberg mengembangkan teori motivator-hygiene atau sering disebut sebagai teori dua
faktor. Ia memiliki keyakinan bahwa hubungan individu dengan pekerjaannya merupakan
hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang terhadap kerja sangat menentukan kegagalan
dan keberhasilan individu tersebut (Robbins, 2006). Ia melakukan penelitian dengan cara
meminta karyawankaryawan untuk menjelaskan beberapa pengalaman kerja mereka baik
yang dirasakan sangat menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan. Dari data tersebut,
ia menemukan bahwa faktorfaktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan
faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Karyawan-karyawan tersebut

8
cenderung menggambarkan faktor yang memuaskan berasal dari dalam pekerjaan itu
sendiri. Faktor ini berhubungan dengan isi pekerjaan (job content), dan disebut sebagai
motivator, yaitu kebutuhan tingkat tinggi atau kebutuhan untuk berkembang. Faktor ini
meliputi: Achievement (prestasi yang dicapai karyawan yang diperoleh melalui usaha serta
kemampuannya), Responsibility (tanggung jawab atau kewajiban untuk menjalankan fungsi
jabatan yang ditugaskan kepadanya sesuai dengan kemampuan dan pengarahan yang
diterimanya), Recognition (pengakuan dan penghargaan yang diberikan kepada karyawan
atas kinerjanya), work itself (tantangan yang dirasakan karyawan dari pekerjaannya), dan
Advancement (kesempatan karyawan untuk dapat maju dalam pekerjaannya).

Selanjutnya, karyawan-karyawan menggambarkan faktor yang tidak memuaskan berasal


dari hal-hal di luar pekerjaan. Faktor ini berhubungan dengan konteks dari pekerjaan (job
context), dan disebut sebagai hygiene, yang merupakan kebutuhan dasar dengan adanya
lingkungan yang sehat. Oleh karena itu, faktor ini tidak boleh diabaikan. Faktor ini
mencakup: interpersonal relations (hubungan interpersonal yang dirasakan karyawan dalam
berinteraksi dengan atasan dan rekan kerjanya), supervision (hubungan karyawan dengan
atasannya), Salary (kompensasi yang diterima karyawan sebagai imbalan dari kinerja yang
telah dilakukannya), job security (keamanan kerja yang diterima karyawan), company policy
and administration (kesesuaian yang dirasakan karyawan dari semua kebijakan dan
peraturan yang berlaku dalam perusahaan), dan Working conditions (kesesuaian kondisi
kerja dengan proses pelaksanaan tugas pekerjaannya).

E. HASIL HYPOTESA PERMASALAHAN

Dari 108 partisipan yang terlibat dalam penelitian ini, ada sebanyak 62 orang berjenis kelamin
laki-laki dan 46 orang berjenis kelamin perempuan. Dari usia partisipan diketahui bahwa
penyebaran usia partisipan cenderung condong ke usia muda, yaitu 20-29 tahun. Sementara
dilihat dari lama bekerja, mayoritas partisipan memiliki lama bekerja yang relatif singkat, yaitu
selama 1-5 tahun.

Untuk mengetahui interaksi antar variabel, terlebih dahulu dilakukan spesifi kasi model sesuai
dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini.

Spesifi kasi model terdiri atas 4 variabel laten dan 20 indikator, seperti pada bagan 1. Spesifi
kasi model penelitian di dalam bagan 1 menggunakan kode-kode untuk mempermudah
pemahaman pada analisis selanjutnya. Dari spesifi kasi model penelitian tersebut, terdapat
model pengukuran yang menggambarkan indikator-indikator sebagai refl eksi dari variabel
latennya, seperti dalam analisis faktor. Melalui analisis SEM, didapatkan indeks-indeks dalam
model pengukuran, yaitu seperti yang ditampilkan dalam tabel 1.

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa setiap indikator di dalam tabel tersebut memiliki t-values yang
lebih besar dari 1,96 sehingga dapat dikatakan bahwa muatan faktor dari indikator-indikator
yang ada di dalam model adalah signifi kan. Oleh karena itu, semua indeks standardized

9
solutions (SS) yang terdapat dalam model pengukuran dapat dianalisis lebih lanjut. Indeks SS
berkisar antara -1 hingga 0 dan 0 hingga 1. Besarnya indeks merupakan besarnya hubungan
indikator terhadap variabel laten, semakin mendekati nilai 1 maka semakin besar hubungannya.
Sementara tanda positif dan negatif adalah arah hubungan dari indikator dengan variabel laten.

Bagan 1. Spesifikasi Model Penelitian

10
Dari model pengukuran tersebut dapat dilihat bahwa pada variabel laten TRSC, indeks SS
tertinggi diperoleh indikator CR sebesar 0,85; diikuti oleh indikator MEA sebesar 0,66; indikator
LF sebesar -0,53; dan indeks terendah diperoleh indikator MEP sebesar 0,43. Hal ini
menandakan bahwa sampel penelitian yang merupakan karyawan Restoran X lebih
mempersepsikan atasannya menerapkan contingent reward, sedangkan management
byexception passive dipersepsikan paling jarang. Pada variabel laten TRFM, indeks SS tertinggi
diperoleh indikator ILM sebesar 0,96; dikuti oleh indikator II dan IS sebesar 0,92; kemudian oleh
indikator IC sebesar 0,91; dan indeks terendah diperoleh indikator AC sebesar 0,79. Hal ini
menandakan bahwa sampel penelitian yang merupakan karyawan Restoran X lebih
mempersepsikan atasannya menerapkan inspirational leadership/motivation, sedangkan
attributed charisma dipersepsikan paling jarang.

Pada variabel laten HYGN, indeks SS tertinggi diperoleh indikator SUP sebesar 0,93; diikuti oleh
indikator CPOL sebesar 0,81; indikator JSEC sebesar 0,79; indikator WCON sebesar 0,69;
indikator SAL sebesar 0,53; dan indeks terendah diperoleh indikator IR sebesar 0,32. Hal ini
menandakan bahwa sampel penelitian yang merupakan karyawan Restoran X memiliki motivasi
kerja yang dominan karena faktor supervisi atasan, sedangkan faktor hubungan dengan rekan
kerja kurang memberikan motivasi kerja pada karyawan Restoran X. Pada variabel laten MTVR,
indeks SS tertinggi diperoleh indikator REC sebesar 0,79; diikuti oleh indikator ADV sebesar
0,65; indikator RES sebesar 0,49; dan indeks terendah diperoleh indikator ACH dan WITS
sebesar 0,48. Hal ini menandakan bahwa sampel penelitian yang merupakan karyawan Restoran
X memiliki motivasi kerja yang dominan karena faktor penghargaan atau pengakuan akan
kemampuannya, sedangkan faktor prestasi dan tantangan dari pekerjaan kurang memberikan
motivasi kerja pada karyawan Restoran X. Dengan demikian, dari analisis model pengukuran
didapatkan bahwa motivasi kerja dan kepemimpinan generasi penerus yang dipersepsikan oleh
karyawan perusahaan keluarga X masing-masing memiliki faktor-faktor yang signifi kan.

Selain model pengukuran, dalam model yang telah dispesifi kasikan juga terdapat model
struktural yang menggambarkan hubungan-hubungan yang ada di antara variabel-variabel
laten. Hubungan antar variabel laten dapat dilihat dari indeks standardized solutions (SS) yang
signifi kan. Besarnya indeks dalam model struktural dapat dilihat pada tabel 2.

11
Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat bahwa seluruh indeks SS signifi kan (seluruh t-value > 1,96).
Oleh karena itu semua indeks SS yang terdapat dalam model pengukuran dapat dianalisis lebih
lanjut. Indeks SS berkisar antara -1 hingga 0 dan 0 hingga 1. Besarnya indeks merupakan
besarnya hubungan antar variabel laten, sementara tanda positif dan negatif merupakan arah
hubungan antar variabel laten.

Dari model struktural dapat dilihat bahwa Lintasan TRSC → HYGN memiliki indeks SS yang
lebih rendah bila dibandingkan indeks SS dari lintasan TRFM → HYGN (0,55 < 0,83). Maka
dapat dikatakan bahwa TRSC memiliki pengaruh yang paling kecil pada HYGN, sedangkan
TRFM memiliki pengaruh yang paling besar pada HYGN. Hal ini mengandung arti bahwa faktor
hygiene dari motivasi kerja karyawan lebih dipengaruhi oleh kepemimpinan transformasional
generasi penerus restoran X yang dipersepsikan karyawan. Selanjutnya, Lintasan TRSC → MTVR
memiliki indeks SS yang lebih rendah dibandingkan indeks SS dari lintasan TRFM → MTVR (0,61
< 0,76). Maka dapat dikatakan bahwa TRSC memiliki pengaruh yang lebih kecil pada MTVR,
sedangkan TRFM memiliki pengaruh yang lebih besar pada MTVR. Hal ini mengandung arti
bahwa faktor motivator dari motivasi kerja karyawan lebih dipengaruhi oleh kepemimpinan
transformasional generasi penerus Restoran X yang dipersepsikan karyawan.

Melalui analisis model pengukuran, didapatkan bahwa seluruh lintasan dalam path diagram
memiliki nilai SS yang signifi kan. Hal ini mengandung arti bahwa faktor-faktor motivasi kerja
karyawan memiliki interaksi dengan faktor-faktor kepemimpinan generasi penerus yang
dipersepsikan oleh karyawan perusahaan keluarga X.

Bila ditinjau lebih lanjut, interaksi antara motivasi kerja dan faktorfaktornya serta kepemimpinan
atasan yang dipersepsikan karyawan beserta aspek-aspeknya dapat ditelaah melalui fakator
hygiene, faktor motivator, aspek kepemimpinan, aspek kepempinan transnasional, dan aspek
kepemimpinan transformasional.

Faktor hygiene dari motivasi yang dominan adalah supervision. Hal ini dapat dimungkinkan
karena adanya suasana kekeluargaan yang diterapkan dalam Restoran X dan anggapan
karyawan sebagai rekan kerja, bukan sebagai bawahan. Oleh sebab itu, rasa percaya diri pada
karyawan dapat ditimbulkan sehingga karyawan terdorong untuk memberikan kinerja yang baik
bagi perusahaan. Sedangkan faktor hygiene dari motivasi yang paling jarang muncul adalah
interpersonal relation. Meskipun karyawan mengalami interaksi yang cukup banyak dengan
rekan kerjanya, namun peneliti menduga bahwa interaksi antara karyawan dengan atasannya
sangat kurang. Hal ini dapat terjadi karena SM dan IZ hanya melakukan interaksi dengan
bawahannya sesekali, ketika sedang melakukan pengawasan dan pemeriksaan pembukuan.

Faktor motivator dari motivasi yang paling dominan adalah recognition. Hal ini mungkin terjadi
karena adanya prinsip kekeluargaan di dalam Restoran X, dimana karyawan dianggap sebagai
rekan kerja, bukan sebagai bawahan. Dengan demikian, karyawan memiliki sense of belonging
dan tanggung jawab terhadap perusahaan. Jika perusahaan berhasil menampilkan performa
yang baik, maka secara tidak langsung karyawan juga mendapatkan penghargaan atas

12
kinerjanya. Sedangkan faktor motivator dari motivasi yang paling jarang muncul adalah
achievement dan work itself.

Dilihat dari jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan, karyawan kurang dapat mengembangkan
prestasinya karena jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan sederhana dan monoton.

Aspek kepemimpinan transaksional yang dipersepsikan oleh karyawan lebih dominan pada
contingent reward. Hal ini diduga berhubungan dengan adanya penerapan sistem bagi hasil
sebagai sistem remunerasi pegawai. Dengan adanya sistem bagi hasil, karyawan Restoran X
dipacu untuk bekerja sebaik-baiknya dengan memberikan bonus setiap empat bulan. Bonus,
yang biasanya diberikan per bulan atau per empat bulan, diberikan atas adanya kerjasama antar
karyawan dan untuk menyatukan minat karyawan dalam mencapai tujuan bersama (Hammer,
1991). Semakin tinggi angka penjualan maka semakin tinggi pula bonus yang diperoleh
karyawan. Sedangkan aspek kepemimpinan transaksional yang paling tidak dipersepsikan oleh
karyawan adalah management by-exception passive. Hal mungkin terjadi akibat minimnya
frekuensi pemimpin datang ke Restoran X sehingga karyawan tidak mempersepsikan ciri ini
terdapat pada pemimpinnya. Aspek kepemimpinan transformasional yang dipersepsikan oleh
karyawan lebih dominan pada inspirational leadership/motivation. Hal ini diduga berhubungan
dengan visi dan misi yang ditanamkan sehingga dapat mendorong karyawan untuk melakukan
yang terbaik (Susanto dkk, 2007). Visi dan misi dari restoran X berkaitan dengan meraih
keuntungan sebesar-besarnya demi kesejahteraan karyawan dan juga pemilik perusahaan. Hal
ini muncul dalam penerapan sistem bagi hasil yang berusaha diterapkan pemimpin Restoran X.
Lawler (1991) mengatakan bahwa sistem bagi hasil menimbulkan motivasi yang kuat untuk
meningkatkan produktivitas. Selanjutnya, Werther & Davis (2003) menjelaskan bahwa adanya
sistem bagi hasil memberikan peningkatan pada performa perusahaan sekaligus keuntungan
bagi karyawan. Penggunaan sistem remunerasi ini dapat mengembangkan kepercayaan dan
rasa senasib-sepenanggungan pada karyawan dan pemimpin. Sedangkan aspek kepemimpinan
transformasional yang paling tidak dipersepsikan oleh karyawan adalah attributed charisma. Hal
ini mungkin disebabkan oleh masih lekatnya kharisma sang pendiri dengan Restoran X. Sebagai
generasi penerus, SM dan IZ merupakan pemimpin yang meneruskan perusahaan keluarga. Visi
dan misi yang diutamakan dalam Restoran X merupakan visi dan misi yang dibentuk oleh
generasi pertama, sehingga SM dan IZ hanya melanjutkan jalannya perusahaan tanpa adanya
perubahan apapun. Sehingga generasi penerus ini tidak memiliki ciri-ciri attributed charisma.

F. SARAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, ada beberapa saran metodologis yang dapat
peneliti ajukan untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya, antara lain:
menyetarakan item dalam kuesioner penelitian agar item-item yang disajikan memiliki
reliabilitas yang baik dari segi kualitas item, bukan kuantitas item; melakukan penelitian pada
beberapa bidang usaha agar dapat dilakukan generalisasi untuk perusahan keluarga dan dapat
memberikan kontribusi yang lebih banyak bagi pengembangan usaha perusahaan keluarga di

13
Indonesia; melakukan pengambilan data yang lebih terkontrol; serta memberikan batasan yang
lebih spesifik pada karakteristik partisipan penelitian, khususnya pada batasan lama bekerja
agar tidak ada perbedaan pengalaman yang terlalu kontras pada partisipan.

Selain itu, peneliti mengajukan beberapa saran praktis yang dapat berguna bagi
pengembangan perusahaan keluarga, khususnya pada Restoran X, yaitu: perlu adanya seorang
pemimpin tunggal di dalam Restoran X untuk menjalankan peran pengambil keputusan;
mengembangkan pengetahuan dan keahlian pada generasi penerus dan karyawan melalui
program pelatihan; dan memelihara interaksi yang hangat antara generasi penerus dan
karyawan yang dapat membantu dalam menimbulkan motivasi kerja karyawan yang
berpengaruh bagi keberlangsungan perusahaan keluarga.

Motivasi kerja karyawan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah karakteristik
lingkungan kerja. Salah satu dimensi interpersonal dari karakteristik lingkungan kerja dapat
dilihat dari kepemimpinan atasan. Kepemimpinan transaksional-transformasional memiliki pola-
pola perilaku yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh perusahaan keluarga. Pola perilaku ini
dapat dinilai secara obyektif oleh karyawan (Bass, 1985) melalui persepsi mengenai atasan.
Penelitian kuantitatif ini melibatkan 108 karyawan sebuah perusahaan keluarga yang bergerak
di bidang jasa restoran. Melalui analisis structural equation modeling, ditemukan bahwa faktor-
faktor motivasi kerja karyawan memiliki interaksi dengan faktorfaktor kepemimpinan generasi
penerus yang dipersepsikan oleh karyawan perusahaan keluarga X.

G. PENUTUP DAN KESIMPULAN

Perkembangan dan peningkatan bisnis yang baik merupakan harapan bagi setiap pelaku usaha.
Upaya dan langkahpun selalu dilakukan untuk meningkatkan usahanya, misalnya dengan
menambah jumlah outlet, meningkatkan kapasitas produksi dan pemasaran, serta
memperbesar skala usaha. Bahkan ada yang melakukan diversifikasi usaha atau perluasan bisnis
pada bidang usaha yang baru. Meski bagi sebagian pelaku usaha kecil, istilah diversifikasi usaha
tidak semua orang mengenalnya, tetapi banyak yang melakukannya. Hanya mereka tidak
terpaku pada istilah-istilah semacam itu. Pada prinsipnya bagaimana bisa menemukan peluang
usaha baru dan meningkatkan penghasilan dari usahanya.

Di dalam mengembangkan sebuah bisnis ada berbagai langkah yang dilakukan oleh pelaku
usaha diantaranya adalah peningkatan penetrasi pasar, perluasan pasar, pengembangan
produk baru dan diversifikasi usaha . Salah satu tool yang sering dipakai dalam membantu
untuk memutuskan produk dan strategi pertumbuhan pasar bisnis adalah matriks Petumbuhan
Ansoff.

Strategi replikasi dapat meningkatkan pertumbuhan organisasi atau perusahaan. Mereplikasi


hal yang baik dalam internal perusahaan (best practices) menjadi sangat strategis dalam
peningkatan kinerja. Untuk memperlancar implementasi strategi replikasi diperlukan
peranan management untuk memfasilitasi dan memotivasi anggota organisasi. Selain itu

14
peranan management juga memperbaiki kondisi trust dan kerjasama dilingkungan organisasi
yang berdampak pada lancarnya replikasi best practices.

Suatu best practices sharing dikatakan mencapai puncak pelembagaan yang efektif
bila knowledge tersebut digunakan dalam kegiatan layanan dan dipertahankan pemakaiannya
sepanjang memberi manfaat konkrit di tempat kerja (Glaser, et al, 1983; Druckman & Bjork,
1991).

Seperti sukses McDonald, KFC dan Starbuck Coffee merupakan contoh kemampuan mereplikasi
best practices yang sudah ada sebelumnya. Kegiatan-kegiatan yang sudah ada dan berhasil baik
selayaknya dicontoh anggota dan unit organisasi secara internal. Diperlukan model dan cara
penyebaran best practices ke segenap lapisan organisasi melalui peran management.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bass, B. M. (1985). Leadership and performance beyond expectations. New York: The Free Press
Burke, R. J. (June, 1965). Are herzberg’s motivators and hygienes unidimensional?. Journal of
Applied Psychology, 50, 4, 317-321. March 14, 2008. Proquest database
Bycio, P., Hackett, R. D., & Allen, J. S. (January, 1995). Further assessments of bass’s (1985)
conceptualization of transactional and transformational leadership. Journal of
Applied Psychology, 80, 4, 468-478
Djatmiko, H. E. (2008, Maret 6). The (true) business leaders in waiting. 31 Maret, 2008.
http://www.swa.co.id/swamajalah
Faustine, P. (Januari, 2005). Faktorfaktor yang mempengaruhi daya tahan perusahaan keluarga
di indonesia. Disertasi. Bandung: Program Studi Teknik Manajemen Industri
Institut Teknologi Bandung
Furnham, A. (2005). The psychology of behaviour at work: the individual in the organization.
(2nd ed.). New York: Psychology Press
Hammer, T. (1991). Gainsharing. In Steers, R. M., & Porter, L. W. (Ed.), Motivation and work
behavior 5th ed. (pp. 531 – 543). New Jersey: McGrawHill
Harsiwi, T. A. M., & Pidekso, Y. S. (2001, Juni). Hubungan kepemimpinan transformasional
dan karakteristik personal pemimpin. Kinerja: Jurnal Bisnis dan Ekonomi, 5 (1).
Januari 25, 2008. http://re-searchengines.com/amharsiwi2.html
Hughes, R. L., Ginnet, R. C., & Curphy, G. J. (1999). Leadership: enhancing the lessons of
experience. Singapore: McGrawHill Kanungo, R. N., & Mendonca, M. (1994).
Work motivation: models for developing countries. New Delhi: Sage Publication
India
Landy, F. Y., & Trumbo, P. A. (1980). Psychology of work behavior. Illinois: The Dorsey Press
Lawler, E. E (1991). The design of effective reward systems. In Steers, R. M., &
Porter, L. W. (Ed.), Motivation and work behavior 5th ed. (pp. 507 – 531). New
Jersey: McGrawHill
McKenna, E. (2000). Business psychology and organisational behaviour: a student’s handbook.
(3rd ed.). New York: Psychology Press
Miner, J.B. (1992). Industrialorganizational psychology. Singapore: McGrawHill
Munandar, A. S. (2001). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: UI Press
Newstrom, J.W., & Davis, K. (1997). Organizational behavior: human behavior at work. (10th
ed.). New York: McGrawHill
Perry, J. L., & Porter, L. W. (January, 1982). Factors affecting the context for motivation in
public organizations. Academy of Management Review, 7, 1, 89-98. May 28,
2008. ABI/INFORM Global
Robbins, S. P. (2006). Perilaku organisasi. (Edisi ke-10). (Benyamin Molan & Ahmad Fauzi,
Trans.) Jakarta: Indeks Gramedia Steers, R. M., & Porter, L. W. (1991). Motivation
and work behavior. (5thed.). New Jersey: McGrawHill
Susanto, A. B., et al. (2007). Thejakarta consulting group on family business. Jakarta: Divisi
Penerbitan The Jakarta Consulting Group

16
Werther, W. B., & Davis, K. (2003). Human resources and personnel management. (5th ed.).
Singapore: McGrawHill. Wutun, R. P. (2001). Persepsi karyawan tentang perilaku
kepemimpinan atasan: kajian teori transformasional-transaksional.
In Sjabadhyni, B. (Eds.), Pengembangan kualitas SDM dari perspektif PIO (pp. 343 -375). Depok:
Bagian Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
www.eksekutif.com. (2003, Januari 29). Potret perusahaan keluarga indonesia. 29 January,
2008. http://www.eksekutif.com/berita/artikel.html?aid=603
Yukl, G. (2006). Leadership in organizations. (6th ed.). New Jersey: Pearson Prentice Hall

17

Anda mungkin juga menyukai