A.PENGERTIAN
Pajak (dari bahasa Latin taxo; "rate") adalah iuran rakyat kepada negara
berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas
jasa secara langsung. Menurut Charles E.McLure, pajak adalah kewajiban finansial atau
retribusi yang dikenakan terhadap wajib pajak (orang pribadi atau Badan) oleh Negara
atau institusi yang fungsinya setara dengan negara yang digunakan untuk membiayai
berbagai macam pengeluaran publik.Pajak dipungut berdasarkan norma-norma hukum
untuk menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan
umum. Penolakan untuk membayar, penghindaran, atau perlawanan terhadap pajak pada
umumnya termasuk pelanggaran hukum. Pajak terdiri dari pajak langsung atau pajak tidak
langsung dan dapat dibayarkan dengan uang ataupun kerja yang nilainya setara. Beberapa
negara sama sekali tidak mengenakan pajak, misalnya Uni Emirat Arab. Lembaga
Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Di Indonesia, sektor pajak merupakan sumber utama pendanaan Negara, baik untuk
tujuan pembangunan, pertahanan maupun pelaksanaan administrasi pemerintahan.
Mengingat begitu pentingnya fungsi dan peran pajak tersebut bagi penyelenggaraan
Negara, maka kejahatan di bidang perpajakan (tax crime) harus dapat di cegah dan di
berantas. Sejalan dengan itu, hasil kejahatannya di sita oleh Negara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penggelapan pajak (tax evasion) adalah tindak pidana karena merupakan rekayasa
subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak untuk memperoleh penghematan pajak
secara melawan hukum (unlawfull), dan penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan
virus yang melekat (inherent) pada setiap system pajak yang berlaku di hampir setiap
yurisdiksi. Begitupun penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang inherent pula,
serta mengundang sanksi pidana badan dan denda.
Kita ketahui bahwa kejahatan penggelapan pajak, pencucian uang dan korupsi
merupakan rangkaian kejahatan yang saling terkait satu sama lain, namun dalam
penanganannya tidak selalu sama. Misalnya untuk kasus penggelapan pajak,
penyelesaiannya boleh di luar persidangan UU KUP memberi peluang kepada pelaku
penggelapan pajak bebas dari jeratan hukum pidana. Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan untuk kepentingan penerimaan Negara atas permintaan Menteri Keuangan.
Namun demikian, penghentian penyidikan pidana tersebut hanya dapat dilakukan setelah
wajib pajak melunasi utang pajak beserta dendanya.
Landasan hukum pemungutan pajak terdapat dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat (2)
yang berbunyi : Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang. adapun
undang-undang yang mengatur perpajakan di Indonesia antara lain :
1. UU No. 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
2. UU No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan/UU No. Tahun 2000
3. UU No. 11 Tahun 1994 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak
Penjualan atas barang mewah / UU No. 10 Tahun 2000.
4. UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
5. UU No. 13 Tahun 1985 dan PP No. 7 Tahun 1995 tentang Bea Materai
6. Peraturan-peraturan tambahan dalam penggelapan pajak, seperti:
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 48/PJ/2015 Tentang
Kegiatan Pemetaan Lokasi Wajib Pajak Orang Pribadi Dan/Atau Badan Serta
Objek Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan Melalui Geotagging
Peraturan ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 2015. Penerbitan Surat
Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi Kantor Pelayanan Pajak
dalam rangka pelaporan kinerja layanan unggulan DJP dan bagi Kantor Wilayah DJP
dalam rangka monitoring kinerja layanan unggulan DJP.
Peraturan ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 2015. Penerbitan Surat
Edaran ini disusun sebagai pedoman bagi Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagai unit yang berwenang menerbitkan
keputusan mengenai penghapusan sanksi administrasi berupa bunga yang
diterbitkan berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP berdasarkan
permohonan Wajib Pajak maupun secara jabatan.
Penggelapan pajak di Indonesia sangat lah marak terjadi, salah satunya dilakukan
oleh tersangka kasus korupsi mafia pajak, Gayus Tambunan. Beliau merupakan salah satu
pegawai rendah, golongan III, di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan . Gayus
merupakan seorang PNS Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan.
Satgas telah melakukan koordinasi dengan pihak kejaksaan untuk mendalami dan
menelusuri kemana aliran duit itu mengalir. Sejak Komisaris Jenderal Susno Duadji
melaporkan kasus ini, Denny mengaku telah mengumpulkan sejumlah dokumen dari pihak-
pihak terkait dan meminta penjelasan dari narasumber yang kompeten.
Uang suap itu diterima Gayus ketika berada dalam posisi sebagai fiscus (petugas
pajak) sehingga berlaku ketentuan Pasal 43 A. Otomatis terhadap yang bersangkutan
diberlakukan Pasal 5 ayat (2) ) UU No 20 Tahun 2001, yaitu ketentuan mengenai suap pasif
(passive bribery) dengan “ancaman pidana paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”.
Uang Gayus Halomoan Tambunan Rp103 miliar sudah disita aparat kepolisian.
Masing- masing berjumlah Rp28 miliar dan Rp 75 miliar berupa emas dan surat berharga.
Pada waktu-waktu terakhir ini menjadi buronan paling dicari oleh aparat keamanan.
Menurut beberapa teman Gayus Tambunan sewaktu sekolah,Gayus sebenarnya biasa saja
waktu sekolah, tapi urusan otak termasuk encer dan smart juga rajin bergaul dengan
teman-temannya. Sayang disayang, kepandaiannya ini dimanfaatkan untuk menggerogoti
uang Pajak.
Gayus Tambunan diperiksa Mabes Polri sebagai saksi dalam kasus rekayasa
dokumen rencana penuntutan (rentut) Cirus Sinaga di Rutan Cipinang.
Gayus ditangkap pada bulan April 2010, dan dikurung di Rumah Tahanan Markas Komando
Brimob Kelapa Dua, Depok. Sebelumnya, Gayus ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap
dalam mafia hukum pada 26 Maret 2010. Sejak itu kasusnya diproses di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.
Gayus terbukti memberikan uang kepada polisi senilai sepuluh ribu dollar Amerika
Serikat dan memberikan uang kepada hakim sebesar empat puluh ribu dollar Amerika
Serikat saat berpekara di Pengadilan Negeri Tangerang, dan memberikan keterangan palsu
soal uangnya yang senilai dua puluh delapan miliar rupiah yang berasal dari hasil korupsi .
Seperti diberitakan sebelumnya, Gayus telah menyogok kepala dan petugas Rutan
Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat untuk bisa keluar dari sel dan bepergian ke
Bali. Belakangan diketahui Gayus juga pergi ke luar negeri menggunakan paspor asli tapi
palsu atas nama Sony Laksono.
Hasil pemeriksaan Bareskrim Polri sudah tentu mencatat semua perusahaan yang
terlibat dalam kasus suap Gayus. Keganjilan berikutnya adalah PPATK seketika mengetahui
keterlibatan Gayus dalam kasus perpajakan dan notabene adalah kasus korupsi seharusnya
melakukan langkah hukum proaktif berkerja sama dengan Bareskrim Polri menelusuri dan
memblokir akun Gayus di beberapa rekening Bank nasional.
Bahkan PPATK telah memiliki kewenangan besar dalam penelusuran akun tersangka
sekaligus menelisik aliran uangnya (follow the money). Pemblokiran yang tidak dilakukan
secara total terhadap akun Gayus, termasuk kartu kredit Gayus dan istrinya,
mengakibatkan terjadinya peristiwa keluar rutan dan jalan-jalan ke Bali. Jika semua
langkah hukum dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada termasuk PPATK sesuai
dengan ketentuan UU yang telah diberlakukan sejak lama berkaitan dengan suap,
gratifikasi (korupsi) dan pencucian uang maka perkara Gayus tidak menjadi misterius
seperti kejadian sekarang ini.KPK dalam kasus Gayus juga memiliki kewenangan untuk
melakukan koordinasi. Jika koordinasi proaktif telah dilakukan KPK kepada Polri sejak
awal, juga dilakukan supervisi (Pasal 6 huruf a dan b; Pasal 7, Pasal 8 UU KPK) mengingat
perkara Gayus bukan perkara kecil, maka proses pengambilalihan kasus Gayus oleh KPK
tidak akan tersendat (Pasal 9 UU KPK).
Semua langkah hukum telah ada protapnya di dalam UU KPK yang telah berlaku
sejak Tahun 2002 dan telah disosialisasikan ke seluruh instansi termasuk instansi penegak
hukum. Iklim penegakan hukum saat ini, sekalipun dalam keadaan “babak belur”, KPK tetap
masih merupakan tumpuan penuntasan kasus korupsi sesulit apa pun karena memiliki
kewenangan luar biasa dan masih bersikap independen dibandingkan dengan dua lembaga
penegak hukum lainnya.
Presiden Yudhoyono mengatakan, “KPK lebih dilibatkan dan dapat didorong untuk
melakukan langkah-langkah pemeriksaan yang belum ditangani oleh Polri.”
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan kejaksa Agung sepakat untuk
mempercepat proses penyidikan dan penyidikan terhadap kasus Gayus Tambunan.
Kesepakatan itu merupakan hasil pertemuan dari para pimpinan ketiga lembaga penegak
hukum itu, di kantor KPK.
Ketiga lembaga yang tadi bertemu itu sepakat bahwa akan meningkatkan kualitas
dan percepatan kerjasama dalam semangat untuk menegakkan hokum. Mereka sepakat
untuk melakukan pendekatan supervise, investigasi dan sharing data. Sharing data akan
melibatkan data dari PPATK dan Kementerian Keuangan.
Instruksi khusus juga diberikan untuk pengembalian uang yang dilarikan oleh Gayus
Tambunan ke sejumlah negara. Mengenai pemulangan aset, Ketua PPATK, Yunus Hussein
mengakui ada kesulitan di negara tertentu. Satu-satunya negara yang menyatakan siap
membantu adalah Amerika Serikat, melalui Nota Kesepahaman. Data-data sudah dipegang
oleh Kapolri, tapi belum ketahuan (jumlah) asetnya, sehingga meminta (bantuan) ke
Singapura, Macau, Malaysia, dan Amerika Serikat. Indonesia punya MoU dengan Macau,
Malaysia, Amerika (Serikat) namun Singapura enggak ada sama sekali, Amerika positif mau
membantu.
Menurut Presiden, “149 perusahaan yang disebut-sebut bisa saja ada kaitannya
dengan masalah perpajakan, manakala dari hasil penyelidikan sudah ada bukti permulaan
yang cukup, dalam arti juga melakukan pelanggaran tentu perlu dilakukan pemeriksaan.
Instruksi Presiden untuk mengamankan dan mengembalikan uang dan aset-aset negara,
termasuk perlunya dilakukan perampasan uang yang diduga hasil korupsi Gayus
Tambunan.”
HASIL PUTUSAN
Hal itu sebagaimana tertuang dalam vonis Peninjauan Kembali (PK) Nomor 66
PK/Pid.Sus/2016 yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Selasa (17/1/2017). Total
kejahatan yang dilakukan Gayus ada empat kasus, tiga di antaranya dari tindak pidana
korupsi yang dituntut secara terpisah.
"Sehingga dalam ketiga perkara tersebut, terpidana total telah dipidana selama 28
tahun," ujar majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar.Gayus tidak terima dengan vonis
Nomor 52 K/Pid.Sus/2013 itu karena total hukuman yang ia terima dalam kasus korupsi
tersebut selama 28 tahun penjara.
Keberatan Gayus diamini MA. Menurut MA, berdasarkan Pasal 65 ayat 2 KUHP,
dalam hal gabungan perbuatan maksimum adalah 20 tahun ditambah maksimal sepertiga.
Untuk kasus yang dilakukan Gayus, total hukumannya adalah 26 tahun penjara."Mengingat
ancaman maksimal yang didakwakan terhadap terdakwa adalah 20 tahun penjara, maka
pidana maksimal yang dijatuhkan seharusnya selama 26 tahun penjara," ucap anggota
majelis Salman Luthan dan MS Lumme.Atas hal itu, MA kemudian merevisi hukuman Gayus
dalam perkara 52 K/Pid.Sus/2013."Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana
selama 6 tahun," putus majelis dengan suara bulat.
Di luar itu, Gayus juga divonis tiga tahun dalam kasus pemalsuan paspor yang dia
gunakan untuk bepergian selama di dalam tahanan. Jadi total hukuman yang dijalani Gayus
adalah 29 tahun penjara, yaitu:
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
HERYANTODO SIBURIAN 170202032
M RISKY KALIQ AK 1702020
UNIVERSITAS SAMUDRA
FAKULTAS EKONOMI
LANGSA
2019