PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang selama ini senang dengan gaya hidup yang mewah dan
berfoya-foya. Mereka cenderung mengikuti hawa nafsu belaka yang
kenikmatannya hanya dirasakan pada saat itu juga. Padahal orang yang
seperti itu dilarang oleh agama dan termasuk perbuatan yang sangat dibenci
oleh allah. Maka dari itu kita sebagai umat islam yang amar ma’ruf nahi
munkar, sudah sepatutnya mengingat bahwasanya kita perlu berfikir betapa
pentingnya memahami dalil naqli dan aqli mengenai kerja keras dan pola
hidup sederhana.
Hidup sederhana bukan berarti kita menjadi fakir ataupun miskin,
namun bagaimana kita bersikap tunduk atau rendah diri di hadapan Allah
swt. Bila kita lihat di luar sana, masih banyak saudara kita yang hidupnya
masih sangat memprihatinkan. Untuk itu mari kita tanamkan dalam diri kita
agar selalu hidup sederhana dan menyantuni saudara kita yang masih
memerlukan bantuan atau uluran tangan kita.
B. Rumusan Masalah
1) Apa lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Al-Qashash (29) : 79-82?
2) Apa lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Isra’ (17) : 26-27, 29-30?
3) Apa lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Al-Baqarah (2) : 177?
4) Bagaimana perilaku hidup sederhana dan menyantunikaum dhu’afa?
C. Tujuan Pembelajaran
1) Untuk mengetahui lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Al-Qashash
(29) : 79-82
2) Untuk mengetahui lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Isra’ (17) :
26-27, 29-30
3) Untuk mengetahui lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Al-Baqarah
(2) : 177
4) Bagaimana perilaku hidup sederhana dan menyantunikaum dhu’afa
1
BAB 2
Pola Hidup Sederhana Dan Menyantuni Kaum Dhu’afa
2
الر ْزقَ ِل َمن يَشَا ُء ِم ْن ِعبَا ِد ِه َويَ ْقد ُِر لَ ْو ََل
ِ ط ُ س َّ صبَ َح الَّذِينَ ت َ َمنَّ ْوا َمكَانَهُ بِ ْاْل َ ْم ِس يَقُولُونَ َو ْي َكأ َ َّن
ُ َّللاَ يَ ْب ْ َ َوأ
َف بِنَا َو ْي َكأ َ َّنهُ ََل يُ ْف ِل ُح ْالكَافِ ُرون َّ أَن َّم َّن
َ َّللاُ َعلَ ْينَا لَ َخ
َ س
3
sampai kepada penghinaan dan pelecehan terhadap orang-perorang
dalam masyarakat. Huruf fa’ pada awal kata tersebut
mengisyaratkan terjadinya kesewenangan itu secara cepat dan serta
merta tanpa dipikirkan oleh yang bersangkutan.
b. Kata ( ) ال ُكنُ ْوزal-kunûz adalah bentuk jamak dari kata ( َ ) ال َكنal-kanaz
yang terambil dari kata ( ََ َ ) َكنkanaza yang berarti menumpuk harta
sebagian di atas sebagian yang lain. Al-Biqa’i memahami kata al-
kunûz dalam arti harta benda yang terpendam dalam tanah. Karena
itu ketika menafsirkan ayat itu, al-Biqa’I menambahkan setelah
penjelasannya itu bahwa “Di samping hartanya yang nampak di
permukaan yang ia persiapkan untuk dinafkahkan menghadapi
keperluan yang boleh jadi timbul”.
c. Kata ( ) َمفَاتحةmafâtihahu adalah bentuk jamak dari kata ( ) ِم ْفت َحmiftah
yang berarti kunci/alat yang digunakan membuka sesuatu, atau yang
populer juga disebut ( ) ِم ْفتاَحmiftâh, Walaupun sementara ulama
menilai kata yang populer itu bukan kata yang fasih. Ada juga yang
berpendapat bahwa kata ( ) َمفَاتحةmafâtihahu berarti gudang-
gudangnya. Tetapi pendapat ini sangat lemah. Karena berapa
banyaklah isi gudang kalau hanya dipikul oleh beberapa orang yang
kuat, padahal ayat ini bertujuan menginformasikan limpahan karunia
Allah yang tidak disyukuti oleh Qârun.
d. Kata ( ) لتنُ ْوءlatanû’u terambil dari kata ( ) نَا َءnâ’a yang berarti
bangkit memikul tetapi dengan sangat berat dan dilukiskan oleh
sementara pakar bahasa sebagai sampai yang memikulnya miring.
e. Kata ( صبَة
ْ ُ ) العal’ushbah adalah sekelompok orang yang menyatu
dan dukung mendukung. Berbeda-beda ulama dalam menetapkan
jumlah mereka. Ada yang berpendapat dari tiga sampai sepuluh, ada
juga dari sepuluh sampai dengan lima belas atau dari sepuluh sampai
empat puluh orang. Berapa pun jumlahnya, yang jelas ayat ini
bermaksud menyatakan bahwa Qârûn memiliki harta yang sangat
melimpah.
4
f. “lâ tafrah” bukannya larangan untuk bergembira tetapilarangan
untuk melampaui batas ketika bergembira, yakni yang mengantar
kepada keangkuhan dan yang menjadikan seseorang tenggelam
dalam bidan material, melupakan fungsi harta serta mengabaikan
akhirat dan nilai-nilai spiritual. Dari sini diartikan dengan
kebanggaan yang luar biasa.
g. Firman-Nya: ( ) ْو ِت ْيتُهûtîtuhû berbentuk pasif. Demikian Qârûn
enggan
menyebut apa yang memberi atau yang berjasa atau bahkan yang
menjadi perantara dan sebab perolehannya. Berbeda dengan yang
menasihatinya yang secara tegas jelas menyebut nama Allah Swt.
yang merupakan sumber dan pengendali segala faktor dan sebab
perantara.
h. Kata ( ) ِمنmin pada firman-Nya: ( ) قَ ْب ِل ِه ِم ْنmin qablihi dipahami
oleh al-Biqa’i sebagai isyarat waktu yang relatif dekat. Atas dasar
itu, ulama tersebut memahami umat yang dibinasakan Allah yang
dimaksud ayat ini adalah sekelompok orang yang belum lama
dibinasakan Allah, dalam hal yang terdekat adalah Fir’aun.
i. “wa lâ yus’alu ‹an dzunûbihim al-mujrimûn” mengisyaratkan
jelasnya dosa-dosa para pendurhaka yang telah mendarah daging
kedurhakaan pada kepribadian mereka. Qârûn termasuk salah
seorang dari mereka.
j. ( )فَخ ََر َج َعلَى قَ ْو ِم ِهmaka keluarlah ia kepadanya kaumnya dalam
kemegahannya, mengesankan keangkuhan yang sangat besar. Kesan
ini, pertama, diperoleh dari penggunaan kata “alâ” yang pada
dasarnya berarti di atas, yang maksudnya adalah kepada. Tetapi di
sini digunakan kata tersebut untuk mengisyaratkan betapa dia
merasa diri berada di atas orang banyak. Kedua, dari penggunaan
kata ( ) ِز ْي َنتِه فfî zînatihi/dalam kemegahannya. Ini mengesankan
bahwa walaupun ia keluar tetapi ia diliputi oleh kemegahan. Kiri dan
kanan, muka dan belakangnya serta atas dan bawahnya, semua
5
adalah bentuk kemegahan yang dibuatnya sedemikian rupa bagaikan
satu wadah sedang ia sendiri berada di dalam wadah itu. Banyak
sekali riwayat yang menguraikan kemegahan tersebut, tetapi hampir
seluruhnya – kalau enggan berkata seluruhnya adalah hasil imajinasi
perawi.
k. Kata ( ) َو ْيلَ ُكمwailakum dipahami oleh banyak ulama sebagai kata
yang menunjukkan keheranan. Sedangkan kata ( ) يُلَقاهاyulaqqâhâ
terambil dari kata “ laqiya” yang berarti bertemu. Pertemuan
menuntut adanya dua hal yang berhimpun dalam satu kondisi. Dari
sini kata tersebut terkadang diartikan memperoleh, memberi atau
menerima. Kata ganti hâ’/nya pada firman-Nya yulaqqâhâ dipahami
dari konteks ayat di atas - dalam hal ini ulama berbeda pendapat ada
yang memahaminya dalam arti pahala yang dijanjikan itu, sehingga
ayat ini berarti pahala yang dijanjikan itu tidak diperoleh kecuali
oleh orang-orang yang sabar. Ada juga yang memahaminya dalam
arti nasihat yang disampaikan itu, sehingga jika demikian, penggalan
terakhir ayat ini berarti nasihat itu tidak akan diterima kecuali oleh
orang-orang sabar untuk tetap dalam ketaatan.
3) Isi Kandungan
Ayat diatas (ayat 79) mengandung makna suatu kisah terdahulu,
yaitu qarun yg hidup dengan bergelimang harta. Namun sayangnya,
harta yang melimpah itu membuat Qarun lupa diri dan menjadi takabur.
Dia mengatakan bahwa hartanya yang banyak itu berkat hasil usahnaya
semata, bukan karena rahmat Allah. Qarun berhasil memperdaya
sebagian masyarakat dan diantara mereka ada yang berkata “ Alangkah
senangnya seandainya kita duberi harta yang melimpah seperti Qarun,
kita dapat menikmati hidup ini dengan sepuas-puasnya”.
Pada ayat berikutnya(ayat 80) orang yang mmepunyai ilmu dan akal
sehat tidak tertarik oleh harta yang dipamerkan oleh Qarun.mereka
6
mengatakan pahala Allah jauh lebih penting dan bernilai daripada harta
melimpah bagi orang yang beriman dan beramal sholeh.
Selanjutnya (ayat 81-82), Allah menegaskan bahwa akibat
kesombongan dan ketakaburannya, Qarub ditenggelamkan beserta
seluruh hartanya kedasar bumi. Atas kejadian tragis itu, masyarakat
yang sebelumnya menginginkan harta melimpah seperti yang dimiliki
Qarun menjadi sadar dan kembali bertobat kepada Allah.
ِيرا َّ ت ذَا ْٱلقُ ْربَى َحقَّ ۥهُ َو ْٱل ِم ْسكِينَ َوٱبْنَ ٱل
ً سبِي ِل َو ََل تُبَذ ِْر تَ ْبذ ِ َو َءا
26. “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang akrab akan haknya,
kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kau menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros.”
ورا َ ش ْي
ً ُطنُ ِل َربِِۦه َكف َّ ين ۖ َو َكانَ ٱل َّ إِ َّن ْٱل ُمبَذ ِِرينَ كَانُ ٓوا إِ ْخ َونَ ٱل
ِ شيَ ِط
27. “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu ialah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu ialah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
ورا
ً س ِ ط َها ُك َّل ْٱلبَس
ُ ْْط فَتَ ْقعُدَ َملُو ًما َّمح ْ س ُ َو ََل تَجْ َع ْل يَدَكَ َم ْغلُولَةً ِإلَى
ُ عنُقِكَ َو ََل ت َ ْب
29. “Dan janganlah kau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kau terlalu mengulurkannya sebab itu kau menjadi tercela dan
menyesal.”
يرا
ً ص ً ًۢ شا ٓ ُء َويَ ْقد ُِر ۚ إِنَّ ۥهُ َكانَ بِ ِعبَا ِدِۦه َخ ِب
ِ َيرا ب َ َٱلر ْزقَ ِل َمن ي
ِ ط ُ س
ُ إِ َّن َربَّكَ يَ ْب
30. “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia
kehendaki dan menyempitkannya; bahwasanya Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
1) Mufradat Penting dari Q.S Al-Isra (17) : 26-27
َ ْالقُ ْر
ب ذَا :keluarga-keluarga yang dekat
تُبَ ِذ ْر : menghambur-hamburkan (hartamu)
َ ت ُ ْع ِر
ض َّن : kamu berpaling115
ورا
ً سُ َم ْي : pantas
7
َم ْغلُولَةً إِلَى: terbelenggu pada
ْ س
ط َها ُ تَ ْب : mengulurkannya
ورا
ً سُ ْ َملُو ًما َّمح: tercela dan menyesal
8
pada manusia dan jin, tetapi juga dapat berarti pelaku sesuatu yang
buruk atau tidak menyenangkan
g. Dari sini dapat dipahami mengapa kata ( ) شيطانsyaithân yang
pertama berbentuk jamak, ini karena setiap orang ada setannya
masing-masing, sedang kata syaithan yang kedua, berbentuk
tunggal, karena yang dimaksud adalah iblis, bapak setan-setan,
atau yang dimaksud adalah jenis setan. Penambahan kata َكنُ ْواpada
penggalan ayat di atas, untuk mengisyaratkan kemantapan
persamaan dan persaudaraan itu, yakni hal tersebut telah terjadi
sejak dahulu dan berlangsung hingga kini. Mereka adalah teman
lama, yang tidak mudah dipisahkan.
h. Penyifatan setan dengan kafûr/sangat ingkar merupakan peringatan
keras kepada para pemboros yang menjadi teman setan itu, bahwa
persaudaraan dan kebersamaan mereka dengan setan dapat
mengantar kepada kekufuran. Betapa tidak, bukankah teman saling
pengaruh mempengaruhi, atau teman sering kali meniru dan
meneladani temannya. “Tentang seseorang tak perlu
mencari tahu siapa dia, lihatlah temannya, Anda akan mengetahui
siapa dia, karena semua teman akan meneladani beberapa karakter
temannya.”
3) Isi Kandungan
Ayat-ayat diatas (26-27) mengandung makna bahwa Allah
memerintahkan kita untuk memperhatikan hak orang lain terutama
kaum kerabat terdekat kita sanak family, dan keluarga. Diantara hak-
hak itu adalah menyambung silaturrahmi dengan mereka,
memperlakukan mereka dengan baik, dan memberikan bantuan kepada
mereka yang membutuhkan, baik bantuan materi maupun inmateri.
Selain itu diperintahkan untuk memberikan bantuan kepada kaum
duafa, seperti fakir miskin, anak-anak yatim, orang terlantar, anak
jalanan, dan sebagainya.
9
Allah melarang kita melakukan perbuatan boros, yaitu perilaku
menghamburkan harta tanpa ada guna dan manfaatnya. Allah
menggolongkan perilaku boros kedalam perilaku setan yang keji dan
tidak bermoral.
Pada ayat (29-30) Allah mengingatkan kita agar tidak berperilaku
kikir. Allah menyebutnya dengan menjadikan tangan terbelenggu diatas
leher, maksudnya agar manusia tidak berlaku kikir, pelit atau medit
kepada sesama, sehingga menyebabkan kita lupa bahwa dalam harta
yang kita miliki ada hak orang lain.
Dalam hal ini, Allah mengajarkan kepada kita untuk bersikap
perilaku sederhana, yaitu membelanjakan harta termasuk bersedekah
secukupnya, Allah melarang umatnya untuk membelanjakan hartanya
dengan boros.
10
1) Mufrādat Penting dari QS Al-Baqarah (2) : 177
َوآت : memberikan
ِ الرقَا
ب ِ : (memerdekakan) hamba sahaya
صدَقُوا
َ : orang-orang yang benar (imannya)
الب : kebaikan
الرقاب : hamba sahaya
سبيل ابن: musafir
2) Memaknai Mufridat dari Q.S Al-Baqarah (2) : 177
a. Kata ( ) البal-birr pada mulanya berarti keluasan dalam kebajikan.
Dari akar kata yang sama, daratan dinamai al-barr karena luasnya.
Kebajikan mencakup segala bidang termasuk keyakinan yang
benar, niat yang tulus, kegiatan berdakwah serta tentu saja termasuk
menginfakkan harta di jalan Allah Swt. Nabi Saw. melawankan kata
al-birr dosa. Al-birr adalah segala yang menentramkan jiwa dan
menenangkan hati pelakunya dan begitu sebaliknya.
b. Kata ( ) الرقابal-riqâb adalah bentuk jamak dari kata ( ) رقبةraqabah
yang pada mulanya berarti «leher». Makna ini berkembang
sehingga bermakna hamba sahaya, karena tidak jarang hamba
sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan
mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Dalam
konteks ayat ini, bermakna memerdekakan atau membebaskan
perbudakan.
c. Kata ( ) سبيل ابنibnu sabîl yang secara harfiah berarti anak jalanan.
Maka para ulama dahulu memahami dalam arti siapapun yang
kehabisan bekal, dan dia sedang dalam perjalanan.
3) Isi Kandungan
Kebajikan ialah apabila jiwa terlebih dahulu diisi dengan iman,
dibuktikan dengan kasih sayang kepada manusia. Ayat ini menegaskan
bahwa kebajikan/ketaatan yang mengantar kepada kedekatan kepada
Allah Swt bukanlah dalam menghadapkan wajah dalam shalat kea rah
11
timur dan barat tanpa makna, tetapi kebajikan adalah yang mengantar
kepada kebahagiaan dunia dan akherat, yaitu keimanan kepada Allah
Swt, dan lainlain yang disebutkan ayat tersebut. Kebajikan yang
sempurna bukan hanya dalam bentuk shalat saja tetapi nilai kebajikan
dari shalat itu yang tersimbulkan dalam amal nyata berupa kesediaan
mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain, sehingga bukan
hanya memberi harta yang sudah tidak disenangi atau tidak dibutuhkan,
tetapi memberikan harta yang dicintainya secara tulus dan demi meraih
cinta-Nya.
Kehidupan manusia di dunia ini adalah mata rantai dari ikatan janji,
baik janji dengan Tuhan maupun janji kepada sesama makhluk. Maka
orang yang beriman belumlah mencapai kebajikan, meskipun ia telah
shalat, berzakat, berderma, jika ia tidak teguh memegang janji.
Allah Swt memberikan pernghargaan yang tinggi kepada orang-
orang yang memiliki sikap sabar, yaitu tabah, menahan diri dan
berjuang dalam mengatasi kesulitan hidup dan aneka cobaan hidup
dengan tetap menguatkan hatinya kepada Allah Swt. Ketahulilah
bahwasannya tidak kurang dari 98 ayat di dalam al-Qur’an yang
menyebutkan keutamaan sabar.
Islam mengajarkan untuk tertib dalam amaliah, yang dimulai dengan
iman, diikuti dengan rasa cinta kepada sesama manusia, dan diiringi lagi
dengan iman kepada Allah Swt dengan shalat yang khusyu’, lalu
berzakatlah, teguhlah memegang janji, bersabarlah memikul tugas
hidup. Kalau semua itu sudah terisi, barulah pengakuan iman dapat
diterima oleh Allah Swt, dan barulah terhitung dan termasuk dalam
daftar Allah Swt sebagai seorang yang benar (shadaqu), yang cocok isi
hatinya dengan amalannya.
12
shalat tetapi jiwanya gelap, banyak orang shalat padahal ia tidak tahan
kena cobaan, ada orang taat shalat, tetapi ia bakhil, tidak mau menolong
orang lain
13
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam mengajarkan kita hidup sederhana, karena mengandung hikmah
antara lain: Pertama, hidup sederhana akan membawa kita kepada
kehidupan yang tenang dan harmonis, sebab dalam tuntunan hidup
sederhana, kita dianjurkan untuk berbelanja sesuai kemampuan atau
penghasilan hidup kita, tidak besar pasak daripada tiang, tidak harus
mengada-adakan sesuatu yang di luar batas kemampuan kita. Karena
memaksakan belanja yang kita tidak mampu membelinya, akan
mengakibatkan penyesalan, kerugian dan lilitan utang. Dan sebaiknya
dengan membiasakan berbelanja sesuai batas kemampuan dan sesuai
keperluan, akan menjadikan hidup tenang dan tidak risau oleh lilitan utang.
Kedua, hidup sederhana, akan menghindarkan kita dari sikap hidup yang
boros dan berlebih-lebihan, sebab hidup boros dan berlebihan itu
mengakibatkan harta menjadi terbuang-buang (mubadzir) dan tersalurkan
kepada sesuatu yang tidak semestinya, sehingga pada akhirnya akan
membawa kepada kerugian dan penyesalan. Pola hidup yang sederhana
akan menjadikan harta kita bermanfaat dan tersalurkan sesuai dengan
haknya secara baik dan benar, dan kelak kita akan beruntung dan berbahagia
dan lain-lain.
Keinginan hidup mewah bukan hanya tampak di kalangan berada,
melainkan juga di kalangan golongan yang secara ekonomis pas-pasan dan
kurang mampu. Betapa seorang pedagang kecil yang hanya bisa hidup pas-
pasan bersama keluarganya, telah menjual sisa barang warisan orang
tuanya, untuk membiaya keperluan menunaikan ibadah haji. Dia berpikir
tanpa pernah berhaji ke tanah suci, tidak akan terpandang di masyarakat
sekitarnya. Kasus seperti di atas sekedar contoh, tentu tidak semua orang
dalam kasus seperti itu berniat riya, namun jika setelah kembali dari
beribadah haji dengan memaksakan menjual tanah / sawah / ladang,
14
kemudian hidup dalam kondisi ekonomi yang lebih buruk, maka cara hidup
demikian bukanlah yang diajarkan Islam. Kemewahan bukan sekedar pamer
materi, melainkan manipulasi suatu keinginan yang menjadi keharusan
demi kepuasan.
Maka hidup seperti itu termasuk kemewahan, mengingat untuk pergi
haji memerlukan banyak biaya. Bukankah Islam mengajarkan bagi mereka
yang secara ekonomis belum atau tidak mampu, maka dengan niat saja
sudah bisa bermakna haji? Mengapa harus melihat ke arah orang lain yang
lebih mampu dan bukannya ke arah yang kurang mampu daripada dirinya
sendiri? Cara hidup demikian berarti belum menerapkan ajaran Islam.
B. Saran
Melalui makalah ini kami berharap semoga dengan memahami dan
mengkaji lebih dalam mengenai materi yang kami sampaikan inidapat
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. serta kita dapat
selalu berperilaku hidup sederhana dan menyantuni saudara kita yang
membutuhkan.
Selain itu kami sebagai penyaji mohon maaf apabila masih terdapat
kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini, untuk
itu kami mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca, untuk
kesempurnaan dari makalah kami ini.
15
DAFTAR PUSTAKA
https://tafsirweb.com/675-surat-al-baqarah-ayat-177.html
http://febianrizaldi.blogspot.com/2017/03/makalah-tentang-pola-hidup-
sederhana.html
http://karyacombirayang.blogspot.com/2015/11/karyacombirayang-makalah-pola-
hidup.html
https://www.bacaanmadani.com/2018/04/isi-kandungan-al-quran-surat-al-
baqarah.html
16