Anda di halaman 1dari 30

MANAJEMEN BERKEADILAN DAN PENGARUHNYA

PADA OUTCOMES PERUSAHAAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Manajemen Sumberdaya Manusia


Pada Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disampaikan di depan Rapat Senat Terbuka


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pada hari Sabtu tanggal 9 Oktober 2010
di Yogyakarta

Oleh
Prof. Dr. Heru Kurnianto Tjahjono

1
Ketua dan anggota Badan Pelaksana Harian UMY
Rektor dan para Wakil Rektor UMY
Ketua dan anggota Senat UMY
Dekan, Wakil Dekan dan segenap Sivitas Akademika Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Para tamu undangan, kolega dan keluarga tercinta yang saya hormati

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, salam sejahtera dan kedamaian bagi


kita semua.
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena pada hari ini kita diberikan rahmat
kasih sayang dan nikmat lainnnya sehingga kita dapat berkumpul bersama pada Rapat
Senat Terbuka Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam keadaan bahagia. Atas
karuniaNya pula saya mendapat kesempatan yang sungguh membahagiakan untuk
menyampaikan pidato pengukuhan yang berjudul:

MANAJEMEN BERKEADILAN DAN PENGARUHNYA


PADA OUTCOMES PERUSAHAAN

Hadirin yang dimuliakan Allah,


Pasca Hawthorne studies (1927-1932) yang tidak lepas dengan nama seorang
ahli psikologi, Prof. Elton Mayo, kajian bisnis dan manajemen mulai banyak
melibatkan ahli psikologi industri dan organisasi. Demikian pula dalam pengembangan
ilmu manajemen SDM, banyak kajian dan jurnal-jurnal internasional yang
menunjukkan bahwa penelitian dan studi di bidang manajemen SDM memiliki banyak
overlap dengan penelitian dan studi di bidang psikologi industri dan organisasi. Kita
bisa perhatikan beberapa nama profesor manajemen SDM yang menulis sejumlah buku
manajemen SDM yang telah menjadi rujukan sebagian besar sekolah bisnis di banyak
negara. Mereka memiliki latar belakang pendidikan manajemen SDM dan psikologi
industri dan organisasi.

2
1. Prof. Raymond A. Noe, seorang profesor bidang ilmu manajemen SDM di The
Ohio State University. Noe menyelesaikan Ph.D dalam bidang psikologi industri
dan organisasi di Michigan State University.
2. Prof. Barry Gerhart, seorang profesor bidang ilmu manajemen SDM di Vanderbilt
University. Gerhart memperoleh BS dalam bidang psikologi industri dan organisasi
dan Ph.D dalam bidang hubungan industrial.
3. Prof Neil Schmitt, seorang profesor bidang ilmu manajemen SDM di Michigan
State University menyelesaikan Ph.D. dalam bidang psikologi industri dan
organisasi di Purdue University.
4. Prof. Richard Klimoski, seorang penulis buku Research Methods in Human
Resource Management. Klimoski adalah profesor bidang ilmu psikologi di Ohio
State University dan Ph.D dalam bidang psikologi industri dan organisasi di Purdue
University.
Dalam pandangan saya hal yang membedakan keduanya, penelitian dan studi
manajemen SDM lebih menekankan pada aspek sistem dan kebijakan SDM serta
aplikasi-aplikasinya di dalam organisasi, sedangkan penelitian dan studi psikologi
industri dan organisasi berkaitan dengan aspek soft yang menjadi basis teori dalam
pengelolaan sistem dan kebijakan Manajemen SDM serta aplikasi-aplikasinya di dalam
organisasi.

Hadirin yang berbahagia,


Pemaparan yang saya sampaikan ini berkaitan dengan aspek manajerial di
bidang pengelolaan SDM berbasis psikologi organisasi. Secara spesifik saya akan
menyampaikan kembali pentingnya kajian manajemen berkeadilan dan pengaruhnya
pada outcomes dalam perusahaan. Selanjutnya ada lima bahasan dalam pidato ini.
Bagian pertama menjelaskan ruang lingkup outcomes organisasi dalam artikel pidato
ini. Bagian kedua menjelaskan konsep manajemen berkeadilan sebagai aspek struktural
yang bersifat formal manajerial. Bagian ketiga menjelaskan aspek sosial manajemen
berkeadilan. Bagian keempat menjelaskan integrasi aspek formal dan sosial dalam
model empat faktor serta proposisi berkaitan dengan modal sosial karyawan dan bagian
kelima adalah simpulan dan diakhiri dengan penutup.

3
BAGIAN PERTAMA: OUTCOMES ORGANISASI DALAM
DINAMIKA PERUSAHAAN

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT,


Dalam praktek bisnis manajemen, Norton dan Kaplan (2001) menjelaskan
bahwa outcomes dalam praktek manajemen SDM tidak secara langsung menghasilkan
kinerja bisnis dan keuangan, namun berperan sebagai pemacu kinerja (lead indicator).
Reaksi dan sikap positif karyawan dalam merespon kebijakan manajerial yang
berkeadilan merupakan modal SDM (human capital) yang sangat penting dalam
peningkatan kinerja bisnis dan keuangan.
Sejalan dengan pandangan Norton dan Kaplan di atas, saya mendefinisikan
outcomes sebagai bentuk reaksi dan sikap karyawan terhadap kebijakan yang diambil
organisasi. Saya berpandangan bahwa pandangan Blau (1964) dalam teori pertukaran
sosial (social exchange theory) dan teori pertukaran ekonomi (economic exchange
theory) menjadi basis penting reaksi dan sikap karyawan. Menurut kedua teori itu,
hubungan pertukaran antara karyawan dan organisasi terkait dengan kesejahteraan
individu dan tujuan organisasi. Organisasi mendapatkan sejumlah outcomes seperti
produktifitas, komitmen dan kinerja sedangkan individu mendapatkan kepuasan atas
sejumlah kebijakan seperti sistem kompensasi, karir, lingkungan kerja dan lain-lain.
Dalam konteks ini, saya melihat bahwa outcomes organisasi berkaitan dengan dua hal
penting. Pertama berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh karyawan (personal
outcomes) umumnya dalam berbagai penelitian psikologi organisasi dan manajemen
SDM diproksi dengan kepuasan karyawan. Kepuasan karyawan merupakan reaksi dan
sikap pada kebijakan organisasi, seperti kebijakan kompensasi, kebijakan karir,
kebijakan penilaian kinerja dan lain-lain. Kedua berkaitan dengan sesuatu yang
diperoleh organisasi (organizational outcomes) umumnya dalam penelitian diproksi
dengan komitmen (khususnya afektif).

4
Dalam literatur mengenai komitmen terdapat dua perspektif dalam kajian
komitmen, yaitu perspektif unidimensional dan perspektif multidimensional. Perspektif
unidimensional menjelaskan komitmen sebagai bentuk keterikatan karyawan dengan
organisasi. Sedangkan perspektif multidimensional menjelaskan dimensi-dimensi
komitmen yang bervariasi meliputi: komitmen afektif, komitmen continuance dan
komitmen normatif (Meyer et al., 1993). Komitmen afektif merupakan bentuk
keterikatan emosional antara karyawan dan organisasi karena karyawan merasakan
kesamaan nilai-nilai, ikatan emosional dan pemaknaan dengan organisasi. Dimensi
lainnya adalah komitmen continuance yaitu berkaitan dengan tindakan karyawan
bertahan di dalam organisasi, karena mereka mempersepsikan pengorbanan dan
manfaat apabila mereka meninggalkan organisasi, sebagai contoh seorang karyawan
mempunyai komitmen di UMY, karena dia menyadari saat memutuskan keluar dari
kampus ini sulit mendapatkan pekerjaan. Dimensi terakhir dari perspektif
multidimensional adalah komitmen normatif. Komitmen ini muncul karena karyawan
merasa punya kewajiban moral untuk bertahan di dalam organisasi.
Saya sependapat dengan pandangan Masterson et al. (2002) bahwa komitmen
afektif merupakan sesuatu yang diinginkan organisasi dibandingkan jenis komitmen
lainnya. Pastinya organisasi lebih menyukai bentuk keterikatan karyawan dengan
organisasi karena adanya kesamaan nilai-nilai, ikatan emosional dan kesamaan makna
dengan para karyawan.

Isu Restrukturisasi

Membahas dinamika organisasi bisnis, kita pastinya memahami adanya


persaingan yang semakin kompetitif dan fluktuasi permintaan konsumen yang
menuntut perhatian khusus manajemen. Bentuk perhatian khusus manajemen adalah
bagaimana mereka menyiapkan strategi perusahaan menghadapi dinamika tersebut.
Secara internal, beberapa perusahaan merespon dengan melakukan strategi
restrukturisasi atau downsizing. Strategi ini merupakan keputusan keorganisasian yang
dipertimbangkan dengan hati-hati untuk mengurangi jumlah karyawan dengan tujuan

5
memperbaiki kinerja bisnis (Kozlowsky et al., 1993 dalam Tornhill dan Saunders,
1998; Cascio, 1993).
Saya menggaris bawahi bahwa kisah sedih yang menimpa banyak perusahaan di
USA merupakan cerita penting yang tidak kalah menariknya dengan sejumlah
keberhasilan restrukturisasi. Survey yang dilakukan Wyatt Company yang meneliti
1005 perusahaan menemukan bahwa restrukturisasi mengalami sejumlah kegagalan
kritikal, terutama berkaitan dengan sikap dan reaksi karyawannya. Selama masa
restrukturisasi, karyawan merasa bekerja pada lingkungan baru yang berbeda dari
sebelumnya. Mereka mengalami perubahan lingkungan kerja, karir dan menghadapi
lebih banyak pekerjaan sehingga memicu perasaan frustasi, tertekan, terancam dan
tidak aman. Perubahan tersebut menciptakan perubahan alokasi sumberdaya
perusahaan sehingga dalam kondisi tersebut ada karyawan yang merasa diuntungkan
dan ada yang merasa dirugikan (Cobb et al., 1995 dalam Sugiarti, 2004). Dalam
konteks tersebut ada karyawan yang merasa diuntungkan dan dirugikan, oleh karena itu
isu keadilan menjadi penting dalam proses restrukturisasi. Persepsi keadilan kebijakan
restrukturisasi berperan penting pada reaksi dan sikap karyawan. Apabila karyawan
mempersepsikan restrukturisasi dijalankan secara adil akan dapat mendorong reaksi
dan sikap karyawan secara lebih produktif bagi perusahaan meskipun dalam kondisi
tidak menguntungkan.

6
BAGIAN KEDUA: KONSEP MANAJEMEN BERKEADILAN SEBAGAI
ASPEK STRUKTURAL

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT,


Pada bagian ini saya menyampaikan pentingnya nilai-nilai keadilan dalam
keputusan struktural yang bersifat formal manajerial. Keputusan struktural tersebut
berupa keputusan kompensasi, kenaikan jabatan/ karir, penilaian kinerja dan keputusan
formal manajerial lainnya. Nilai-nilai keadilan distributif dan prosedural menjadi hal
penting di dalam setiap keputusan tersebut.

Keadilan Distributif Berperan sebagai Prediktor Sikap Karyawan


Hadirin yang berbahagia,
Pada awal perkembangan teori keadilan dalam organisasi, para peneliti lebih
fokus pada aspek outcomes, yaitu terkait isu ketidakadilan atau inequity (Adams, 1965;
Deutsch, 1975; Homann, 1961; Leventhal, 1976 dalam Colquitt, 2001) dan hal itu telah
menjadi pertimbangan fundamental dalam teori keadilan selama lebih dari empat puluh
tahun terakhir dalam menjelaskan reaksi dan sikap karyawan (Colquitt et al. 2001).
Pendekatan equity bersama teori deprivasi relatif (Crosby, 1976, 1982 dalam Primeaux
et al., 2003) dan teori kognisi referen (Folger, 1986 dalam Primeaux et al., 2003)
menghasilkan tiga kriteria atau prinsip penting dalam menilai outcomes. Pertama
adalah prinsip proporsi (equity) yang diajukan Adams (dalam Carrel & Dittrich, 1978),
keadilan distributif dapat dicapai ketika penerimaan dan masukan atau inputs dan
outcomes sebanding dengan yang diperoleh rekan kerja. Jika perbandingan atau
proporsinya lebih besar atau lebih kecil, maka karyawan menilai hal tersebut tidak adil.
Namun, bila proporsi yang diterima karyawan tersebut lebih besar, ada kemungkinan
hal tersebut dapat ditoleransi atau tidak dikatakan tidak adil dibandingkan jika proporsi
yang diperoleh karyawan tersebut lebih kecil dari yang seharusnya. Referensi
pembandingnya adalah orang lain yang dipersepsikan memiliki posisi yang dapat
dibandingkan (lihat Pfeffer, 1982). Sebagai contoh karyawan dengan masa kerja dua

7
tahun dan tingkat pendidikan S1 akan membandingkan pendapatannya dengan
karyawan lain yang memiliki karakteristik sepadan.
Di samping prinsip proporsi, beberapa prinsip lainnya seperti prinsip
pemerataan (equality) dan prinsip yang mengutamakan kebutuhan (needs). Prinsip
pemerataan menekankan pada menilai alokasi outcomes kepada semua karyawan dalam
organisasi. Bila prinsip ini digunakan, maka variasi penerimaan antar karyawan dengan
lainnya relatif kecil. Prinsip ketiga adalah prinsip mengutamakan kebutuhan sebagai
pertimbangan untuk distribusi. Intepretasinya, bahwa seorang karyawan akan
memperoleh bagian sesuai dengan kebutuhannya, dalam konteks hubungan kerja.
Semakin banyak kebutuhannya maka upah yang diterimanya menjadi semakin besar.
Penelitian mengenai keadilan distributif menunjukkan bahwa persepsi individual
mengenai keadilan terhadap distribusi yang diperolehnya mempengaruhi sikap dan
perilaku mereka (Schminke et al., 1997).
Dalam kajian keadilan distributif, beberapa prinsip-prinsip di dalamnya tidak
selaras satu prinsip dengan prinsip lainnya. Sebagai contoh prinsip proporsi tidak
sejalan dengan prinsip pemerataan. Prinsip proporsi didorong oleh semangat
kepentingan pribadi, sedangkan prinsip pemerataan didorong oleh semangat pro-sosial.
Secara lebih spesifik, permasalahannya adalah bahwa prinsip tersebut juga tidak selaras
dengan situasi ataupun tujuan yang ingin dicapai organisasi. Sebagai contoh prinsip
proporsi cocok untuk situasi kompetitif yang mendorong produktifitas, karena prinsip
tersebut dapat menumbuhkan motivasi pada individu untuk memberikan kontribusi
yang besar dengan mengharapkan mendapat imbalan yang besar. Namun dari sisi lain,
pendekatan tersebut dinilai terlalu menekankan pada aspek ekonomi dibandingkan
aspek sosial sehingga mengabaikan solidaritas kelompok. Hal lainnya, prinsip proporsi
tersebut dapat menimbulkan kesenjangan dan kembali bertentangan dengan prinsip
pemerataan. Oleh karena itu, untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut harus
didasarkan pada pertimbangan yang hati-hati. Pertimbangan-pertimbangan tersebut
setidaknya mencakup konteks dan faktor-faktor individual dalam diri individu yang
menilai keadilan distributif tersebut, serta tujuan organisasi.

8
Keadilan Prosedural Berperan sebagai Prediktor Sikap Karyawan
Hadirin yang berbahagia,
Saat teori keadilan distributif tumbuh dan berkembang secara dinamis, tepatnya
di awal tahun 1980 an muncul pemikiran tentang penilaian keadilan prosedural
sebagai komplemen yang dinilai tidak dapat terpisahkan dari penilaian keadilan
distributif (Thibaut & Walker, 1975; dalam Colquitt, 2001). Konsep keadilan
prosedural menjelaskan bahwa individu tidak hanya melakukan evaluasi terhadap
alokasi atau distribusi outcomes, namun juga mengevaluasi terhadap keadilan prosedur
untuk menentukan alokasi tersebut. Persepsi keadilan prosedural dijelaskan oleh dua
model, yaitu pertama melalui model kepentingan pribadi (self interest) yang diajukan
Thibaut dan Walker (1975; dalam Colquitt, 2001) dan model kedua, model nilai
kelompok (group value model) yang dikemukakan Lind dan Tyler (1988).
Model kepentingan pribadi berbasis pada asumsi bahwa orang berupaya
memaksimalkan keuntungan pribadinya ketika berinteraksi dengan pihak lain dan
mengevaluasi prosedur dengan mempertimbangkan kemampuannya untuk
menghasilkan outcomes yang diinginkannya. Penilaian karyawan mengenai keadilan
tidak hanya dipengaruhi oleh outcomes apa yang mereka terima sebagai akibat
keputusan tertentu atau keadilan distributif, namun juga pada proses atau bagaimana
keputusan tersebut dibuat (Thibaut dan Walker, 1978). Penekanan pandangan Thibaut
dan Walker (1975) bahwa prosedur dikatakan adil jika dapat mengakomodasikan
kepentingan individu. Permasalahannya adalah bahwa setiap individu menginginkan
kepentingannya dapat diakomodasikan prosedur tersebut, padahal kepentingan-
kepentingan tersebut seringkali berbeda satu dengan lainnya dan tidak jarang saling
bertentangan. Kondisi demikian menyebabkan konflik dan perselisihan (dispute)
sehingga salah satu cara penting adalah menghadirkan pihak ketiga, jika keduanya
tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Berbeda dengan asumsi model kepentingan pribadi, model nilai kelompok
menganggap bahwa individu tidak dapat lepas dari kelompoknya. Salah satu kritik

9
penting yang disampaikan Lind dan Tyler (1988) terhadap model keadilan prosedural
yang dikembangkan Thibaut dan Walker (1978) adalah bahwa pengembangan konsep
keadilan prosedural tidak hanya berbasis pada perselisihan antar individu sebagai titik
tolak pengembangan konsep. Model yang diajukan Lind dan Tyler (1988) dikenal
dengan asumsi model nilai-nilai kelompok. Mereka memandang bahwa individu tidak
bisa lepas dari kelompoknya. Secara alamiah terdapat dorongan agar individu tersebut
menjadi bagian dari kelompok. Sementara itu, proses-proses sosial dan prosedur dalam
interaksi sosial selalu menjadi elemen kelompok sosial dan masyarakat. Konsekuensi
bagi individu tersebut adalah lebih mengutamakan kebersamaan kelompok daripada
kepentingan pribadi. Pada dasarnya, kedua model di atas menjelaskan mengapa
keadilan prosedural muncul (Viswesvaran & Ones, 2002) dan perspektif Lind dan
Tyler (1988) cenderung melengkapi asumsi Thibaut dan Walker (1978).
Namun di samping, kedua model di atas dalam kepentingan penelitian, prosedur
yang adil harus mengakomodasikan sesuatu yang menguntungkan sekaligus
memperhatikan keberlanjutan hubungan sosial jangka panjang (Leventhal, 1980 dalam
Lind & Tyler, 1988; Colquitt, 2001; Colquitt et al., 2001) Oleh karena itu, prosedur
yang adil juga harus memenuhi keduanya, standar kontrol (instrument) dan non kontrol
(value-expressive). Dalam kaitan tersebut, diidentifikasi 6 (enam) aturan yang harus
dipenuhi sebagai persyaratan prosedur yang adil, meliputi: (1) consistency rule, yaitu
diterapkan kepada setiap orang secara konsisten dari waktu ke waktu; (2) the bias
suppression rule, yaitu bebas dari kepentingan pribadi maupun pemihakan lainnya; (3)
the accuracy rule, yaitu didasarkan pada informasi yang akurat berdasarkan fakta dan
opini orang yang tepat; (4) the correctability rule, yaitu memungkinkan perbaikan dan
modifikasi untuk mengatasi kesalahan yang lalu dan yang potensial; (5) the
representativeness rule, yaitu mewakili pandangan dan nilai-nilai pihak-pihak yang
dipengaruhi oleh prosedur tersebut; (6) the ethicality rule, yaitu harus sesuai dengan
standar etika dan moral.

10
Bagaimana Pola Dinamika Keadilan Prosedural Menjelaskan Sikap Karyawan?

Hadirin yang berbahagia,

Pola dinamika keadilan prosedural dan distributif dalam memprediksi sikap


karyawan dijelaskan oleh beberapa model keadilan seperti model keadilan prosedural
dominan, model keadilan distributif halo dan model keadilan dua faktor. Model
keadilan prosedural dominan menjelaskan bahwa keadilan prosedural lebih berperan
menjelaskan reaksi dan sikap karyawan daripada keadilan distributif. Sedangkan model
keadilan distributif halo menjelaskan sebaliknya bahwa keadilan distributif tetap
sebagai referensi utama dalam memprediksi sikap karyawan daripada keadilan
prosedural. Model ketiga yaitu model keadilan dua faktor yang menjelaskan bahwa
pengaruh keadilan distributif dan keadilan prosedural bersifat spesifik pada dimensi
outcomes seperti kepuasan karyawan dan komitmen. Keadilan distributif berperan lebih
kuat pada kepuasan dan keadilan prosedural berperan lebih kuat pada komitmen.
Dalam beberapa penelitian dan publikasi internasional yang telah saya lakukan,
model dua faktor banyak mendapat dukungan (Novriansyah & Tjahjono, Heru K.,
2005; Tjahjono, Heru K., 2006a; 2006b; 2009a, 2009b, 2010a, 2010b, 2010c). Salah
satu dukungannya tidak hanya pada sikap positif karyawan, namun juga memprediksi
sikap negatif seperti retaliasi (balas dendam) dalam bentuk memperlambat cara kerja,
menggunakan telpon kantor berlebihan, bercerita negatif mengenai lembaga kepada
konsumen dan pihak lain, memperlama jam istirahat (Skarlicky & Folger, 1997;
Tjahjono, Heru K.,2008).

11
BAGIAN KETIGA: ASPEK SOSIAL MANAJEMEN BERKEADILAN

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT,


Jika pembahasan dua dimensi keadilan distributif dan prosedural menekankan
pada aspek formal manajerial, maka keadilan interaksional menekankan pada aspek
sosial, yaitu menekankan pada perlakuan interaksional. Keadilan interaksional
mencerminkan keadilan pada aspek sosial. Persepsi keadilan interaksional terbentuk
ketika pihak-pihak yang berwenang seperti seorang direktur, rektor maupun manajer
puncak menghargai dan menunjukkan perhatian terhadap para karyawan (sensitivity:
respect dan propriety). Respect yaitu sikap sopan dan tidak kasar, propriety yaitu
menghindari kata-kata kasar dan merugikan. Di samping itu persepsi keadilan
interaksional juga terbentuk ketika direktur, rektor maupun manajer puncak
menjelaskan permasalahan (explanation: justification dan truthfulness). Justification
yaitu alasan yang mendasari suatu keputusan dan truthfulness yaitu berterus terang dan
tidak membohongi.
Beberapa penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa dua dimensi keadilan
interaksional (sensitivity dan explanation) mempunyai entitas yang berbeda dan
memiliki efek yang independen satu dengan yang lain dan disebut sebagai keadilan
interpersonal dan keadilan informasional (Greenberg, 1993; 1994 dalam Colquitt,
2001). Keduanya mulai dikaji sejumlah ahli terkait dengan kemampuan menjelaskan
reaksi dan sikap karyawan.

Keadilan Interpersonal Sebagai Prediktor Sikap Karyawan

Hadirin yang berbahagia,


Dimensi sensitivity keadilan interaksional disebut keadilan interpersonal.
Persepsi seorang karyawan mengenai keadilan interpersonal terrgantung pada
kebijaksanaan dan sensitifitas sosial dari pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
mengimplementasikan sebuah prosedur. Keadilan interpersonal meliputi berbagai
tindakan yang mencerminkan sensitifitas sosial yang ditunjukkan pihak berwenang

12
seperti direktur, rektor maupun manajer puncak ketika memperlakukan karyawan
dengan respek.
Saya menyetujui gagasan Greenberg (1993, dalam Colquitt, 2001) menyatakan
bahwa keadilan interpersonal merupakan aspek sosial keadilan distributif, sebab
sensitifitas (sensitivity) dapat menyebabkan seseorang lebih baik, meskipun outcomes
yang mereka terima tidak menguntungkan. Temuan yang dilakukan teman saya,
Sugiarti (2004) menjelaskan bahwa keadilan interpersonal berperan menjelaskan sikap
karyawan bank saat bank mereka melakukan restrukturisasi. Dengan demikian,
keadilan interpersonal dapat mempengaruhi sikap karyawan terhadap keputusan atau
kebijakan formal manajerial.

Keadilan Informasional Sebagai Prediktor Sikap Karyawan


Hadirin yang berbahagia,
Keadilan informasional berasal dari dimensi explanation yang merupakan
persepsi karyawan apakah pihak pengambil keputusan seperti direktur, rektor maupun
manajer puncak memberikan penjelasan yang memadai. Dengan dukungan sejumlah
data empiris, saya menyetujui pandangan Greenberg (1993, dalam Colquitt, 2001)
bahwa keadilan informasional merupakan aspek sosial keadilan prosedural, sebab
penjelasan (explanation) dapat memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menilai
aspek struktural suatu prosedur. Justifikasi keputusan organisasional melalui penjelasan
yang efektif dapat menghasilkan efek yang sama seperti keadilan prosedural (Daly &
Geyer, 1994). Temuan Sugiarti (2004) juga menunjukkan bahwa keadilan
informasional berperan mempengaruhi sikap karyawan bank saat bank mereka
melakukan restrukturisasi.
Berkaitan dengan itu, saya berpendapat bahwa dari perspektif teori agensi, saat
informasi mencerminkan hal yang masuk akal dan mengandung nilai-nilai kepercayaan
yang tinggi maka dapat mengurangi konflik agensi akibat informasi yang tidak
seimbang (asimetri) antara manajemen perusahaan dan para karyawan sehingga
mendorong sikap karyawan menjadi lebih produktif.

13
BAGIAN KEEMPAT: INTEGRASI MODEL EMPAT FAKTOR KEADILAN
DAN MODAL SOSIAL DALAM PROPOSISI

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT,

Pada bagian ini saya mengintegrasikan aspek struktural dan aspek sosial
manajemen berkeadilan dengan beberapa kajian saya sebelumnya yang menekankan
pentingnya aspek subjektifitas karyawan dalam mempersepsikan keadilan ke dalam
model empat faktor keadilan.
Dengan demikian, model empat faktor keadilan merupakan pengembangan
model dua faktor yang diinisiasi Sweeney dan McFarlin (1993) dengan memperhatikan
aspek sosial yang disampaikan Greenberg dan kajian komprehensif Colquitt (2001)
sekaligus refleksi beberapa penelitian saya yang memasukkan aspek subjektif
karyawan yang diproksi dengan modal sosial mereka. (lihat Tjahjono, Heru K., 2006a;
2010a, 2010c)
Model ini menggambarkan aspek struktural dan aspek sosial dari keadilan
keorganisasian. Pada saat menilai tentang keadilan, karyawan cenderung
mempertimbangkan dua aspek tersebut. Persepsi keadilan distributif dan prosedural
digambarkan berkaitan dengan penilaian atas aspek formal manajerial suatu keputusan
yang berkaitan dengan kebutuhan dan interest karyawan. Secara spesifik, aspek
struktur dari keadilan ini adalah bahwa keadilan distributif dapat dicapai dengan
memenuhi aturan atau norma equality dan equity, sementara itu keadilan prosedural
dicapai dengan memenuhi aturan atau norma seperti kontrol proses, kontrol keputusan,
konsistensi, bias supression, akurasi, correctability, representatif dan etikal.
Sedangkan aspek sosial dari keadilan merupakan persepsi karyawan mengenai
perlakuan yang diterima mereka selama interaksi sosial yang terjadi sehari-hari dengan
atasannya. Banyak penelitian telah menjelaskan bahwa keadilan interpersonal berperan
penting sebagai prediktor kepercayaan, komitmen dan perilaku penarikan (Barling dan
Philip (1993). Demikian pula pandangan Colquitt (2001) dan Colquitt et al. (2001)
yang menjelaskan bahwa keadilan interaksional memprediksi secara signifikan

14
outcomes yang spesifik. Penelitian juga mendukung bahwa keadilan interaksional
memprediksi secara signifikan kepuasan kerja, kepuasan supervisi dan kinerja
karyawan (Cropanzano, Prehar & Chen, 2002).
Persepsi keadilan interaksional terbentuk ketika pihak-pihak yang berwenang
menghargai dan menunjukkan perhatian terhadap para karyawan (sensitivity: respect
dan propriety) dan menjelaskan alasan yang mendasari sebuah keputusan (explanation:
justification dan truthfulness). Beberapa penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa
dua dimensi keadilan interaksional (sensitivity dan explanation) mempunyai efek yang
independen satu dengan yang lain dan kemudian disebut sebagai keadilan
interpersonal dan keadilan informasional (Greenberg, 1993; 1994 dalam Colquitt,
2001).
Hubungan antara keempat faktor keadilan dengan outcomes, baik berupa
personal outcomes dan organizational outcomes dapat dilihat pada disain matriks yang
saya susun di bawah ini.
Tabel 1.1. Matriks Empat Faktor Keadilan Tjahjono Heru K (2010)
MATRIKS EMPAT Aspek Struktural Aspek Sosial Keadilan
FAKTOR KEADILAN Keadilan
Personal Outcomes
Keadilan Distributif Keadilan Interpersonal
Proksi: kepuasan
Organizational Outcomes
(keorganisasian) Keadilan Prosedural Keadilan Informasional
Proksi: komitmen afektif

Keempat dimensi keadilan, yaitu keadilan distirbutif, keadilan prosedural,


keadilan interpersonal dan keadilan informasional berperan menjelaskan kedua jenis
outcomes, baik personal maupun yang bersifat keorganisasian. Dalam matriks ini,
personal outcomes, keadilan distributif dan keadilan interpersonal berada pada baris
yang sama. Saya mengkonstruksi matriks ini dengan menggunakan pandangan
beberapa peneliti yang mengatakan bahwa keadilan interpersonal adalah aspek sosial
dari keadilan distributif (dalam Colquitt, 2001). Apabila kita perhatikan dimensi
penting dalam keadilan interpersonal adalah sikap sopan dan menghindari hal-hal yang

15
bersifat kasar. Kedua dimensi ini bersifat personal individual sejalan dengan resources
based model bahwa karyawan bekerja di perusahaan bergantung pada distribusi
sumberdaya perusahaan seperti kesejahteraan. Dalam pandangan saya, kesejahteraan
yang dimaksud juga mencakup kesejahteraan psikologis berkaitan dengan perlakuan
manajerial yang bersifat interpersonal. Oleh karena itu, karyawan akan melakukan
evaluasi hasil personal secara lebih positif sejalan dengan model dua faktor keadilan.

Proposisi 1:
Keadilan interpersonal dibandingkan keadilan informasional memiliki pengaruh positif
yang lebih kuat pada personal outcomes.

Sejalan dengan pandangan di atas, keadilan informasional merupakan aspek


sosial dari keadilan prosedural. Penjelasan dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan karyawan untuk menilai keadilan. Penjelasan yang jujur dan terus terang
dapat memperbaiki persepsi mengenai prosedur dan berdampak pada persepsi
mengenai kapasitas organisasi. Oleh karena itu keadilan informasional mempunyai
pengaruh yang lebih kuat pada aspek yang bersifat keorganisasian.

Proposisi 2:
Keadilan informasional dibandingkan keadilan interpersonal memiliki pengaruh positif
yang lebih kuat pada organizational outcomes.

Catatan: Untuk prediksi keadilan distributif dan keadilan prosedural menggunakan


model dua faktor keadilan (Sweeney & McFarlin, 1993).

Mengapa Modal Sosial dipertimbangkan dalam Model?


Pertanyaan ini tidak lepas dari argumentasi yang disampaikan para peneliti yang
mengkritisi cara pandang objektif-universalistik dalam kajian perilaku. Dalam kajian
keadilan, beberapa peneliti mendorong pentingnya mempertimbangkan aspek subjektif

16
sekaligus menengarai banyaknya hasil-hasil penelitian yang samar disebabkan
mengabaikan aspek subjektif (Skarlicky, 2001 dan Harris et al., 2004).
Dalam publikasi ilmiah saya di salah satu jurnal internasional, saya sampaikan
temuan saya bahwa modal sosial merupakan aspek subjektif yang berperan dalam
proses kognitif dalam mempersepsikan keadilan. Ada tiga hal yang menjadi alasan
penting memasukkan variabel modal sosial dalam penelitian keadilan. Pertama,
dijelaskan dalam teori heuristik (heuristic theory) bahwa karyawan melakukan
shortcut kognitif dalam menilai keadilan di perusahaannya, karena keterbatasan
informasi. Ini alasan pertama pentingnya aspek subjektif dipertimbangkan dan modal
sosial dilihat sebagai properti individual seperti dalam berbagai kajian (Chua, 2002;
Kostova & Roth, 2003; Akdere, 2005). Kedua, dalam perspektif teori identitas sosial
(social identity theory), mereka yang memiliki modal sosial tinggi cenderung
melakukan identifikasi dengan organisasi sehingga sikap dan reaksi mereka berbeda
dan cenderung lebih sensitif dengan aspek sosial daripada aspek ekonomis.
Berdasarkan kajian modal sosial, bahwa mereka yang memiliki modal sosial
tinggi cenderung fokus pada aspek sosial sedangkan mereka yang memiliki modal
sosial rendah lebih menekankan pada aspek yang bersifat ekonomis dan
memaksimumkan hasil personal (Kostova & Roth, 2003). Mereka mempersepsikan
keadilan interpersonal dan informasional terhadap outcomes dimoderasi oleh modal
sosial mereka.

Proposisi 3a:
Modal sosial memoderasi pengaruh positif keadilan interpersonal pada personal
outcomes. Pengaruh positif keadilan interpersonal pada personal outcomes lebih kuat
pada mereka yang memiliki modal sosial rendah.

Proposisi 3b:
Modal sosial memoderasi pengaruh positif keadilan interpersonal pada organizational
outcomes. Pengaruh positif keadilan interpersonal pada organizational outcomes lebih
kuat pada mereka yang memiliki modal sosial rendah.

17
Proposisi 4a:
Modal sosial memoderasi pengaruh positif keadilan informasional pada personal
outcomes. Pengaruh positif keadilan informasional pada personal outcomes lebih kuat
pada mereka yang memiliki modal sosial rendah.

Proposisi 4b:
Modal sosial memoderasi pengaruh positif keadilan informasional pada organizational
outcomes. Pengaruh positif keadilan informasional pada organizational outcomes lebih
kuat pada mereka yang memiliki modal sosial rendah.

18
BAGIAN KELIMA: SIMPULAN

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT,


Model empat faktor keadilan merupakan model keadilan yang komprehensif.
Model ini mempertimbangkan tidak hanya aspek formal manajerial, namun juga aspek
sosial keadilan yaitu sikap respek dan berkata sopan (keadilan interpersonal) dan
penjelasan yang logis dan jujur (keadilan informasional) dalam menjelaskan reaksi dan
sikap karyawan.
Model empat faktor keadilan menempatkan modal sosial sebagai variabel
penilaian subjektif karyawan yang membedakan sikap karyawan. Hal itu terkait dengan
tiga alasan yang mendasari hadirnya variabel modal sosial, yaitu: keterbatasan
informasi, sudut pandang teori identitas sosial dan prinsip-prinsip keadilan yang
berbeda terkait dengan distribusi.
Dalam praktek manajerial, para pengambil keputusan penting mengaplikasikan
aspek sosial keadilan seperti bagaimana mereka memperlakukan karyawan dengan
respek dan santun serta bagaimana memberikan informasi yang logis dan jujur di
samping aspek formal manajerial dengan memperhatikan kearifan lokal. Dengan
demikian aspek sosial keadilan sepatutnya menjadi sikap mental para pimpinan dan
manajer di Indonesia. Sikap respek, berkata santun, menjelaskan secara logis dan jujur
adalah sikap mental manajer kita dalam membangun aspek sosial keadilan dalam
organisasi.

19
PENUTUP

Hadirin yang dimuliakan Allah SWT,

Apabila dunia pendidikan tinggi saat ini belum banyak melahirkan ilmuwan
yang membangun peradaban masa depan, marilah kita memastikan komunitas
akademik pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta menjadi sebuah komunitas pembelajar sejati yang selalu mengembangkan
pembelajaran pada setiap tarikan dan hembusan nafas sivitas akademika UMY dalam
membangun peradaban kini dan masa depan yang unggul dan mencerahkan.
Alhamdulillah atas ijin Allah SWT di usia 38 tahun 8 bulan, saya memperoleh
SK pengangkatan sebagai profesor bidang ilmu manajemen SDM. Pada sisi lain SK
tersebut bermakna sebuah amanah untuk terus berbagi pencerahan bagi diri sendiri dan
lingkungan. Pada hakekatnya upaya pencerahan selayaknya dimulai dari diri sendiri
kemudian bergerak simultan bagi keluarga dan masyarakat luas. Oleh karena itulah
saya memastikan diri saya untuk tidak pernah berhenti belajar kepada para Guru
Besar saya yang luar biasa dalam meniti perjalanan dalam universitas kehidupan.
Mereka adalah orang tua saya, istri, anak-anak saya, sahabat-sahabat, mahasiswa dan
semua kolega saya dan siapapun mereka. Peristiwa apapun dalam kehidupan yang kita
hadapi pastinya adalah materi kuliah yang sangat mahal saat kita berniat memberi
makna. Tempat di manapun kita berada menjadi sebuah universitas yang dapat
melampaui Harvard Business School, saat kita membuka panca indera kita untuk mau
merasakan, melihat dan mendengarkan bait demi bait alunan syair kebaikan. Kapan
pun waktunya, menjadi saat yang tepat dan begitu indah untuk membiarkan segala
pengetahuan dan ilmu dari semesta terserap ke seluruh sel kehidupan kita.
Saat yang paling membahagiakan bagi saya adalah saat saya menyampaikan
terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya, sekaligus mengenang
kembali sosok ayahanda saya yang luar biasa, almarhum Drs. H. Soemeri
Senomuljono. Seorang anak desa (daerah yang tidak ada dalam peta kata ayah saat itu)
yang hidup sangat pas-pasan hingga menjadi pejabat menengah di bank BTN. Anak

20
desa yang mendapat penghargaan Indonesia Award tahun 1996 dan Tokoh Penggerak
Pembangunan Nasional tahun 1997. Anak desa yang selalu mengingatkan kami bertiga
anak-anaknya untuk tidak setengah-setengah dalam menjalani karir kehidupan.
Setiap tarikan nafasnya adalah cita-cita dan inspirasi untuk kami, anak-anaknya. Saya
sempat tertegun saat sahabat ayahanda, bapak Drs. H. Hadi Purwanto (mantan pejabat
di Bank Bumi Daya) mengatakan bahwa ayah saya saat ini tertawa bahagia di sana
karena anaknya bekerja di amal usaha Muhammadiyah. Ayah saya dan pak Hadi dulu
aktif di Tapak Suci Muhammadiyah. Pada bulan suci Ramadhan 1431 H ini, ayahanda
telah berpulang kepadaNya, namun inspirasi dan nasihat-nasihatnya selalu hidup dalam
jiwa, pikiran dan badan kami. Semoga amal ibadah almarhum ayahanda Soemeri
Senomuljono diterima Allah SWT dan segala khilaf dan kesalahannya diampuni Allah
SWT. Amien.
Rasa hormat dan terima kasih yang sangat dalam kepada ibunda, Hj. Sri Bakti
Sedjati, S.H., sosok wanita sabar yang sangat peduli kepada keluarga. Dengan gelar
sarjananya pada masa itu ibunda telah memiliki karir yang bagus di Bank Tabungan
Negara dan Bank Indonesia tetapi memutuskan untuk mewakafkan karirnya bagi karir
ayah saya dan karir masa depan anak-anaknya. Ibu saya melahirkan 3 anak, dua laki-
laki dan satu perempuan. Saya anak tertua dan dua adik kandung saya, Digdo Hendarto
Cahyono, S.H. dan Woro Endah Sulistyaningrum, S.E. Kepada keduanya, saya
sampaikan terima kasih atas kebersamaan belasan bahkan puluhan tahun dalam
keluarga H. S. Senomuljono, pastinya sungguh banyak hikmah yang sangat berharga.
Rasa hormat, sayang dan terima kasih yang dahsyat buat istri saya, Majang
Palupi yang memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan multinasional di USA,
alumni MBA dan BBA dari The University of Tennessee dan Western Michigan
University, USA dan telah mengambil keputusan yang tepat untuk mendampingi
dengan tulus seorang dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Apresiasi yang luar biasa buat ketiga ananda tersayang, Lubna Hananing Bakti
Palupi, Tazkia Hayyuning Bakti Palupi dan Justicio Bakti Amarilhaq yang telah
mewakafkan waktu bermainnya dengan ayahanda, namun keikhlasan ananda bertiga

21
insya Allah menjadikan tangki kasih sayang dan cinta ananda senantiasa berlimpah
untuk berbagi kepada semesta.
Terima kasih kepada kedua mertua saya, Bapak H. Badijoen dan ibu Hj.
Soeparmi yang memberikan perhatian dan dukungan pada perjalanan saya dan
mempercayakan putri satu-satunya kepada saya. Tidak lupa terima kasih kepada semua
saudara ipar saya mas Nono, mas Yoko, mas Yono, mas Soko, mas Galugu, mbak
Nova, Yuda, Oci dan Dedi.
Terima kasih tak terhingga untuk semua guru-guru saya mulai dari TK Dharma
Bakti Jakarta, SD Negeri 09 pagi Bendungan Hilir Jakarta, SD Negeri Meruya Ilir 01
Pagi Jakarta, SMP Negeri 75 Jakarta, SMP Negeri 5 Semarang, SMA Negeri 3
Semarang dan dosen-dosen saya di Universitas Gadjah Mada.
Terima kasih kepada guru-guru luar biasa dalam kehidupan saya, Bapak Prof.
Dr. Djamaludin Ancok, Drs. H. Siswanto (mantan Direktur Bank BTN), Drs.
Mohammad Arsyad, M.M. (mantan Direktur Bank BNI), Drs. Hadi Purwanto (mantan
VP Bank Bumi Daya), Dr., Muhammad Suud, M.M. (STIE WW) Dr. Ir. Adi W.
Gunawan, M.Pd., C.Ht., Drs. Ronny F.R., Drs. Asep Haerul Gani, C.Ht. dan masih
banyak guru-guru luar biasa saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Saya
yakin pahala kebaikan terus mengalir bagi para guru saya yang luar biasa itu.
Terakhir saya ucapkan terima kasih kepada Ketua dan para anggota Badan
Pelaksana Harian, Rektor dan jajarannya, Ketua Senat dan para anggota senat,
pimpinan fakultas, program studi dan lembaga di lingkungan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta serta kolega dosen, karyawan di lingkungan Fakultas
Ekonomi UMY.
Bagi semua yang disebutkan namanya dan yang tidak disebutkan namanya, para
hadirin yang telah meluangkan waktunya, saya mengucapkan terima kasih dan berdoa
semoga Allah memberikan rahmatNya bagi karya energi positif kita semua. Amien....
Jazahumullahu khairan katsiran.
Billahi at-Taufiq wa al-Hidayah.
Wassalamu;alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

22
DAFTAR PUSTAKA

Adler, P.S. & Kwon, S.W. (2002). Social capital: prospects for a new concept.
Academy of Management Review, 27 (1): 17-40.
Allen, N.J. & Meyer, J.P. (1990). The measurement and antecedents of affective,
continuance and normative commitment to the organization. Journal of
Occupational Psychology, 63: 1-18.
Ancok, D. (2003). Modal sosial dan kualitas Masyarakat. Pidato pengukuhan Guru
Besar Fakultas Psikologi UGM dalam Rapat Majelis Guru Besar Terbuka
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Akdere, M. (2005). Social capital theory and implications for human resource
development. Singapore Management Review, 27 (2): 1-23.
Ambrose, M.L. & Schminke, M. (2003). Organization structure as a moderator of the
relationship between procedural justice, interactional justice, perceived
organizational support and supervisory trust. Journal of Applied Psychology,
88(2): 295-305.
Bae, J.H. & Gargiulo, M. (2004). Partner Substitutability, alliance network structure,
and firm profitability in the telecommunications industry. Academy of
Management Journal. 47(6): 843-859.
Barling, J. & Philips, M. (1993). Interactional justice, formal and distributive justice in
the workplace: an exploratory study. The Journal of Psychology, 649(8): 1-4.
Becker, B. & Gerhart, B. (1996). The impact of human resource management on
organizational performance: progress and prospects. Academy of Management
Journal, 39 (4): 779-801.
Belliveau, M.A., OReilly, C.A. & Wade, J.B. (1996). Social capital at the top: effects
of social similarity and status on CEO compensation. Academy of Management
Journal, 39: 1568-1593.
Blodgett, J.G., Hill, D.J. & Tax, S.S. (1997). The effect of distributive, procedural and
interactional justice on postcomplain behavior. The Journal of Retailing. 73(2):
185-210.
Bolino, M.C., Turnley, W.H. & Bloodgood, J.M. (2002). Citizenship behavior and the
creation of social capital in organizations. Academy of Management Review,
27(4):505-522.
Brockner, J., Konovsky, M., Schneider, R.C., Folger, R, Martin, C. & Bies, R.J. (1994).
Interactive effects of procedural justice and outcome negativity on victims and
survivors of job loss. Academy of Management Journal, 37(2): 397-409.

23
Burt, R.S. (1997). The contingent value of social capital. Administrative Science
Quarterly,42: 339-365.
Burt, R.S. (1999). The Gender of Social Capital. The University of Chicago.
Cairns, E., Van Til, J. & Williamson, A. (2003). Social capital, collectivism-
individualism and community bacground in Nothern Ireland. A Report to The
office of the First Minister and the Deputy First Minister and the Head of the
Voluntary and Community of Unit of the Department for Social Development.
Carrel, M.R. & Dittrich, J.E. (1978). Equity theory: the recent literature,
methodological considerations, and new directions. Academy of Management
Review, 202-208.
Cascio, W. (1993). Downsizing:what do we know? What have we learned? Academy of
Management Executive, 7:95-104.
Chen, C. K. (2004). Research on impacts of team leadership on team effectiveness. The
Journal of American Academy of Business, Cambridge, 266-278.
Chi, L.S & Mei, H.Y. (2005). The role of social capital in the relationship between
human capital and career mobility; moderator or mediator? Journal of
Intellectual Capital. 6(2): 191-205.
Chua, A. (2002). The influence of social interaction on knowledge creation. Journal of
Intelectual Capital, 3(4): 1-16.
Clayton, S. & Opotow, S. (2003). Justice and identity: changing perspectives on what is
fair. Personality and Social Psychology Review, 7(4): 298-310.
Cobb, T.A., Folger, R. & Wooten, K. (1995). The role justice plays in organizational
change. Public Administration Quarterly. 9(2): 135-147.
Coleman, J.S. (1988). Social capital in the creation of human capital. American Journal
of Sociology, 94:95-120.
Colquitt, J.A., Conlon, D.E., Wesson, M.J., Porter, C. & Ng, K.Y. (2001). Justice at
the millennium: a meta-analytic review of 25 years of organizational justice
research. Journal of Applied Psychology, 86(3); 425-445.
Colquitt, J.A. (2001). On the dimensionality of organizational justice: a construct
validation of measure. Journal of Applied Psychology, 86(3): 386-400.
Cropanzano, R., Prehar, C.A. & Chen. P.Y. (2002). Using social exchange theory to
distinguish procedural from interactional justice. Group and Organization
Management, 27(3) Sept: 324-35.
Counlon, D.E. (1993) Some tests of the self-interest and group value models of
procedural justice: evidence from an organizational appeal procedure. Academy
of Management Journal, 36: 1109-1124.
Couto, R.A. (1997). Social capital and Leadership. Working Paper at the Academy of
Leadership Press.

24
Daly, J.P. & Geyer, P.D. (1994). The role of fairness in implementing large-scale
change: employee evaluations of process and outcome in seven facility
relocations. Journal of Organizational Behavior, 15: 623-638.
Delery, J.E. & Doty, D.H. (1996). Modes of theorizing in strategic human resource
management: Tests of universalistic, contingency and configurational
performance predictions. Academy of Management Journal. 39: 802-835
Dess, G.G. & Shaw, J.D.. (2001). Voluntary turnover, social capital and organizational
performance. Academy of Management Review, 26(3): 446-456.
Faturochman (2002). Keterkaitan Antara Anteseden Penilaian Keadilan Prosedural,
Penilaian Keadilan Distributif Dan Dampaknya. Disertasi Program Doktor
Psikologi UGM.
Feather, N.T. (1994). Human Values and Their Relation to Justice. Journal of Social
Issues, 50(4):129-151.
Folger, R. & Konovsky, M.A. (1989). Effects of procedural and distributive justice on
reactions to pay raise decisions. Academy of Management Journal, 32(1): 115-
130.
Fukuyama, F. (1995). Trust: Social Virtues and The Creation of Prosperity. London:
Hamish Hamiltin.
Gabbay, S.M. & Zuckerman, E.W. (1998). Social capital in R&D: the contingent effect
of contact density on mobility expectation. Social Science Research, 27: 189-
217.
Gabrenya, Jr. (2003). Theories and models in psychology. www.darwinfoundation.org.
Granovetter, M.S. (1973). The strength of weak ties. American Journal of Sociology.
78(6): 1360-1380.
Greenberg, J. (1987). A taxonomy of organizational justice theories. Academy of
Management Review, 12(1): 9-22.
Greenberg, J. (1990). Organizational justice: yesterday, today and tomorrow. Journal
of Management, 16(2): 399-432.
Greenberg, J. (1994). Using socially fair treatment to promote acceptance of a work site
smoking ban. Journal of Applied Psychology, 79(2): 288-297.
Greenberg, J. (1996). The Quest For Justice On The Job: Essays and Experiments.
Sage Publication. Inc.
Greenberg, J & Bies, R.J. (1992). Establishing the role of empirical studies of
organizational justice in philosophical inquiries into business ethics. Journal of
Business Ethics, 11: 433-444.

25
Harris, M.M., Lievens, F. & Hoye, G.V. (2004). I think they discriminated against
me: using prototype theory and organizational justice theory for understanding
perceived discrimination in selection and promotion situations. International
Journal of Selection and Assessment, Vol. 12 (1-2)
Hartman, S.J., Yrle, A.C., & Galle Jr., W.P. (1999). Procedural and distributive justice:
examining equity in a university setting. Journal of Business Ethics, 20: 337-
351
Kaplan, R.S. & Norton, D.P. (2001). The Strategy Focused Organization: How the
Balanced Scorecard Companies Thrive in the New Business Environment.
Harvard Business School. Publishing Boston.
Kim, W.C. & Maugborne, R. (1997). Fair process: Managing in the knowledge
economy. Harvard Business Review, July-Agust, 65-72.
Kim, W.C. & Mauborgne, R. (1998). Procedural justice, strategic decision making, and
the knowledge economy. Strategic Management Journal, 19: 323-338.
Konovsky, M.A & Cropanzano, R. (1991). Perceived fairness of employee drug testing
as a predictor of employee attitudes and job performance. Journal of Applied
Psychology, 76(5): 689-707.
Konovsky, M.A. & Pugh, S.D. (1994). Citizenship behavior and social exchange.
Academy of Management Journal, 37(3): 656-696.
Kostova, T. & Roth, K. (2003). Social capital in multinational corporation and micro-
macro model of its formation. Academy of Management Review, 297-317
Krehbiel, P.J. & Cropanzano, R. (2000). Procedural justice, outcome favorability and
emotion. Social Justice Research. 13(4): 339-360.
Leane, C.R. & Van Buren, H.J. (1999). Organizational social capital and employment
practice. Academy of Management Review, 24(3): 538-555.
Lee, C. & Farh, J. (1999). The effects of gender in organizational justice perception.
Journal of Organizational Behavior, 20: 133-143.
Lee, H.R. (2000). An Empirical Study of Organizational Justice as a Mediator of the
Relationship among Leader-Member Exchange and Job Satisfaction,
Organizational Commitment and Turnover Intention in Lodging Industry.
Doctoral dissertation submitted to the Faculty of the Virginia Polytechnic
Institute and State University, Blacksburg Virginia.
Lin, N. (1999). Building a network theory of social capital. Connections, 22(1):28-51.
Lind, E.A. & Earley, P.C. (1992). Procedural justice and culture. International Journal
of Psychology, 27(2): 227-242.
Lind, E.A. & Tyler, T.R. (1988). The Social Psychology of Procedural Justice. New
York: Planum.

26
Lipponen, J. Olkonnen, M.E. & Myyry, L. (2004). Personal value orientation as a
moderator in the relationships between perceived organizational justice and its
hypothesized consequences. Social Justice Research, 17(3):275-292.
Mark, MM. & Folger, R. (1984). Responses to relative deprivation: a conceptual
framework. Journal of Personality and Social Psychology, 5:192-218.
Martin, C.L. & Bennet, N. (1996). The role of justice judgments in explaining the
relationship between job satisfaction and organizational commitment. Group
and Organization Management, 84-104.
Masterson, S.S., Lewis, K.,Goldman, B.M. and Taylor, M.S. (2000). Integrating justice
and social exchange: the differing effects of fair procedures and treatment on
work relationships. Academy of Management Journal, 43(4); 738-748.
McFadyen, M.A. & Canella JR, A.A. (2004). Social capital and knowledge creation:
Diminishing returns of the number and strength of exchange relationships.
Academy of Management Journal, 47(5): 735-746.
McFarlin, D.B. & Sweeney, P.D. (1992). Distributive and procedural justice as
predictors of satisfaction with personal and organizational outcomes. Academy
of Management Journal, 35(3): 626-637.
Meyer, J.P., Allen, N.J. & Smith, C.A. (1993). Commitment to organizations and
occupations: extension and test of a three-component conceptualization.
Journal os Applied Psychology, 78(4): 538-551.
Minner, J.B. (1988) Organizational Behavior: Performance and Productivity. 1st
edition. Random House Business Division. New York.
Moorman. R.H., (1991). Relationship between organizational justice and organizational
citizenship behaviors: do fairness perceptions influence employee citizenship?
Journal of Applied Psychology, 76(6): 845-855.
Mossholder, K.W., Bennet, N. & Martin, C.L. (1997). A multilevel analysis of
procedural justice context. Journal of Organizational Behavior, 19: 131-141.
Nahaphiet, J. & Ghoshal, S. (1998). Social capital, intellectual capital and the
organizational advantage. Academy of Management Review, 23(2): 242-266.
Nauman, S.E., Bennet, N., Bies R.J. & Martin, C.L. (1998). Laid off but still loyal: the
influence perceived justice and organizational support. The International
Journal of Conflict Management, 9, 356-368.
Nauman, S.E. & Bennet, N. (2000). A case for procedural justice climate: development
and test of a multilevel model. Academy of Management Journal, 43(5): 881-
889.
Novriansyah, A. & Tjahjono, Heru .K. (2005). Pengaruh keadilan distributive dan
procedural pada kepuasan kerja di UMY. Penelitian skripsi UMY.

27
Okimoto, T.G. & Tyler, T.R. (2007). Is compensation enough? Relational concerns in
responding to unintended inequity. Group Processes & Intergroup Relations,
10(3): 399-420.
Pennings, J.M., Lee, K. & Witterloostuijn, A. (1998). Human capital, social capital and
firm dissolution. Academy of Management Journal,41(4): 425-440.
Pepitone, A. & Kathleen, L. (1996). The justice and injustice of live events. European
Journal of Social Psychology. 29: 581-597.
Peterson, R.S. (1994). The Role of Values in Predicting Fairness Judgments and
Support of Affirmative Action. Journal of Social Issues, (50): 95-115.
Pfeffer, J. (1982). Organizations And Organization Theory. USA: Pitman Publ. Inc.
Podolny, J.M. & Baron, J.N. (1997). Resources and relationship: social networks and
mobility in the workplace. American Sosiological Review. 62(5): 673-693.
Primeaux, P., Karri, R. & Caldwell, C. (2003). Cultural insight to justice: A theoritical
perpective through a subjective lens. Journal of Business Ethics. 46:187-199.
Prusak, L. & Cohen, D. (2001). How to invest in social capital. Harvard Business
Review,June 86-96.
Putnam, R.D. (1993). The prosperous community: social capital and public life.
American Prospect, 13: 35-42.
Putnam, R.D. (1995). Bowling alone: Americas declining social capital. Journal of
Democracy: 1-8.
Saunders., MNK., Thornhill., A. & Lewis., P. (2002) Understanding employees
reactions to the management of change: an exploratory through an
organizational justice framework. Irish Journal of Management, 23(1):85-101.
Scarpello, V. & Jones, F.F. (1996). Why justice matter in compensation decision
making. Journal of Organizational Behavior. 17:285-299.
Schminke, M., Ambrose, M.L. & Cropanzano, R.S. (2000). The effect of
organizational structure on perceptions of procedural fairness. Journal of
Applied Psychology, 85(2): 294-304.
Schminke, M., Ambrose, M.L. & Noel, T.W. (1997). The effect of ethical frameworks
on perceptions of organizational justice. Academy of Management Journal,
40(5):1190-1207.
Schmitt, N.W. & Klimoski, R.J. (1991). Research Methods in Human Resources
Management. South-Western Publishing Co.
Schroeder, D.A., Steel, J.E. Woodell, A.J. & Bembenek, A.F. (2003). Justice within
social dilemmas. Personality and Social Psychology Review, 7(4):374-387.
Schroth, H.A. & Shah, P.P. (2000). Procedures: do we really want to know them? An
examination of the effect of procedural justice on self esteem. Journal of
Applied Psychology, 85(3):462-471.

28
Seibert, S.E., Kraimer, M.L. & Liden, R.C. (2001). A social capital theory of career
success. Academy of Management Journal, 44(2): 219-237.
Skarlicky, D.P. & Folger, R. (1997). Retaliation in the work place: the role of
distributive, procedural and interactional justice. Journal of Applied
Psychology, 82(3): 434-443.
Skarlicky, D.P., Folger, R. & Tesluk, P. (1999). Personality as a moderator in the
relationship between fairness and retaliation. Academy of Management Journal,
42: 100-108.
Skarlicky, D.P.& Latham, G.P. (1996). Increasing Citizenship Behavior: Its Nature and
Antecedents. Journal of Applied Psychology, 68(4): 653-663.
Stecher, M.D. & Rosse, J.G. (2005). The distributive side of interactional justice: the
effects of interpersonal treatment on emotional arousal. Journal of Management
Issues. 17(2): 229-247.
Sugiarti., T. (2004). Reaksi Pekerja Terhadap Downsizing: Anteseden dan Konsekuensi
Dari Keadilan Prosedural, Interpersonal dan Informasional. Tesis pada Program
Magister Sains-Manajemen UGM.
Sweeney, P.D. & McFarlin, D.B. (1993). Workers evaluation of the Ends and the
Means: an examination of four models of distributive and procedural justice.
Organizational Behavior and Human Decision Processes, (55):23-40.
Tang, T.L. & Baldwin, L.J. (1996). Distributive and procedural justice as related to
satisfaction and commitment. Sam Advanced Management journal, 25-31.
Taylor, M.S., Tracy, K.B., Renard, M.K., Harrison, J.K. & Carroll, S.J. (1995) Due
process in performance appraisal: a quasi-experiment in procedural justice.
Administrative Science Quarterly. 40: 495-523.
Thibaut, J. & Walker, L. (1978). A theory of procedure. California Law Review, 66:
541-566.
Tjahjono, Heru. K. (2006a). Moderating role of social capital on the relationship
between organizational justice and outcomes. Paper for 1 st Convention Asian
Psychological Association, Bali.
Tjahjono, Heru. K. (2006b). Relationship between organizational justice in
performance appraisal context and outcomes. Proceeding International Seminar.
Islamic International University Malaysia UMY ke -1.
Tjahjono, Heru. K. (2008). Pengaruh keadilan organisasional pada perilaku retaliasi di
tempat kerja. Buletin Ekonomi UPN, 6(1): 12-19.
Tjahjono, Heru. K. (2009a). Configuration pattern distributive and procedural justice
and its consequences to organizational commitment. Proceeding International
Conference on Economics, Business Management and Marketing Nanyang
University of Technology.

29
Tjahjono, Heru. K. (2009b). The Effects of Organizational justice on employee reaction
and attitude: constructing proposition. Proceeding International Seminar.
Islamic International University Malaysia UMY ke-2.
Tjahjono, Heru. K. (2010a). Interaction among social capital, distributive and
procedural justice and its consequences to individual satisfaction in
performance appraisal context. Proceeding of The Annual Indonesian Scholar
Conference in Taiwan
Tjahjono, Heru. K. (2010b) Configuration pattern distributive and procedural justice
and its consequences to individual satisfaction. Proceeding International
Conference in Management Sciences and Decision Making-Tamkang
University
Tjahjono, Heru. K. (2010c). The extention of two-factor model of justice: hierarchical
regression test and sample split. China-USA Business Review, 9 (7): 39-54.
Tornhill, A & Saunders, M.N.K. (1998) The meanings, consequences and implications
of the management of downsizing and redundancy: a review. Personnel Review,
52(2): 333-344.
Tsai, W. & Ghoshal, S. (1998). Social capital and value creation: The role of intrafirm
networks. Academy of Management Journal, 41(4): 464-476.
Tyler, T.R. (1989). The psychology of procedural justice: A test of the group-value
model. Journal of Personality and Social Psychology, 57(5): 830-838.
Tyler, T.R. (1994). Psychological models of the justice motive: Antecedents of
distributive and procedural justice. Journal of Personality and Social
Psychology,67(5):850-863.
Tyler, T.R. & Blader, S.L. (2003). The group engagement model: procedural justice,
social identity, and cooperative behavior. Personality and Social Psychology
Review, 7(4):349-361.
Uzzi, B. (1997). Social structure and competition in interfirm networks: the paradox of
embededness. Administrative Science Quarterly. 464-478
Viswesvaran, C. & Ones, D.S. (2002). Examining the construct of organizational
justice: A Meta-Analytic evaluation of relations with work attitudes and
behaviors. Journal of Business Ethics, 38: 193-203.
Warner, J.C., Reynolds, J. & Roman, P. (2005). Organizational justice and job
satisfaction: a test of three competing models. Social Justice Research, 18(4):
391-409.
Wood, R & Bandura, A. (1989). Social cognitive theory of organizational management.
Academy of Management Review, (14): 361-384

30

Anda mungkin juga menyukai