Anda di halaman 1dari 16

Kepailitan & likuidasi perusahaan

serta penundaan pembayaran


Mata Kuliah : Hukum Bisnis

Dibuat Oleh:
Revi Alvian Jurusan Managemen Pararel (Semester 2)

Fakultas Ekonomi & Bisnis


UNIVERSITAS ESA UNGGUL CITRA RAYA
Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Permasalahan


Krisis moneter dan perbankan yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memakan biaya
fiskal yang amat mahal yaitu mencapai 51% dari PDB. Krisis tersebut telah menumbuhkan
kesadaran akan pentingnya stabilitas pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan
yang membentuk sistem keuangan. Kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga-lembaga
keuangan yang selanjutnya mampu meredam krisis, sebenarnya merupakan interaksi dari beberapa
resiko yang harus selalu dikelola dengan baik. Salah satu resiko yang harus dikelola dengan baik
sehingga tidak menyebabkan kestabilan pasar keuangan dan kesehatan lembaga keuangan
terganggu dan pada akhirnya menyebabkan krisis adalah gagalnya perusahaan di sektor riil
mengembalikan pinjaman. Kegagalan perusahaan dalam mengembalikan pinjaman dapat
dikategorikan bahwa perusahaan mengalami corporate failure.
Hasil penelitian Beaver (1966), termasuk salah satu penelitian yang sering dijadikan acuan
utama dalam penelitian tentang corporate failure. Beaver memandang perusahaan sebagai
reservoir of liquid asset, which supplied by inflows and drained by outflows. Beaver menggunakan
30 jenis rasio keuangan yang digunakan pada 79 pasang perusahaan yang pailit dan tidak pailit.
Memakai univariate discriminant anlysis sebagai alat uji statistik, Beaver menyimpulkan bahwa
rasio working capital funds flow/total asset dan net income/total assets mampu membedakan
perusahaan yang akan pailit dengan yang tidak pailit secara tepat masing-masing sebesar 90% dan
88% dari sampel yang digunakan.
Altman (1968), melakukan penelitian pada topik yang sama seperti topik penelitian yang
dilakukan oleh Beaver tetapi Altman menggunakan teknik multivariate discriminant analysis dan
menghasilkan model dengan 7 rasio keuangan. Dalam penelitiannya, Altman menggunakan
sampel 33 pasang perusahaan yang pailit dan tidak pailit dan model yang disusunnya secara tepat
mampu mengidentifikasikan 90% kasus kepailitan pada satu tahun sebelum kepailitan terjadi.
Penelitian dengan topik kebangkrutan/kepailitan perusahaan terus dilakukan oleh para
peneliti, perkembangan terakhir penelitian dengan topik kebangkrutan atau kepailitan terletak pada
alat uji statistiknya. Ohlson (1980) adalah peneliti pertama yang menggunakan analisa logit untuk
memprediksi kepailitan. Pada penelitiannya, Ohlson menggunakan 105 perusahaan yang pailit dan
2058 perusahaan yang tidak pailit serta menemukan bahwa 7 rasio keuangan mampu
mengidentifikasikan perusahaan yang akan pailit dengan tingkat ketepatan yang mendekati hasil
penelitian Altman.
Pentingnya persoalan corporate failure juga didukung oleh Krugman yang mengulas mengenai
global financial downturns dan memasukkan teori balance sheet fundamentals sebagai signal dari
krisis yang akan terjadi (Krugman, 1999). Walaupun penelitian corporate failure telah banyak
dilakukan, tampaknya penelitian mengenai hal ini akan terus berlanjut karena perkembangan dunia
usaha yang begitu cepat sehingga selalu menimbulkan pertanyaan apakah faktor- faktor yang
menyebabkan perusahaan pailit/bangkrut masih tetap sama ?

1.2 Perumusan Masalah

1. Apa itu kepailitan perusahaan?


2. Bagaimana Undang-undang kepailitan?
3. Bagaimana Hukum Penundaan kewajiban pembayaran hutang?
4. Apa itu Likuidasi perusahaan?

1.3 Tujuan

1. Memahami definisi kepailitan perusahaan


2. Mengetahui apa saja undang- undang kepailitan
3. Mengetahui Hukum Penundaan kewajiban pembayaran hutang
4. Memahami definisi Likuidasi perusahaan
Bab II
Pembahasan

2.1 Kepailitan perusahaan


Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat
ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena dengan kepailitan
perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak- tidaknya telah
gagal dalam membayar hutang (atau hutang- hutangnya).

2.1.1 Pengertian dan syarat- syarat kepailitan

Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah “bangkrut” manakala
perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-
hutangnya. Oleh karena itu, daripada pihak kreditur ramai- ramai mengoroyok debitur dan saling
berebutan harta debitur tersebut, hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang- hutang
debitur dapat dibayar secara tertib dan adil.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang
dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitur
(badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang/ kreditur di mana
debitur dalam keadaan berhenti membayar hutang- hutangnya, sehingga debitur segera membayar
hutang- hutang tersebut.
Agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan
Niaga, maka berbagai persyaratan yuridis harus dipenuhi. Persyaratan- persyaratan tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Debitur tersebut haruslah mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang
b. Minimal 1 (satu) hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
c. Permohonan pailit dimintakan oleh pihak yang diberikan kewenangan untuk itu, yaitu pihak-
pihak sebagai berikut:
1) Pihak debitur.
2) Pihak kreditur.
3) Pihak jaksa (untuk kepentingan umum).
4) Bank Indonesia, jika debiturnya adalah bank.
5) Bapepam, jika debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan penjaminan,
dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
6) Menteri Keuangan, jika debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Setelah permohonan pailit dikabulkan oleh hakim, maka segera di angkat pihak2 sebagai berikut:
a. Panitia kreditur jika diperlukan.
b. Seorang atau lebih kurator
c. Seorang hakim pengawas

Kepailitan atas debitur tersebut baru akan berakhir manakala:


a. Setelah adanya akoord (perdamaian) yang telah dihomologasikan.
b. Setelah insolvensi dan pembagian.
c. Atas saran kurator karena harta debitur tidak ada atau tidak cukup.
d. Dicabutnya kepailitan atas anjuran hakim pengawas.
e. Jika putusan pailit dibatalkan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.
f. Jika seluruh hutang dibayar lunas oleh debitur.

2.1.2 Prosedur Kepailitan

Prosedur beracara untuk kepailitan adalah di pengadilan khusus, yaitu di Pengadilan Niaga
dengan tata cara dan prosedur yang khusus pula. Tata cara berperkara dengan prosedur khusus
tersebut pada prinsipnya menyimpang dari prosedur hukum acara yang umum. Akan tetapi, jika
tidak diatur secara khusus dalam hukum acara kepailitan tersebut, maka yang berlaku adalah
hukum acara perdata yang umum.
Adapun yang merupakan kekhususan dari hukum acara kepailitan dibandingkan
dengan hukum acara perdata yang umum adalah sebagai berikut:
a. Di tingkat pertama, hanya pengadilan khusus yang berwenang, yaitu Pengadilan Niaga.
b. Adanya hakim- hakim khusus di Pengadilan Niaga.
c. Jangka waktu berperkara yang singkat dan tegas.
d. Prosedur perkara dan pembuktiannya simpel.
e. Tidak mengenal upaya banding, tetapi langsung kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung.
f. Adanya badan- badan khusus yang hanya berhak mengajukan permohonan pailituntuk perusahaan
tertentu. Misalnya: Bank Indonesia jika termohon pailit adalah Bank, atau Bapepam jika termohon
pailit adalah perusahaan efek.
g. Adanya lembaga hakim pengawas, panitia kreditur (optional) dan kurator.
h. Prinsip “presumsi mengetahui’ (presumption of knowledge) dan asas pembuktian terbalik terhadap
pengalihan debitur dalam hal- hal tertentu (dalam hal terjadinya actio pauliana)
i. Penangguhan hak eksekusi (stay) dari pemegang hak jaminan.
j. Prinsip verplichte procurer stelling (para pihak wajib diwakili oleh advokat).

Garis besar dari keseluruhan proses kepailitan adalah sebagai berikut:


a. Pengajuan permohonan pailit(oleh kreditur, debitur, atau pihak lainnya).
b. Pemeriksaan perkara dan pembuktian sederhana di Pengadilan Niaga.
c. Putusan pailit (tingkat pertama).
d. Penunjukkan kurator.
e. Mulai berlaku tundaan eksekusi jaminan hutang (stay).
f. Putusan pailit berkekuatan tetap (putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi).
g. Mulai dilakukan verivikasi piutang.
h. Dicapai komposisi (akoord, perdamaian).
i. Pengadilan memberikan homologasi, yakni mengesahkan perdamaian tersebut.
j. Atau dinyatakan insolvensi (harta debitur tidak cukup untuk membayar seluruh hutang).
k. Dilakukan pemberesan (termasuk menjual aset, menyusun daftar piutang, dan pembagian).
l. Kepalitan berakhir.
m. Dilakukan rehabilitasi.

2.1.3 Konsekuensi Yuridis dari Kepailitan

Kepailitan membawa konsekuensi yuridis tertentu, baik terhadap kreditur maupun terhadap
debitur. Di antara konsekuensi- konsekuensi yuridis tersebut yang terpenting adalah sebagai
berikut:
a. Berlaku penangguhan eksekusi selama maksimum 90 (sembilan puluh) hari.
b. Boleh dilakukan kompensasi (setoff) antara hutang debitur dengan piutang debitur.
c. Kontrak timbal balik boleh dilanjutkan.
d. Berlaku actio pauliana.
e. Demi hukum berlaku sitaan umum atas seluruh harta debitur.
f. Kepailitan berlaku juga terhadap suami/istri.
g. Debitur atau direksi dari debitur kehilangan hak mengurus.
h. Perikatan setelah debitur pailit tidak dapat dibayar.
i. Gugatan hukum haruslah oleh atau terhadap kurator.
j. Semua perkara pengadilan ditangguhkan dan diambil alih oleh kurator.
k. Pelaksanaan putusan hakim dihentikan.
l. Semua penyitaan dibatalkan.
m. Pelelangan yang sedang berjalan dilanjutkan.
n. Baik nama atau pendaftaran jaminan hutang atas barang tidak bergerak dicegah.
o. Daluarsa dicegah.
p. Transaksi forward dihentikan.
q. Sewa- menyewa dihentikan.
r. Karyawan debitur dapat di-PHK.
s. Warisan dapat diterima atau ditolak oleh kurator.
t. Pembayaran hutang, di mana pembayaran tersebut dilakukan sebelum pailit oleh debitur dalam
hal- hal tertentu dapat dibatalkan.
u. Pembayaran hutang, di mana pembayaran tersebut dilakukan setelah pailit dapat dibatalkan.
v. Hak retensi tidak hilang.
w. Debitur pailit atau direksinya dapat disandera (gijzeling).
x. Debitur pailit demi hukum dicekal.
y. Harta pailit dapat disegel.
z. Surat- surat kepada debitur pailit dapat dibuka oleh kurator.
2.1.4 Tentang Kurator

Kurator adalah pihak yang memiliki peran sentral dalam suatu proses kepailitan. Setelah
ditunjuk oleh pengadilan, kuratorlah yang mengurus dan membereskan proses kepailitan sampai
akhir. Jadi, kurator hanya ada dalam proses kepailitan, sedangkan dalam proses penundaan
kewajiban pembayaran hutang semacam peran kurator dilaksanakan oleh pihak yang disebut
dengan “pengurus” Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)”. Kurator dapat
digolongkan sebagai berikut:
a. Balai Harta Peninggalan.
b. Kurator swasta, yang dapat berupa:
1) Lawser
2) Akuntan Publik
Apabila para pihak tidak menunjuk kurator, maka Balai Harta Peninggalan bertindak
menjadi kurator. Akan tetapi, jika kurator swasta yang dipilih, maka dia tidak boleh mempunyai
konflik kepentingan dengan kreditur maupu debitur.
Di samping kurator (kurator tetap), terdapat juga apa yang disebut dengan kurator semangat
(interim receiver). Kurator sementara ini dapat diangkat (tetapi tidak wajib) dan penunjukannya
dilakukan sebelum sebelum putusan pailit dijatuhkan, dengan tujuan agar harta perusahaan yang
akan pailit tersebut ada yang mengurusnya dan tidak disalahgunakan oleh pihak debitur. Setelah
pailit, tidak diperlukan lagi kurator sementara dan posisinya digantikan oleh kurator tetap.
Kurator mempunyai tugas utama untuk membereskan harta pailit sampai tuntas, mulai dari
menghitung kewajiban debitur pailit, membuat pengumuman dan pemberitahuan- pemberitahuan,
menjual aset, dan membagikannya kepada kreditur yang berhak.
Kurator dapat melakukan hampir segala hal yang menyangkut dengan pemberesan
perusahaan debitur, dengan atau tanpa persetujuan pihak tertentu. Memang dalam menjalankan
tugasnya, pihak kurator adakalanya wajib memperoleh izin dari pihak tertentu, bergantung jenis
tugas yang dilakukan oleh kurator. Izin atau persetujuan tersebut adalah berupa izin atau
persetujuan dari hakim pengawas atau dari majelis hakim ataupun kadang- kadang diperlukan
persetujuan dari panitia kreditur.
Di antara kewenangan ynag penting dari kurator dalam membereskan harta pailit adalah
sebagai berikut:
a. Mengalihkan harta pailit sebelum pemberesan.
b. Menjual barang- barang yang tidak diperlukan dalam melanjutkan usaha.
c. Menjual harta pailit dalam pemberesan.
d. Meminjam uang dari pihak ketiga.
e. Membebankan hak jaminan atas harta pailit.
f. Menghadap di muka pengadilan.
g. Melanjutkan usaha debitur sebelum insolvensi.
h. Melanjutkan uasaha debitur setelah insolvensi.
Dalam melakukan pemberesan, salah satu pedoman yang harus selalu dipenuhi oleh kurator
adalah prinsip menguangkan sedapat mungkin seluruh harta pailit atau yang dikenal dengan
sebutan Cash is the King. Karenaitu, menagih piutang dan menjual aset debitur adalah di antara
tugas- tugas kurator yang sangat penting. Kurator berwenang menjual aset debitur dalam hala- hal
sebagai berikut:
a. Menjual aset debitur yang hasilnya akan diserahkan kepada pihak yang berwenang.
b. Menjual aset untuk menutupi ongkos kepailitan.
c. Menjual aset, karena menahan aset tersebut dapat mengakibatkan kerugian
d. Menjual barang jaminan hutang dalam masa penangguhan eksekusi jaminan hutang atau setelah
masa penangguhan eksekusi jaminan hutang.
e. Menjual aset yang tidak diperlukan untuk kelangsungan usaha.

2.2Undang-undang kepailitan
2.2.1 Tujuan undang-undang kepailitan

Merupakan hal yang wajar apabila suatu hukum kepailitan dapat memenuhi tujuan-tujuan di
bawah ini:
 Meningkatkan upaya pengembalian kekayaan
Semua kekayaan debitur harus ditampung dalam suatu kumpulan dana yang sama disebut sebagai
harta kepailitan yang di sediakan untuk pembayaran tuntutan kreditur kepailitan menyediakan
suatu forum untuk likuidasi secara kolektif atas aset debitur. Hal ini mengurangi biaya
administrasi dalam likuidasi dan pembagian kekayaan debitur. Ini memberikan suatu jalan cepat
untuk mencapai likuidasi dan juga pembagian.
 Memberikan perlakuan baik yang seimbang dan yang dapat di perkirakan sebelumnya kepada
para kreditur
Pada dasarnya,para kreditur di bayar pari passu: mereka menerima suatu pembagian secara pro
rata parte dari kumpulan dana tersebut sesuai dengan besarnya tuntutan masing-masing. Prosedur
dan peraturan dasar dalam hubungan ini harus dapat memberikan suatu kepastian dan keterbukaan.
Kreditur harus mengetahui sebelumnya mengenai kedudukan hukumnya.
 Memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang sakit tetapi masih
potensial bila kepentingan para kreditur dan kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik dengan
mempertahankan debitur dalam kegiatan usahanya.
Dalam hukum kepailitan modern, perhatian yang besar di berikan kepada kepentingan sosial yang
dilayani oleh kesinambungan kegiatan usaha dan terdapatnya kelangsungan kedapatan kerja.

Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, uu no 1 tahun 1995 mengandung beberapa ketentuan


mengenai perusahaan Perseroan Terbatas yang penting dalam situasi pailit:

 Pengurus suatu debitur perusahaan hanya dapat mengajukan suatu permohonan kepailitan untuk
dirinya setelah keputusan untuk melakukan hal tersebut disetujui oleh rapat umum para pemegang
saham (pasal 90 ayat 1undang-undang Perseroan Terbatas (UPT) ). Keputusan rapat umum para
pemegang saham mengaku jika rapat dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit
¾ dari semua saham yang mempunyai hak suara yang sah (yaitu suatu persyaratan quorum ) dan
keputusannya di setujui oleh paling sedikit ¾ dari jumlah hak suara (pasal 76 UPT )
 Menurut pasal 67 UPT pada pemegang saham dapat meminta izin kepada pengadilan untuk
mengadakan suatu rapat umum pemegang saham agar supaya dapat membicarakan perbaikan
kondisi keuangan perusahaan dengan pengurus .Para pemegang saham dapat melaksanakan hak
ini bila pengurus tidak memanggil suatu rapat umum pemegang saham meskipun permintaan untuk
hal ini telah dilakukan .
 Undang-undang Perseroan Terbatas memiliki suatu bab (bab IX, passal 114-124) yang mengatur
pembubaran dan likuidasi suatu perseroan terbatas. Perseroan antara lain dapat, dibubarkan baik
berdasarkan suatu keputusan para pemegang saham atau putusan pengadilan.akan diangkat
likuidator, yang akan ditugaskan untuk menyelesaikan kekayaan perseroan. Jelasnya, bagian
Undang-Undang perseroan ini perlu dikoordinasikan dengan Undang-Undang kepailitan.

2.2.2 Karakteristik Khusus Undang-Undang Kepailitan

 Sitaan secara umum menurut hukum


Kepailitan merupakan suatu sita secara umum menurut hukum yang meliputi seluruh kekayaan
debitur, kepailitan hanya meliputi kekayaan.
 Perlakuan yang sama terhadap kreditur, tidak ada diskriminasi
Hukum kepailitan mendukung perlakuan yang sama bukan suatu balapan di mana kreditur pertama
adalah yang paling memungkinkan untuk di bayar
 Paritas creditorum
Secara prinsip, semua kreditur mempunyai hak yang sama atas pembayaran. Hal ini berarti bahwa
hasil harta kepailitan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntunan kreditur (pasal 1131 dan
1132 kitab undang-undang hukum perdata (“KUHPerd”) ). Prinsip paritas Paritas creditorum tidak
akan berlaku terhadap kreditur yang mempunyai hak jaminan ( seperti tanggungan, hipotik atau
gadai) dan para kreditur yang menikmati suatu hak prioritas menurut peraturan hukum (seperti
halnya pihak pajak yang berwenang atau para karyawan ) ( pasal 1133 KUHPerdata).
 Penetapan
Hanya para kreditur yang mempunyai tuntunan terhadap debitur pada saat putusan pernyataan
kepailitan diucapkan dapat menuntut suatu pembayaran dari harta kepailitan (yaitu para kreditur
sebelum terjadinya kepailitan)
 Pencocokan piutang (verifikasi)dan likuidasi
Sistim undang-undang kepailiatan mengatur penyelesaian harta kepailitan(pasal 168-189) tempat
urutan setelah semua tuntutan kreditur dicocokan (diverifikasi) dalam suatu rapat pencocokan
piutang (pasal 104-133).dasr hukum bagi praktek ini dapat dilihat pada pasal 98,yang menyatakan
bahwa dengan persetujuan hakim pengawas, kurator dapat, menjual kekayaan harta kepailitan.
 Kesatuan dari penundaan pembayaran yang diikuti dengan kepailitan
Jika putusan kepailitan di ucapkan dalam jangka waktu 2 bulan setalah pengakhiran penundaan
pembayaran di batalkan maka 2 proses insolvensi tersebut bersatu dan dalam beberapa hal yang
dianggap sebagai suatu kesatuan ( pasal 246).
 Pendekatan yang sistimatis dan praktis
Seorang pengacara litigasi indonesia yang cukup dikenal mengeluh didalam harian the financial
times terbitan 25 november 1998 bahwa undang-undang kepailitan terlalu membingungkan. “Di
indonesia jika terdapat dua pendapat yang berbeda terdapat suatu kesempatan untuk berkolusi.
2.3 Hukum Penundaan kewajiban pembayaran hutang

Di samping proses kepailitan atas suatu perusahaan atau atas pribadi, maka terdapat juga
prosedur lain yang disebut dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yang di atur
1 (satu) paket dengan ketentuan tentang kepailitan. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini
juga dapat dijatuhkan oleh pengadilan (Pengadilan Niaga), baik terhadap debitur pribadi maupun
terhadap debitur badan hukum.

2.3.1 Hukum yang mengatur ketentuan penundaan pembayaran utang

Penundaan pembayaran (utang) atau surseance van betaling atau suspension of payment ini
di Indonesia di atur dalam peraturan kepailitan (S. 1905-217 jo. 1906-348), Bab II, Pasal 212
sampai dengan 279.
Dasar utama peraturan penundaan pembayaran ini terdapat dalam pasal 212 PK yang isi
pokoknya: Debitur yang menduga (mengetahui) bahwa dia tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang- utangnya yang sudah bisa ditagih, dapat mengajukan permohonan penundaan
pembayaran hutang- hutangnya kepada Hakim. Bila permohonan debitur ini diizinkan, maka
selama waktu penundaan pembayaran itu dia tidak boleh dipaksa untuk membayar utang-
utangnya.

2.3.2 Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini dalam bahasa Inggris disebut
dengan suspension of payment, atau dalam bahasa Belanda disebut dengan surseance van betaling.
Yang dimaksud dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini adalah suatu
periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang- undang melalui putusan pengadilan niaga di
mana dalam periode waktu tersebut kepada kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk
memusyawarahkan cara- cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran
(composition plan) terhadap seluruh atau sebagian hutangnya itu, termasuk apabila perlu
merestukturisasi hutangnya tersebut. Dengan demikian, Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) merupakan semacam moratorium, dalam hal ini legal moratorium.
Orang yang diangkat untuk mengurus harta debitur Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) adalah pihak yang disebut denagn pengurus (administrator). Tugas pengurus dalam
proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mirip dengan tugas kurator (receiver)
dalam proses kepailitan. Bahkan, syarat- syarat untuk menjadi pengurus sama dengan syarat-
syarat untuk menjadi kurator.
2.3.3 Prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Pihak yang berinisiatif untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(PKPU) adalah pihak debitur itu sendiri, yang dalam hal ini diajukan ke Pengadilan Niaga dengan
permohonan yang mesti di tandatangani oleh debitur bersama- sama dengan lawyer yang
mempunyai izin praktek.
Secara strategis, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimohonkan oleh
debitur dengan maksud- maksud sebagai berikut:
a. Ingin Agar Hutangnya direstrukturisasi
Adakalanya suatu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimohonkan oleh
debitur memang dengan maksud agar dilakukan suatu proses restrukturisasi hutang, yang diawasi
oleh pengadilan. Dalam hal ini ada 2 (dua) manfaat dari restrukturisasi hutang lewat
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini, yaitu sebagai berikut:
1) Bermanfaat bagi kreditur, karena pelaksanaannya diawasi oleh pengadilan.
2) Bermanfaat bagi debitur, karena persetujuan kepada restrukturisasi hutang tidak memerlukan
persetujuan semua kreditur, tetapi cukup persetujuan sebagian besar dari kreditur yang hadir dalam
rapat kreditur.
b. Sebagai Upaya Melawan Kepailitan
Akan tetapi adakalanya juga sebenarnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
oleh debitur terpaksa dilakukan oleh debitur dengan tujuan untuk melawan permohonan pailit yang
telah diajukan oleh para krediturnya. Jika diajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) padahal permohonan pailit telah dilakukan, maka hakim harus mengabulkan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dalam hal ini Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) sementara untuk jangka waktu yang paling lama 45 (empat puluh
lima) hari, sementara gugatan pailit gugur demi hukum. Sepintas kelihatannya hal ini sangat
menguntungkan debitur, tetapi sebenarnya posisi pihak debitur juga cukup riskan.
Sebab, apabila nanti setelah berakhir masa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) sementara, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tetap tidak diterima dalam
voting di antara kreditur yang hadir, atau jika proposal perdamaian tidak dapat disetujui oleh voting
kreditur dalam masa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tetap, maka demi hukum
pihak debitur dinyatakan pailit, tanpa lagi ada upaya banding maupun kasasi.
Dengan demikian, prosedur Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada
pokoknya dalah esbagai berikut:
1) Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh debitur bersama dengan
lawyer yang memiliki izin.
2) Pemberian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara oleh Pengadilan Niaga.
3) Persetujuan terhadap Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tetap oleh kreditur.
4) Persetujuan terhadap rencana perdamaian oleh kreditur.
5) Pengesahan perdamaian oleh pengadilan niaga.
Dalam hal ini jika Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tetap atau rencana
perdamaian ataupun pengesahan rencana perdamaian tidak dapat diterima, maka demi hukum
pihak debitur dinyatakan pailit, tanpa boleh mengajukan rencana perdamaian baru.
2.3.4 Perbedaan antara pailit dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU)

Banyak perbedaan antara lembaga kepailitan dengan lembaga Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang (PKPU). Di antara perbedaannya yang terpenting adalah sebagai berikut:
a. Kewenangan debitur.
b. Jangka waktu penyelesaian.
c. Fungsi perdamaian.
d. Antara pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan kurator.
e. Perbedaan pihak yang mengajukan permohonan pailit dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU).
f. Jangka waktu penangguhan eksekusi jaminan hutang.
Berikut ini penjelasannya dari masing- masing perbedaan tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Kewenangan debitur.
Dalam proses kepailitan, debitur pailit sama sekali tidak mempunyai kewenangan dalam mengurus
perusahaan pailit atau harta pailit. Akan tetapi, debitur perusahaan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) masih memiliki kewenangan seperti sediakala, hanya dalam
menjalankan kegiatannya harus selalu bersama- sama dengan pengurus Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU).
b. Jangka waktu penyelesaian.
Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) harus diselesaikan dalam maksimum
270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah diputuskan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) oleh pengadilan niaga. Akan tetapi, dalam proses kepailitan, setelah pengadilan
memutuskan debitur pailit, maka tidak ada batas jangka waktu untuk pemberesannya.
c. Fungsi perdamaian.
Perdamaian dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sangat luas
cakupannya, mencakup berbagai aspek tentang restrukturisasi hutang. Akan tetapi, perdamaian
dalam proses kepailitan hanyalah sebatas perdamaian yang berkenaan dengan pemberesan harta
pailit tersebut.
d. Antara pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan kurator.
Dalam menjalankan tugasnya selaku kurator, maka pihak kurator tidak perlu harus bersama- sama
dengan debitur atau direksi dari debitur, sementara dalam proses Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), dalam menjalankan tugasnya, pengurus harus selalu bersama- sama
atau didampingi oleh debitur atau direksi dari debitur. Di samping itu, dalam proses kepailitan ada
yang disebur kurator sementara (interim receiver), sementara dalam proses Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), tidak ada namanya pengurus sementara.
e. Perbedaan pihak yang mengajukan permohonan pailit dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU).
Pihak yang mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah
debitur itu sendiri sedangkan pihak yang mengajukan pailit adalah sebagai berikut:
1. Debitur
2. Kreditur
3. Jaksa (untuk kepentingan umum)
4. Bank Indonesia, jika yang pailit adalah bank
5. Bank pengawas pasar modal, jika yang pailit adalah perusahaan efek.
f. Jangka waktu penangguhan eksekusi jaminan hutang.
Dalam proses kepailitan, jangka waktu penangguhan eksekusi jaminan hutang adalah maksimum
90 (sembilan puluh) hari, sedangkan dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
selama proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tersebut, yaitu maksimum 270
(dua ratus tujuh puluh) hari.

2.4 Likuidasi perusahaan


Likuidasi perusahaan dalam bahasa Inggris padanannya adalah winding up atau liquidation.
Yang dimaksud dengan likuidasi perusahaan adalah suatu tindakan untuk membubarkan, menutup
dan menghentikan semua kegiatan dari suatu perusahaan dan membereskannya serta membagi-
bagikan aktiva tersebut kepada pihak kreditur dan pemegang saham.
Dengan demikian, elemen- elemen hukum dari suatu likuidasi perusahaan adalah sebagai
berikut:
1. Penutupan/ penghentian bisnis perusahaan.
2. Pemberesan perusahaan (menjual dan membagi- bagi aset).
3. Pembubaran (termasuk pelaporan, pendaftaran dan pengumuman tentang pembubaran).
Likuidasi suatu perusahaan dapat terjadi karena sebab- sebab sebagai berikut:
1. Sewaktu- waktu karena kehendak dari Rapat Umum Pemegang Saham (dengan kuorum dan voting
supermajority).
2. Jangka waktu berdiri perusahaan sudah berakhir (dan tidak diperpanjang).
3. Berdasarkan penetapan pengadilan, yakni dalam hal- hal sebagai berikut:
a. Permohonan dari pihak kejaksaan.
b. Permohonan paling sedikit 10% (sepuluh persen) pemegang saham.
c. Permohonan kreditur (setelah pailit atau setelah pailit dicabut).
d. Permohonan pihak perseroan dengan alasan karena adanya cacat hukum dalam akta pendirian.
4. Sebagai akibat dari merger atau konsolidasi perusahaan (yang memerlukan likuidasi).
Akibat hukum dari adanya likuidasi perusahaan adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan tidak bisa berbisnis lagi.
2. Perusahaan dapat melaksanakan kegiatan tertentu sejauh yang menyangkut dengan pemberesan
kekayaannya.
3. Di belakang nama perusahaan dibubuhkan nama “dalam likuidasi”.
4. Pengangkatan likuidator.
5. Kewajiban pemberesan hak dan kewajiban perusahaan.
6. Pembubaran perusahaan.
Dalam hal likuidasi perusahaan ini, di angkatlah seorang atau lebih likuidator untuk
menyelesaikan persoalan- persoalan yang berkenaan dengan likuidasi ini. Tugas likuidator dalam
proses likuidasi perusahaan mirip (tetapi limbel simpel) dengan tugas kurator dalam proses
kepailitan prusahaan. Likuidator di angkat oleh:
1. Rapat Umum Pemegang Saham jika likuidasi ditetapkan oleh rapat umum pemegang saham, atau
2. Pengadilan, jika likuidasi atas perintah pengadilan.
Adapun mereka- mereka yang di angkat untuk menjadi likuidator adalah sebagai berikut:
1. Pihak dalam perusahaan, dalam hal ini direksi (atau ditambah dengan pihak lain, seperti komisaris
atau manajer bila perlu).
2. Pihak luar perusahaan, seperti lawyer dan atau akuntan publik.
3. Kombinasi antara pihak dalam dengan pihak luar perseroan.
4. Direksi (demi hukum) jika dalam suatu likuidasi ternyata tidak ditunjuk seorang likuidator.
Seperti telah disebutkan bahwa seorang likuidator mempunyai tugas yang mirip (tetapi lebih
simpel) dengan tugas seorang kurator dalam proses kepailitan perusahaan. Dalam proses
pemberesan perusahaan seorang likuidator mempunyai tugas- tugas yuridis sebagai berikut:
1. Likuidator bertugas sebagaimana layaknya seorang direksi perusahaan.
2. Pencatatan dan pengumpulan kekayaan perusahaan.
3. Penjualan aset- aset perseroan (jika diperlukan).
4. Penagihan piutang perseroan.
5. Melanjutkan bisnis perseroan sebelum dijual aset jika hal tersebut dianggap yang terbaik buat
perolehan perusahaan yang optimal.
6. Pemanggilan kreditur dan pemberitahuan kepada kreditur dan publik.
7. Penentuan tata cara pembagian aset perseroan sesuai aturan main yang berlaku.
8. Pemabyaran kepada kreditur.
9. Pembagian sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham.
Sedangkan dalam proses pembubaran perusahaan, para likuidator mempunyai tugas- tugas
yuridis sebagai berikut:
1. Mendaftarkan likuidasi dalam daftar perusahaan.
2. Mengumumkan likuidasi dalam berita negara.
3. Mengumumkan likuidasi dalam 2 (dua) surat kabar harian.
4. Melakukan pemberitahuan kepada Menteri Kehakiman.
5. Mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terakhir dan likuidator bertanggung jawab
kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas hasil likuidasi yang telah dilakukannya.
6. Mendaftarkan hasil akhir proses likuidasi dalam daftar perusahaan.
7. Mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam berita negara.
8. Mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam 2 (dua) surat kabar harian.
Apabila likuidator dapat menjalankan tugasnya secara benar, maka pada prinsipnya dia
dibebaskan dari tanggung jawabnya demi hukum. Akan tetapi, pembebasan tangung jawab
tersebut dapat juga dilakukan dengan pemberian pembebasan tanggung jawab tersebut dapat juga
dilakukan dengan pemberian pembebasan tanggung jawab (etquit etde charge) dalam rapat umum
pemegang saham yang terakhir.
Jika pihak likuidator belum melakukan pendaftaran (dalam daftar perusahaan) dan
pengumuman (dalam berita negara), maka proses likuidasi beserta seluruh konsekuensi hukumnya
belum berlaku terhadap pihak ketiga, tetapi hanya berlaku secara intern perusahaan.
Di samping itu, yang mesti diwanti- wanti adalah bahwa jika ada tugas likuidator yang tidak
dilakukannya, maka pihak likuidator akan bertanggung jawab secara pribadi (jika likuidator
tunggal) atau secara renteng (jika likuidator berbentuk ti
Bab III
Penutup
Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat
ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena dengan kepailitan
perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak- tidaknya telah
gagal dalam membayar hutang (atau hutang- hutangnya). Agar seorang debitur dapat dinyatakan
pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, maka berbagai persyaratan yuridis harus
dipenuhi. Persyaratan- persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: a. Debitur tersebut haruslah
mempunyai lebih dari 1 (satu) hutang, b. Minimal 1 (satu) hutang sudah jatuh tempo dan dapat
ditagih, c.Permohonan pailit dimintakan oleh pihak yang diberikan kewenangan untuk itu, yaitu
pihak- pihak sebagai berikut:1) Pihak debitur, 2) Pihak kreditur, 3) Pihak jaksa (untuk
kepentingan umum), 4)Bank Indonesia, jika debiturnya adalah bank.5) Bapepam, jika debiturnya
adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan penjaminan, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, 6) Menteri Keuangan, jika debiturnya adalah Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak
di bidang kepentingan publik.
Yang dimaksud dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini adalah suatu
periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang- undang melalui putusan pengadilan niaga di
mana dalam periode waktu tersebut kepada kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk
memusyawarahkan cara- cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran
(composition plan) terhadap seluruh atau sebagian hutangnya itu, termasuk apabila perlu
merestukturisasi hutangnya tersebut.
Banyak perbedaan antara lembaga kepailitan dengan lembaga Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU). Di antara perbedaannya yang terpenting adalah sebagai berikut: a.
Kewenangan debitur, b. Jangka waktu penyelesaian, c. Fungsi perdamaian, d. Antara pengurus
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dengan kurator, e. Perbedaan pihak yang
mengajukan permohonan pailit dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), f.
Jangka waktu penangguhan eksekusi jaminan hutang.
Daftar Pustaka
Fuady, Munir Dr. S.H., M.H., LL.M, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era
Global edisi Revisi, Bandung:PT Citra Aditya Bakti,2005
Muljadi, kartini SH., Undang- undang Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Tatanusa, 2000
Kansil, S.T Christine S.H., M.H.,Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Modul Hukum Dagang,
jakarta:Djambatan, 2001
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/35799/09E00863.pdf;jsessionid=FFD7
CADE3B37148DD5BE9A452E60781D?sequence=1
http://notariatundip2011.blogspot.co.id/2012/01/kurator.html

Anda mungkin juga menyukai