Anda di halaman 1dari 18

DINAMIKA PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA ISLAM INDONESIA

Arifki Budia Warman


IAIN Bukittinggi
arifkibudy@gmail.com

ABSTRACT This paper explains the dynamics of the development of Islamic family law in Indonesia. The
dynamics are seen in term of legal sources, legal discourse, and legal practices in society. The source
of family law in Indonesia is dominated by Islamic law. Nevertheless, customary marriage law still
exists in the society. In addition, there are also regulation made by the government, such as law no. 1
of 1974. In terms of legal discourse, the development of family law has been filled with debates from
various circles, from its inception to the present, such as when dealing with human rights, women,
and children’s interests. Meanwhile, in term of legal practice, people refer more to conservative
Islamic legal, as well as practice in the courts.

KEYWORDS Legal sources; legal discourses; legal practices; Islamic family law

PENDAHULUAN tujuan dari pembentukan hukum keluarga adalah


untuk merespon tuntutan zaman yang
Permasalahan keluarga di Indonesia
memunculkan permasalahan-permasalahan baru
sangatlah kompleks. Hal ini terbukti dengan terus
dalam keluarga. Selain itu, tujuannya juga untuk
meningkatnya kasus perceraian di Pengadilan
mengangkat status wanita yang selama ini
Agama. Kasus perceraian tersebut didominasi
dianggap termarginalkan dan terdiskriminasi
gugat cerai yang diajukan oleh pihak perempuan.
dalam keluarga (Muzdhar 2003, 11).
Lebih dari 224 ribu perempuan menceraikan
Hukum keluarga di Indonesia seharusnya
suaminya sepanjang 2016. Sebanyak 152 ribu
tidak hanya berkembang dari ranah
gugatan dikabulkan oleh Pengadilan Agama.
administratif. Lebih dari itu, hukum keluarga
Sebanyak 90.975 di antaranya merupakan
harus mampu memberikan jaminan bagi
permohonan perceraian dari pihak suami, tetapi
kesejahteraan keluarga Indonesia dalam
hanya 60.007 permohonan yang dikabulkan.
mengarungi bahtera rumah tangga. Oleh karena
Sementara itu, masih ada 76.869 gugatan cerai
itu, tulisan ini menjelaskan dinamika hukum
yang masih dalam proses persidangan
keluarga Islam di Indonesia secara umum, yaitu
(news.liputan-6.com).
terkait dengan sumber hukum keluarga, wacana
Data tersebut, selain membuktikan
hukum keluarga, serta praktik hukum keluarga di
kompleksitas permasalahan keluarga yang
tengah masyarakat. Pembahasan ini diharapkan
berujung pada perceraian, juga membuktikan
mampu memberi pemahaman umum terkait
gagalnya instansi perkawinan di Indonesia. Hal
hukum keluarga Islam di Indonesia, baik dari segi
ini karena tujuan dari perkawinan belum tercapai
sumber, wacana, maupun praktiknya.
dengan maksimal. Hukum keluarga Indonesia
belum memberikan dampak yang signifikan bagi
SUMBER HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
perkembangan keluarga Indonesia, khususnya
Masyarakat Indonesia yang multikultural
kesejahteraan keluarga. Hukum keluarga selama
memiliki sumber hukum yang beragam.
ini hanya berkembang dalam ranah administratif
Beragamnya sumber hukum tersebut tidak bisa
–untuk menikah ataupun bercerai– saja. Padahal,
dilepaskan dari faktor kesejarahan. Zaman otoritas hukum Islam (Gibb 1993, 145). Ketika
Hindu-Buddha, kerajaan Islam, penjajahan, otoritas Islam telah diterima dengan penuh
hingga kemerdekaan, turut membentuk corak kesadaran, maka segala permasalahan yang
hukum di Indonesia. Setidaknya, ada tiga sumber menyangkut umat Islam, baik dalam hubungan
hukum keluarga yang hingga saat ini masih dengan Tuhan maupun sesama, harus
dipertahankan dan dipraktikkan oleh masyarakat diselesaikan dengan hukum Islam.
Indonesia, yaitu hukum Islam, hukum adat, dan Dalam konteks Indonesia, hukum Islam
hukum negara (UUP dan KHI). Hukum Islam dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan
mendominasi sumber hukum tersebut, sebab yang diambil dari wahyu dan diformulasikan
mayoritas penduduk Indonesia pemeluk agama dalam empat produk pemikiran hukum, yaitu
Islam. Adat juga memberikan corak yang berbeda fikih, fatwa, keputusan pengadilan dan undang-
dalam ranah hukum, meskipun banyak hukum undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi
adat yang disesuaikan dengan hukum Islam. umat Islam di Indonesia (Rofiq 1995, 5).
Negara, di satu sisi mengambil peran yang sangat Hukum keluarga merupaka salah satu
signifikan dalam menentukan sistem hukum bidang hukum Islam yang masih dipertahankan
nasional. Hal tersebut dalam rangka menjaga dan terus dikembangkan sesuai dengan
stabilitas pemerintahan dan kelangsungan kebutuhan masyarakat. Sumber utama hukum
negara. Dalam hukum keluarga, pemerintah keluarga dalam Islam adalah al-Quran dan Hadis.
mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Amir Syarifuddin mencatat ada sekitar 85 ayat
Kompilasi Hukum Islam. dalam sekitar 22 surat yang berbicara persoalan
1. Hukum Islam sebagai Kerangka perkawinan (Syarifuffin 2006, 6). Berbeda halnya
Normatif Dominan dengan Abd al-Wahhāb Khallāf, sebagaimana
Ada banyak teori dan perdebatan tentang yang dikutip Khoiruddin Nasution, yang mencatat
penyebaran Islam ke Nusantara. Perdebatan bahwa kurang lebih ada 70 ayat. Khoiruddin
tersebut mengenai tiga masalah, yaitu tempat menjelaskan beberapa contoh nas tersebut,
asal kedatangan Islam, para pembawa, dan waktu antara lain pertama, nas yang berkaitan dengan
kedatangannya (Azra 2002, 24). Terlepas dari status perkawinan dalam QS. an-Nisaa (4): 21.
perdebatan tersebut, hingga saat ini Islam telah Kedua, nas yang berkaitan dengan tujuan
mengakar kuat dan berkembang pesat di perkawinan dalam QS. ar-Rum (30): 21, asy-
Indonesia. Dengan masuk dan berkembangnya Syura (42): 11, dan an-Nahl (16): 72. Ketiga, nas
Islam di Nusantara, secara tidak langsung para yang berkaitan dengan prinsip perkawinan
pemeluk Islam harus mengikuti ajaran Islam dalam QS. al-Baqarah (2): 233 dan at-Talaq (65):
tersebut yang kemudian termanifestasikan dalam 7. Keempat, nas yang berkaitan dengan
hukum Islam (Ash-Shidieqy 1997, 17). Pemeluk kepemimpinan dalam rumah tangga yaitu QS. an-
agama Islam mau tidak mau harus melaksanakan Nisaa’ (4): 34, dan nas-nas lainnya (Nasution
hukum Islam sebagai konsekuensi atas 2010, 120).
penerimaannya terhadap Islam. Penerimaan Allah Swt. memberi wewenang kepada
terhadap Islam berarti penerimaan terhadap Nabi Muhammad Saw. untuk memberikan
12 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial
penjelasan terhadap wahyu Ilahi tersebut. tidak jarang ide mereka ditentang oleh kalangan
Penjelasan Nabi tersebut ditemukan dalam konservatif yang tetap mempertahankan hukum
sunnah yang juga disebut hadis nabi. Amir yang lama.
Syarifuddin menemukan ada sekitar 330 hadis Upaya kontekstualisasi hukum Islam juga
dalam kitab hadis Muntaha al-Akbar karya Ibnu dirasakan di Indonesia. Beberapa pemikir hukum
Taimiyah yang disyarah oleh al-Syawkaniy dalam Islam Indonesia menawarkan konsep-konsep
kitabnya Nail al-Awthar, dan 175 hadis dalam baru dalam rangka mengkontektualisasikan
kitab Bulugh al-Maram karya Ibnu Hajar al- ajaran Islam dengan kebutuhan masyarakat
‘Asqalaniy yang disyarah oleh al-Kahlani al- Indonesia. Berbagai upaya dilakukan dalam
Shan’aniy dalam kitabnya Subul al-Salam yang memperbaharui hukum Islam agar sesuai dengan
berbicara tentang perkawinan (Syarifuffin 2006, tuntutan zaman. Hukum keluarga mendapat
14). Tentunya, masih banyak hadis-hadis yang porsi perkembangan yang lebih besar, sebab ia
berbicara persoalan perkawinan tersebar dalam yang masih relevan bagi masyarakat Muslim dan
kitab-kitab ulama hadis lainnya, seperti Bukhari perlu diperbaharui sesuai dengan kebutuhan
dan Muslim. masyarakat. Dalam wilayah pidana atau perdata
Al-Quran dan Hadis menjadi rujukan utama lain, perkembangannya mengambil bentuk yang
dalam perumusan fikih. Nas-nas tersebut berbeda, bahkan telah banyak ditinggalkan
dipahami dan diformulasikan dalam bentuk fikih. (Nasution 2012, 4).
Dalam memahami nas tersebut, muncul beberapa Di Indonesia, upaya pembaharuan hukum
perbedaan pendapat para ulama atau mujtahid tersebut terbukti dengan munculnya Undang-
yang kemudian membentuk beberapa mazhab, undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
seperti Mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan yang mana materinya lebih didominasi oleh
Hanbali. Di Indonesia, mazhab yang berkembang hukum Islam. Puncak kejayaan hukum Islam di
adalah mazhab Syafi’i, sehingga rujukan hukum Indonesia adalah ketika Soeharto
keluarga cenderung menggunakan kitab-kitab menginstruksikan penerapan Kompilasi Hukum
karya ulama mazhab Syafi’i (Bruinessen 199, Islam di Pengadilan Agama. Dengan demikian,
112). segala permasalahan keluarga diputuskan
Munculnya berbagai mazhab hukum berdasarkan Kompilasi Hukum Islam. Terlepas
tersebut menjadi bukti bahwa hukum Islam dari perdebatan-perdebatan yang terjadi di
sangatlah dinamis dan kreatif pada awal antara kalangan konservatif maupun liberal atau
perkembangannya (Amal 1989, 35). Pada modernis, hukum Islam tetap berkembang dan
perkembangan selanjutnya, hukum Islam dipertahankan oleh masyarakat Indonesia.
cenderung statis, bahkan pintu ijtihad dinyatakan Hukum Islam tetap menjadi rujukan utama bagi
tertutup. Hal inilah yang menjadi agenda para masyarakat dalam menghadapi segala
pemikir hukum Islam kontemporer untuk permasalahan dalam menjalani kehidupan,
menawarkan suatu perangkat metodologi dalam khususnya permasalahan keluarga.
menggali hukum Islam yang relevan dengan
zaman (Rahman 1982, 59). Meskipun demikian,
13
2. Hukum Perkawinan Adat perempuan/ibu. Sistem ini berlaku pada
Masyarakat yang hidup bersama dalam masyarakat Minangkabau (Utomo 2016, 81).
jangka waktu yang lama akan menghasilkan Salah satu jalan dalam mempertahankan
kebudayaan. Dalam kebudayaan tersebut, sistem kekerabatan dan keturunan adalah
dibentuklah peraturan-peraturan yang tidak melalui perkawinan. Dengan demikian, tujuan
tertulis dalam rangka mempertahankan dari perkawinan menurut hukum adat adalah
keutuhan masyarakat. Peraturan-peraturan untuk mempertahankan dan meneruskan
tersebutlah yang kemudian dinamai hukum adat. keturunan, baik dari garis bapak, ibu, maupun
Dengan demikian, hukum adat berarti aturan bapak-ibu, untuk kebahagiaan rumah
kebiasaan manusia yang hidup bermasyarakat tangga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai
(Hadikusuma, 1986, 7). Sejalan dengan itu, adat budaya dan kedamaian, serta untuk
Soerjono Soekanto mendefinisikan hukum adat mempertahankan kewarasan. Tujuan
sebagai kompleks adat-adat yang tidak perkawinan adat bagi masyarakat adat juga
dikitabkan (dikodifikasi) dan bersifat memaksa berbeda antara suku bangsa yang satu dengan
(Soekanto 2008, 15). yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan
Berkaitan dengan keluarga, dalam hukum upacara perkawinannya (Hadikusuma 1990, 23).
adat, dikenal hukum adat kekerabatan. Hukum Ada tiga bentuk perkawinan adat di
adat kekerabatan merupakan hukum adat yang Indonesia. Pertama, Perkawinan jujur (bridge-gift
mengatur tentang kedudukan pribadi seseorang marriage), yaitu bentuk perkawinan yang mana
sebagai anggota kerabat, kedudukan anak pihak laki-laki memberikan jujur kepada pihak
terhadap orang tua, kedudukan anak terhadap perempuan. Benda yang dapat dijadikan jujur
kerabat, dan masalah perwalian. Dengan adalah benda-benda yang memiliki kekuatan
demikian, hukum adat kekerabatan mengatur magis. Kedua, perkawinan semendo (suitor
pertalian sanak berdasarkan pertalian darah service marriage) yang hakikatnya bersifat
(keturunan), pertalian perkawinan, dan matrilokal dan exogami. Ketiga, perkawinan
perkawinan adat (Utomo 2016, 79). bebas (exchange marriage). Bentuk kawin bebas
Sistem kekerabatan yang dianut tidak menentukan secara tegas di mana suami
masyarakat adat Indonesia ada tiga macam. atau istri harus tinggal, tergantung keinginan
Pertama, sistem kekerabatan parental, yaitu masing-masing pihak. Selain ketiga bentuk
sistem kekerabatan yang berdasarkan pada garis perkawinan tersebut, ada bentuk perkawinan
keturunan kedua orang tuannya. Sistem adat lain, yaitu perkawinan campuran dan
kekerabatan ini berlaku pada masyarakat Jawa, perkawinan lari (Utomo 2016, 93).
Madura, Kalimantan, dan Sulawesi. Kedua, sistem Hukum perkawinan adat juga memiliki
kekerabatan patrilineal, yaitu kekerabatan yang rukun dan syarat, salah satunya tentang
didasarkan pada garis keturunan laki-laki/ayah. perempuan yang boleh dinikahi. Dalam sistem
Sistem ini dianut oleh masyarakat Batak dan Bali. patrilineal, perempuan yang boleh dinikahi
Ketiga, sistem kekerabatan matrilineal, yaitu adalah perempuan yang bukan semarga atau
kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan sesuku, perempuan yang tidak melakukan
14 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial
perkawinan dengan laki-laki dari tulang, asalkan telah diterima dan sesuai dengan hukum
perempuan yang tidak menikah dengan laki-laki Islam. Hukum adat yang tidak sesuai dengan
tulang dari ibu si wanita, perempuan yang tidak hukum Islam cenderung ditinggalkan.
melakukan perkawinan dengan laki-laki dari 3. Hukum Negara: UUP dan KHI
saudara perempuan wanita tersebut, dan Negara mengambil peran yang sangat
perempuan yang tidak mempunyai penyakit signifikan menentukan hukum keluarga bagi
turun-temurun. Pada masyarakat matrilineal, masyarakat Indonesia dalam rangka menjaga
setiap perempuan boleh dinikahi asalkan tidak stabilitas dan keutuhan negara tersebut. Keluarga
sesuku. Pada masyarakat bilateral, perempuan dinilai sebagai benteng kekuasaan negara,
boleh dinikahi, yaitu perempuan yang bukan sehingga harus dilindungi dengan menetapkan
saudara ayah atau ibunya, dan perempuan yang hukum keluarga. Hal tersebut karena keutuhan
bukan kakak dari istri kakak kandungnya (yang keluarga hanya bisa dijamin melalui keutuhannya
lebih tua) (Soekanto 1992, 38-39). dalam hukum. Keutuhan keluarga identik dengan
Sistem perkawinan adat ada tiga macam. keutuhan negara. Pada gilirannya, keutuhan
Pertama, sistem endogami, yaitu seseorang negara dibuktikan dengan keutuhan hukum
hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang (Baso 2005, 267). Dengan demikian, penerapan
dari suku keluarganya sendiri. Sistem ini pernah hukum keluarga yang dibuat oleh negara
berlaku di Toraja. Kedua, sistem exogami, yaitu merupakan sebuah keniscayaan. Hukum, dalam
seseorang harus menikah dengan suku lain. hal ini, lebih tampak sebagai a tool of social
Menikah dengan suku sendiri merupakan engineering, instrumen rekayasa sosial. Dengan
larangan. Sistem ini dianut oleh masyarakat di kata lain, hukum tersebut ditujukan untuk
Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera memastikan “everyone in his/her place and in
Selatan, Buru, dan Seram. Ketiga, sistem his/her race”(Baso 2005, 266). Hukum keluarga
Eluetherogami, yang mana sistem ini tidak yang dibuat negara dengan demikian menjadi
mengenal larangan-larangan maupun keharusan- instrumen untuk memastikan keluarga Indonesia
keharusan seperti larangan dan keharusan dari hidup aman dan sejahtera di bawah kekuasaan
kedua sistem lainnya. Sistem ini dapat dijumpai negara.
hampir di seluruh masyarakat Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
khususnya Jawa (Soekanto 1992, 131). Perkawinan merupakan hukum negara yang
Sistem kekerabatan dan perkawinan adat dijadikan rujukan utama dalam persoalan
memberi corak hukum yang berbeda dalam perkawinan di Indonesia. Dengan disahkannya
masyarakat Indonesia. Dengan demikian, selain UUP tersebut pada 2 Januari 1974, maka
hukum Islam, masyarakat Indonesia juga peraturan hukum perkawinan sebelumnya
menggunakan hukum adat dalam mengatur dinyatakan tidak berlaku lagi, seperti KUHPer, UU
kehidupan keluarga. Meskipun demikian, hukum No. 22 Tahun tentang Pencatatan Nikah, Talak,
adat cenderung mengikuti hukum Islam. Hal ini dan Rujuk, dan UU No. 32 Tahun 1954 yang
terjadi setelah Hazairin menawarkan teori resepsi merupakan perluasan wilayah berlakunya UU
exit, yang mana hukum adat dapat dilakukan sebelumnya. UUP ini baru dilaksanakan pada
15
1975 setelah keluarnya Peraturan Pemerintah pasal UUP juga banyak didominasi oleh hukum
(PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Islam. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
No. 1 Tahun 1974. kontribusi hukum Islam itu sendiri dalam
Selain UUP, negara juga melegalkan hukum menjawab persoalan keluarga.
Islam dengan diformulasikannya Kompilasi WACANA HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
Hukum Islam (KHI) sebagai aturan baku bagi 1. Perkembangan Hukum Keluarga di
umat Islam dalam menjalani kehidupan keluarga. Indonesia
Tepatnya, pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Perkembangan hukum keluarga di
Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Indonesia telah dimulai sejak masa kerajaan
Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991. Dengan Islam, penjajahan, orde lama, orde baru, hingga
demikian, KHI berlaku di seluruh Indonesia reformasi. Perjalanan hukum keluarga tersebut
sebagai hukum materil yang dipergunakan di tidak lepas dari faktor kepentingan serta
lingkungan Peradilan Agama. Kemudian pada kontestasi wacana dan ideologi yang berujung
tanggal 22 Juli 1991, Menteri Agama pada negosiasi. Pada masa Belanda, misalnya,
mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 dalam rangka meneguhkan kekuasaannya,
tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Belanda menerapkan hukum keluarga
Indonesia No. 1 Tahun 1991. KHI kemudian berdasarkan golongan-golongan (Prodjodikoro
disebarluaskan kepada semua Ketua Pengadilan 1984, 14). Setelah Indonesia merdeka,
Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama pertarungan wacana dan kepentingan tersebut
melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan menjadi lebih kompleks. Hal ini terlihat dari
Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No. panjangnya perdebatan seputar pembaharuan
3694/EV/HK.003/AZ/91. Dengan demikian, KHI hukum keluarga.
telah mempunyai kedudukan yang kokoh dalam Upaya pembaharuan hukum keluarga, pada
sistem hukum Indonesia (Abdurrahmah 1992, awalnya, diperjuangkan oleh organisasi
50). perempuan. Tercatat bahwa sebelum
UUP maupun KHI tidak luput dari kritik kemerdekaan, tepatnya pada 22 Desember 1928,
dalam perkembangannya. Hal itu karena aturan terbentuk Kongres Perempuan Indonesia
tersebut dianggap tidak lagi relevan dalam pertama (Blackburn 2007, xviii). Adapun wacana
menjawab persoalan keluarga Indonesia perempuan dalam keluarga yang diangkat dalam
kontemporer. Kritik tersebut dapat dilihat dari Kongres ini, antara lain: aturan perkawinan dan
permohonan judicial review dari beberapa perceraian yang belum bisa mengayomi hak-hak
kalangan terhadap pasal-pasal UUP. Hal yang perempuan, derajat perempuan, persamaan laki-
sama terjadi pada KHI yang menghasilkan CLD laki dan perempuan, pencegahan perkawinan
KHI. Terlepas dari itu, UUP dan KHI merupakan anak-anak, tunjangan untuk janda dan anak
sumber hukum keluarga utama yang dilegalkan yatim, kewajiban perempuan dalam rumah
oleh negara. Berbagai persoalan keluarga mulai tangga, dan taklik talak (Blackburn 2007, 47).
dari peminangan hingga perceraian dan Pada perkembangan selanjutnya, setelah
pemeliharaan anak diatur di dalamnya. Pasal- Indonesia merdeka, negara berinisiatif
16 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial
membentuk Undang-undang Perkawinan karena sebagai hukum materil yang dipergunakan di
desakan berbagai pihak. Meskipun demikian, lingkungan Peradilan Agama. Kemudian pada
dalam perumusannya banyak perbedaan tanggal 22 Juli 1991, Menteri Agama
pendapat. (Wasman 2011, 9). Pada tahun 1973, mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991
dengan amanat Presiden RI tanggal 31 Juli 1973 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik
No. R.02/PU/VII/1973 disampaikan kepada Indonesia No. 1 Tahun 1991. KHI kemudian
pimpinan DPR RI, RUU tentang perkawinan yang disebarluaskan kepada semua Ketua Pengadilan
terdiri dari 15 bab dan 73 pasal dikeluarkan. RUU Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama
ini kemudian menimbulkan reaksi pro kontra melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan
dari segala lapis masyarakat Muslim, khotbah di Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.
masjid-masjid, ceramah, pengajian, tulisan di 3694/EV/HK.003/AZ/91. Dengan demikian, KHI
media massa, demonstrasi dan berbagai telah mempunyai kedudukan yang kokoh dalam
pernyataan sikap dari ormas-ormas Islam karena sistem hukum Indonesia sebagai hukum yang
dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. mengatur kehidupan umat Islam (Abdurrahman
Protes tersebut memuncak pada bulan 1992, 50).
September 1973 ketika 335 orang datang dan Keberadaan KHI tidak lepas dari kritik.
masuk ke dalam ruang sidang DPR dan Salah satunya dari segi tinjauan teori dan tata
mengacaukan jalannya sidang serta menguasai urut perundang-undangan Indonesia. KHI
perdebatan. Dari peristiwa tersebut, tercetus dipandang tidak mempunyai kekuatan hukum
kompromi undang-undang yang kemudian yang kuat. Sebab, KHI didasarkan pada Instruksi
diterima DPR pada tanggal 22 Desember 1973 Presiden, padahal Instruksi Presiden berada pada
(Cammack 1993, 28). Pada hari itu juga, RUUP urutan ketujuh dalam tata urut perundang-
yang pembicaraannya memakan waktu kurang undangan. Catatan lain terhadap status KHI,
lebih 3 bulan lamanya disahkan oleh DPR dan sebagaimana dikutip oleh Khoiruddin adalah
diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 sebagai pertama, status KHI sebagai hukum tidak tertulis
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang tidak termasuk dalam rangkaian tata urut
Perkawinan (Wasman 2011, 24). peraturan perundang-undangan yang menjadi
Akhir abad 20 muncul wacana sumber hukum tertulis. Kedua, KHI dapat
pembentukan kompilasi hukum Islam. dikategorikan sebagai hukum tertulis sebab
Munculnya tuntutan lahirnya kompilasi hukum dengan sumber-sumber tersebut menunjukkan
Islam tersebut karena belum adanya kepastian KHI berisi ‘law’ dan ‘rule’. Selanjutnya terangkat
hukum yang digunakan para hakim Pengadilan menjadi ‘law’ dengan potensi ‘political power’
Agama, serta adanya tuntutan kontekstualisasi yaitu Inpres No. 1 tahun1991 (Nasution, 2013,
hukum Islam di Indonesia (Nasution 2013, 73- 75).
74). Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Soeharto Perdebatan terkait hukum keluarga
menandatangani Instruksi Presiden Republik Indonesia tidak hanya selesai setelah munculnya
Indonesia No. 1 Tahun 1991. Dengan demikian, UUP dan KHI. Pada era reformasi, beberapa
secara formal KHI berlaku di seluruh Indonesia kalangan melakukan permohonan judicial review
17
ke Mahkamah Konstitusi karena UUP dianggap wacana yang berkembang di dalamnya. Dengan
merugikannya. Setidaknya, ada lima permohonan demikian, perdebatan seputar perkembangan
yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, yaitu hukum keluarga Islam di Indonesia merupakan
peraturan tentang poligami, usia nikah, perdebatan antara kalangan konservatif yang
pencatatan perkawinan dan status anak, proses tetap mempertahankan wacana hukum lama
perceraian, serta nikah beda agama. Dari kelima dengan kalangan modernis yang menawarkan
permohonan tersebut, hanya permohonan status hukum yang sesuai dengan tuntutan zaman dan
anak yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, wacana-wacana yang berkembang. Meskipun
dan tentang batas usia nikah yang kemudian demikian, melihat kondisi saat ini, perlu upaya
direvisi tahun 2019. kontekstualisasi secara terus-menerus agar
Departemen Agama RI merancang draft hukum keluarga Islam di Indonesia tetap mampu
revisi terhadap KHI. Sementara itu, Tim bertahan dan menyesuaikan diri dengan
Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen perkembangan zaman, serta mampu menjawab
Agama RI juga membuat sebuah draft yang persoalan keluarga kontemporer.
dikenal dengan Counter Legal Draft (CLD) KHI. 2. Hukum Keluarga Indonesia dan
Dengan demikian, ada dua rancangan yang Wacana Global
beredar dan didiskusikan masyarakat Indonesia Tuntutan zaman mengharuskan hukum
untuk memberikan masukan demi perbaikan. keluarga memodifikasi diri agar mampu
Rumusan CLD berdasarkan pada Maqasid al- menjawab persoalan keluarga kontemporer. Hal
syariah (tujuan dasar syariah), yakni ini menyebabkan hukum keluarga harus
menegakkan nilai prinsip keadilan sosial, berhadapan dengan wacana-wacana
kemaslahatan umat manusia, kerahmatan kontemporer, seperti wacana gender yang sering
semesta, dan kearifan lokal dengan menggunakan digaungkan oleh organisasi perempuan.
empat pendekatan utama, yaitu gender, Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
pluralisme, HAM, dan Demokrasi. Meskipun dilegalkannya hukum keluarga Indonesia tidak
demikian, rumusan yang dipublikasikan pada lepas dari perjuangan organisasi perempuan.
bulan September 2004 ini dibatalkan oleh Dalam beberapa kongres perempuan, hukum
Menteri Agama RI, karena ada banyak kesalahan keluarga menjadi topik yang sangat dominan
dalam perumusannya. Selain itu, Tim CLD dibahas. (Blackburn 2007, xviii). Desakan dari
menurut kelompok ulama menciptakan syariat organisasi perempuan menuntut legalisasi
Islam baru (Nasution 2013, 87-88). hukum keluarga inilah kemudian menjadi cikal
Dari perdebatan seputar perkembangan bakal munculnya UUP.
tersebut dapat dipahami bahwa hukum keluarga Jika sebelum munculnya UUP gerakan
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari wacana perempuan lebih menekankan pada
hukum yang telah mengakar dan mendarah pembaharuan hukum keluarga, maka setelah
daging dalam diri masyarakat Indonesia. Selain adanya UUP gerakan perempuan lebih pada
itu, hukum keluarga juga tidak bisa dilepaskan upaya rekonstruksi terhadap Undang-undang
dari perkembangan masyarakat serta wacana- tersebut. Hal ini karena beberapa pasal dari UUP
18 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial
maupun KHI dianggap memarginalkan inilah yang kemudian menjadi rintangan utama
perempuan dan tidak sesuai lagi dengan kondisi hukum keluarga Islam di Indonesia ketika
zaman. Gerakan perempuan tersebut menguat berhadapan dengan wacana gender dan hak asasi
setelah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW perempuan. Di satu sisi, hukum keluarga Islam di
PBB (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Indonesia dianggap tidak lagi relevan dengan
Diskriminasi terhadap Perempuan) dengan kondisi zaman, seperti ketentuan poligami, umur
keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1084 perkawinan, kedudukan suami istri, dan lainnya.
tentang Ratifikasi Konvensi Segala Bentuk Di sisi lain, pembaharuan terhadap ketentuan
Diskriminasi terhadap Perempuan (Eddyono, tersebut terhalang dengan ketentuan-ketentuan
2004). normatif lain, seperti Islam dan adat. Hal yang
Penerapan CEDAW di Indonesia masih terjadi kemudian hanyalah perdebatan-
belum maksimal. Menurut Komite CEDAW PBB perdebatan terhadap peraturan-peraturan
implementasi CEDAW di Indonesia masih jauh tersebut.
dari harapan. Ada 46 poin tanggapan Komite Hal ini juga terlihat jelas ketika wacana Hak
CEDAW yang menjadi pekerjaan rumah Asasi Manusia (HAM) menguat di Indonesia.
Indonesia, salah satu yang penting yaitu Undang- Penjaminan Indonesia terhadap HAM tersebut
undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. dibuktikan dengan ditegaskannya HAM dalam
Komite melihat UUP Indonesia masih UUD 1945 dan beberapa hukum terkait.
mengabadikan pandangan streotip yang Meskipun demikian, penerapan HAM juga tidak
mendudukkan laki-laki selalu sebagai kepala maksimal di Indonesia. Hal ini karena dalam
keluarga dan perempuan sebagai ibu rumah beberapa hal, HAM bertentangan dengan Islam
tangga. Regulasi perkawinan di Indonesia juga (Kharlie 2013, 269). Hal tersebut misalnya,
dianggap masih memperbolehkan poligami. terkait dengan ketentuan perkawinan beda
Selain itu, penetapan 16 tahun sebagai usia agama. Menurut HAM, seseorang bebas untuk
minimum perkawinan yang sah bagi perempuan memiliki dan memilih pasangan tanpa melihat
juga tidak luput dari kritik Komite. latar belakang agamanya. Padahal dalam Islam,
(hukumonline.com). Usia perkawinan ini selain seseorang sangat dilarang untuk menikah dengan
dianggap masih rendah, juga dianggap seseorang yang berbeda agama dengannya.
mendiskriminasi perempuan. Meskipun 2019 Persentuhan hukum keluarga dengan
lalu direvisi menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan wacana gender dan HAM ini sangat terlihat dalam
perempuan. beberapa pengajuan judicial review terhadap
Terhambatnya implementasi CEDAW beberapa pasal UUP. Misalnya, judicial review
tersebut, selain berbeda dengan hukum agama – yang diajukan oleh beberapa orang dengan
dalam hal ini Islam– juga berbeda dengan budaya Yayasan Kesehatan Perempuan, Koalisi
masyarakat yang telah mengakar kuat di Perempuan Indonesia, dan Yayasan Pemantau
Indonesia. CEDAW kerap dianggap sebagai Hak Anak terhadap pasal 7 UUP tentang usia
konsep “asing” atau “Barat” yang bertentangan perkawinan bagi perempuan, yaitu 16 tahun.
dengan nilai-nilai dan sistem keyakinan. Hal Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan hak
19
untuk hidup dan keberlangsungan hidup, hak Berdasarkan beberapa putusan MK terkait
perlindungan terhadap kekerasan dan hukum perkawinan Islam di Indonesia tersebut
diskriminasi, serta hak-hak lainnya. Mahkamah dan dibatalkannya CLD KHI dapat dipahami
Konstitusi menolak permohonan para Pemohon bahwa negara masih mempertahankan konsep-
untuk seluruhnya (Putusan MK Nomor 30- konsep dasar hukum Islam ketika terjadi
74/PUU-XII/2014). pertentangan antara hukum Islam dengan
Hal yang sama juga terjadi pada wacana-wacana global, seperti HAM dan Gender.
permohonan judicial review Pasal 2 ayat 1 UUP Meskipun demikian, demi kemajuan dan
tentang keabsahan perkawinan. Menurut para kesejahteraan kehidupan keluarga Indonesia,
Pemohon, ketentuan tersebut berimplikasi diperlukan respon yang serius terhadap wacana-
terhadap tidak sahnya perkawinan diluar wacana global yang sedang berkembang di
ketentuan negara atas masing-masing agama Indonesia. Dalam artian, perlu adanya
dengan kepercayaannya. Ketentuan tersebut juga rekonstruksi dan kontekstualisasi hukum Islam,
tidak memberikan kepastian hukum, yang mana khususnya hukum keluarga agar mampu
hal ini berkaitan dengan perkawinan beda agama. menjawab berbagai persoalan keluarga yang
MK juga menolak permohonan para Pemohon tengah dihadapi masyarakat Indonesia saat ini.
secara keseluruhannya (Putusan MK Nomor
68/PUU-XII/2014). Selain itu juga ada beberapa PRAKTIK HUKUM KELUARGA DI
INDONESIA
judicial review lainnya seperti persoalan usia
1. Praktik Hukum Keluarga dalam
nikah yang awalnya ditolak MK melalui putusan
Masyarakat
nomor 30-74/PUU-XII/2014. Namun, pada 2017,
Beragamnya sumber hukum keluarga –
membatalkan aturan usia minimal 16 tahun
hukum Islam, adat, dan negara– serta ambigunya
menikah bagi perempuan melalui keputusan
hukum negara menghasilkan praktik hukum yang
nomor 22/PUU-XV/2017.
berbeda dalam masyarakat. Hal ini misalnya
Selain UUP, Kompilasi Hukum Islam juga
terlihat dalam praktik nikah sirri dan percatatan
tidak luput kritik dari wacana gender dan HAM,
pernikahan. Hukum Islam tidak mewajibkan
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
adanya pencatatan pernikahan, sedangkan
Musdah Mulia bersama Tim Pengarusutamaan
hukum negara (UUP) mengharuskan setiap orang
Gender (PUG) Depag menawarkan CLD KHI
untuk mencatatkan pernikahannya. Hal ini
dalam merespon wacana gender yang
menyebabkan pemahaman masyarakat terhadap
berkembang. Upaya yang dilakukan oleh Tim PUG
pencatatan perkawinan beragam. Sebagian
berujung pada dibatalkan dan dilarang beredar
kalangan memahami bahwa pencatatan
CLD KHI oleh Menteri Agama ketika itu (Nasution
perkawinan memang diharuskan, sedangkan
2013, 87-88). Meskipun demikian, hal ini telah
yang lain memahami sebagai syarat administratif.
menjelaskan bahwa hukum perkawinan Islam
Hal inilah yang kemudian salah satu penyebab
Indonesia sangat membutuhkan revisi,
masih terjadinya praktik nikah sirri (tidak
mengingat kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
dicatatkan) dalam masyarakat Indonesia.

20 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial


Praktik pernikahan sirri masih banyak kepada hukum Islam dengan ulama atau kiai
terjadi di tengah masyarakat. Di Desa (penghulu non-negara) sebagai pemangku
Sinarrancang, misalnya, menurut Alfarabi, dalam otoritasnya. Hal tersebut karena hukum Islam
penelitiannya, masih berjalan budaya kawin kiai tidak melarang pernikahan yang tidak dicatatkan
(nikah sirri) hingga saat ini. Lebih lanjut, Ia tersebut. Selain itu, adat dan kebudayaan juga
menjelaskan bahwa praktik nikah sirri (kawin mengambil peran dalam praktik nikah sirri. Hal
kiai) dilakukan masyarakat Sinarrancang karena ini dapat terlihat dari budaya kawin kiai itu
dua aspek. Pertama, aspek internal, yaitu sendiri, yang mana bagi masyarakat adalah
rendahnya pemahaman terhadap pencatatan sebagai suatu hal yang biasa dan telah
perkawinan, paham keagamaan, sikap tidak acuh, membudaya serta tidak melanggar ketentuan
dan prosedur yang rumit. Kedua, aspek eksternal, dari adat.
yaitu peran kyai, minimnya sosialisasi, akses yang Hal yang sama juga terjadi pada praktik
sulit, kelalaian aparat perwakilan di desa, biaya pernikahan di bawah umur (pernikahan dini).
pencatatan, pandangan masyarakat setempat, Meskipun UUP telah menetapkan batas usia
budaya kawin kyai di tengah masyarakat nikah, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun
(Alfarabi 2013). bagi perempuan (sebelum direvisi), namun pada
Berdasarkan pada praktik kawin kyai praktiknya, masih banyak masyarakat
tersebut, Alfarabi melihat ada dualisme melakukan pernikahan di bawah umur. Hal ini
kepenghuluan dalam masyarakat. Ia sebagaimana yang dirangkum oleh Ahmad
mengistilahkan penghulu negara dan penghulu Tholabi Kharlie (2013, 200-215) berdasarkan
non-negara. Penghulu negara adalah penghulu penelitian dan berita terkait pernikahan di bawah
yang telah ditunjuk oleh negara di KUA sebagai umur. Daerah Indramayu, misalnya, dari 50%
pejabat yang diberi wewenang untuk setiap lulusan pada tingkat SD, hanya 5 %
menikahkan calon suami-istri. Adapun penghulu perempuan yang melanjutkan hingga lulus SLTA,
non-negara merupakan kyai yang dipercayai oleh selebihnya memilih untuk menikah. Begitu juga
masyarakat karena pengetahuan agama dan di Kabupaten Ponorogo meningkat 75%, di Kota
kharismatiknya untuk menikahkan calon suami- Malang meningkat 500% dibanding pada 2007, di
istri. Masyarakat mengalami ketergantungan Nias yang mengacu pada hasil penelitian Pusat
pada kedua otoritas ini, meskipun dalam tingkat Kajian dan Perlindungan Anak Nias pada 2008
yang berbeda. Dalam penyelenggaraan angka pernikahan antara 13-18 tahun sekitar
perkawinan yang dicatatkan, masyarakat 9,4% dari 218 responden yang telah menikah dan
menggunakan otoritas penghulu negara, akan menikah, serta masih banyak di daerah lain
sedangkan penghulu non-negara dijadikan yang mempraktikkan pernikahan di bawah umur,
otoritas alternatif budaya kawin kyai (Alfarabi seperti di daerah pedesaan.
2013). Banyak faktor yang menyebabkan praktik
Berdasarkan penelitian Alfarabi tersebut, pernikahan usia dini di Indonesia. Ahmad Tholabi
dapat dipahami bahwa dalam melakukan praktik Kharlie mencatat bahwa cara pandang
nikah sirri, masyarakat cenderung merujuk masyarakat yang sangat sederhana dan salah
21
dalam memahami perkawinan menjadi penyebab Keempat, adanya percekcokan antara suami-istri,
terjadinya pernikahan dini. Hal ini karena sehingga suami mencari wanita lain. Kelima,
rendahnya pendidikan masyarakat. Pernikahan karena tidak adanya keturunan. Keenam, karena
dini juga disebabkan karena telah terjadi faktor pekerjaan (Kharlie 2013, 221-223).
hubungan badan di luar nikah. Selain itu, Selain ketiga praktik tersebut –nikah sirri,
keyakinan masyarakat tradisional juga berperan nikah dini, poligami– masih banyak praktik-
dalam praktik ini, misalnya pada masyarakat praktik hukum keluarga lainnya yang dilakukan
Indramayu yang berkeyakinan untuk tidak oleh masyarakat, misalnya praktik perceraian,
menolak pinangan pertama kepada anak nikah beda agama, waris, dan lainnya. Hal yang
perempuan (Kharlie 2013, 210). Masih banyak tidak kalah penting dari praktik hukum tersebut
faktor-faktor lain yang memengaruhi adalah praktik hukum perkawinan adat. Dalam
meningkatnya pernikahan dini dalam hal ini adalah tradisi-tradisi perkawinan adat
masyarakat Indonesia. Faktor-faktor tersebut yang masih dipertahankan oleh beberapa
juga didukung oleh pemahaman agama, khusus masyarakat adat di Indonesia, baik dari sistem
Islam, yang kuat dalam masyarakat. Hukum Islam perkawinan maupun upacara perkawinannya.
tidak melarang pernikahan dini. Pernikahan Sebagaimana yang telah dijelaskan
boleh dilakukan jika calon suami dan istri telah sebelumnya, bahwa di Indonesia masih
baligh yang ditandai dengan mimpi bagi laki-laki memegang erat hukum adat perkawinan, seperti
dan menstruasi bagi perempuan. ketentuan-ketentuan yang boleh dinikahi, sistem
Praktik hukum keluarga yang tidak kalah eksogami dan endogami, hingga tradisi kawin
menariknya dari praktik nikah sirri dan nikah lari. Tradisi tersebut ikut mewarnai praktik
dini adalah poligami. Meskipun UUP telah hukum keluarga di Indonesia. Dalam masyarakat
membatasi poligami, namun praktik poligami di Minangkabau, misalnya, ada larangan kawin
Indonesia masih tergolong tinggi. Penelitian yang sesuku. Selain itu, juga kewenangan laki-laki
dilakukan oleh Center for Study of Religion and dalam sistem kekerabatan di Minangkabau yang
Culture (CSRC) UIN Jakarta terhadap enam merangkap dua sekaligus. Selain harus menjadi
daerah di Indonesia, sebagaimana yang dikutip suami yang ideal sebagai urang sumando dan
oleh Ahmad Tholabi, menjelaskan bahwa 61% berkewajiban menjaga martabat kaumnya di
responden Muslim menyetujui adanya poligami, rumah anak dan istrinya, ia juga bertanggung
sedangkan 31% tidak menyetujuinya. Ada jawab sebagai ninik mamak dari saudara-saudara
beberapa sebab atau alasan terjadinya praktik perempuan, anak-anak saudara perempuannya
poligami dalam masyarakat, antara lain: pertama, dalam satu garis keturunan matrilineal
faktor agama, yaitu agama Islam membolehkan (Yaswirman 2013, 125).
poligami. Kedua, adanya kesempatan, kebutuhan Selain sistem kekerabatan dan perkawinan
biologis, dan adanya kondisi lingkungan tersebut, masyarakat Minangkabau juga masih
masyarakat yang mengizinkan. Ketiga, faktor mempertahankan praktik-praktik upacara
ekonomi dan status lelaki yang kaya membuat perkawinan adat, semisal tradisi batimbang
perempuan mau dinikahi secara poligami. tando, dan tradisi lainnya. Batimbang tando
22 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial
merupakan pertukaran tanda bahwa kedua Pusaka tinggi inilah yang tidak boleh dibagi dan
keluarga telah menjodohkan anak kemenakan hanya digunakan untuk keperluan kaum,
mereka di suatu waktu kelak. Tradisi ini sedangkan harta pusaka rendah dan harta
didahului oleh proses pinang-meminang yang pencaharian dibagi berdasarkan hukum Islam.
diprakarsai oleh pihak perempuan. Jika pinangan Praktik perkawinan dan waris adat ini juga
tersebut diterima barulah acara batimbang tando banyak terjadi dalam masyarakat adat lainnya.
dilakukan. Selanjutnya, ketika perkawinan akan Setiap masyarakat adat memiliki adat tersendiri
dilaksanakan, maka dicukupilah syaratnya dan berbeda dengan adat lainnya. Bahkan, di
terlebih dahulu, seperti mahar dan panibo. Panibo beberapa daerah Indonesia, dikenal istilah kawin
merupakan beberapa perangkat keperluan lari, yang mana seorang laki-laki melarikan calon
pengantin perempuan yang harus dilengkapi oleh istrinya sebelum diadakan perkawinan. Hal ini
laki-laki. Meskipun demikian, di beberapa daerah misalnya terjadi di Sasak, yang terkenal dengan
di Minangkabau, semisal Pariaman, dikenal uang kawin salarik (Yasin 2013). Masyarakat Samin,
jemputan yang berupa uang atau benda lain yang Pati, sebagaimana penelitian Sri Wahyuni juga
diberikan kerabat perempuan kepada kerabat masih mempertahankan hukum perkawinan
laki-laki. Setelah itu barulah acara perkawinan adat. Perkawinan masyarakat Samin berbeda
dilakukan, mulai dari acara malam bainai dengan perkawinan yang telah diatur dalam UUP,
(memerahkan kuku calon pengantin dengan daun seperti tata cara, usia nikah, dan pencatatan
inai), Basandiang (mendudukkan para pengantin perkawinan. Hal ini menurut Sri karena dasar
di pelaminan agar disaksikan oleh tamu yang hukum agama yang digunakan berbeda, yaitu
hadir, manjalang (berkunjung, yang merupakan agama Adam (Wahyuni 2013, 337).
acara puncak di rumah pengantin perempuan), Selain praktik hukum Islam dan adat dalam
hingga perjamuan (Navis 1984, 193-227). hubungan rumah tangga tersebut, masyarakat
Sistem kekerabatan matrilineal yang juga mempraktikkan hukum yang dikeluarkan
dianut Minangkabau, selain memengaruhi oleh negara. Hal ini misalnya dapat dilihat dari
praktik perkawinan, juga memberi pengaruh ketentuan-ketentuan negara terkait masalah
kepada sistem kewarisan. Sistem kewarisan pencatatan pernikahan, isbat nikah, dispensasi
Minangkabau lebih mementingkan garis perkawinan, perceraian, dan lain-lain. Sejak
keturunan ibu/perempuan, yang mana harta ditetapkannya UUP, maka UU sebelumnya yang
pusaka diwariskan kepada keturunan mengatur kehidupan keluarga dinyatakan tidak
perempuan. Hal ini tentunya sangat berbeda berlaku lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa
dengan ketentuan ajaran Islam. Dalam rangka negara mengambil peran yang sangat penting
menyelesaikan persoalan inilah kemudian dalam mengatur kehidupan keluarga. Masyarakat
diadakan Kongres Adat di Bukittinggi pada tahun mau tidak mau harus mengikuti peraturan-
1952. Kongres tersebut menghasilkan pembagian peraturan yang telah dikeluarkan oleh negara.
harta menjadi dua yaitu harta pusaka dan harta Hukum negara yang terpatri dalam UUP
pencaharian (Hamka 1984, 4). Harta pusaka juga lebih dipraktikkan masyarakat dalam ranah
terbagi dua, yaitu pusaka tinggi dan rendah. administratif saja. Misalnya, ketentuan dari
23
pencatatan perkawinan, sebagaimana yang telah di Pengadilan belum maksimal. Mereka melihat
dijelaskan sebelumnya, sebagian kalangan bahwa terjadi kontestasi wewenang antara
memandang hal tersebut sebagai ketentuan Pengadilan Agama (PA) dan Kantor Urusan
administratif, tetapi tidak menentukan Agama (KUA) dalam menangani permasalahan
keabsahan perkawinan. Meskipun demikian, keluarga. Kontestasi tersebut misalnya terlihat
masyarakat mengakui pencatatan perkawinan dalam kasus perceraian yang merupakan
yang ditetapkan oleh negara sebagai sesuatu wewenang PA. PA harus mengkoordinasikan
yang penting. Begitu juga dengan ketentuan usia dengan KUA, namun koordinasi tersebut
nikah yang ditetapkan 16 tahun bagi perempuan cenderung tidak berjalan dengan baik. Begitu
dan 19 tahun bagi laki-laki yang kemudian juga praktik isbat nikah yang merupakan
direvisi menjadi 19 tahun (Pasal 7 UUP). wewenang PA, namun beberapa KUA membantu
Masyarakat secara langsung telah pencatatan nikah pasangan yang pernikahannya
mempraktikkan ketentuan tersebut, namun telah berlangsung beberapa waktu lampau
beberapa orang melanggarnya karena beberapa (Alimin 2013, 133).
alasan, misalnya karena hamil sebelum menikah. Di sisi lain, potret putusan-putusan hakim
Ketika terjadi persoalan inilah kemudian berlaku PA dalam permasalahan keluarga cenderung
ketentuan dispensasi nikah (Pasal 7 ayat (2)), beragam. Hal ini disebabkan oleh rujukan hakim
yang mana pengadilan memberikan dispensasi dalam memutuskan perkara tersebut juga
kepada pasangan di bawah umur untuk menikah. berbeda. Ketika hakim merujuk pada KHI dan
Demikianlah beberapa praktik hukum kitab-kitab fikih klasik, maka akan sangat kecil
keluarga dalam keseharian masyarakat kemungkinan putusan PA berpihak kepada
Indonesia. Dari hal tersebut dapat disimpulkan perempuan. Hal ini karena baik kitab fikih klasik
bahwa praktik hukum keluarga dalam maupun KHI masih memosisikan perempuan
masyarakat Indonesia lebih banyak bersumber secara tidak adil. Berdasarkan penelitian yang
pada hukum Islam dan adat, sedangkan hukum dikutip oleh Ahmad Tholabi, eksistensi kitab fikih
negara hanya digunakan ketika berhadapan klasik masih sangat kuat memengaruhi putusan
dengan persoalan administratif. Oleh karena itu, hakim. Hal tersebut karena hakim masih
praktik hukum negara ini lebih ditekankan pada memegang kuat tradisi yang melingkupinya
praktik di Pengadilan Agama. (Kharlie 2013, 312).
2. Praktik Hukum Keluarga di Sejalan dengan itu, Euis Nurlaelawati,
Pengadilan dalam tulisannya tentang kondisi perempuan
Pengadilan Agama (PA) merupakan Muslim Indonesia di Pengadilan terkait
lembaga peradilan yang memiliki peran perceraian dan hak asuh anak, menjelaskan
signifikan dalam menyelesaikan persoalan bahwa walaupun perempuan banyak
keluarga di Indonesia. Di PA, dapat terlihat memenangkan kasus perceraian yang mereka
praktik hukum keluarga yang dijalankan apakah bawa ke pengadilan, tetapi bukan berarti mereka
baik atau tidak. Alimin dan Euis Nurlaelawati tidak mengalami kesulitan. Meskipun ada
mencatat bahwa implementasi hukum keluarga sejumlah hukum negara yang mengatur hak
24 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial
perempuan, banyak perempuan yang masih tidak perceraian karena murtad ini juga dapat dilihat
bisa memperoleh hak mereka pasca perceraian, dalam penelitian Indra Aditama (2008). Indra
meliputi persoalan pemeliharaan anak. Dengan menjelaskan bahwa putusan hakim tersebut
kata lain, perempuan tidak mendapatkan telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh
manfaat yang lebih baik setelah perceraian pada UUP. Hakim menjadikan penjelasan Pasal 39 ayat
praktiknya, seperti dalam masalah pemeliharaan (2) UUP jo pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah
anak. Hal ini karena dalam memutuskan kasus Nomor 9 tahun 1975 sebagai salah satu alasan
pemeliharaan anak, hakim lebih banyak merujuk perceraian. Hal ini memperlihatkan bahwa hakim
pada fikih klasik dan pandangan patriarkis dari juga cenderung merujuk pada hukum negara.
peran perempuan. Oleh karena itu, meskipun Sejalan dengan hal tersebut, Sulistyowati
hakim dibatasi oleh hukum negara, tetapi mereka Irianto dan Antonius Cahyadi (2008) melakukan
masih menempatkan prioritas utama dalam nilai- analisis terhadap 40 putusan Mahkamah Agung
nilai agama ketika mereka menafsirkan hukum terkait dengan kekerasan perempuan. Dasar
yang berhubungan dengan pasca perceraian. Hal hukum yang digunakan oleh MA adalah hukum
ini kemudian menghasilkan intoleransi dan negara, hukum agama, dan hukum adat. Dari 40
diskriminasi terhadap perempuan (Nurlaelawati putusan tersebut, terdapat 21 putusan yang
2016, 364). didasarkan pada hukum negara, 7 putusan pada
Meskipun demikian, dalam beberapa hukum agama, dan 12 putusan pada hukum adat.
putusannya, hakim mampu mengeluarkan Putusan-putusan tersebut berkaitan dengan
putusan yang dianggap adil dan diterima sengketa waris, perceraian, ingkar janji dalam
masyarakat luas, seperti Putusan Pengadilan menikahi, hibah, sengketa tanah, harta gono gini,
Tinggi Agama Jakarta No. 14/Pdt.G/1994/PTA pidana, dan putusan lainnya. Putusan tentang
dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. perempuan tersebut lebih banyak dalam
339/Pdt.G/1993/PA.JP. Dalam hal ini, hakim persoalan rumah tangga.
telah berani meninggalkan ketentuan-ketentuan Berkaitan dengan putusan yang merujuk
dalam kitab fikih klasik, sehingga sensitivitas pada hukum adat, hakim biasanya menyebutkan
hakim dalam memutus perkara meningkat secara eksplisit bahwa menurut atau
(Kharlie 2013, 312). berdasarkan hukum adat masyarakat. Majelis
Putusan hakim PA selain didasarkan pada hakim biasanya berkonsultasi dengan pengadilan
KHI juga didasarkan pada UUP, semisal Putusan setempat yang hidup dalam wilayah hukum adat
No 152/Pdt.G/2012/PA.Mks. Menurut Ellida tertentu, bahkan hakim juga berkonsultasi
Wirza Desianty (2013), dalam penelitiannya, dengan lembaga adat masyarakat setempat.
pada putusan tentang fasakh perkawinan karena Sulistyowati menemukan 12 putusan yang
murtad tersebut, status anak dari pasangan yang menggunakan hukum adat, yaitu mengenai
bersengketa adalah sah berdasarkan akta nikah. sengketa waris, hibah, ingkar janji nikah,
Pembagian harta terhadap kedua pasangan yang pengakuan anak dan pidana (Irianto 2008, 31).
difasakh nikah tersebut diatur dalam Pasal 36 Dari 40 putusan MA tersebut, ditemukan
ayat (1) dan (2) UUP. Putusan hakim terkait bahwa ada 19 putusan yang berpihak pada
25
perempuan dan 21 putusan yang tidak berpihak tengah masyarakat. Sumber hukum yang
pada perempuan (Irianto 2008, 31). Hal ini digunakan di Indonesia dalam hal perkawinan
menjelaskan bahwa keberpihakan hakim dapat dibagi tiga macam. Pertama, hukum Islam
terhadap perempuan dalam memutuskan yang menjadi kerangka normatif dominan bagi
perkara cenderung lebih sedikit. Memang masyarakat Islam. Kedua, hukum perkawinan
beberapa aspek dari hukum keluarga Islam di adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat
Indonesia masih bias gender dan kurang Indonesia, seperti adat perkawinan
berpihak pada perempuan. Di sisi lain, hakim Minangkabau. Ketiga, hukum negara yang
terbatas pada peraturan tersebut dalam dimanifestasikan dalam peraturan perundang-
memutus perkara. Melihat kenyataan tersebut, undangan, seperti Undang-Undang Nomor 1
hal yang sangat diperlukan saat ini adalah Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
peranan hakim dalam penemuan hukum yang Perkembangan hukum keluarga Indonesia
lebih adil, benar, dan diterima oleh masyarakat mengalami proses yang panjang. Hal tersebut
luas. Peranan tersebut harus dibangun terus- tidak lepas dari pertarungan wacana serta
menerus dengan cara memberi masukan dan kontestasi dan negosiasi ideologi yang
pengetahuan baru kepada hakim (Kharlie 2013, melingkupi masyarakat Indonesia. Pertarungan
326). Sejalan dengan itu, dalam membangun wacana dan negosiasi ideologi ini dapat dilihat
peran tersebut, hakim harus mampu melakukan sejak awal pembentukan awal undang-undang
interpretasi mendalam terhadap permasalahan perkawinan yang membutuhkan waktu cukup
keluarga yang dihadapi dengan melihat lebih luas lama. Setelah terbentuknya undang-undang
konteks sosial yang melingkupi keluarga. perkawinan bukan berarti pertarungan wacana
Berdasarkan uraian tersebut, dapat tersebut berakhir. Hal ini terlihat dari banyaknya
dipahami bahwa di PA maupun MA, praktik pengajuan gugatan terhadap undang-undang
hukum keluarga didasarkan pada hukum Islam, perkawinan ke Mahkamah Konstitusi. Persoalan
Negara (UUP) dan Hukum Adat. Meskipun ini memperlihatkan bahwa hukum keluarga
demikian, hakim banyak merujuk pada hukum Islam di Indonesia mendapatkan tantangan
Islam, seperti KHI dan kitab fikih klasik. Selain itu, ketika terhadap wacana-wacana global, seperti
keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh HAM, gender, dan pluralisme.
hakim pun lebih banyak tidak memihak kepada Praktik hukum keluarga dalam masyarakat
perempuan. Hal ini menjelaskan bahwa lebih cenderung merujuk pada hukum Islam
sensitivitas gender hakim di pengadilan masih konservatif. Hal ini dapat dilihat dari masih
rendah. banyaknya masyarakat yang melakukan
pernikahan dini, poligami, dan hukum-hukum
SIMPULAN lainnya yang mendiskriminasikan perempuan
Untuk melihat dinamika hukum keluarga dan anak. Dalam tataran Pengadilan Agama
Islam di Indonesia memang tidak bisa dilepaskan maupun Mahkamah Agung, hakim dalam
dari sumber hukum yang digunakan, wacana menyelesaikan perkara juga merujuk ke hukum
hukum yang berkembang, dan praktik hukum di Islam, seperti fikih klasik. Konsekuensinya
26 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial
kemudian adalah putusan-putusan yang mereka Keluarga dan Pengkodifikasiannya.
keluarkan lebih banyak tidak memihak pada Bandung:Mizan.
perempuan. Hal ini menjelaskan bahwa Eddyono, Sri Wiyanti. 2004. “Hak Asasi
sensitivitas gender hakim di pengadilan masih Perempuan dan CEDAW.” Seri Bahan
rendah. Meskipun demikan hakim juga Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, 1.
mendasarkan pada hukum negara (UUP) dan Akses dari www.elsam.or.id, 15
Hukum Adat. September 2019.

DAFTAR BACAAN Gibb, H.A.R. 1993. Aliran-Aliran Modern dalam


Islam. terj. Machnun Husein. Jakarta:
Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di
RajaGrafindo Persada.
Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hadikusuma, Hilman. 1986. Antropologi Hukum
Alfarabi. 2013. “Penghulu Negara dan Penghulu
Indonesia. Bandung: Alumni.
Non-Negara: Kontestasi Otoritas dalam
. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia
Penyelenggaraan Perkawinan di Desa
Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Sinarrancang, Mundu, Cirebon, Jawa
Agama. Bandung: Mandar Maju.
Barat,” Tesis. Pascasarjana Universitas
Hamka. 1984. Islam dan Adat Minangkabau.
Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Jakarta: Pustaka Panjimas.
Alimin dan Euis Nurlaelawati. 2013. Potret
Irianto, Sulistiyowati. 2006. Hukum dan
Administrasi Keperdataan Islam di
Perempuan. Jakarta: YOI.
Indonesia: Peran PA dan KUA dalam
Irianto, Sulistyowati dan Antonius Cahyadi. 2008.
Penyelesaian Masalah Hukum Keluarga.
Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana:
Tangerang Selatan: Orbit Publishing.
Studi Peradilan Kasus Kekerasan terhadap
Amal, Taufik Adnan. 1989. Islam dan Tantangan
Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor
Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum
Indonesia.
Fazlur Rahmani. Bandung: Mizan.
Kharlie, Ahmad Tholabi. 2013. Hukum
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur
Perkawinan Indonesia. Jakarta: Sinar
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
Grafika.
XVII & VXIII: Akar Pembaharuan Islam
Muzdhar, H. M. Atho’ dan Khoiruddin Nasution
Indonesia. Jakarta: Kencana.
(ed.). 2003. Hukum Keluarga di Dunia
Baso, Ahmad. 2005. Islam Pascakolonial:
Islam Modern: Studi Perbandingan dan
Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan
Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab
Liberalisme. Bandung: Mizan.
Fiqh. Jakarta: Ciputat Press.
Blackburn, Susan. 2007. Kongres Perempuan
Nasution, Khoiruddin dkk. 2012. Hukum
Pertama Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan
Perkawinan & Warisan di Dunia Muslim
Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.
Modern. Yogyakarta: Academia.
Bruinessen, Martin Van. 1999. Kitab Kuning,
Nasution, Khoiruddin. 2010. Pengantar dan
Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.
Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata)
Cammack, Mark. 1993. Hukum Islam dalam Politik
di Asia Tenggara, Studi Kasus Hukum
27
Islam Indonesia. Yogyakarta: Tazzafa dan . 2008. Hukum Adat Indonesia. Jakarta:
Academia. Rajawali Pers.
. 2013. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum
Indonesia dan Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Perkawinan di Dunia Muslim. Yogyakarta: Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tazzafa dan Academia. . 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Adat dan Kebudayaan Minangkabau. undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Jakarta: Grafiti Press. Utomo, St. Laksanto. 2016. Hukum Adat. Jakarta:
Nurlaelawati, Euis. 2016. “The Legal Fate of Rajawali Pers.
Indonesian Muslim Women: Divorce and Wahyuni, Sri. 2013. “Tinjauan Historis-Sosiologis
Child Custody,” dalam Tim Lindsey and Perkawinan Adat Masyarakat Samin di
Helen Pausacker (Ed.), Religion, Law, and Betu Rejo Sukolilo Pati Jawa Tengah,” Al-
Intolerance in Indonesia. New York: Mazāhib, Jurnal Perbandingan Hukum.Vol.
Routledge. 3. No 2.
Prodjodikoro, Wirjono. 1984. Hukum Perkawinan Wasman dan Wardah Nuroniyah. 2011. Hukum
di Indonesia. Bandung: Sumur. Perkawinan Islam di Indonesia,
Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Perbandingan Fiqih dan Hukum Positif.
Transformation of an Intellectual Yogyakarta: Teras.
Tradition. Chicago: The University of Yasin, M. Nur. 2008. Hukum Perkawinan Islam
Chicago Press. Sasak (Malang: UIN Malang Press.
Rofiq, Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia. Yaswirman 2013. Hukum Keluarga: Karakteristik
Jakarta: RajaGrafindo Persada. dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Soekanto, Soerjono. 1992. Intisari Hukum Masyarakat Matrilineal Minangkabau.
Keluarga. Bandung: Citra Aditya Bakti. Jakarta: Rajawali Pers.

28 Copyright © 2019 ijtihad Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial

Anda mungkin juga menyukai