Anda di halaman 1dari 6

NAMA : SASAKI AJINEGARA

NIM : D1A017291
KELAS : Hukum Kontrak Dagang A1
DOSEN PENGAMPU : Dr. Eduardus Bayo Sili, SH., M.Hum

1. Jawaban nomor satu:


a. Unsur Essensialia
Unsur essensialia adalah unsure yang mutlak bagi terjadinya perjanjian. Unsur ini
merupakan hal pokok sebagai syarat yang tidak boleh diabaikan dan harus
dicantumkan dalam suatu perjanjian.Bahwa dalam suatu perjanjian haruslah
mengandung suatu ketentuan tentang prestasi-prestasi. Hal ini adalah penting
disebabkan hal inilah yang membedakan antara suatu perjnajian dengan perjanjian
lainnya. Unsur Essensialia sangat berpengaruh sebab unsur ini digunakan untuk
memberikan rumusan, definisi dan pengertian dari suatu perjanjian. Jadi essensi
atau isi yang terkandung dari perjanjian tersebut yang mendefinisikan apa bentuk
hakekat perjanjian tersebut. Misalnya essensi yang terdapat dalam causa yang
halal dalam pasal 1320 KUH perdata, definisi perjanjian jual beli dengan
perjanjian tukar menukar. Adapun definisi perjanjian jual beli dan tukar menukar
yaitu:
 Perjanjian Jual beli diatur dalam Pasal 1457 KUH Perdata yang diartikan
sebagai “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri
untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang dijanjikan”.
 Tukar menukar diatur dalam Pasal 1591 KUH Perdata yang diartikan seebagai
“Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk
saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang
lain”.

Dari definsi tersebut diatas maka berdasarkan essensi atau isi yang dikandung dari
definisi diatas maka jelas terlihat bahwa jual beli dibedakan dengan tukar menukar
dalam wujud pembayaran harga. Maka dari itu unsur essensialia yang terkandung
dalam suatu perjanjian menjadi pembeda antara perjanjian yang satu dengan
perjanjian yang lain. Semua perjanjian bernama yang diatur dalam buku III bagian
kedua memiliki perbedaan unsur essensialia yang berbeda antara yang satu dengan
perjanjian yang lain.

Akibat dari tidak terpenuhinya unsur essensilia terhadap suatu perjanjian adalah
perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur objektif yang mengakibatkan akibat
hukum suatu perjanjian batal demi hukum atau dengan kata lain dari semula
perjanjian itu dianggap tidak ada. hal ini diakibatkan dari kekaburan hakekat atau
tidak terpenuhinya unsure essensilia.
b. Unsur Naturalia
Naturalia adalah ketentuan hukum umum, suatu syarat yang biasanya
dicantumkan dalam perjanjian. Unsur-unsur atau hal ini biasanya dijumpai dalam
perjanjian-perjanjian tertentu, dianggap ada kecuali dinyatakan sebaliknya.
Merupakan unsur yang wajib dimiliki oleh suatu perjanjian yang menyangkut
suatu keadaan yang pasti ada setelah diketahui unsur essensialianya. Jadi terlebih
dahulu harus dirumuskan unsur essensialianya baru kemudian dapat dirumuskan
unsur naturalianya. Misalnya jual beli unsur naturalianya adalah bahwa si penjual
harus bertanggung jawab terhadap kerusakan-kerusakan atau cacat-cacat yang
dimiliki oleh barang yang dijualnya. Misalnya membeli sebuah televisi baru. Jadi
unsur essensialia adalah usnur yang selayaknya atau sepatutnya sudah diketahui
oleh masyarakat dan dianggap suatu hal yang lazim atau lumrah.
c. Unsur Aksidentalia
Unsur Aksidentalia artinya unsur yang harus dimuat atau dinyatakan secara tegas
di dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya, jika terjadi perselisihan, para pihak
telah menentukan tempat tinggal atau residence yang di pilih, pilihan hukum,
pilihan forum dst. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap
penyelesaian sengketa yang timbul akibat dari pelaksanaan kontrak dan
merupakan refleksi dari asas kebebasan berkontrak.

2. Sebelum lebih jauh membahas makna asas konsensualisme dikaitkan dengan


perjanjian formal dan riil, maka terlebih dahulu kita mengetahui definisi dari
perjanjian formil dan riil sebagai berikut:
a. Perjanjian formil adalah Perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi Undang-
undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu
secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT.
Misalnya: jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat
dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
b. Perjanjian riil adalah perjanjian yang harus disertai dengan penyerahan barang
yang menjadi objek perjanjian. Misalnya perjanjian penitipan barang, perjanjian
pinjam pakai.

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dari pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan diartikan sebagai persesuaian kehenda
dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Oleh karena itu, dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata tidak disebutkan suatu
formalitas tertentu disamping kesepakatan yang telah tercapai, maka dapat
disimpulkan perjanjian itu sudah sah dalam arti mengikat para pihak, apabila sudah
tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok atau hal yang menjadi objek perjanjian.

Jika asas konsensualisme ini dikaitkan dengan perjanjian formal dan riil maka dapat
disimpulkan bahwa terhadap pemberlakuan asas konsensualisme terdapat suatu
pengecualiaan yaitu oleh undang-undang diharuskan bentuk formalitas tertentu untuk
beberapa macam perjanjian, dengan ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila
tidak dipenuhi. Contohnya adalah perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus
dilakukan dengan akta notaries, atau perjanjian perdamaian harus secara tertulis dan
lain sebagaimana perjanjian-perjanjian tersebut dikenal sebagai perjanjian formal.
Pengecualian lainnya adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi
pokok perjanjian telah diserahkan atau yang disebut dengan perjanjian riil.misalnya
perjanjian penitipan barang.
3. Dalam pasal 1320 KUH Perdata menetapkan bahwa untuk sahnya perjanjian
diperlukan empat syarat yaitu:
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
c. Objek tertentu; dan
d. Adanya kausa yang halal.
Mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum. Kecakapan dalam perbuatan
hukum diartikan sebagai kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum.
Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana ditentukan
oleh UU. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum
adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun dan
atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum adalah
a. Anak dibawah umur;
b. Orang yang ditaruh dalam pengampuan; dan
c. Istri (pasal 1330 KUH Perdata). Tetapi dalam perkembangannya istri dapat
melakukan perbuatan hukum dengan landasan pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974
jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.

Dalam hal pihak yang belum berumur 21 tahun membuat perjanjian maka perjanjian
ini maka perjanjian tersebut tidak memenuhi unsure subjektif yang dimana
mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan dengan salah satu pihak dapat
mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakati.

Catatan terhadap perkara ini, apabila perjanjian dibuat oleh pengampu atau wali dari
anak tersebut maka perjanjian tidak dapat dibatalkan karena perjanjian telah
memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata.
4. Keadaan memaksa atau disebut juga dengan istilah overmacht atau force majeure
adalah suatu keadaan di luar kendali manusia yang terjadi setelah diadakannya
perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur.
Sedangkan menurut R. Setiawan, SH, yang dimaksud dengan keadaan memaksa
adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi
debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan
tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan
dibuat.
Menurut pembentuk UU, keadaan memaksa meupakan alasan pembenar untuk
membebaskan seseorang dari kewajiban membayar ganti rugi. Terdapat tiga unsure
dalam keadaan memaksa yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi;
b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur; dan
c. Faktor penyebab tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Timbul pertanyaan apakah overmacht dapat membebaskan debitur dari kewajiban


memenuhi prestasi jawabannya iya, jika seseorang tersebut dapat membuktikan di
depan pengadilan bahwa dia tidak dapat memenuhi prestasinya disebabkan suatu
keadaan memaksa di luar kesalahannya yang tidak pernah diduga atau dibayangkan
itu akan terjadi. beban pembuktian sepenuhnya berada di tangan debitur.

Bentuk-bentuk keadaan memaksa terdiri dari dua jenis yaitu:


a. Bentuk umum, yang terdiri dari keadaan iklim, kehilangan dan pencurian.
b. Keadaan khusus yang terdiri dari sebagai berikut:
 Undang-Undang/peraturan pemerintah adakalanya menimbulkan keadaan
memaksa, dalam hal ini tidak berarti bahwa prestasi tidak boleh dilakukan
akibat dengan adanya UU/PP.
 Sumpah, kadang-kadang menimbulkan keadaan memaksa yaitu apabiila
seseorang yang harus berprestasu dipaksa bersumpah untuk tidak melakukan
prestasi.
 Tingkah laku pihak ketiga
 Pemogokan.

Debitur dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa berdasarkan salah satu dari
bentuk-bentuk keadaan memaksa baik umum maupun khusus dengan memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Membuktikan bahwa debitur tidak bersalah.
b. Tidak dapat memenuhi kewajiban secara lain
c. Tidak menanggung risiko baik menurut ketentuan UU maupun perjanjian atau
karena ajaran itikad baik harus menanggung risiko.
Jika debitur dapat membuktikan adanya keadaan memaksa dalam tidak terpenuhinya
prestasi maka kreditur:
a. Tidak dapat menuntut agar perikatan terpenuhi;
b. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena itu tidak
dapat dituntut;
c. Tidak dapat meminta pemutusan perjanjian; dan
d. Pada perjanjian timbale balik, maka gugurnya kewajiban untuk melakukan kontra
prestasi.

Apabila debitur gagal dalam memmbuktikan maka berlaku keempat ketentuan diatas.

Anda mungkin juga menyukai