Anda di halaman 1dari 3

NAMA: GUSTI ARDIANTA BHAGASKARA

KELAS: 5A4
NPM: 202010115213
HUKUM PERKAWINAN
RANGKUMAN HUKUM PERKAWINAN
“HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN UU No. 1 TAHUN 1974”

Menurut Prof. DR. Hazairin,S.H. hukum perkawinan islam dengan UU No. 1 Tahun
1974 memiliki keterkaitan, dimana ia dengan tegas mengatakan bahwa UU No. 1 Tahun
1974 merupakan sebuah Ijtihad (bisa dilihat dari sudut pandang ijtihad). Ijtihad sendiri yaitu
sumber hukum ke 3 setelah Al-Quran dan Sunah Rasul.
Dalam hukum Islam , ada dua bidang yang harus diperhatikan yaitu ibadat dan
mu'amalat. Yang masuk dalam bidang yang pertama adalah pengaturan mengenai hubungan
antara manusia dengan Allah SWT. Bidang mu'amalat adalah berkenaan dengan hubungan
dan kehidupan kemasyarakatan yang mencakup aspek-aspek hukum, sosial, politik, ekonomi,
budaya dan lain-lain, serta hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.
Sehubungan dengan kedua macam bidang tersebut, perlu diketahui, bidang mana yang
memungkinkan orang berijtihad dan bidang mana yang tidak.
Pada intinya Bidang ibadat sebagaimana diketahui mencakup hubungan antara
manusia dengan Allah SWT yang bersifat konstan, teratur, tetap dan terus-menerus sampai
akhir hayat seseorang. Agar tidak keliru, maka semua diatur secara tepat dan sesuai dengan
Al-Quran dengan diperjelas oleh Sunnah Rasul memberikan tuntunan yang terperinci kepada
manusia. Berbeda dengan bidang mu'amalat, Al-Quran dengan diperjelas oleh Sunnah Rasul
hanya mengatur ketentuan-ketentuan lainnya yang belum diatur atau yang tidak ada di dalam
Al-Quran dan Sunnah Rasul dan dapat diatur sendiri oleh manusia sesuai dengan
perkembangan zaman dan kebu tuhan manusia, namun tetap tidak boleh bertentangan dengan
al-Quran dan juga Sunnah Rasul. Sehingga peranan akal sangat penting disini.
Dengan demikian dalam bidang muamalat, hukum islam dapat mempertahankan
dinamisnya serta dapat diterapkan dimanapun dan pada zaman apapun. Sebagaimana
diketahui, perkawinan merupakan masuk kedalam bidang muamalat. Dimana dalam
sistematik ilmu hukum, hal ini masuk kedalam hukum kekeluargaan. Dalam hubungannya
Al-Quran telah menggariskan setidaknya 70 ketentuan mengenai kekeluargaan. Sehingga
dapat dikatakan pnedapat dari Hazairin bisa diterima bahwa hukum perkawinan islam
terkoneksi dengan UU No. 1 Tahun 1974.
Menurut Prof. DR. J. Prins hukum perkawinan islam dengan UU No. 1 Tahun 1974
tidak memiliki hubungan sama sekali. Pada intinya pendapatnya menyatakan antara lain:
i. Menurutnya UU N. 1 Tahun 1974 telah memperkuat kedudukan dari peradilan agama
di Indonesia, seperti yang tercantum dalam pasal 63 UU tersebut dimana kedudukan
peradilan agama di Indonesia di perkokoh.
ii. Karena adanya UU tersebut maka hukum islam serasa diperlemah. Namun pada
dasarnya hal ini tidak sepenuhnya benar karena jika dilihat dari pasal 2 dari UU
tersebutditegaskan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan dengan menurut
hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Maka berdasarkan UU tersebut
bagi orang yang beragama islam, maka hukum perkawinan islam harus diterapkan
terhadap merek. Sehingga dapat dikatakan hal tersebut telah mengkukuhkan
kedudukan dari hukum islam tersebut.
iii. Menurut J. Prins, UU No. 1 Tahun 1974 telah melakukan pembatasan-pembatasan
sehubungan dengan poligami dan talak. Dimana menurtu Prins karena dalam UU
tersebut wewenang diberikan kepada pengadilan agama, maka wewenang tersebut
dianggapnya sebagai campur tangan pengadilan agama sehingga diberi batasan-
batasan. Namun banyak yang berpendapat bahwa pendapatnya tentang hal ini keliru.
Karena dalam penulisannya yang diberikan kepada pengadilan agama sebagai
wewenangnya menganai poligami dan talak dibuat melalui sudut pandang hukum
islam yang tidak lain merupakan sebagai rangkaian Ijtihad . karena pada dasarnya,
sebelum UU No. 1Tahun 1974 dibentuk, banyak seorang suami yang secara sepihak
melakukan perkawinan poligami tanpa persetujuan dari istrinya, begitu juga
sebaliknya.
iv. Mengenai kewajiban membiayai bekas istri dan anak, seandainya ketentuan ini tidak
dikenal oleh syari'at Islam klasik sebagaimana disebutkan oleh Prof. DR. J. Prins,
maka hal ini harus pula dilihat dalam konteks sumber hukum Islam yang ketigayaitu
ijtihad. Untuk kemaslahatan bekas istri dan anak-anak suami, maka ketentuan yang
tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 (b) dan (c) yang substansinya
berkenaan dengan masalah akibat putusnya perkawinan, adalah sesuai dan sejalan
dengan prinsip istislah dalam ilmu hukum Islam.
Pada intinya antara hukum Islam dengan UU No.1 Tahun 1974 tidak ada sesuatu hal
yang kontradiktif, bahkan sebaliknya terdapat suatu hubungan atau kaitan yang erat, dalam
makna, cukup banyak asas-asas hukum perkawinan Islam yang dituangkan dalam UU No.1
Tahun 1974 itu.

Anda mungkin juga menyukai