Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

“Tahap Pendaftaran Gugatan atau Permohonan”

Dosen Pengampu : Bp. Yusuf Wibisono, S.Ag., M.S.I., SHEL

Disusun Oleh:

Nova Kristiana Ramadhani (212111363)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puja dan
Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Hukum
Acara Peradilan Agama dengan judul “Tahap Pendaftaran Gugatan/Permohonan” tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Yusuf Wibisono, S.Ag., M.S.I., SHEL selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan
pengetahuan pembaca.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah
yang saya buat masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Klaten, 1 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulis .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2

A. Pendaftaran Perkara ............................................................................................. 2


B. Penetapan Majelis Hakim .................................................................................... 4
C. Penetapan Hari Sidang ......................................................................................... 5
D. Pemanggilan Para Pihak ...................................................................................... 6

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 15

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 15
B. Saran .................................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama memegang peranan penting dalam permasalahan hukum di tanah
air, salah satunya dalam penyelesaian perkara perdata. Jika tanpa Peradilan Agama,
entah apa jadinya suatu negara, jelas pemerintahan saat ini tidak akan seimbang. Akan
terjadi banyak kekacauan dan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Pengadilan Agama merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman yang
memberikan layanan hukum bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai suatu perkara perdata. Untuk melaksanakan pendaftaran sebuah gugatan atau
permohonan maka harus dengan penyelenggaraan peradilan yang seragam, baik dan
sesuai prosedurnya.
Dalam suatu perkara tentunya ada dua pihak yang saling menggugat dan di gugat
serta ada yang meminta haknya atau pemohon yang sering kita dengar dengan istillah
permohonan. Dalam menghadapi masalah perdata seseorang yang menghadapi masalah
bisa mengajukan surat gugatan perdata kepada pengadilan setempat (Pengadilan
Agama).
Dengan itu, maka saya akan mengupas mengenai proses pendaftaran gugatan atau
permohonan di Pengadilan Agama, bagaimana penetapan majelis hakim dan penetepan
hari sidang, serta bagaimana proses pemanggilan para pihak yang berperkara.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pendaftaran perkara pada gugatan/permohonan?
2. Bagaimana proses penetapan majelis hakim pada gugatan/permohonan?
3. Bagaimana proses penetapan hari sidang pada gugatan/permohonan?
4. Bagaimana proses pemanggilan para pihak pada gugatan/permohonan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui proses pendaftaran perkara pada gugatan/permohonan
2. Untuk mengetahui proses penetapan majelis hakim pada gugatan/permohonan
3. Untuk mengetahui proses penetapan hari sidang pada gugatan/permohonan
4. Untuk mengetahui proses pemanggilan para pihak pada gugatan/permohonan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENDAFTARAN PERKARA
Sebelum Perkara diproses oleh Pengadilan Agama, maka terlebih dahulu perkara
tersebut harus didaftarkan dahulu oleh pihak pencari keadilan ke Kepaniteraan
Pengadilan Agama setempat. Adapun alur atau tahap proses pendaftaran perkara pada
Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan
atau permohonan.
2. Pihak berperkara menghadap petugas Meja Satu dan menyerahkan surat gugatan
atau permohonan, minimal 3 (tiga) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah
sejumlah Tergugat.
3. Petugas Meja Satu (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu
berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biayaperkara
yangkemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya
panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan
perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang Undang Nomor : 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Catatan:
a. Bagi yang tidak mampu/miskin dapat diizinkan berperkara secara prodeo
(cuma-cuma). ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan
Surat Keterangan Miskin atau Tidak Mampu dari Lurah atau Kepala desa
setempat yang dilegalisasi oleh Camat.
b. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00,- dan
ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal
237- 245 HIR.
c. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara
secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau
permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam

2
posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau
pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
4. Petugas meja satu menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada
pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam
rangkap 3 (tiga).
5. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan
atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
6. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank
yang telah ditunjuk oleh Pengadilan Agama tersebut.
7. Pihak berperkara datangke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran
panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), seperti nomor urut, dan besarnya biaya
penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi
dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.
8. Setelah pihak berperkara menerima slip bank atau kuitansi penyetoran yang
telah divalidasi dari petugas layanan bank, pihak berperkara menunjukkan slip
bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada
pemegang kas.
9. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali
kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada
pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.
10. Pihak berperkara menyerahkan kepada petugas Meja Dua surat gugatan atau
permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan
pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
11. Petugas Meja Dua mendaftar mencatat surat gugatan atau permohonan dalam
register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau
permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh
pemegang kas.
12. Petugas Meja Dua menyerahkan kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau
permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.

3
13. Pendaftaran selesai, Pihak yang berperkara akan dipanggil oleh Jurusita atau
Jurusita Pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan
Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS). Dengan
catatan, Pengambilan Akta Cerai pada Pengadilan Agama tidak dipungut biaya,
kecuali biaya untuk Kas Negara sebesar Rp 10.000,- (PP No.53 Tahun 2008).1

B. PENETAPAN MAJELIS HAKIM


Penetapan Majelis Hakim yaitu, penunjukan Majelis Hakim melalui suatu
penetapan Penunjukan Majelis Hakim (PMH) oleh Ketua Pengadilan. Penetapan Majelis
Hakim, Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja setelah proses registrasi perkara diselesaikan,
Petugas Meja dua menyampaikan berkas gugatan/permohonan kepada Wakil Panitera
untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera, Selambat-lambatnya
dalam waktu 3 (tiga) hari kerja ketua pengadilan menetapkan Majelis Hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut.
Adapun alur atau tahap proses Penetapan Majelis Hakim pada Pengadilan Agama
adalah sebagai berikut:
1. Penyerahan berkas gugatan dari panitera setelah didaftar dalam register induk
perkara kepada ketua pengadilan dalam waktu 3 (tiga) hari kerja.
2. Ketua pengadilan dalam waktu 3 (tiga) hari kerja, sudah menunjuk majelis
hakim/hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
3. Apabila ketua pengadilan berhalangan sementara maka wewenang tersebut
dilaksanakan oleh wakil ketua atau didelegasikan kepada hakim senior.
4. Penunjukan majelis hakim/hakim dilaksanakan secara adil, dan tidak membeda-
bedakan majelis hakim/hakim yang satu dengan majelis hakim/hakim yang lain.
5. Ketua/wakil ketua pengadilan selalu menjadi ketua majelis, sedangkan untuk
majelis lain ditetapkan hakim yang senior.
6. Susunan majelis hakim ditetapkan secara tetap untuk jangka waktu tertentu.
7. Ketua dan wakil ketua pengadilan selalu menjadi ketua majelis, sedang untuk
majelis yang lain, ketua majelisnya adalah hakim senior yang ada.
8. Terhadap perkara tertentu, ketua pengadilan dapat membentuk majelis khusus.

1
Dr. Sudirman. Hukum Acara Peradilan Agama (Sulawesi Selatan: Nusantara Press, 2021). hlm. 50-54.

4
9. Berkas perkara paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak didaftar di buku register
sudah diserahkan kepada majelis hakim/hakim yang akan memeriksa perkara
tersebut.2
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera disampaikan kepada
ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa,
memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan yang disebut Penetapan
Majelis Hakim (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua
orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera sidang. Apabila belum ditetapkan
panitera sidang yang ditunjuk ketua majelis hakim dapat menunjuk panitera sidang
sendiri. Setelah ada Penetapan Majelis Hakim, Ketua Pengadilan agama menyampaikan
berkas perkara kepada hakim yang ditunjuk melalui panitera pengadilan. 3
Penetapan Majelis Hakim ini ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama dan
dicatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan. Apabila ternyata di kemudian
hari anggota majelis hakim ada yang berhalangan untuk sementara, maka dapat diganti
dengan anggota lain yang ditunjuk oleh Ketua dan dicatat dalam BAP. Apabila Ketua
majelis yang berhalangan, maka sidang harus ditunda pada hari lain, tetapi apabila Ketua
mejelis atau anggotanya berhalangan tetap (umpamanya karena pindah tugas atau
meninggal dunia atau alasan lain), maka harus ditunjuk majelis baru dengan Penetapan
Majelis Hakim baru.4

C. PENETAPAN HARI SIDANG


Penetapan Hari Sidang yaitu penetapan hari yang akan dilaksanakan sidang yang
dituangkan dalam suatu Penetapan Hari Sidang (PHS) oleh Ketua Majelis Hakim.
Kemudian Juru sita pengganti memanggil para pihak untuk hadir ke persidangan pada
hari yang telah ditetapkan Ketua Majelis Hakim dengan menggunakan relas panggilan.
Adapun alur atau tahap proses penetapan hari sidang pada Pengadilan Agama
adalah sebagai berikut:
1. Dalam waktu satu minggu setelah menerima berkas perkara majelis
hakim/hakim menentukan hari sidang.

2
Sudirman, 52.
3
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama, Dilengkapi Contoh Surat-Surat Dalam
Praktik Hukum Acara Diperadilan Agama (Bandung: Mandar Maju, 2018). hlm. 117.
4
Aah Tsamrotul Fuadah. Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum Acara Islam Dalam
Risalah Qadha Umar Bin Khattab (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2019). hlm. 106.

5
2. Setiap majelis hakim/hakim mempunyai jadwal persidangan yang tetap.
3. Penetapan hari sidang, dimusyawarahkan dengan sesama anggota majelis hakim
dan dicatat dalam buku agenda masing-masing.
4. Dalam menetapkan hari sidang yang disertai pemanggilan kepada para yang
berperkara, oleh majelis hakim/hakim memperhatikan jauh dekatnya tempat
tinggal para pihak dengan letaknya tempat persidangan.
5. Lama tenggang waktu antara pemanggilan para pihak dengan sidang paling
sedikit 3 (tiga) hari kerja, kecuali dalam hal-hal yang mendesak (Pasal 122
HIR/Pasal 146 RBg).
6. Apabila suatu perkara gugatan disertai dengan permohonan sita jaminan, majelis
hakim/hakim setelah bermusyawarah dapat membuat penetapan pelaksanaan
sita bersamaan dengan panggilan pertama kepada para pihak untuk menghadiri
sidang, apabila cukup alasan untuk itu.
7. Pemeriksaan perkara cerai dilakukan selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal surat guguatan/permohonan didaftarkan di Pengadilan Agama.
(Pasal 68 (1) dan 80 (1) UU No. 7/1989).5
Penetapan hari sidang disesuaikan dengan kondisi para pihak yang dipanggil
berdasarkan jauh tidaknya lokasi tempat tinggalnya. Penetapan hari sidang dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bagi pihak yang berada di wilayah Indonesia dan diketahui tempat tinggalnya
dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah perkara didaftarkan;
b. Bagi yang berada di luar negeri selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak
perkara didaftarkan;
c. Bagi yang tidak diketahui tempat tinggalnya dilakukan paling lambat 4 (empat)
bulan sejak perkara didaftarkan.6

D. PEMANGGILAN PARA PIHAK


Pihak-pihak yang beperkara akan dipanggil oleh juru sita/juru sita pengganti untuk
menghadap ke persidangan setelah adanya Penetapan Majelis Hakim (PMH) dan
Penetapan Hari Sidang (PHS). Pemanggilan pihak-pihak harus memenuhi ketentuan
hukum acara yang berlaku agar sah (panggilan sah harus bersifat resmi dan patut).

5
Sudirman, 56-58.
6
Wahyudi, 118.

6
Adapun alur atau tahap proses pemanggilan para pihak pada Pengadilan Agama
adalah sebagai berikut:
1. Panggilan para pihak untuk menghadiri persidangan disampaikan oleh
jurusita/jurusita pengganti.
2. Jurusita/Jurusita pengganti melaksanakan panggilan berdasarkan perintah dari
majelis yang diwujudkan 133 dalam instrumen panggilan yang ditandatangani
oleh ketua majelis.
3. Instrumen panggilan disampaikan kepada kasir, supaya Jurusita/jurusita
pengganti untuk mendapatkan ongkos pemanggilan berdasarkan radius yang
telah ditetapkan oleh ketua pengadilan.
4. Ongkos panggilan dikeluarkan kasir pada hari pelaksanaan panggilan oleh
jurusita/jurusita pengganti.
5. Panggilan disampaikan kepada pihak yang dipanggil ditempat tinggalnya relaas
panggilan ditanda tangani oleh pihak yang dipanggil.
6. Apabila jurusita/jurusita pengganti tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil,
panggilan disampaikan melalui kepala desa/kepala kelurahan yang
bersangkutan. Kepala desa menandatangani relas panggilan dan dibubuhi cap
desa.
7. Relas panggilan yang disampaikan melalui kepala desa redaksi kalimatnya
disesuaikan dengan kenyataan yang ada.
8. Satu relaas panggilan untuk satu orang pihak yang dipanggil.
9. Surat panggilan kepada tergugat untuk sidang pertama menyebutkan adanya
penyerahan sehelai salinan surat gugatan dan pemberitahuan kepada pihak
tergugat, bahwa ia boleh mengajukan jawaban tertulis dalam sidang.
10. Jika yang dipanggil tidak diketahui tempat tinggalnya atau dimana ia berada,
panggilan dilakukan kepada Bupati/ Walikota tempat tinggal penggugat dengan
cara menempelkan pada papan pengumuman. Pengumuman serupa dilakukan
dipapan pengumuman pengadilan.
11. Khusus panggilan gaib untuk perkara Cerai Gugat/Talak disampaikan melalui
mas media surat kabar/elektronik sebanyak dua kali panggilan. Tenggang waktu
panggilan pertama dengan panggilan kedua selama satu bulan, 134 sedang
tenggang waktu panggilan kedua dengan hari persidangan selama tiga bulan.

7
12. Jika yang dipanggil telah meninggal dunia, maka panggilan dilakukan kepada
ahli warisnya. Dan bila ahli warisnya tidak dikenal, maka panggilan dilakukan
kepada Bupati/Walikota tempat tinggal penggugat. 7
1) Pengertian Pemanggilan
Pemanggilan adalah tahapan yang dilakukan sebelum persidangan, yang dimana
pemanggilan ini menentukan untuk persidangan ataupun putusan. Jika panggilan
dilaksanakan secara sah dapat dijadikan dasar untuk dikabulkannya gugatan tanpa
kehadiran lawan. Begitupun sebaliknya, panggilan yang tidak sah dapat menyebabkan
persidangan tidak dapat dilaksanakan. Akibat-akibat yang dapat timbul apabila
panggilan tidak dijalankan menurut aturan, pertama jurusita akan bertanggungjawab
terhadap biaya panggilan yang tidak sah dan wajib melakukan panggilan sekali lagi
menurut ketentuan perundang-undangan. Kedua, apabila salah satu pihak menderita
kerugian maka jurusita dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Ketiga, panggilan
yang tidak sah adalah panggilan yang mengulur waktu karena harusnya dilakukan
pemanggilan kembali dan persidangan ditunda. 8
Definisi pemanggilan adalah berasal dari kata “panggil” yang dalam Kamu Besar
Bahasa Indonesia memiliki beberapa pengertian yaitu memanggil, mengajak
(meminta) datang dengan menyerukan nama dan sebagainya. Sedangkan Pemanggilan
yaitu proses, cara, atau perbuatan memanggil. Secara Istilah dalam Kamus Hukum,
kata Panggilan berarti Convocatie; Bijeen Roeping (Belanda) dan Convocation dalam
bahasa Inggris.
Dari beberapa istilah di atas, pengertian pemanggilan berarti suatu proses
memanggil dan mengajak dengan nama dan sebagainya kepada seseorang atau
kelompok untuk datang atau menghadiri dan menghadap kepada orang yang
memanggil. Jika pengertian pemanggilan ini dipakai dalam proses beracara di
pengadilan, maka mengandung pengertian: “Proses memanggil atau menyeru yang
dilakukan oleh jurusita pengadilan untuk memberitahukan perihal menghadiri
persidangan dan hal-hal lain menyangkut persiapan pembelaan terhadap dirinya dalam
proses persidangan nanti”.

7
Wahyudi, 118.
8
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012, Cet.
IX), hal. 86.

8
Yahya Harahap mendefinisikan panggilan dalam hukum acara perdata sebagai
berikut: “menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-
pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan
melaksanakan hal-hal yang diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. 9 Panggilan
sidang yang dianggap resmi dan patut adalah panggilan yang hanya dilakukan oleh
jurusita pengadilan.
Panggilan meliputi makna sebagai berikut:
a. Panggilan sidang pertama kepada penggugat/pemohon dan tergugat atau
termohon,
b. Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah satu
pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah
atau dengan alasan yang sah.
c. Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak
dalam hal mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting ke
persidangan,
Tata cara pemanggilan diatur dalam Pasal 390 jo Pasal 389 dan 122 HIR.
Panggilan terhadap pihak berperkara dilaksanakan secara resmi dan patut, dengan
ketentuan:
a. Dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti yang sah, yang diangkat berdasarkan
Surat Keputusan (SK) dan telah di sumpah untuk jabatan ini, ini sesuai dengan
Pasal 40 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No. 7 tahun 1989, jurusita/jurusita
pengganti dalam melaksanakan tugasnya diwilayah hukum Peradilan Agama
yang bersangkutan.
b. Pemanggilan di sampaikan langsung kepada pihak yang berperkara secara
pribadi di tempat tinggal yang bersangkutan.
Pemanggilan para pihak dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti yang
menyerahkan surat pemanggilan beserta salinan surat gugatannya kepada tergugat
pribadi di tempat tinggalnya. 10 Dan memberitahukan bahwa yang bersangkutan boleh
menjawab surat gugatan tersebut secara tertulis (ini sesuai dengan Pasal 121 ayat (2)
HIR dan Pasal 145 ayat (2) RBg serta jurusita/jurusita pengganti apabila tidak dapat

9
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,
Dan Putusan Pengadilan) (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). hal. 265.
10
M. Nur Rosaid, Hukum Acara Perdata (Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1999), h. 23.

9
bertemu secara langsung dengan orang yang bersangkutan di tempat tinggal (kediaman
tetap), maka surat panggilan atau relaas disampaikan kepada kepala desa, yang wajib
dengan segera memberitahukan panggilan itu kepada pihak yang bersangkutan (Pasal
390 ayat (1) HIR dan Pasal 718 ayat (1) RBg).11 Penyampaian relaas kepada kepala
desa ini dianggap sah walaupun tidak sampai pada pihak yang bersangkutan, walau
kepala desa tersebut melakukan kelalaian dalam menyampaikan relaas tersebut, dan
tidak ada sanksi bagi kepala desa tersebut.12
2) Bentuk Panggilan
Pasal 390 ayat 1 HIR, 781 ayat 1 RBg mengatur bahwa pemanggilan para pihak
untuk sidang dilakukan oleh jurusita dengan menyerahkan surat panggilan (exploit)
secara tertulis beserta salinan surat gugatan kepada penggugat dan tergugat secara
pribadi di tempat tinggalnya. Jika pihak yang dipanggil itu tidak ada di tempat, maka
surat panggilan itu diserahkan kepada kepala desa tersebut untuk diteruskan. Surat
panggilan ini lazim juga disebut dengan relas panggilan atau berita acara panggilan.
Panggilan tidka dibenarkan dalam bentuk lisan karena sulit membuktikan kebenaran
dan keabsahannya sesuai Pasal 2 ayat (3) Rv. Manurut pasal ini juga panggilan melalui
telegram atau surat tercatat dianggap sebagai panggilan yang patut.
Pemanggilan para pihak dilakukan sesuai kompetensi relatif Jurusita yang
bersangkutan. Ruang lingkup kompetensi relatif jurusita pengadilan mengikuti
kompetensi relatif pengadilan yang bersangkutan, sehingga jika pemanggilan para
pihak dilakukan di luar jangkauan kompetensi relatifnya, jurusita melakukan
pendelegasian pemanggilan kepada jurusita di wilayah hukum pengadilan di mana
pihak yang dipanggil bertempat tinggal.
Isi surat panggilan bersifat kumulatif (memaksa) dan imperatif bukan alternatif,
karena itu salah satu unsur dalam surat panggilan lalai dicantumkan, maka surat
panggilan cacat hukum dan dianggap tidak sah. Akan tetapi demi menghindari proses
peradilan yang kaku dan sempit, maka jika salah satu unsur surat panggilan itu tidak
tercantum maka dapat ditolelir asal bukan mengenai nama orang yang dipanggil, hari
dan tempat sidang. Sebagaimana diketahui bahwa surat panggilan juga disebut juga
dengan “relaas”. Dalam hukum acara perdata “relaas” dikategorikan sebagai akta
11
Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2000), hal. 48.
12
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi IV (Cet. I; Yogyakarta: Liberty, 1993),
hal. 35-36.

10
autentik seperti dinyatakan dalam Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBg serta Pasal 1868
BW. Maka Relaas panggilan berarti suatu akta yang harus dianggap benar, kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya.
3) Teknis Pemanggilan
Pemanggilan para pihak yang berperkara sesuai dengan HIR, RBg. PP. No. 9
Tahun 1975 dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) adalah sebagai berikut:
a. Pemanggilan dalam Wilayah Yurisdiksi
Terdapat 2 (dua) asas yang harus diperhatikan dalam panggilan sidang;
(a) pemanggilan harus dilakukan secara resmi, yaitu pemanggilan harus tepat
sesuai tata cara yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku, (b) pemanggilan harus memenuhi ketentuan tenggang waktu
yang tepat dengan memperhatikan jarak (jauh-dekatnya) tempat tinggal
pihak-pihak yang berperkara. Adapun tenggang waktu pemanggilan sidang
tidak boleh kurang dari 3 (tiga) hari sebelum acara persidangan dimulai.
Jika perkara dikuasakan kepada kuasa hukumnya, maka panggilan
disampaikan kepada kuasa hukumnya, yang alamat umumnya dicantumkan
sesuai alamat kantor kuasa hukumnya. Ketentuan itu harus dilakukan, jika
tidak maka menyalahi aturan dan tidak dibenarkan sehingga panggilannya
tidak memenuhi prinsip pemanggilan secara patut (Pasal 390 HIR dan Pasal
718 ayat (1) RBg) seperti apabila surat panggilan oleh jurusita disampaikan
pada pihak-pihak di tengah jalan saat berjalan.
Jika orang yang dipanggil itu tidak dijumpai di tempat kediamannya,
maka panggilan diberikan pada Kepala Desa atau Kelurahan (termasuk juga
aparat desa), namun tidak termasuk Ketua Kampung dan Ketua RT menurut
petunjuk dari Mahkamah Agung RI. Kemudian Kepala Desa menyatakan
bahwa ia sanggup untuk menyampaikan kepada pihak yang bersangkutan.
Lalu satu lembar surat panggilan yang disampaikan melalui Kepala Desa atau
Lurah diberi tanda tangan Kepala Desa dan dibubuhi stempel pemerintah
Desa. Kemudian Jurusita menyerahkan kepada Majelis Hakim sebagai bukti
bahwa surat panggilan itu sudah disampaikan secara resmi dan patut.
Masalah panggilan itu disampaikan atau tidak oleh Kepala Desa atau Lurah
kepada yang berkepentingan, maka panggilan tersebut tetap dianggap telah

11
memenuhi syarat panggilan, dan yang bersangkutan dianggap telah dipanggil
secara patut dan resmi. 13
b. Panggilan di Luar Wilayah Yurisdiksi
Jika tergugat berada di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama yang
bersangkutan, maka Ketua Pengadilan Agama memohon bantuan
pemanggilan kepada Pengadilan Agama dimana tempat Tergugat berada
sesuai dengan asas membantu antar peradilan. Surat permohonan panggilan
itu dibuat dan ditandatangani oleh Panitera yang berisi permohonan kepada
Pengadilan Agama yang dituju untuk memanggil Tergugat yang sedang
berada di wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama tersebut.
Dalam surat panggilan harus dinyatakan ketentuan pasti waktu
pelaksanaan sidang dan memerintahkan para pihak untuk menghadap
Pengadilan Agama yang meminta bantuan itu disertai fotokopi surat gugatan
Penggugat untuk diketahui Tergugat. Surat permohonan panggilan tanpa
melampirkan surat panggilan dari Pengadilan Agama yang meminta bantuan
pemanggilan.
Biaya pemanggilan dalam kondisi ini dengan dua cara yaitu, pertama
mengirimkannya bersama-sama dengan surat permohonan permintaan
pemanggilan kepada Pengadilan Agama yang dituju kalau sudah diketahui
dengan pasti jarak radius dari Pengadilan Agama dengan tempat tinggal yang
dipanggil (Tergugat). Kedua, ditanggung dulu oleh Pengadilan Agama yang
memberi bantuan, lalu diganti oleh Pengadilan Agama yang meminta bantuan
dengan cara mengirimkannya setelah pemanggilan dilaksanakan. Jumlah
biaya dapat diketahui dari relaas panggilan yang dikirim. 14
c. Pemanggilan di Luar Negeri
Para pihak yang berada di luar negeri, maka panggilan sidang
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
dan Pasal 40 KHI dilakukan melalui Direktorat Jenderal dan Konsuler
Kementerian Luar Negeri. Tembusannya disampaikan kepada Perwakilan RI/

13
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana,
2008), hal. 137.
14
Fuadah, 114.

12
Kedutaan Besar RI di negara di mana pihak yang dipanggil bertempat tinggal
dan disampaikan juga kepada pihak yang dipanggil itu fotokopi surat
gugatan.
Pengadilan Agama yang meminta bantuan pemanggilan agar
memperhitungkan jarak jauhnya negara yang dituju, sehingga pihak yang
dipanggil ada kesempatan untuk mempersiapkan diri memenuhi panggilan
tersebut. Pemanggilan para pihak di luar negeri ini tidak perlu menggunakan
surat panggilan yang lazimnya dipakai oleh Pengadilan Agama, tetapi
permohonan pemanggilan itu dibuat tersendiri yang sekaligus berfungsi
sebagai surat panggilan (relaas) dan tidak perlu dikembalikan lagi kepada
Pengadilan Agama sebagaimana lazimnya surat panggilan (relaas).
d. Pemanggilan bagi Tergugat yang Tidak Diketahui Tempat Tinggalnya (Gaib)
Apabila pihak yang di panggil tidak di ketahui tempat
tinggalnya/domisilinya atau pihak yang bersangkutan tidak di kenal maka
surat panggilan tersebut disampaikan lewat Bupati yang mana pihak
berperkara bertempat tinggal di daerah kekuasaan Bupati tersebut, yang
kemudian Bupati meletakkan/menempelkan surat pemanggilan itu di papan
pengumuman persidangan hakim yang berhak atas perkara tersebut.15
Pada Edisi Revisi Buku II Tahun 2010, di angka 7 (tujuh) disebutkan,
apabila tempat kediaman pihak yang dipanggil tidak diketahui atau tidak
punya tempat kediaman yang jelas di seluruh wilayah Indonesia, maka
pemanggilannya dilaksanakan melalui bupati/walikota setempat dengan cara
menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman pengadilan
agama/mahkamah syariyah. Pada angka 9 (sembilan) disebutkan: sedangkan
panggilan dalam perkara perkawinan dan tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya (ghaib), dilaksanakan menurut tata cara Pasal 27 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975:16
1. Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20
ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada
papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu
15
Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Seriphartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktis
(Bandung: Mandar Maju, 1997), hal. 96.
16
Pedoman Pelaksanaan Tugas, dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi 2010, (Jakarta:
MARI, 2011), h. 28

13
atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh
Pengadilan.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass
media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2)
dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2)
dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak
beralasan.
Kemudian diatur juga dalam Pasal 139 KHI;
a. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan
cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan
Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar
atau media massa lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
b. Pengumuman melalui surat kabar atau beberapa surat kabar atau media
massa seperti tersebut dalam ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali
dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan
kedua.
c. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada
Ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan.
d. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan
tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak
beralasan.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasakan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis memberikan


kesimpulan sebagai berikut:

1. Surat gugatan atau pemohonan sudah dibuat tetapi untuk mendaftarkan di


Pengadilan Agama tentunya harus dilengkapai dengan syarat-syarat lainnya. Syarat
kelengkapan gugatan atau permohonan, ada syarat kelengkapan umum dana ada
syarat kelengkapan khusus. Permohonan/gugatan didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa dengan membayar pajar biaya
perkara (vorshot).

2. Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera disampaikan kepada
ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa,
memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan yang disebut Penetapan
Majelis Hakim (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua
orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera sidang. Ketua majelis yang
ditunjuk setelah menerima penetapan Petunjuk Majelis Hakim (PMH) segera
menentukan Penetapan hari sidang.

3. Penetapan Hari Sidang yaitu penetapan hari yang akan dilaksanakan sidang yang
dituangkan dalam suatu Penetapan Hari Sidang (PHS) oleh Ketua Majelis Hakim.
Kemudian Juru sita pengganti memanggil para pihak untuk hadir ke persidangan
pada hari yang telah ditetapkan Ketua Majelis Hakim dengan menggunakan relas
panggilan.

4. Pemanggilan para pihak harus dilakukan secara patut dan remi. Segala sesuatu yang
terjadi dalam pemanggilan para pihak dicatat oleh juru sita/juru sita pengganti yang
memanggil dalam berita acara (relaas) panggilan. Setelah panggilan dilaksanakan
kepada majelis hakim yang memeriksa perkara sebagai bukti bahwa para pihak telah
dipanggil. Panggilan kepada para pihak yang berperkara harus dilakukan dengan
teliti, cermat, hati-hati, dan waspada karena ketidakhadiran para pihak akan
mengakibatkan konsenkuensi yang berat bagi masing-masing pihak.

15
B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan. Penulis menyadari bahwa


makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan
detail dalam menjelaskan makalah tentang tata kelola perusahaan dengan sumber-sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi
lebih baik di masa yang akan datang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Aah Tsamrotul Fuadah. Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum Acara
Islam Dalam Risalah Qadha Umar Bin Khattab, Depok: PT Raja Grafindo
Persada, 2019.

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2012, Cet. IX.

Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama, Dilengkapi Contoh Surat-
Surat Dalam Praktik Hukum Acara Diperadilan Agama, Bandung: Mandar Maju,
2018.

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,


Jakarta: Kencana, 2008.

M. Nur Rosaid, Hukum Acara Perdata, Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 1999.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan), Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Seriphartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktis, Bandung: Mandar Maju, 1997.

Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2000.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi IV, Cet. I;


Yogyakarta: Liberty, 1993.

Sudirman. Hukum Acara Peradilan Agama, Sulawesi Selatan: Nusantara Press, 2021.

17
18

Anda mungkin juga menyukai