Anda di halaman 1dari 12

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Cukai

2.1.1 Definisi dan Karakteristik Cukai

Cukai merupakan salah satu jenis pungutan yang dikenakan dengan tujuan

tertentu terhadap barang-barang yang spesifik. Menurut Cnossen (2005), cukai

berbeda dengan pungutan pajak pada umumnya karena memiliki beberapa

karakteristik, yaitu: Selectivity in Coverage, Discrimination in intent, dan Some of

quantitive measurement in determining the tax liability. Sedangkan menurut

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 jo. Undang-Undang 39 Tahun 2007, cukai

adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang

mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang cukai.

2.1.2 Barang Kena Cukai (BKC)

Di Indonesia, cukai dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang

memiliki karakteristik sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 jo. Undang-

Undang 39 Tahun 2007, yaitu:

1. Konsumsinya perlu dikendalikan;

2. Peredarannya perlu diawasi;

10
11

3. Pemakaiannya dapat menimbulkan eksternalitas negatif bagi masyarakat atau

lingkungan hidup; atau

4. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan

keseimbangan.

Berdasarkan 4 karakteristik Barang Kena Cukai (BKC) di atas, maka barang-barang

yang dikenai cukai menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 jo. Undang-

Undang 39 Tahun 2007 adalah:

1. Etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan

dan proses pembuatannya;

2. Minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapapun, dengan tidak

mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk

konsentrat yang mengandung etil alkohol;

3. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun,tembakau iris, dan

hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan

atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.

2.1.3 Fungsi Cukai

Cukai yang diterapkan oleh negara-negara di dunia memiliki berbagai

fungsi. Menurut Cnossen (2005), tujuan penerapan cukai adalah:

1. To Raise Revenue for General Purpose

Dalam penerapannya, cukai berfungsi sebagai sumber pendapatan untuk

meningkatkan penerimaan negara. Hal ini dikarenakan objek cukai yang spesifik

dan lebih mudah diidentifikasi dibanding dengan pungutan lainnya. Selain itu,

cukai terhadap barang-barang seperti hasil tembakau, alkohol, bahan bakar minyak,
12

dan kendaraan bermotor menjadi sumber pendapatan negara karena volume

penjualannya yang tinggi, jumlah produsen barang yang memudahkan pemungutan,

serta tidak tersedianya barang pengganti.

2. To Reflect External Costs

Konsumsi barang-barang yang dikenai cukai dianggap menimbulkan

eksternalitas, yaitu dampak ekonomi yang dirasakan pihak lain yang tidak terlibat

dalam kegiatan konsumsi atau produksi barang. Seseorang yang mengonsumsi

barang-barang tertentu dapat menimbulkan dampak ekonomi kepada orang lain.

Sehingga pembebanan cukai pada kegiatan konsumsi tersebut dapat menjadi cara

pemerintah untuk melakukan interferensi dan menanggulangi dampak

eksternalitas yang dihasilkan.

3. To Discourage Consumption

Penerapan cukai pada barang-barang tertentu dapat mendorong seseorang

untuk melakukan pengurangan konsumsi terhadap barang tersebut. Hal ini dapat

dikarenakan oleh kegagalan informasi yang mengakibatkan inefisiensi pasar.

Walaupun tidak terjadi explicit external cost, tetapi kegagalan informasi tetap

membutuhkan interferensi pemerintah yang dapat dilakukan melalui pengenaan

cukai. Barang-barang tertentu juga dianggap memiliki dampak negatif bagi

konsumen jika dikonsumsi, sehingga pengenaan cukai akan menaikkan harga

barang dan mendorong konsumen untuk memotong anggaran yang dialokasikan

pada konsumsi barang tersebut.


13

4. To Charge Road Users for Government-Provided Services

Cukai dapat dikenakan terhadap pengguna jalan atas external cost yang

disebabkan dari jalan-jalan yang rusak akibat kendaraan yang digunakan, polusi

suara, polusi udara, dan kecelakaan. Cukai dikenakan untuk efisiensi dari pelayanan

dan perawatan jalan dan fasilitas umum, serta untuk menanggulangi biaya-biaya

eksternal yang ditimbulkan.

5. Other Objectives

Selain 4 fungsi pokok di atas, cukai juga dapat difungsikan sebagai

pungutan untuk tujuan-tujuan lain, seperti cukai terhadap barang-barang mewah,

dapat digunakan untuk meningkatkan progresivitas dari sistem perpajakan suatu

negara.

Menurut Purwanto dan Surono (2018) secara universal cukai diterapkan

berdasarkan 3 alasan utama, yaitu:

1. Sin Tax, artinya cukai mengompensasi tindakan konsumtif atas suatu barang

yang dianggap melanggar norma-norma yang berlaku.

2. Pigouvian Tax, artinya cukai berperan sebagai pungutan yang dibebankan atas

suatu tindakan konsumtif yang mengakibatkan eksternalitas negatif.

3. Consumption Tax, artinya cukai dibebankan kepada konsumsi barang-barang

yang dianggap mewah dan bukan merupakan kebutuhan pokok.

Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa cukai memiliki 2 fungsi, yaitu sebagai alat

Budgetair dan Regulerend. Sebagai alat Budgetair maksudnya cukai berperan

sebagai salah satu instrumen penghimpun pendapatan negara. Cukai bersama

pajak-pajak lain berperan strategis dalam penerimaan negara setiap tahunnya.


14

Sebagai alat Regulerend artinya cukai berperan sebagai alat kontrol perilaku

konsumsi masyarakat terhadap Barang Kena Cukai. Hal ini terkait dampak negatif

yang ditimbulkan dari konsumsi Barang Kena Cukai, baik dari segi sosial maupun

kesehatan.

2.2 Barang Kena Cukai Hasil Tembakau

Sebagai salah satu BKC, Hasil Tembakau (HT) dibagi menjadi beberapa

kategori sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 jo. Undang-Undang

39 Tahun 2007, yaitu: Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, Tembakau Iris, dan Hasil

Pengolahan Tembakau Lain. Sigaret sendiri dibagi menjadi Sigaret Kretek Tangan

(SKT), Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Tangan (SPT), dan Sigaret Putih

Mesin (SPM).

Tarif cukai yang dikenakan pada Hasil Tembakau adalah tarif adnatorum

atau tarif spesifik mulai tahun 2022. Tarif cukai ini mengalami perubahan dari tahun

2021 khususnya pada BKC Hasil Pengolahan Tembakau Lain (HPTL) sesuai

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.010/2021. Tarif HPTL yang

sebelumnya 57% dari HJE menjadi tarif cukai spesifik sesuai jenis hasil tembakau,

besaran, dan satuannya. Sedangkan untuk Sigaret, Cerutu, Rokok Daun, dan

Tembakau Iris tarif cukai adnatorum yang diberlakukan berdasar pada jenis hasil

tembakau, golongan pengusaha, dan batasan Harga Jual Eceran per Batang atau

Gram sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/PMK.010/2020 Tentang

Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Dari tahun ke tahun tarif cukai hasil tembakau terus mengalami kenaikan,

walau pada tahun 2019 dan 2021 tidak ada kenaikan tarif. Hal ini dilakukan untuk
15

menekan tingkat konsumsi masyarakat. Karena tarif cukai yang meningkat akan

menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga mendorong masyarakat untuk

mengurangi konsumsi rokoknya. Namun di sisi lain, kenaikan ini dapat menjadi

salah satu faktor perdagangan rokok ilegal, Chaloupka et al (2005). Dengan adanya

perdagangan rokok ilegal, tujuan dari kenaikan tarif cukai berpotensi untuk tidak

tercapai. Oleh karena itu, dilakukan upaya pengawasan oleh DJBC untuk

menanggulangi peredaran BKC HT ilegal.

2.3 Pengawasan

Menurut Terry (2007, dikutip dalam Haris, 2017) mengatakan bahwa dalam

rangka pencapaian tujuan, negara sebagai organisasi terbesar sudah sepatutnya

menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang meliputi: perencanaan (planning),

pengorganisasian (organizing), memberi dorongan (actuating), dan pengawasan

(controlling). Menurutnya fungsi pengawasan sebagai upaya kontrol mutlak

dilakukan untuk menghindari rusaknya tujuan organisasi tersebut.

Hal serupa disampaikan oleh Situmorang (2005, dikutip dalam Haris, 2017),

bahwa fungsi pengawasan mutlak diperlukan sebagai salah satu fungsi manajemen.

Pelaksanaan suatu rencana dan program sebuah organisasi tanpa diiringi

pelaksanaan fungsi pengawasan yang intensif dan berkesinambungan akan

mengakibatkan lambatnya pencapaian atau bahkan tidak tercapainya tujuan

organisasi.

Menurut Kosovo International Trade Guide (2018, dikutip dalam Sulthan,

2020), pengawasan didefinisikan sebagai tindakan yang diterapkan oleh pabean

untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban dan pajak yang dikenakan pada
16

barang impor dan ekspor dan undang-undang lain. Sedangkan menurut WCO

Glossary of International Customs Terms (dikutip dalam Sulthan, 2020),

pengawasan bea cukai adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan

kepatuhan terhadap aturan hukum yang ditetapkan. Pengawasan bea cukai pada

hakikatnya merupakan langkah-langkah yang dilakukan bea cukai untuk

memastikan aturan hukum dipenuhi. Upaya pengawasan tersebut meliputi kegiatan

intelijen, penindakan, dan penyidikan.

2.4 Rokok Ilegal

Walau upaya pengawasan telah dilakukan, namun peredaran rokok ilegal

belum dapat dihilangkan sepenuhnya. Menurut Allen (2012, dikutip dalam

Fahnizar, 2021), salah satu faktor peredaran rokok ilegal adalah keuntungan yang

didapat oleh pelakunya. Selama perdagangan rokok ilegal masih memberi

keuntungan besar, risiko rendah, dan pasar yang siap, maka pelaku akan terus

memperdagangkan rokok ilegal.

Modus operandi yang digunakan dalam perdagangan rokok ilegal antara

lain:

a. Rokok polos

Rokok polos merupakan rokok yang diperjualbelikan tanpa dilakukan

pelekatan pita cukai pada kemasannya. Ciri-ciri rokok polos sangat mudah

diketahui karena pada kemasannya tidak terdapat pita cukai yang merupakan

tanda pelunasan kewajiban cukai.


17

b. Rokok dengan pita cukai tidak sesuai

Setiap pita cukai memiliki personalisasinya masing-masing yang menunjukkan

merek dan HJE rokok yang boleh dilekati pita cukai tersebut. Rokok yang

dilekati pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya termasuk ke dalam rokok

ilegal.

c. Rokok dengan pita cukai palsu

Rokok dengan pita cukai palsu adalah rokok ilegal yang dilekati dengan pita

cukai palsu dengan maksud untuk menghindar dari kewajiban membayar

pungutan cukai. Pita cukai palsu dapat diketahui dari warna, desain, atau

hologram yang berbeda.

d. Rokok dengan pita cukai bekas

Rokok dengan pita cukai bekas adalah rokok yang diperjualbelikan dengan

dilekati pita cukai yang sebelumnya telah digunakan.

2.5. Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Daya Beli

Covid-19 atau Corona Virus Disease 2019 merupakan sebuah penyakit

yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang mulai mewabah sejak tahun 2019.

Penyebarannya yang luas ke berbagai negara telah meningkatkan statusnya dari

epidemi menjadi pandemi. Menurut Sutaryo (2020, dikutip dalam Purnomo, 2021)

mengatakan bahwa Covid-19 merupakan penyakit yang menyerang pernapasan dan

menyebabkan radang paru-paru. Penyakit ini menular melalui percikan cairan dari

mulut atau hidung ketika berbicara, batuk, atau bersin.

Pada 2020 Covid-19 telah menjadi pandemi dan membawa beberapa

dampak bagi negara-negara di dunia, antara lain: penerapan kebijakan karantina


18

atau lockdown dan/atau pembatasan sosial berskala besar. Kebijakan-kebijakan

tersebut menimbulkan dampak ekonomi yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan

ekonomi yang terbatas. Menurut World Economic Outlook (2021) yang dikeluarkan

oleh IMF, pertumbuhan perekonomian dunia sempat terkontraksi hingga -3,2%

pada tahun 2020. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh pandemi Covid-19

terhadap pertumbuhan perekonomian dunia pada tahun 2020.

Kondisi yang terjadi di Indonesia tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di

negara-negara lain. Menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat atau LKPP

(2020) kontraksi perekonomian global mendorong terjadinya penurunan

pertumbuhan ekonomi. Hal ini mulai terlihat pada Triwulan I tahun 2020 yang

pertumbuhan ekonominya mencapai 2,97% (y-on-y). Walaupun masih positif,

pertumbuhan ini mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun 2019

yang mencapai 5,06%. Peningkatan kasus Covid-19 dan pemberlakuan kebijakan

PSBB pada bulan-bulan berikutnya memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi

Triwulan II yang terkontraksi hingga 5,32% (y-on-y). Pemulihan mulai terlihat pada

Triwulan III yang mencatat kontraksi pada titik 3,49% (y-on-y) dan Triwulan IV

dengan kontraksi sebesar 2,19% (y-on-y). Secara keseluruhan, pada tahun 2020

pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 2,07% (c-to-c).

Perlambatan ekonomi tersebut berdampak pada menurunnya daya beli

masyarakat pada tahun 2020. Menurut BPS pada Anggraeni (2021), daya beli

masyarakat masih sangat rendah pada tahun 2020. Hal ini terlihat pada tingkat

konsumsi rumah tangga yang mencapai titik minus 2,63%. Sedangkan konsumsi

pemerintah pada 2020 tumbuh 1,94%. Angka tersebut tergolong kecil jika
19

dibandingkan dengan tahun 2019 karena adanya penurunan belanja pegawai serta

tidak adanya insentif tahun 2020.

Penurunan daya beli masyarakat yang terjadi memiliki potensi memicu

terjadinya peningkatan perdagangan rokok ilegal. Menurut Gruber (2010)

penurunan pendapatan memengaruhi garis anggaran seseroang, yaitu menggeser

garis anggaran ke arah kiri. Hal ini membuat kurva indiferens maksimal yang

didapat bergeser ke kiri dengan kombinasi barang dan/atau jasa yang dapat dibeli

memiliki kuantitas yang lebih kecil seperti pada gambar berikut:

Gambar II. 1 Kurva Pergeseran Garis Anggaran

Pada konsumen rokok, penurunan daya beli mengakibatkan kuantitas rokok

yang dapat dibeli menjadi menurun. Namun, efek adiktif yang dihasilkan oleh

rokok membuat seseorang cenderung kesulitan untuk mengurangi kuantitas

konsumsi rokoknya. Hal ini dapat mendorongnya untuk beralih mengonsumsi

rokok ilegal yang memiliki harga lebih murah dibanding rokok legal, sehingga

kuantitas rokok yang dapat dibeli tidak berkurang.


20

2.6. Penelitian Terdahulu

Dalam penulisan KTTA ini, penelitian terdahulu berperan sebagai tolak

ukur penelitian. Terlebih lagi setelah penulis melakukan analisis terhadap beberapa

penelitian terdahulu, penulis mendapatkan informasi terkait masalah-masalah yang

dihadapi dan hasil dari penelitian tersebut yang akan penulis gunakan sebagai

referensi penulisan. Beberapa penelitian terdahulu tersebut antara lain:

a. Fahnizar Ary Prayoga (2021)

Fahnizar Ary Prayoga dalam karya tulis tugas akhirnya yang berjudul

Efektivitas Kegiatan Penindakan Berupa Operasi Pasar Terhadap Peredaran

Rokok Ilegal di Wilayah Pengawasan KPPBC TMC Malang mengatakan

bahwa terdapat permasalahan pada kegiatan penindakan berupa kurangnya

SDM pada unit P2 kantor. SDM unit P2 yang tersedia tidak sebanding dengan

luas wilayah pengawasan KPPBC TMC Malang.

b. Sulthan Akbar Syafiq (2020)

Dalam karya tulis tugas akhirnya yang berjudul Analisis Pengawasan Terhadap

Peredaran Barang Kena Cukai Ilegal di Wilayah Kerja KPPBC TMC Malang,

Sulthan Akbar Syafiq mengatakan bahwa dalam upaya penindakan BKC ilegal

terdapat hambatan berupa adanya keterlibatan oknum instansi lain dalam

peredaran BKC ilegal. Oknum tersebut sering kali melindungi pelaku

perdagangan BKC ilegal dan menghambat proses penindakan.

c. Elmania Nur Azizah dan Aditya Subur Purwana (2021)

Dalam Jurnal Perspektif Bea dan Cukai Vol. 5, No. 1, 2021 yang berjudul

Pengaruh Kebijakan Tarif Cukai Hasil Tembakau dan Aktivitas Pengawasan


21

Terhadap Peredaran Hasil Tembakau Ilegal, Elmania Nur Azizah dan Aditya

Subur Purwana menyebutkan bahwa variabel operasi pasar dan aktivitas

penindakan berpengaruh signifikan ke arah negatif terhadap peredaran rokok

ilegal. Penelitian yang menggunakan metode statistik deskriptif dan statistik

inferensia tersebut mengatakan bahwa peningkatan 1 kegiatan operasi pasar

akan menurunkan peredaran rokok ilegal sebesar 0,000874% dan peningkatan

1 kegiatan penindakan akan menurunkan peredaran rokok ilegal sebesar

0,000257%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan kegiatan

penindakan rokok ilegal dan operasi pasar akan berakibat pada penurunan

peredaran rokok ilegal.

Anda mungkin juga menyukai