Anda di halaman 1dari 12

ASPEK SOSIOLOGI HUKUM DALAM PERUBAHAN ATURAN CUKAI

DI KOTA BATAM

Desy Crisyanti - 2152059

Abstrak

Cukai merupakan pungutan atas barang-barang yang memiliki sifat atau karakteristik
tertentu yang telah ditentukan dalam undang-undang. Cukai merupakan salah satu
pungutan yang umum di kota Batam dikarenakan Batam itu sendiri merupakan kota yang
menjadi jalur dalam melakukan kegiatan ekspor ataupun impor. Batam merupakan daerah
Free Trade Zone atau FTZ yang berarti daerah yang mendapatkan pembebasan bea masuk,
PPN, dan PPnBM. Namun masyarakat seringkali keliru dengan pembebasan bea masuk
dengan cukai. Masyarakat menganggap bahwa seharusnya di Kota Batam tidak ada
kewajiban untuk membayar cukai. Hal ini menyebabkan banyaknya kasus pelanggaran
bidang cukai di Batam yang juga menjadi salah satu pentingnya aturan mengenai cukai
diterapkan di Kota Batam. Aturan cukai sudah dirubah sebanyak dua kali dalam UU No. 39
Tahun 2007 dan UU No. 7 Tahun 2021. Dalam artikel ini penulis akan membahas mengenai
aspek sosiologi hukum terhadap perubahan aturan cukai di Kota Batam apakah sudah
sesuai dan mencakup aspirasi dari masyarakat kota Batam.

Kata Kunci : Cukai, Barang, Sifat, Pungutan, Batam

A. Pendahuluan
Batam merupakan kota di Indonesia yang berbatasan langsung dengan dua negara
tetangga yaitu Singapura dan Malaysia. Letak kota Batam sendiri merupakan lokasi yang
strategis dalam jalur perdagangan. Sebagai kota yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga terutama Singapura, tidak jarang banyak barang-barang impor yang masuk ke
Indonesia melalui kota Batam. Batam itu sendiri merupakan daerah di Indonesia yang
mendapatkan hak khusus yaitu Free Trade Zone (FTZ). Dimana hal ini berarti Batam
diperlakukan layaknya seperti luar negeri untuk memudahkan jalur masuk barang impor.
Tidak jarang ditemukan banyaknya kasus penggelapan barang atau masuknya barang secara
illegal di Batam. Hal ini sering terjadi dikarenakan banyaknya oknum-oknum di Batam yang
menghindari pembayaran bea cukai atas barang-barang tertentu. Cukai merupakan bentuk
pungutan yang dilakukan oleh negara terhadap barang-barang yang memiliki karakteristik
ataupun sifat-sifat tertentu. Sifat atau karakteristik barang yang dapat dikenakan cukai antara
lain yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya
perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Berbeda dengan pajak yang bersifat wajib untuk barang yang dapat dikenakan pajak,
cukai hanya dikenakan terhadap barang-barang tertentu. Batam sebagai daerah Free Trade
Zone atau FTZ merupakan daerah bebas bea masuk untuk barang impor, namun hal ini tidak
menyampingkan kewajiban untuk membayar cukai. Hal ini yang mengakibatkan banyaknya
kebingungan bagi masyarakat awam mengenai cukai itu sendiri. Tidak jarang masyarakat
salah mengartikan antara pajak dan cukai dan menganggap bahwa keduanya merupakan hal
yang sama. Namun jelas pada esensi pengenaan pajak dimana pajak bersifat wajib dan cukai
hanya dapat dikenakan terhadap barang-barang yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu.
Salah satu perbedaan antara pajak dan cukai adalah lembaga yang berwenang dimana pajak
diambil dan dikelola oleh pemerintah daerah namun cukai hanya diatur oleh pemerintahan
pusat. Aturan mengenai cukai itu sendiri sudah direvisi berkali-kali dalam peraturan
perundang-undangan yang berbeda. Aturan mengenai cukai pertama kali muncul di tahun
1995 dalam UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang kemudian direvisi lagi dalam UU
No. 39 tahun 2007 dan direvisi kembali dalam aturan UU No. 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Aturan Perpajakan.

Aturan mengenai cukai yang telah direvisi berkali-kali oleh pemerintah pastinya
memiliki tujuan ataupun sebab mengapa aturan tersebut perlu untuk direvisi. Barang-barang
yang dapat dikenakan cukai hari semakin hari semakin banyak dan beragam pula jenisnya.
Seiring dengan perkembangan zaman dan banyaknya barang-barang jenis baru yang dapat
dikenakan cukai yang belum ada sebelumnya. Hal ini menyebabkan perlunya pembaharuan
secara berkala atas aturan-aturan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya.
Maraknya kasus penggelapan biaya cukai oleh oknum-oknum dan para distributor ataupun
penjual juga menjadi salah satu alasan mengapa perlunya dilakukan pembaharuan kembali
atas aturan yang berlaku tentang pengaturan pungutan cukai. Dalam beberapa tahun belakang
ini tidak jarang ditemukan kasus masuknya barang-barang ilegal dengan cara menghindari
pembayaran pungutan cukai untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Salah satu contoh
kasus tersebut adalah kasus diringkusnya kapal yang berisi rokok dan juga minuman keras
ilegal senilai Rp 10 Miliar yang diperkirakan telah merugikan negara sebesar Rp 7,5 miliar1.

1
Admin Web Bea dan Cukai, “Bea Cukai Batam Ringkus Kapal Berisi Rokok dan Miras Ilegal Senilai RP 10
Miliar”, https://www.beacukai.go.id/berita/bea-cukai-batam-ringkus-kapal-berisi-rokok-dan-miras-ilegal-
senilai-rp10-miliar.html
Sosiologi hukum itu sendiri merupakan ilmu hukum yang mempelajari suatu hukum dari
aspek sosiologis hukum tersebut. Sosiologi hukum menitikberatkan kepada bagaimana agar
suatu hukum dapat bermanfaat bagi masyarakat. Sosiologi hukum itu sendiri sangat penting
dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Maka dari itu aspek sosiologis
dari perubahan aturan cukai yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Aturan Perpajakan perlu diteliti lagi lebih lanjut apa sudah sesuai dan mencakup aspirasi dari
masyarakat Indonesia. Sebagai masyarakat yang tinggal di kota Batam juga penting untuk
memahami apa tujuan dari direvisinya undang-undang yang mengatur tentang pungutan
cukai.

B. Metodologi Penelitian

Penelitian dalam artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dimana
penelitian dilakukan pada suatu peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Aturan Perpajakan spesifiknya pada bagian perubahan aturan cukai
terhadap UU No. 11 Tahun 1995 dan UU No. 39 Tahun 2007. Penelitian ini dilakukan
dengan melakukan kajian hukum atas perubahan ketentuan cukai apakah sudah sesuai dengan
asas-asas sosiologi hukum terutama bagi masyarakat kota Batam. Apakah perubahan atas
ketentuan cukai ini sudah mencakup dan sesuai dengan aspirasi masyarakat kota Batam akan
dibahas dalam artikel ini. Penelitian ini mengambil sumber teori-teori mengenai sosiologi
hukum dan mengaitkannya dengan kajian atas perubahan aturan cukai dalam UU No. 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Aturan Perpajakan.

C. Tinjauan Teoritis

Pengertian cukai itu sendiri dalam Pasal 1 UU No. 11 Tahun 1995 yang berbunyi, “Cukai
adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai
sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang ini”2. Dimana hal ini dapat
berarti tidak semua barang dapat dikenakan cukai dan hanya barang-barang tertentu yang
memiliki sifat atau karakteristik yang telah diatur yang dapat dikenakan pungutan cukai.
Barang-barang yang dapat dikenakan pungutan cukai menurut Pasal 2 UU No. 39 Tahun
2007 yang berbunyi,
“Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik:
a. konsumsinya perlu dikendalikan;
b. peredarannya perlu diawasi;

2
UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai pasal 1 ayat (1).
c. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan
hidup; atau
d. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan,
dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini”3.
Revisi yang dilakukan atas aturan cukai dalam UU No. 7 Tahun 2021 terdiri atas
penambahan dan juga perubahan beberapa isi pasal yang ada dalam peraturan perundang-
undangan sebelumnya yang mengatur tentang cukai. Perubahan-perubahan berikut sesuai
dengan Pasal 14 UU No. 7 Tahun 2021 yang berbunyi,
1. “Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri atas:
a. etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan
proses pembuatannya;
b. minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan tidak
mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk
konsentrat yang mengandung etil alkohol; dan
c. hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok
elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan
digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
(2) Penambahan atau pengurangan jenis Barang Kena Cukai diatur dengan Peraturan
Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penJrusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
2. Di antara Pasal 40A dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 40B sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40B
(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penelitian dugaan pelanggaran di bidang
cukai.
(2) Dalam hal hasil penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, diselesaikan secara administratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.

3
UU No. 39 Tahun 2007 pasal 2.
(3) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dilakukan penyidikan
dalam hal:
a. terdapat dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52,
Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58; dan yang bersangkutan membayar sanksi
administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
(4) Barang kena cukai terkait dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan menjadi barang milik negara.
(5) Barang-barang lain terkait dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditetapkan menjadi barang milik negara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai dugaan pelanggaran yang tidak dilakukan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64
(1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat
menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
(2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56,
dan Pasal 58, setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa
denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
(3) Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat
membayar sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
(4) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi pertimbangan untuk
dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.
(5) Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pada tahap
penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa.
(6) Barang kena cukai yang terkait dengan penghentian penyidikan tindak pidana di
bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan menjadi barang milik
negara.
(7) Barang-barang lain yang terkait dengan penghentian penyidikan tindak pidana di
bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan menjadi barang
milik negara.
(8) Menteri dan Jaksa Agung dapat melimpahkan kewenangan lebih lanjut kepada
pejabat yang ditunjuk, terkait permintaan dan penghentian penyidikan tindak pidana
di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”.
Secara historis, sosiologi hukum pertama kali diperkenalkan pada 1882 oleh Anzilotti
seorang ahli hukum asal Italia. Ilmu pengetahuan ini pada dasarnya lahir dari gabungan buah
pikir para ahli diberbagai bidang seperti, sosiologi, hukum, serta filsafat hukum. Sosiologi
hukum adalah ilmu baru yang mempelajari perilaku manusia dalam masyarakat sejauh
ditentukan oleh norma-norma etika hukum yang diakui secara umum, dan sejauh itu
mempengaruhi mereka. Secara teoritis dua ilmu besar tersebut tampak saling berjarak.
Hukum dengan sifatnya yang statis, tertulis, juga jelas sangat berlainan dengan sosiologi
dengan masyarakat sebagai fokus studinya yang dinamis, kontekstual dan cenderung abstrak.
Maka dari itu, gabungan dari kedua ilmu tersebut tergolong dalam sub-disiplin sosiologi
dengan objek kajiannya yang meliputi:
a. Hukum dalam sistem sosial
b. Hukum sebagai instrument perubahan sosial
c. Hukum sebagai alat kekuasaan
d. Sifat hukum
e. Perbandingan hukum dalam masyarakat
f. Kaitan hukum dengan nilai budaya
Sosiologi hukum memiliki berbagai pengertian yang berbeda-beda menurut pandangan
para ahli terdahulu. Beberapa ahli terkenal yang mengemukakan arti dari sosiologi hukum itu
sendiri antara lain:
1. Karl Marx
Hukum dan kekuasaan politik dipandangnya sebagai sarana kapitalis yang tidak hanya
berfungsi pada lini politik saja, melainkan pada fungsi ekonomi juga. Marx berpendapat
bahwa hukum adalah tatanan peraturan yang mencukupi kepentingan kelompok
masyarakat kelas atas. Para kapitalis dengan kepemilikan sarana di bidang ekonomi inilah
yang berhasil melanggengkan kekuasaannya.
2. Benjamin Nathan Cardozo
Cardozo yang berprofesi sebagai hakim meyakini bahwa dalam setiap praktik
peradilan memiliki ketidakpastian yang semakin besar akibat dari keputusan pengadilan.
Baginya proses peradilan merupakan penciptaan hukum, bukan penemuan hukum.
3. Roscoe Pound
Menurut Pound, hukum diperlakukan atas dasar adanya sejumlah kepentingan dalam
setiap aspek kehidupan. Dibandingkan etika dan moral, indikator kepentingan justru lebih
menojol dalam kehidupan hukum. Pada intinya Pound lebih melihat hukum sebagai
proses rekayasa sosial.
4. Oliver Wendell Holmes
Pandangan Holmes pada sosiologi hukum lebih berkutat pada proses hukum, baginya
setiap hakim bertanggungjawab memformulasi hukum melalui segala keputusan yang
mereka buat. Dirinyalah sosok yang mencetuskan The life of law is not logic: it has been
experience. Dengan menggunakan pendekatan pragmatis, Holmes menilai hukum dari
definisi yurisprudensi dan ramalan keputusan pengadilan sekaligus.
5. Emile Durkheim
Sebagai salah satu sosiolog yang sejak awal telah berfokus pada hukum, Durkheim
mengkaji jenis-jenis hukum berdasarkan tipe solidaritas dalam masyarakat. Ia
mengkategorikan hukum dalam dua jenis, yakni hukum yang menindak (repressive) dan
hukum yang mengganti (restitutive).
6. Max Weber
Menurut pandangan Weber, hukum merupakan kumpulan norma atau atuaran yang
dikelompokkan serta digabungkan dengan konsensus, dan menggunakan alat kekerasan
sebagai daya paksa. Hal tersebut dikarenakan hukum berlaku sebagai kesepakatan yang
valid dalam kelompok tertentu. Berkat sumbangsihnya dalam cabang ilmu ini, Weber pun
dinobatkan sebagai bapak sosiologi hukum modern
Secara garis besar, sosiologi hukum mengkaji pola perilaku masyarakat terhadap hukum.
Setiap individu pasti memiliki alasan untuk patuh ataupun melanggar hukum bagaimana
proses pembuatan suatu hukum. Dari fakta-fakta yang diperoleh kemudian dapat dijadikan
sebagai salah satu pertimbangan dalam proses hukum. Untuk ruang lingkup masalah dari
sosiologi hukum, Gurvitch membedakannya dalam 3 bentuk, yakni:
1. Masalah sistematik yaitu menelusuri hubungan antara bentuk kemasyarakatan dengan
jenis hukum.
2. Masalah diferensial yaitu mendalami manifestasi hukum sebagai suatu fungsi kolektif
yang nyata.
3. Masalah genetik yaitu menelaah keteraturan sebagai tendensi dari perubahan,
perkembangan, dan keutuhan hukum dalam masyarakat tertentu.
Dalam ajaran sosiologi hukum mengenal dua mazhab yaitu:
1. Aliran Positif
Dalam mazhab ini sosiologi hukum hanya membahas fakta kasat mata tanpa
mengaitkannya dengan penilaian terhadap kebijaksanaan hukum, nilai maupun tujuan
yang terkandung. Melainkan hanya hukum sebagai apa yang kita lihat dan terjadi dalam
masyarakat.
2. Aliran Normatif
Berbanding terbalik dengan aliran positif, aliran normatif memandang hukum sebagai
fakta teramati sekaligus institusi nilai dalam suatu masyarakat. Hukum berfungsi untuk
mengekspresikan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat. Sehingga menurut perspektif
normatif, sosiologi hukum tidak dapat dipisahkan dari institusi primer seperti politik dan
ekonomi.
D. Analisis
Dari perubahan atas ketentuan cukai dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Aturan Perpajakan, poin-poin perubahan-perubahan tersebut yang akan dibahas antara lain:
1. Dalam pasal 4 ayat (1) poin c ditambahkan pungutan cukai terhadap rokok eletrik
2. Ditambahnya pasal 40B dimana pejabat bea dan cukai berwenang untuk melakukan
penelitian atas dugaan pelanggaran di bidang cukai
3. Dalam pasal 40B juga menyebutkan dimana hasil penelitian yang ditemukan oleh pejabat
bea dan cukai dapat tidak dilakukan penyidikan lebih lanjut dengan syarat-syarat tertentu
salah satunya adalah membayar denda administratif sebesar 3 (tiga) kali lipat nilai cukai
yang seharusnya dibayar dan barang tersebut akan ditetapkan menjadi barang milik
negara
4. Dalam pasal 64 ditambah jangka waktu untuk menghentikan penyidikan tindak pidana
cukai yaitu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan
5. Dalam pasal 64 ayat (2) hingga (4) menyatakan bahwa pembayaran sanksi administratif
atas tindak pidana cukai yang dihentikan berupa 4 (empat) kali nilai cukai yang harus
dibayar dan dapat menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana
penjara serta barang yang dihentikan penyidikannya ditetapkan menjadi barang milik
negara
6. Dalam pasal 64 ayat (8) juga menyebutkan bahwa menteri dan jaksa agung dapat
melimpahkan kewenangan lebih lanjut kepada pejabat yang ditunjuk untuk permintaan
dan juga penghentian penyelidikan tindak pidana di bidang cukai
Berdasarkan perubahan tentang aturan cukai yang telah dipaparkan diatas, keterkaitan
antara sosiologi hukum sebagai suatu aspek pembentukan peraturan perundang-undangan
yang merupakan hubungan antara manusia dengan hukum itu sendiri poin perubahan pertama
dimana pungutan cukai diterapkan terhadap rokok elektrik dikarenakan rokok elektrik baru
muncul dan dikenal di masyarakat dalam beberapa tahun belakangan ini. Rokok elektrik pada
dasarnya mengandung zat adiktif yaitu nikotin yang dapat menyebabkan ketergantungan bagi
penggunanya. Walau sifat barang-barang yang dapat dikenakan cukai telah di paparkan
dalam undang-undang sebelumnya, rokok elektrik ditambahkan secara langsung untuk
menegaskan aturan pungutan cukai dikarenakan peredaran rokok elektrik itu sendiri sudah
semakin luas dalam masyarakat. Aspek sosiologi hukum disini merupakan tujuan dari
penambahan cukai agar dapat mengontrol ataupun mengurangi pemakaian rokok elektrik
dikarenakan tambahan biaya cukai dan juga peredaranya yang terkontrol.
Tambahan aturan mengenai pejabat bea dan cukai memiliki wewenang untuk meneliti
dugaan pelanggaran di bidang cukai juga guna untuk mencegah terjadinya pelanggaran
dengan memperketat pengawasan. Dengan diberikannya wewenang untuk meneliti, maka
penemuan atas pelanggaran akan semakin luas dan meningkatkan waspada serta ketakutan
dalam masyarakat untuk melakukan pelanggaran. Penetapan tambahan aturan mengenai
pelanggaran di bidang cukai yang tidak dilakukan penyidikan lebih lanjut dengan membayar
denda sebesar 3 (tiga) kali lipat biaya cukai dan barang cukai menjadi milik negara
sebenarnya mendatangkan pertanyaan pada masyarakat atas dana yang tersalurkan. Apakah
barang tersebut akan disalahgunakan oleh oknum dan denda yang dibayar apakah terjamin
akan masuk ke kas negara. Perubahan pada ketentuan ini membingungkan esensi apakah
berpengaruh baik atau buruk bagi masyarakat.
Aturan mengenai penghentian penyidikan tindak pidana cukai paling lama 6 (enam) bulan
setelah tanggal surat permintaan dan pembayaran sanksi administratif berupa 4 (empat) kali
nilai cukai yang harus dibayar dan dapat dijadikan pertimbangan untukt dituntut tanpa
penjatuhan pidana penjara juga sama esensinya dengan perubahan tentang pelanggaran cukai
yang tidak dilakukan penyidikan. Pada dasarnya keuntungan yang didapatkan adalah biaya
sanksi administratif yang berjumlah fantastis, namun apakah masyarakat yakin dengan
penyaluran biaya tersebut 100% ke kas negara atau malah menimbulkan celah bagi oknum-
oknum yang ingin menguntungkan dirinya sendiri. Kedua aturan tersebut sebenarnya kembali
lagi ke kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Indonesia. Apabila dinilai dari sisi
positifnya maka contoh seperti kota Batam yang seringkali ditemukan pelanggaran di bidang
cukai maka aturan ini sebenarnya memudahkan proses penyelesaiannya agar tidak berbelit-
belit di pengadilan hanya cukup dengan cara membayar sejumlah uang untuk sanksi
administratif. Namun dampaknya, banyak oknum yang nekat untuk melanggar dikarenakan
hukuman pidana yang istilahnya sekarang dapat dibayar dengan uang dalam bidang cukai ini.
Kewenangan yang dilimpahkan kepada pejabat untuk permintaan dan penghentian
penyidikan di bidang cukai merupakan salah satu contoh pelimpahan wewenang dari pusat
karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa cukai diatur langsung oleh pusat. Dalam hal ini
terdapat dua sisi penilaian yaitu di satu sisi bahwa lebih memudahkan pengaturan tentang
pelanggaran di bidang cukai dikarenakan adanya pelimpahan wewenang dari pusat, dan di
sisi lain bahwa esensi cukai yang diatur oleh pemerintahan pusat menjadi ada celah bagi
oknum yang dilimpahkan wewenangnya untuk menguntungkan dirinya sendiri. Sebenarnya
aturan-aturan diatas dapat berjalan dengan baik tapi semua kembali lagi ke kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah apakah aturan dibuat untuk menguntungkan masyarakat atau
menguntungkan para oknum-oknum yang menjadi masalah dari aspek sosiologi hukum atas
perubahan-perubahan tersebut.
E. Kesimpulan
Batam merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mendapatkan hak khusus yaitu
Free Trade Zone (FTZ). Dengan adanya hak istimewa tersebut menjadikan Batam sebagai
salah satu kota industri yang paling sering melakukan kegiatan ekspor dan impor. Cukai
merupakan pungutan terhadap barang-barang yang memiliki sifat ataupun karakteristik
tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sifat atau karakteristik barang yang dapat
dikenakan cukai antara lain yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu
diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan
hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan
keseimbangan. Aturan mengenai cukai yang terbaru telah direvisi dalam UU No. 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Aturan Perpajakan. Dimana dalam undang-undang tersebut
merubah beberapa ketentuan mengenai cukai yang berdampak bagi masyarakat terutama
masyarakat Kota Batam. Perubahan-perubahan tersebut membawa banyak pro dan kontra
atas masing-masing ketentuan yang diubah ataupun ditambah. Kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah yang rendah juga menjadikan aturan seperti sanksi administrasi untuk
pelanggaran cukai dan cukai yang tidak dilakukan penyelidikan dengan cara membayar
sanksi administrasi membawa banyak kecurigaan masyarakat atas dana yang akan tersalurkan
ke negara. Ditambah dengan munculnya aturan tindak pidana cukai yang dapat tidak
diselidiki dan pembayaran sanksi administrasi menggantikan sanksi pidana juga menjadikan
celah bagi para oknum untuk nekat melakukan tindak pidana. Namun sisi positifnya, dengan
penyaluran kewenangan pada pejabat bea dan cukai untuk melakukan penelitian atas
kemungkinan pelanggaran cukai dapat menambah penemuan atas tindak pidana cukai. Tidak
semua perubahan tersebut membawa tanggapan pro ataupun kontra. Maka dari itu perubahan
atas ketentuan cukai dalam aspek sosiologi hukum bagi masyarakat Kota Batam masih
cenderung berada di tengah-tengah antara hal tersebut membawa dampak positif apabila
dijalankan ataupun membawa dampak negatif dengan memunculkan kesempatan ataupun
celah bagi oknum-oknum tertentu yang ingin menguntungkan dirinya sendiri.
Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11


Tahun 1995 Tentang Cukai

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105

Jurnal
Nurkartikasari, Rizky, “Peran Bea Cukai dalam Pengawasan dan Pengendalian Hasil
Tembakau dan Minuman Mengandung Etil Alkohol”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB
Vol. 5 No. 2.
Internet
Admin ZF, “Pelajari dengan Baik Perbedaan Pajak Dengan Pengenaan Bea dan Cukai”,
diakses dari https://flazztax.com/2021/08/20/pelajari-dengan-baik-perbedaan-pajak-
dengan-pengenaan-bea-dan-
cukai/#:~:text=Pajak%20adalah%20pungutan%20wajib%20yang,pemerintah%20pusa
t%20dan%20pemerintah%20daerah pada tanggal 15 Juni 2022
Hamdani, Trio, “Kok Barang Impor Via Batam Juga Kena Pajak? Ini Penjelasannya”, diakses
dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4885499/kok-barang-impor-
via-batam-juga-kena-pajak-ini-
penjelasannya#:~:text=Kepala%20Sub%20Direktorat%20Jenderal%20Bea,kan%20tid
ak%20dipungut%20bea%20masuk pada tanggal 16 Juni 2022
Putri, Farizqa Ayuluqyana, “Mengenal Teori Sosiologi Hukum, Mazhab & Daftar Tokoh
Pemikirnya”, diakses dari https://tirto.id/mengenal-teori-sosiologi-hukum-mazhab-
daftar-tokoh-pemikirnya-f8R1 pada tanggal 16 Juni 2022
Situmorang, Anggun P., “Penjelasan Bea Cukai Kenapa Barang Asal Batam Diperlakukan
Seperti dari Luar Negeri”, diakses dari https://www.merdeka.com/uang/penjelasan-
bea-cukai-kenapa-barang-asal-batam-diperlakukan-seperti-dari-luar-negeri.html pada
tanggal 16 Juni 2022

Anda mungkin juga menyukai