Anda di halaman 1dari 8

Nama : Rosi Hartono

NIM : 181200006

JAWAB
1. Proses dismissal merupakan proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di
Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan, yang diberikan melalui
penetapan pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan. Pokok gugatan adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan.

2. Beracara dengan cuma-cuma :


Pasal 3
Syarat-Syarat Berperkara Secara Prodeo
(1) Anggota masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis dapat mengajukan
gugatan/permohonan berperkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan syarat
melampirkan:
a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala
Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong yang menyatakan bahwa benar yang
bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara, atau
b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM),
Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan
(PKH), atau Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT).
(2) Pemberian izin berperkara secara prodeo ini berlaku untuk masing-masing tingkat
peradilan secara sendiri-sendiri dan tidak dapat diberikan untuk semua tingkat
peradilan sekaligus.
Pasal 4
Prosedur Berperkara Secara Prodeo Di Pengadilan Agama
(1) Penggugat/Pemohon mengajukan permohonan berperkara secara prodeo
bersamaan dengan surat gugatan/permohonan secara tertulis atau lisan.
(2) Apabila Tergugat/Termohon selain dalam perkara bidang perkawinan juga
mengajukan permohonan berperkara secara prodeo, maka permohonan itu
disampaikan pada waktu menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat/Pemohon.
(3) Majelis hakim yang telah ditunjuk oleh Ketua pengadilan Agama untuk
menangani perkara tersebut membuat Putusan Sela tentang dikabulkan atau tidak
dikabulkannya permohonan berperkara secara prodeo setelah sebelumnya
memberikan kesempatan kepada pihak lawan untuk menanggapi permohonan
tersebut.
(4) Putusan Sela tersebut dimuat secara lengkap di dalam Berita Acara Persidangan.
(5) Dalam hal permohonan berperkara secara prodeo tidak dikabulkan,
Penggugat/Pemohon diperintahkan membayar panjar biaya perkara dalam jangka
waktu 14 hari setelah dijatuhkannya Putusan Sela yang jika tidak dipenuhi maka
gugatan/permohonan tersebut dicoret dari daftar perkara.
Permohonan penundaan keputusan HTUN :
Untuk dapat menolak suatu permohonan penundaan pelaksanaan KTUN hakim akan
berpedoman pada ketentuan - ketentuan yang diatur dalam pasal 67 ayat 4 yang
menentukan bahwa : Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf b : “Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka
pembangunan menharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.” Dalam hal ini
diperlukan pertimbangan yang matang dari ketua pengadilan atau majelis hakim
sebagai suatu ukuran untuk menolak permohonan penundaan KTUN karena di dalam
Undang – Undang tidak mengatur atau mengaur secara jelas mengenai kepentingan
umum yang dimaksud oleh Undang - Undang. Ukuran semacam itu tidak diberikan
oleh Undang – Undang dan Undang – Undang hanya memberikan batasan, bahwa
permohonan penundaan pelaksanaan seperti itu tidak dapat dikabulkan apabila
kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya
keputusan yang disengketakan itu sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 67 ayat 4
Undang – Undang No. 5 Tahun 1986. Penolakan mengenai permohonan penundaan
tidak diatur secara jelas, maka majelis hakim atau ketua pengadilan cukup hanya
dengan mendiamkan atau tidak memberi jawaban atas permohonan penundaan yang
diajukan oleh penggugat tersebut atau cukup dengan menjawab permohonan tersebut
masih dipertimbangkan apabila penggugat menanyakan hal tersebut. Kepentingan
umum sebagaimana dimaksud oleh Undang – Undang diartikan oleh hakimsebagai
keadilan bagi semua pihak. Majelis jakim akan mempertimbangkan kepentingan
umum tersebut sebagai pembangunan atau upaya dalam menyediakan sandang,
pangan dan papan bagi kebutuhan masyarakat.
3. EKSEPSI • Eksepsi adalah tangkisan hal-hal di luar pokok perkara, sehingga gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima. a) Eksepsi dalam perkara Tata Usaha Negara diatur
dalam Pasal 77 UU.No. 5/1986 terdiri dari: a. Eksepsi Absolut : - Kopetensi Absolut.
Yakni eksepsi tentang kompetensi absolut pengadilan dapat diajukan setiap waktu
selama pemeriksaan berjalan. Bahwa meskipun tidak diajukan, Pengadilan wajib
untuk memeriksanya dan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara. -
Kopetensi Relatif. Eksepsi diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok
perkara. Eksepsi ini harus diputus sebelum pokok perkara diperiksa. Jadi untuk itu
pengadilan terlebih dahulu harus menetapkan putusan sela.
b. Eksepsi Relatif : Eksepsi Relatif adalah tangkisan mengenai hal-hal
kekurangan/kesalahan mengenai pembuatan gugatan. Misalnya : Penggugat tidak
berkualitas sebagai Penggugat, Objek gugatan bukan objek TUN, identitas para pihak
tidak lengkap, gugatan kabur, gugatan telah daluwarsa, gugatan nebis in idem dll.
Eksepsi relatif ini tidak terbatas, asal itu merupakan kelemahan dari gugatan diajukan
sebagai eksepsi relatif.
4. Yahya Harahap menjelaskan bahwa pencabutan gugatan merupakan hak yang melekat
pada diri penggugat. Terkait hal ini, soal pencabutan gugatan selama pemeriksaan
belum berlangsung (hal. 82-83), penerapannya berpedoman pada ketentuan Pasal 271
Rv alinea pertama, yang menegaskan:
Penggugat dapat mencabut perkaranya;
Dengan syarat, pencabutan perkara dilakukan sebelum tergugat menyampaikan
jawaban. Penyampaian jawaban dalam proses pemeriksaan perdata berlangsung pada
tahap sidang pertama atau sidang kedua atau sidang berikutnya apabila pada sidang-
sidang yang lalu diundur tanpa menyampaikan jawaban dari pihak tergugat. Dalam
hal yang seperti ini, meskipun para pihak telah hadir di persidangan, dianggap
pemeriksaan belum berlangsung selama tergugat belum menyampaikan jawaban.
Dalam keadaan demikian, hukum memberi hak penuh kepada penggugat mencabut
gugatan tanpa persetujuan pihak tergugat.
Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa memang hak mencabut yang paling murni
dan mutlak apabila proses yang terjadi:
1.Baru pada tahap pendaftaran dan pendistribusian kepada majelis, dan
2. Proses belum berlanjut pada tahap pemanggilan.
Dalam tahap proses yang seperti ini, pencabutan gugatan benar-benar mutlak menjadi
hak penuh penggugat Akan tetapi, perluasan hak itu dapat meningkat sampai tahap
selama tergugat belum mengajukan jawaban, penggugat mutlak berhak mencabut
gugatan. Hal ini selain berpedoman pada Pasal 271 Rv, juga didukung praktik
peradilan. Antara lain dapat dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
1841 K/Pdt/1984 yang menegaskan:
Selama proses pemeriksaan perkara di persidangan belum berlangsung, penggugat
berhak mencabut gugatan tanpa persetujuan tergugat,
Setelah proses pemeriksaan berlangsung, pencabutan masih boleh dilakukan, dengan
syarat harus ada persetujuan pihak tergugat.

5. Mediasi adalah forum yang disediakan untuk memberikan kesempatan kepada para
pihak duduk bersama membahas pokok sengketa. Jika bisa berdamai, difasilitasi
seorang , mereka bisa membuat akta perdamaian yang kemudian didaftarkan ke
pengadilan. Di Peradilan Agama, yang juga bersifat perdata, konsep perdamaian juga
sudah lazim dilakukan. terhadap Ford Motor Indonesia adalah salah satu contoh
sengketa perdata yang berujung damai. Ide tentang perdamaian terbawa juga ke ranah
pidana, misalnya dengan konsep . Dalam hukum adat, sudah lazim perkara pidana
selesai lewat musyawarah mufakat. Pelaku dan keluarga korban sepakat berdamai
dengan kompensasi atau tanpa kompensasi tertentu. Hukum Indonesia membenarkan
penyelesaian yang demikian. Hukum Indonesia member alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. bukan sesuatu yang haram, bahkan disarankan. Arbitrase,
mediasi, negosiasi, dan konsiliasi hanya sebagian di antara cara atau forum mencapai
perdamaian itu.
Proses persidangan di PTUN seharusnya berjalan sesuai asas peradilan sederhana,
cepat, dan biaya murah. Faktanya, tim peneliti menemukan kasus TUN –gugatan
terhadap rektor-- yang prosesnya hingga eksekusi memakan waktu 7 tahun.
Penggugatnya pun sudah pensiun (Putusan No. 183 K/TUN/2003). Bahkan ada yang
sampai menghabiskan waktu 9 tahun (Putusan No. 07 PK/TUN/2006)

6. Intervensi adalah pihak ketiga, yaitu orang atau badan hukum perdata yang
mempunyai kepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh
pengadilan yang masuk sebagai pihak, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan
permohonan, maupun atas prakarsa hakim (Mahkamah Agung, 2009).

Anda mungkin juga menyukai