Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang selama ini senang dengan gaya hidup yang mewah dan
berfoya-foya. Mereka cenderung mengikuti hawa nafsu belaka yang
kenikmatannya hanya dirasakan pada saat itu juga. Padahal orang yang
seperti itu dilarang oleh agama dan termasuk perbuatan yang sangat dibenci
oleh allah. Maka dari itu kita sebagai umat islam yang amar ma’ruf nahi
munkar, sudah sepatutnya mengingat bahwasanya kita perlu berfikir betapa
pentingnya memahami dalil naqli dan aqli mengenai kerja keras dan pola
hidup sederhana.
Hidup sederhana bukan berarti kita menjadi fakir ataupun miskin,
namun bagaimana kita bersikap tunduk atau rendah diri di hadapan Allah
swt. Bila kita lihat di luar sana, masih banyak saudara kita yang hidupnya
masih sangat memprihatinkan. Untuk itu mari kita tanamkan dalam diri kita
agar selalu hidup sederhana dan menyantuni saudara kita yang masih
memerlukan bantuan atau uluran tangan kita.
B. Rumusan Masalah
1) Apa lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Al-Qashash (29) : 79-82?
2) Apa lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Isra’ (17) : 26-27, 29-30?
3) Apa lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Al-Baqarah (2) : 177?
4) Bagaimana perilaku hidup sederhana dan menyantunikaum dhu’afa?
C. Tujuan Pembelajaran
1) Untuk mengetahui lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Al-Qashash
(29) : 79-82
2) Untuk mengetahui lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Isra’ (17) :
26-27, 29-30
3) Untuk mengetahui lafal, arti, makna dan isi kandungan Q.S Al-Baqarah
(2) : 177
4) Bagaimana perilaku hidup sederhana dan menyantunikaum dhu’afa

1
BAB 2
Pola Hidup Sederhana Dan Menyantuni Kaum Dhu’afa

A. Q.S Al-Qashash (29) : 79-82


ُ
‫ارونُ ِإنَّهُ لَذُو‬ َ ‫فَخ ََر َج َعلَى قَ ْو ِم ِه ِفي ِزينَ ِت ِه قَا َل الَّذِينَ ي ُِريد ُونَ ْال َح َياة َ الدُّن َيا َيا لَيْتَ لَنَا ِمثْ َل َما أو ِت‬
ُ َ‫ي ق‬
‫َح ٍّظ َع ِظ ٍّيم‬
79. (Maka keluarlah) Karun (kepada kaumnya dalam kemegahannya)
berikut para pengikutnya yang banyak jumlahnya; mereka semuanya
menaiki kendaraan seraya memakai pakaian emas dan sutra. Kuda-kuda
serta keledai-keledai yang mereka naiki pun dihiasnya. (Berkatalah orang-
orang yang menghendaki kehidupan dunia, "Aduhai!) huruf Ya di sini
menunjukkan makna Tanbih (Kiranya kita mempunyai seperti apa yang
telah diberikan kepada Karun) dalam masalah keduniawian (sesungguhnya
ia benar-benar mempunyai keberuntungan) yakni bagian (yang besar.")
yang sangat banyak keberuntungannya.
َّ ‫صا ِلحا ً َو ََل يُلَقَّاهَا ِإ ََّل ال‬
َ‫صا ِب ُرون‬ َّ ُ‫َوقَا َل الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِع ْل َم َو ْيلَ ُك ْم ث َ َواب‬
َ ‫َّللاِ َخي ٌْر ِل َم ْن آ َمنَ َو َع ِم َل‬
80. (Berkatalah) kepada mereka (orang-orang yang dianugerahi ilmu)
tentang apa yang telah dijanjikan oleh Allah kelak di akhirat, ("Kecelakaan
yang besarlah bagi kalian) lafal Wailakum ini adalah kalimat hardikan
(pahala Allah) di akhirat berupa surga (adalah lebih baik bagi orang-orang
yang beriman dan beramal saleh) daripada apa yang diberikan oleh Allah
kepada Karun di dunia (dan tidak diperoleh pahala itu) yakni surga (kecuali
oleh orang-orang yang sabar") di dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi
maksiat.
ِ ‫َّللاِ َو َما َكانَ ِمنَ ال ُمنت‬
َ‫َص ِرين‬ َّ ‫ُون‬
ِ ‫ص ُرونَهُ ِمن د‬ َ ‫س ْفنَا بِ ِه َوبِدَ ِار ِه ْاْل َ ْر‬
ُ ‫ض فَ َما َكانَ لَهُ ِمن فِئ َ ٍّة يَن‬ َ ‫فَ َخ‬
81. (Maka Kami benamkan dia) Karun (beserta rumahnya ke dalam bumi.
Maka tidak ada lagi baginya suatu golongan pun yang menolongnya
terhadap azab Allah) seumpamanya penolong itu dapat mencegah
kebinasaan dari diri Karun. (Dan tiadalah ia termasuk orang-orang yang
dapat membela dirinya) dari azab Allah.

2
‫الر ْزقَ ِل َمن يَشَا ُء ِم ْن ِعبَا ِد ِه َويَ ْقد ُِر لَ ْو ََل‬
ِ ‫ط‬ ُ ‫س‬ َّ ‫صبَ َح الَّذِينَ ت َ َمنَّ ْوا َمكَانَهُ بِ ْاْل َ ْم ِس يَقُولُونَ َو ْي َكأ َ َّن‬
ُ ‫َّللاَ يَ ْب‬ ْ َ ‫َوأ‬
َ‫ف بِنَا َو ْي َكأ َ َّنهُ ََل يُ ْف ِل ُح ْالكَافِ ُرون‬ َّ ‫أَن َّم َّن‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْينَا لَ َخ‬
َ ‫س‬

82. (Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan


Karun itu) dalam waktu yang singkat (mereka berkata, "Aduhai! Benarlah
Allah melapangkan) yakni meluaskan (rezeki bagi siapa yang Dia
kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan membatasinya) menyempitkannya
bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Lafal Way adalah Isim Fi'il yang
artinya aku sangat kagum, dan huruf Kaf mempunyai makna huruf Lam.
Maksudnya, aku sangat takjub karena sesungguhnya Allah melapangkan
dan seterusnya (kalau Allah tidak melimpahkan harunia-Nya atas kita,
benar-benar Dia telah membenamkan kita pula) dapat dibaca Lakhasafa dan
Lakhusifa (Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang
mengingkari.") nikmat Allah seperti Karun tadi.

1) Mufrādat penting dari Q.S Al-Qashash (28): 79-82;


‫ َح ٍّظ‬: keberuntungan
‫ يُلَقَّاهَا‬: diperoleh pahala itu
‫س ْفنَا‬
َ ‫ َخ‬: kami benamkanlah
ُ ‫س‬
‫ط‬ ُ ‫ يَ ْب‬: melapangkan
‫ َي ْقد ُِر‬: menyempitkannya
‫ َم َّن‬: melimpahkan karunia-Nya

2) Memaknai mufradat dari Q.S Al-Qashash (28) : 79-82


a. Kata ( ‫ ) فبغ‬fabaghâ terambil dari kata ( ‫ ) بغ‬baghâ yang berarti
menghendaki. Kata ini kebanyakan digunakan untuk kehendak yang
bersifat sewenangwenang dan penganiayaan. Dari sini, ia diartikan
melakukan agresi, permusuhan dan perampasan hak. Kejahatan
dimaksud dapat mencakup banyak hal, bermula dari pelanggaran
terhadap ketentuan agama dan peraturan yang berlaku dan dihormati

3
sampai kepada penghinaan dan pelecehan terhadap orang-perorang
dalam masyarakat. Huruf fa’ pada awal kata tersebut
mengisyaratkan terjadinya kesewenangan itu secara cepat dan serta
merta tanpa dipikirkan oleh yang bersangkutan.
b. Kata ( ‫ ) ال ُكنُ ْوز‬al-kunûz adalah bentuk jamak dari kata ( َ‫ ) ال َكن‬al-kanaz
yang terambil dari kata ( ََ َ‫ ) َكن‬kanaza yang berarti menumpuk harta
sebagian di atas sebagian yang lain. Al-Biqa’i memahami kata al-
kunûz dalam arti harta benda yang terpendam dalam tanah. Karena
itu ketika menafsirkan ayat itu, al-Biqa’I menambahkan setelah
penjelasannya itu bahwa “Di samping hartanya yang nampak di
permukaan yang ia persiapkan untuk dinafkahkan menghadapi
keperluan yang boleh jadi timbul”.
c. Kata (‫ ) َمفَاتحة‬mafâtihahu adalah bentuk jamak dari kata ( ‫ ) ِم ْفت َح‬miftah
yang berarti kunci/alat yang digunakan membuka sesuatu, atau yang
populer juga disebut ( ‫ ) ِم ْفتاَح‬miftâh, Walaupun sementara ulama
menilai kata yang populer itu bukan kata yang fasih. Ada juga yang
berpendapat bahwa kata (‫ ) َمفَاتحة‬mafâtihahu berarti gudang-
gudangnya. Tetapi pendapat ini sangat lemah. Karena berapa
banyaklah isi gudang kalau hanya dipikul oleh beberapa orang yang
kuat, padahal ayat ini bertujuan menginformasikan limpahan karunia
Allah yang tidak disyukuti oleh Qârun.
d. Kata ( ‫ ) لتنُ ْوء‬latanû’u terambil dari kata ( ‫ ) نَا َء‬nâ’a yang berarti
bangkit memikul tetapi dengan sangat berat dan dilukiskan oleh
sementara pakar bahasa sebagai sampai yang memikulnya miring.
e. Kata ( ‫صبَة‬
ْ ُ‫ ) الع‬al’ushbah adalah sekelompok orang yang menyatu
dan dukung mendukung. Berbeda-beda ulama dalam menetapkan
jumlah mereka. Ada yang berpendapat dari tiga sampai sepuluh, ada
juga dari sepuluh sampai dengan lima belas atau dari sepuluh sampai
empat puluh orang. Berapa pun jumlahnya, yang jelas ayat ini
bermaksud menyatakan bahwa Qârûn memiliki harta yang sangat
melimpah.

4
f. “lâ tafrah” bukannya larangan untuk bergembira tetapilarangan
untuk melampaui batas ketika bergembira, yakni yang mengantar
kepada keangkuhan dan yang menjadikan seseorang tenggelam
dalam bidan material, melupakan fungsi harta serta mengabaikan
akhirat dan nilai-nilai spiritual. Dari sini diartikan dengan
kebanggaan yang luar biasa.
g. Firman-Nya: ( ‫ ) ْو ِت ْيتُه‬ûtîtuhû berbentuk pasif. Demikian Qârûn
enggan
menyebut apa yang memberi atau yang berjasa atau bahkan yang
menjadi perantara dan sebab perolehannya. Berbeda dengan yang
menasihatinya yang secara tegas jelas menyebut nama Allah Swt.
yang merupakan sumber dan pengendali segala faktor dan sebab
perantara.
h. Kata ( ‫ ) ِمن‬min pada firman-Nya: ( ‫ ) قَ ْب ِل ِه ِم ْن‬min qablihi dipahami
oleh al-Biqa’i sebagai isyarat waktu yang relatif dekat. Atas dasar
itu, ulama tersebut memahami umat yang dibinasakan Allah yang
dimaksud ayat ini adalah sekelompok orang yang belum lama
dibinasakan Allah, dalam hal yang terdekat adalah Fir’aun.
i. “wa lâ yus’alu ‹an dzunûbihim al-mujrimûn” mengisyaratkan
jelasnya dosa-dosa para pendurhaka yang telah mendarah daging
kedurhakaan pada kepribadian mereka. Qârûn termasuk salah
seorang dari mereka.
j. (‫ )فَخ ََر َج َعلَى قَ ْو ِم ِه‬maka keluarlah ia kepadanya kaumnya dalam
kemegahannya, mengesankan keangkuhan yang sangat besar. Kesan
ini, pertama, diperoleh dari penggunaan kata “alâ” yang pada
dasarnya berarti di atas, yang maksudnya adalah kepada. Tetapi di
sini digunakan kata tersebut untuk mengisyaratkan betapa dia
merasa diri berada di atas orang banyak. Kedua, dari penggunaan
kata ( ‫ ) ِز ْي َنتِه ف‬fî zînatihi/dalam kemegahannya. Ini mengesankan
bahwa walaupun ia keluar tetapi ia diliputi oleh kemegahan. Kiri dan
kanan, muka dan belakangnya serta atas dan bawahnya, semua

5
adalah bentuk kemegahan yang dibuatnya sedemikian rupa bagaikan
satu wadah sedang ia sendiri berada di dalam wadah itu. Banyak
sekali riwayat yang menguraikan kemegahan tersebut, tetapi hampir
seluruhnya – kalau enggan berkata seluruhnya adalah hasil imajinasi
perawi.
k. Kata ( ‫ ) َو ْيلَ ُكم‬wailakum dipahami oleh banyak ulama sebagai kata
yang menunjukkan keheranan. Sedangkan kata ( ‫ ) يُلَقاها‬yulaqqâhâ
terambil dari kata “ laqiya” yang berarti bertemu. Pertemuan
menuntut adanya dua hal yang berhimpun dalam satu kondisi. Dari
sini kata tersebut terkadang diartikan memperoleh, memberi atau
menerima. Kata ganti hâ’/nya pada firman-Nya yulaqqâhâ dipahami
dari konteks ayat di atas - dalam hal ini ulama berbeda pendapat ada
yang memahaminya dalam arti pahala yang dijanjikan itu, sehingga
ayat ini berarti pahala yang dijanjikan itu tidak diperoleh kecuali
oleh orang-orang yang sabar. Ada juga yang memahaminya dalam
arti nasihat yang disampaikan itu, sehingga jika demikian, penggalan
terakhir ayat ini berarti nasihat itu tidak akan diterima kecuali oleh
orang-orang sabar untuk tetap dalam ketaatan.

3) Isi Kandungan
Ayat diatas (ayat 79) mengandung makna suatu kisah terdahulu,
yaitu qarun yg hidup dengan bergelimang harta. Namun sayangnya,
harta yang melimpah itu membuat Qarun lupa diri dan menjadi takabur.
Dia mengatakan bahwa hartanya yang banyak itu berkat hasil usahnaya
semata, bukan karena rahmat Allah. Qarun berhasil memperdaya
sebagian masyarakat dan diantara mereka ada yang berkata “ Alangkah
senangnya seandainya kita duberi harta yang melimpah seperti Qarun,
kita dapat menikmati hidup ini dengan sepuas-puasnya”.
Pada ayat berikutnya(ayat 80) orang yang mmepunyai ilmu dan akal
sehat tidak tertarik oleh harta yang dipamerkan oleh Qarun.mereka

6
mengatakan pahala Allah jauh lebih penting dan bernilai daripada harta
melimpah bagi orang yang beriman dan beramal sholeh.
Selanjutnya (ayat 81-82), Allah menegaskan bahwa akibat
kesombongan dan ketakaburannya, Qarub ditenggelamkan beserta
seluruh hartanya kedasar bumi. Atas kejadian tragis itu, masyarakat
yang sebelumnya menginginkan harta melimpah seperti yang dimiliki
Qarun menjadi sadar dan kembali bertobat kepada Allah.

B. Q.S Al-Isra (17) : 27-28, 29-30

‫ِيرا‬ َّ ‫ت ذَا ْٱلقُ ْربَى َحقَّ ۥهُ َو ْٱل ِم ْسكِينَ َوٱبْنَ ٱل‬
ً ‫سبِي ِل َو ََل تُبَذ ِْر تَ ْبذ‬ ِ ‫َو َءا‬
26. “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang akrab akan haknya,
kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kau menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros.”
‫ورا‬ َ ‫ش ْي‬
ً ُ‫طنُ ِل َربِِۦه َكف‬ َّ ‫ين ۖ َو َكانَ ٱل‬ َّ ‫إِ َّن ْٱل ُمبَذ ِِرينَ كَانُ ٓوا إِ ْخ َونَ ٱل‬
ِ ‫شيَ ِط‬
27. “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu ialah saudara-saudara syaitan
dan syaitan itu ialah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
‫ورا‬
ً ‫س‬ ِ ‫ط َها ُك َّل ْٱلبَس‬
ُ ْ‫ْط فَتَ ْقعُدَ َملُو ًما َّمح‬ ْ ‫س‬ ُ ‫َو ََل تَجْ َع ْل يَدَكَ َم ْغلُولَةً ِإلَى‬
ُ ‫عنُقِكَ َو ََل ت َ ْب‬
29. “Dan janganlah kau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kau terlalu mengulurkannya sebab itu kau menjadi tercela dan
menyesal.”
‫يرا‬
ً ‫ص‬ ً ًۢ ‫شا ٓ ُء َويَ ْقد ُِر ۚ إِنَّ ۥهُ َكانَ بِ ِعبَا ِدِۦه َخ ِب‬
ِ َ‫يرا ب‬ َ َ‫ٱلر ْزقَ ِل َمن ي‬
ِ ‫ط‬ ُ ‫س‬
ُ ‫إِ َّن َربَّكَ يَ ْب‬
30. “Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia
kehendaki dan menyempitkannya; bahwasanya Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
1) Mufradat Penting dari Q.S Al-Isra (17) : 26-27
َ ‫ْالقُ ْر‬
‫ب ذَا‬ :keluarga-keluarga yang dekat
‫تُبَ ِذ ْر‬ : menghambur-hamburkan (hartamu)
َ ‫ت ُ ْع ِر‬
‫ض َّن‬ : kamu berpaling115
‫ورا‬
ً ‫س‬ُ ‫َم ْي‬ : pantas

7
‫ َم ْغلُولَةً إِلَى‬: terbelenggu pada
ْ ‫س‬
‫ط َها‬ ُ ‫تَ ْب‬ : mengulurkannya
‫ورا‬
ً ‫س‬ُ ْ‫ َملُو ًما َّمح‬: tercela dan menyesal

2) Memaknai Mufradat dari Q.S Al-Isra’ (17) : 26-27, 29-30


a. Kata ( ‫ ) آتُوا‬âtû bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang
dimaksud bukan hanya terbatas pada hal-hal materi saja, tetapi juga
immateri.
b. Mayoritas ulama menilai perintah di sini sebagai anjuran, bukan
perintah wajib. Hanya Abu Hanifah yang menilainya sebagai
perintah wajib yang mampu terhadap keluarga dekat.
c. Kata ( ‫ ) ت َ ْب ِذيْر‬tabdzir/pemborosan dipahami oleh ulama dalam arti
pengeluaran yang bukan haq, karena itu jika seseorang
menafkahkan/membelanjaka semua hartanya dalam kebaikan atau
haq, maka dia bukanlah seorang pemboros.
d. Kata ( ‫ ) إخوان‬ikhwân adalah bentuk jamak dari kata ( ‫ ) أخ‬akh, yang
biasa diterjemahkan saudara. Kata ini pada mulanya berarti
persamaan dan keserasian.
e. Pakar-pakar bahasa Arab menyatakan, bahwa syaithan (setan)
merupakan kata Arab asli yang sudah sangat tua, bahkan bisa jadi
lebih tua dari kata-kata serupa yang digunakan oleh selain orang
Arab. Ini dibuktikan dengan adanya sekian kata Arab asli yang
dapat dibentuk dengan bentuk kata syaithan yang mengandung
makna-makna jauh, sesat, berkobar dan terbakar serta ekstrim.
f. Dalam kamus al-Mishbah al-Munir, karya Ahmad Ibn Muhammad
al-Fayyumi (1368), dijelaskan bahwa kata syaithân bisa jadi
terambil dari akar kata syathana yang berarti jauh, karena setan
menjauh dari kebenaran atau menjauh dari rahmat Allah. Bisa jadi
juga ia terambil dari kata syâtha, dalamarti melakukan kebatilan
atau terbakar. Jika demikian, kata setan tidak terbatas

8
pada manusia dan jin, tetapi juga dapat berarti pelaku sesuatu yang
buruk atau tidak menyenangkan
g. Dari sini dapat dipahami mengapa kata ( ‫ ) شيطان‬syaithân yang
pertama berbentuk jamak, ini karena setiap orang ada setannya
masing-masing, sedang kata syaithan yang kedua, berbentuk
tunggal, karena yang dimaksud adalah iblis, bapak setan-setan,
atau yang dimaksud adalah jenis setan. Penambahan kata ‫ َكنُ ْوا‬pada
penggalan ayat di atas, untuk mengisyaratkan kemantapan
persamaan dan persaudaraan itu, yakni hal tersebut telah terjadi
sejak dahulu dan berlangsung hingga kini. Mereka adalah teman
lama, yang tidak mudah dipisahkan.
h. Penyifatan setan dengan kafûr/sangat ingkar merupakan peringatan
keras kepada para pemboros yang menjadi teman setan itu, bahwa
persaudaraan dan kebersamaan mereka dengan setan dapat
mengantar kepada kekufuran. Betapa tidak, bukankah teman saling
pengaruh mempengaruhi, atau teman sering kali meniru dan
meneladani temannya. “Tentang seseorang tak perlu
mencari tahu siapa dia, lihatlah temannya, Anda akan mengetahui
siapa dia, karena semua teman akan meneladani beberapa karakter
temannya.”

3) Isi Kandungan
Ayat-ayat diatas (26-27) mengandung makna bahwa Allah
memerintahkan kita untuk memperhatikan hak orang lain terutama
kaum kerabat terdekat kita sanak family, dan keluarga. Diantara hak-
hak itu adalah menyambung silaturrahmi dengan mereka,
memperlakukan mereka dengan baik, dan memberikan bantuan kepada
mereka yang membutuhkan, baik bantuan materi maupun inmateri.
Selain itu diperintahkan untuk memberikan bantuan kepada kaum
duafa, seperti fakir miskin, anak-anak yatim, orang terlantar, anak
jalanan, dan sebagainya.

9
Allah melarang kita melakukan perbuatan boros, yaitu perilaku
menghamburkan harta tanpa ada guna dan manfaatnya. Allah
menggolongkan perilaku boros kedalam perilaku setan yang keji dan
tidak bermoral.
Pada ayat (29-30) Allah mengingatkan kita agar tidak berperilaku
kikir. Allah menyebutnya dengan menjadikan tangan terbelenggu diatas
leher, maksudnya agar manusia tidak berlaku kikir, pelit atau medit
kepada sesama, sehingga menyebabkan kita lupa bahwa dalam harta
yang kita miliki ada hak orang lain.
Dalam hal ini, Allah mengajarkan kepada kita untuk bersikap
perilaku sederhana, yaitu membelanjakan harta termasuk bersedekah
secukupnya, Allah melarang umatnya untuk membelanjakan hartanya
dengan boros.

C. Q.S Al-Baqarah : 177


‫ْس‬َ ‫ج و ه َ ك ُ ْم ت ُ َو ل ُّ وا أ َ ْن ال ْ ب ِ َّر ل َ ي‬ ِ ‫َو ل َ ِك َّن َو ال ْ َم غ ْ ِر ب ِ ال ْ َم شْ ِر‬
ُ ‫ق ق ِ ب َ َل ُو‬ ‫ب ِ اّللَّ ِ آ َم َن َم ْن ال ْ ب ِ َّر‬
‫اْل ِخ ِر َو ال ْ ي َ ْو ِم‬ْ ِ‫ع َ ل َ ى ال ْ َم ا َل َو آ ت َى َو ال ن َّ ب ِ ي ِ ي َن َو ال ْ ِك ت َا ب ِ َو ال ْ َم ََل ئ ِ كَ ة‬ ِ‫ح ب ِ ه‬ ُ ‫ال ْ ق ُ ْر ب َ ى ذ َ ِو ي‬
‫الر ق َ ا ب ِ َو ف ِ ي َو ال س َّ ا ئ ِ ل ِ ي َن ال س َّ ب ِ ي ِل َو ا ب ْ َن َو ال ْ َم س َ ا ِك ي َن َو ال ْ ي َ ت َا َم ى‬ِ َ‫َو آ ت َى ال صَّ ََل ة َ َو أ َ ق َ ام‬
َ ‫َو ال ضَّ َّر ا ِء ال ْ ب َ أ ْس َ ا ِء ف ِ ي َو ال صَّ ا ب ِ ِر ي َن ۖ ع َ ا ه َ د ُوا إ ِ ذ َ ا ب ِ ع َ ْه ِد هِ مْ َو ال ْ مُ و ف ُ و َن ال َّز ك َ ا ة‬
‫ك ۗ ال ْ ب َ أ ْ ِس َو ِح ي َن‬ َ ِ ‫ك ۖ صَ د َ ق ُ وا ا ل َّ ذِ ي َن أ ُو ل َ ئ‬
َ ِ ‫ال ْ ُم ت َّ ق ُ و َن ه ُ م ُ َو أ ُو ل َ ئ‬

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu


kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

10
1) Mufrādat Penting dari QS Al-Baqarah (2) : 177
‫َوآت‬ : memberikan
ِ ‫الرقَا‬
‫ب‬ ِ : (memerdekakan) hamba sahaya
‫صدَقُوا‬
َ : orang-orang yang benar (imannya)
‫الب‬ : kebaikan
‫الرقاب‬ : hamba sahaya
‫ سبيل ابن‬: musafir
2) Memaknai Mufridat dari Q.S Al-Baqarah (2) : 177
a. Kata ( ‫ ) الب‬al-birr pada mulanya berarti keluasan dalam kebajikan.
Dari akar kata yang sama, daratan dinamai al-barr karena luasnya.
Kebajikan mencakup segala bidang termasuk keyakinan yang
benar, niat yang tulus, kegiatan berdakwah serta tentu saja termasuk
menginfakkan harta di jalan Allah Swt. Nabi Saw. melawankan kata
al-birr dosa. Al-birr adalah segala yang menentramkan jiwa dan
menenangkan hati pelakunya dan begitu sebaliknya.
b. Kata ( ‫ ) الرقاب‬al-riqâb adalah bentuk jamak dari kata ( ‫ ) رقبة‬raqabah
yang pada mulanya berarti «leher». Makna ini berkembang
sehingga bermakna hamba sahaya, karena tidak jarang hamba
sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan
mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Dalam
konteks ayat ini, bermakna memerdekakan atau membebaskan
perbudakan.
c. Kata ( ‫ ) سبيل ابن‬ibnu sabîl yang secara harfiah berarti anak jalanan.
Maka para ulama dahulu memahami dalam arti siapapun yang
kehabisan bekal, dan dia sedang dalam perjalanan.
3) Isi Kandungan
Kebajikan ialah apabila jiwa terlebih dahulu diisi dengan iman,
dibuktikan dengan kasih sayang kepada manusia. Ayat ini menegaskan
bahwa kebajikan/ketaatan yang mengantar kepada kedekatan kepada
Allah Swt bukanlah dalam menghadapkan wajah dalam shalat kea rah

11
timur dan barat tanpa makna, tetapi kebajikan adalah yang mengantar
kepada kebahagiaan dunia dan akherat, yaitu keimanan kepada Allah
Swt, dan lainlain yang disebutkan ayat tersebut. Kebajikan yang
sempurna bukan hanya dalam bentuk shalat saja tetapi nilai kebajikan
dari shalat itu yang tersimbulkan dalam amal nyata berupa kesediaan
mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain, sehingga bukan
hanya memberi harta yang sudah tidak disenangi atau tidak dibutuhkan,
tetapi memberikan harta yang dicintainya secara tulus dan demi meraih
cinta-Nya.
Kehidupan manusia di dunia ini adalah mata rantai dari ikatan janji,
baik janji dengan Tuhan maupun janji kepada sesama makhluk. Maka
orang yang beriman belumlah mencapai kebajikan, meskipun ia telah
shalat, berzakat, berderma, jika ia tidak teguh memegang janji.
Allah Swt memberikan pernghargaan yang tinggi kepada orang-
orang yang memiliki sikap sabar, yaitu tabah, menahan diri dan
berjuang dalam mengatasi kesulitan hidup dan aneka cobaan hidup
dengan tetap menguatkan hatinya kepada Allah Swt. Ketahulilah
bahwasannya tidak kurang dari 98 ayat di dalam al-Qur’an yang
menyebutkan keutamaan sabar.
Islam mengajarkan untuk tertib dalam amaliah, yang dimulai dengan
iman, diikuti dengan rasa cinta kepada sesama manusia, dan diiringi lagi
dengan iman kepada Allah Swt dengan shalat yang khusyu’, lalu
berzakatlah, teguhlah memegang janji, bersabarlah memikul tugas
hidup. Kalau semua itu sudah terisi, barulah pengakuan iman dapat
diterima oleh Allah Swt, dan barulah terhitung dan termasuk dalam
daftar Allah Swt sebagai seorang yang benar (shadaqu), yang cocok isi
hatinya dengan amalannya.

Inti kehidupan yang sejati adalah taqwa. Karena itu Islam


mewajibkan kita untuk memelihara hubungan baik dengan Allah Swt.
Dengan cara meningkatkan iman. Jangan sampai orang melakukan

12
shalat tetapi jiwanya gelap, banyak orang shalat padahal ia tidak tahan
kena cobaan, ada orang taat shalat, tetapi ia bakhil, tidak mau menolong
orang lain

D. Perilaku Hidup Sederhana Dan Menyantuni Kaum Duafa


a. Tanamkan keyakinan dalam hati bahwa Allah akan mempergulirkan
nasib semua hamba-Nya setiap saat.
b. Mulailah bersikap perilaku menyantuni kaum duafa sekarang juga agar
kelak setelah dewasa menjadi terbiasa.
c. Tanamkan keyakinan bahwa harta hanya titipan dari Allah dan suatu
saat akan kembali kepada-Nya.
d. Tanamkan keyakinan bahwa harta akan membawa manfata dan berkah
jika digunakan dengan petunjuk Allah dan jika tidak akan membawa
adzab dan bencana.
e. Tanamakan keyakinan bahwa didalam harta yang kita miliki ada hak
kaum duafa.
f. Tanamkan keimanan yang kuat dalam hati agar kamu tidak mudah
tergoda setan yang selalu membujuk manusia agar kikir.
g. Tanamkan keyakinan bahwa harta itu hanya titipan Allah, yang suatu
saat akan dipergulirkan oleh-Nya.
h. Tanamkan keyakinan bahwa menyantuni kaum duafa merupakan
perintah Allah.
i. Tanamkan keyakinan bahwa harta tidak akan berkurang nilainya dimata
Allah.
j. Tanamkan keimanan yang kuat dalam hati, sebab setan selalu
menggoda manusia agar tidak memberikan apapun yang dilikinya
kepada orang lain
k. Berlindunglah kepada Allah, dari sifat-sifat kikir, boros, dan sikap
perilaku menumpuk-menumpuk harta.
l. Jangan menganggap harta sebagai tumpuan kebahagiaan hidup di
dunia.

13
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam mengajarkan kita hidup sederhana, karena mengandung hikmah
antara lain: Pertama, hidup sederhana akan membawa kita kepada
kehidupan yang tenang dan harmonis, sebab dalam tuntunan hidup
sederhana, kita dianjurkan untuk berbelanja sesuai kemampuan atau
penghasilan hidup kita, tidak besar pasak daripada tiang, tidak harus
mengada-adakan sesuatu yang di luar batas kemampuan kita. Karena
memaksakan belanja yang kita tidak mampu membelinya, akan
mengakibatkan penyesalan, kerugian dan lilitan utang. Dan sebaiknya
dengan membiasakan berbelanja sesuai batas kemampuan dan sesuai
keperluan, akan menjadikan hidup tenang dan tidak risau oleh lilitan utang.
Kedua, hidup sederhana, akan menghindarkan kita dari sikap hidup yang
boros dan berlebih-lebihan, sebab hidup boros dan berlebihan itu
mengakibatkan harta menjadi terbuang-buang (mubadzir) dan tersalurkan
kepada sesuatu yang tidak semestinya, sehingga pada akhirnya akan
membawa kepada kerugian dan penyesalan. Pola hidup yang sederhana
akan menjadikan harta kita bermanfaat dan tersalurkan sesuai dengan
haknya secara baik dan benar, dan kelak kita akan beruntung dan berbahagia
dan lain-lain.
Keinginan hidup mewah bukan hanya tampak di kalangan berada,
melainkan juga di kalangan golongan yang secara ekonomis pas-pasan dan
kurang mampu. Betapa seorang pedagang kecil yang hanya bisa hidup pas-
pasan bersama keluarganya, telah menjual sisa barang warisan orang
tuanya, untuk membiaya keperluan menunaikan ibadah haji. Dia berpikir
tanpa pernah berhaji ke tanah suci, tidak akan terpandang di masyarakat
sekitarnya. Kasus seperti di atas sekedar contoh, tentu tidak semua orang
dalam kasus seperti itu berniat riya, namun jika setelah kembali dari
beribadah haji dengan memaksakan menjual tanah / sawah / ladang,

14
kemudian hidup dalam kondisi ekonomi yang lebih buruk, maka cara hidup
demikian bukanlah yang diajarkan Islam. Kemewahan bukan sekedar pamer
materi, melainkan manipulasi suatu keinginan yang menjadi keharusan
demi kepuasan.
Maka hidup seperti itu termasuk kemewahan, mengingat untuk pergi
haji memerlukan banyak biaya. Bukankah Islam mengajarkan bagi mereka
yang secara ekonomis belum atau tidak mampu, maka dengan niat saja
sudah bisa bermakna haji? Mengapa harus melihat ke arah orang lain yang
lebih mampu dan bukannya ke arah yang kurang mampu daripada dirinya
sendiri? Cara hidup demikian berarti belum menerapkan ajaran Islam.

B. Saran
Melalui makalah ini kami berharap semoga dengan memahami dan
mengkaji lebih dalam mengenai materi yang kami sampaikan inidapat
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. serta kita dapat
selalu berperilaku hidup sederhana dan menyantuni saudara kita yang
membutuhkan.
Selain itu kami sebagai penyaji mohon maaf apabila masih terdapat
kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini, untuk
itu kami mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca, untuk
kesempurnaan dari makalah kami ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://tafsirweb.com/675-surat-al-baqarah-ayat-177.html
http://febianrizaldi.blogspot.com/2017/03/makalah-tentang-pola-hidup-
sederhana.html
http://karyacombirayang.blogspot.com/2015/11/karyacombirayang-makalah-pola-
hidup.html

https://www.bacaanmadani.com/2018/04/isi-kandungan-al-quran-surat-al-
baqarah.html

16

Anda mungkin juga menyukai