Anda di halaman 1dari 19

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 13 TAHUN 2022
TENTANG
PERLINDUNGAN KEJAHATAN KARTU KREDIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara menjamin pelindungan, pemajuan,


penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa penyelengaraan perlindungan kejahatan kartu
kredit dihadapkan pada risiko ancaman siber yang
mengganggu kepentingan nasional, serta adanya kebutuhan
penguatan tata Kelola sumber daya keamanan siber yang
sinergis, kolaboratif, berdaya saing, dan profesional;
c. bahwa terbatasnya akses teknologi dan adanya perlakuan
tindak kejahatan siber yang merugikan masyarakat menjadi
polemik adauan yang menyebabkan kerugian pada masyarakat;

d. bahwa penyelengaraan perlindungan kejahatan kartu kredit


perlu disusun dalam suatu undang-undang agar sesuai
dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat;
e. bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit;

Mengingat : Pasal 4 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 28F, Pasal 28G ayat
(1), Pasal 29J, dan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KEJAHATAN


KARTU KREDIT.

1
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Cyber Crime adalah penggunaan komputer sebagai alat untuk meraih tujuan ilegal,
seperti penipuan, perdagangan konten pornografi anak, pencurian identitas, serta
pelanggaran privasi.
2. Alat Pembayaran adalah uang atau semua jenis mekanisme pembayaran lainnya yang
berfungsi menggantikan uang
3. Kartu kredit adalah bagian dari alat pembayaran berupa kartu beridentitas unik yang
diberikan oleh perusahaan penjamin pembayaran kepada individu atau perusahaan
berdasarkan kontrak, digunakan oleh yang berhak untuk transaksi ekonomi. Atas
penggunaan kartu kredit ini, pengguna kartu menyatakan berhutang kepada perusahaan
penjamin pembayaran selaku penerbit kartu kredit.
4. Kejahatan Kartu Kredit adalah kejahatan bertransaksi menggunakan kartu
kredit milik orang lain yang digunakan tanpa sepengetahuan orang tersebut
yang menyebabkan orang tersebut rugi.
5. bahwa kejahatan yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dapat terjadi pada
kejahatan kriminal biasa maupun yang secara khusus menargetkan sesama teknologi
informasi sebagai korbannya;
6. bahwa dampak dari kejahatan yang muncul dari penggunaan teknologi informasi secara
negatif dapat menyebabkan ambruknya tatanan sosial, lumpuhnya perekonomian
nasional, lemahnya sistem pertahanan dan keamanan, serta memiliki peluang untuk
digunakan sebagai alat teror;
7. Akses adalah perbuatan memasuki, memberikan instruksi atau melakukan
komunikasi dengan fungsi logika, aritmatika, atau memori dari komputer,
sistem komputer, atau jaringan komputer.
8. Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan
Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan
Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada
pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
9. Lembaga peran serta masyarakat teknologi informasi adalah lembaga peran serta
masyarakat yang dibentuk untuk sarana penyampaian pemikiran dan pandangan yang
berkembang dalam masyarakat mengenai pemanfaatan 4 teknologi informasi dan
pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat dan kepentingan nasional.
10. Lembaga Sertifikasi Perbankan adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk
melakukan audit dan mengeluarkan Sertifikat Keandalan atas Bank yang melakukan
usaha di bidang pemanfaatam internet dalam kegiatan perbankan.
11. Komputer adalah setiap alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem
yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
12. Transaksi elektronik adalah setiap transaksi yang dilakukan melalui jaringan komputer
atau media elektronik lainnya.
13. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing,
maupun badan hukum.
14. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
15. Pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2
BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Undang – Undang Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit berasaskan:
a. Kedaulatan;
b. Kepercayaan;
c. Keamanan;
d. Kepastian hukum
e. Etika;
f. Manfaat;
g. Adil.

Pasal 3
Undang – Undang Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit bertujuan:
a. Melindungi orang berkewarga-negaraan Indonesia, dan atau badan hukum yang
berkedudukan di Indonesia, orang asing, atau badan hukum asing yang melakukan kegiatan
transaksi;
b. Meningkatkan daya inovasi dari sistem teknologi agar tecipta rasa aman dari negara;
c. Menjamin kepastian hukum bagi masyarakat secara sinergis dan kolaboritaf semua unsur yang
terlibat dalam perlindungan transaksi kartu kredit untuk mencapai tujuan nasional dan
berperan bebas aktif dalam mengantisipasi Ancaman Kejahatan Kartu Kedit.

BAB III
RUANG LINGKUP UNDANG-UNDANG

Pasal 4
1. Undang - Undang Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit ini berlaku terhadap setiap orang atau
badan hukum yang melakukan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit di wilayah negara Republik
Indonesia dan atau negara lain yang mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk
melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.
2. Negara lain mempunyai yuridiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila:
a. Kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan;
b. Kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan;
c. Kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;
d. Kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau atau fasilitas pemerintah dari negara yang
bersangkutan di luar negeri termasuk fasilitas kantor perwakilan atau tempat fasilitas pejabat
diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan;
e. Kejahatan dilakukan dalam pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang
bersangkutan; atau
f. Kejahatan dilakukan dalam kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang
terdaftar berdasarkan Undang-Undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu
dilakukan.

Pasal 5
Undang-Undang Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit ini berlaku juga terhadap tindak pidana
pemanfaatan teknologi informasi yang dilakukan:
a. Terhadap warga negara Republik Indonesia yang berkedudukan di luar wilayah negara Republik
Indonesia;
b. Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri, termasuk fasilitas pejabat
diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;
3
c. Dalam kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar
berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau
d. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah
negara Republik Indonesia;

BAB IV
PENYELENGGARAAN PIDANA KEJAHATAN

Pasal 6
1. Semua jenis kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang tindakannya terbukti menggunakan Teknologi Informasi dihukum menggunakan ketentuan
yang berlaku dalam KUHP dan atau Undang – Undang ini.
2. Pertimbangan dalam memilih Undang – Undang yang akan dipakai sebagai acuan dalam
menentukan hukuman ditentukan berdasarkan bobot penggunaan teknologi informasi dalam
kejahatan dan besarnya ancaman hukuman. Semakin besar bobot penggunaan teknologi informasi
dalam kejahatan konvensional semakin besar peluang penggunaan Undang – Undang ini.

BAB V
PEMANFAATAN SISTEM

Pasal 7
1. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan akses tanpa hak, secara
tidak sah, atau ilegal.
2. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan intersepsi tanpa hak, secara
tidak sah, atau ilegal.
3. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau tidak sengaja merusak atau menganggu data yang
tersimpan dalam alat penyimpan data elektronik yang tersusun sebagai bagian dari sistem
komputer.
4. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau tidak sengaja menghilangkan bukti – bukti elektronik
yang yang dapat dijadikan alat bukti sah di pengadilan yang terdapat pada suatu sistem informasi
atau sistem komputer.
5. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau tidak sengaja merusak atau mengganggu sistem
informasi, sistem komputer, jaringan komputer, dan Internet.
6. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau tidak sengaja menggunakan teknologi informasi
untuk menipu, menghasut, memfitnah, menjatuhkan nama baik seseorang atau organisasi.
7. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau tidak sengaja menggunakan teknologi informasi
untuk menyebarkan gambar, tulisan atau kombinasi dari keduanya yang mengandung sifat – sifat
pornografi.
8. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau tidak sengaja menggunakan teknologi informasi
untuk membantu terjadinya percobaan, atau persekongkolan yang menjurus pada kejahatan.

BAB VI
KEJAHATAN TERHADAP ORANG DAN
INTITUSI

Pasal 8
Barangsiapa menggunakan Kartu Kredit dengan maksud untuk memfasilitasi usaha – usaha
penghilangan nyawa orang, atau usaha menggulingkan pemerintahan yang sah, atau
membahayakan keamanan negara dalam bentuk terpisahnya sebagian dari wilayah negara ke
tangan musuh, atau sebagai bagian dari kegiatan teror, diancam pidana penjara minimal sepuluh
tahun dengan maksimum hukuman penjara seumur hidup.
4
BAB VII
TENTANG PENCURIAN

Pasal 9
Barangsiapa melakukan tindak pencurian dengan menggunakan Kartu kredit sehingga memenuhi
ketentuan sebagaimana dinyatakan pada pasal 362 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana,
diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun, atau denda sedikit – dikitnya
Rp.500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).

BAB VIII
MENGAKSES TANPA HAK

Pasal 10
Barangsiapa masuk ke dalam lingkungan dan atau sarana fisik Sistem Informasi tanpa hak atau
secara tidak sah menggunakan sandi akses palsu, melakukan pembongkaran atau perusakan
dengan atau tanpa maksud merugikan pemilik sah, diancam dengan pidana penjara minimal dua
tahun atau denda sedikit – dikitnya Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pasal 11
1. Barangsiapa masuk ke dalam lingkungan dan atau sarana fisik Sistem Informasi milik instansi
pemerintah, militer, perbankan, atau instansi strategis lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah, tanpa hak atau secara tidak sah dengan menggunakan sandi akses palsu, melakukan
pembongkaran atau perusakan dengan atau tanpa maksud merugikan instansi dituju, diancam
dengan pidana penjara minimal tujuh tahun atau denda sedikit – dikitnya Rp. 700.000.000,- (tujuh
ratus juta rupiah).
2. Jika pelaku kejahatan pada ayat 1 diatas menyebarkan dan atau mengumumkan informasi yang
harus dilindungi kepada pihak yang tidak berwenang, pidananya ditambah dua tahun.

BAB IX
PEMALSUAN DOKUMEN

Pasal 12
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tidak sengaja terbukti menggunakan kartu kredit untuk
melakukan transaksi elektronik menggunakan identitas palsu, atau identitas milik orang lain,
diancam pidana penjara minimal enam bulan dan denda sedikitnya Rp 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah).
2. Bila transaksi elektronik pada ayat 1 di atas disertai dengan transaksi ekonomi menggunakan
alat pembayaran berupa kartu kredit, atau kartu debit atau lainnya yang bukan miliknya sah,
diancam penjara minimal tujuh tahun ditambah denda sebesar dua kali dari nilai kerugian yang
disebabkannya.

BAB X
MEMALSUKAN DAN MENGUBAH DOKUMEN

Pasal 13
Barang siapa dengan sengaja atau tidak sengaja dan tanpa hak merubah, menghapus, atau
menghilangkan sebagian data yang menyebabkan hilangnya keaslian data dan menggunakan data
yang tidak asli tersebut untuk keperluan lain yang sah, dikategorikan sebagai tindak pemalsuan,
diancam penjara minimal dua tahun.

5
Pasal 14
Barang siapa dengan sengaja atau tidak sengaja dan tanpa hak menyebabkan kerugian ekonomi
pada pihak lain dengan cara memasukkan, merubah, menghapus, atau menghilangkan sebagian
data atau menggangu mekanisme kerja sistem komputer diancam penjara minimal tiga tahun
ditambah denda sebesar tiga kali dari nilai kerugian yang ditimbulkan.

BAB XI
PERBUATAN ASUSILA
Pasal 15
Barang siapa menggunakan kartu kredit untuk menyebarkan gambar, tulisan atau kombinasi dari
keduanya yang mengandung sifat – sifat pornografi sehingga memenuhi ketentuan Pasal 281, 282,
283 KUHP, diancam penjara minimal tiga tahun.

Pasal 16
Barang siapa dengan sengaja atau tidak sengaja dan tanpa hak menggunakan kartu kredit untuk
menyimpan, memproduksi, menyebarkan, atau menawarkan bahan – bahan atau informasi yang
bersifat pornografi dengan menggunakan anak – anak sebagai model atau sasarannya, diancam
penjara minimal lima tahun.

BAB XII
BANTUAN KEJAHATAN

Pasal 17
Barang siapa dengan sengaja atau tidak sengaja menggunakan kartu kredit untuk membantu
terjadinya percobaan, atau persekongkolan yang menjurus pada kejahatan, diancam penjara
minimal dua tahun atau denda minimal Rp.200.000.000,-(dua ratus juta rupiah).

BAB XIII
AKSI TEROR

Pasal 18
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan akses kepada komputer tertentu yang
statusnya dilindungi, atau melanggar hak akses yang diberikan kepadanya, dengan maksud untuk
mencuri atau memperoleh sesuatu yang tidak menjadi haknya diancam penjara minimal lima
tahun atau denda sedikit – dikitnya Rp. 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).

Pasal 19
Barang siapa menggunakan kartu kredit untuk melakukan teror sehingga memenuhi ketentuan
yang tercantum dalam Undang – Undang Anti Teror, diancam penjara minimal sepuluh tahun.

Bab XIV
TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN KARTU KREDIT

Pasal 20
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan intersepsi tanpa hak, secara tidak
sah, atau ilegal, dipidana penjara paaling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 21
1. Barangsiapa dengan sengaja terbukti merusak akses kartu kredit orang atau badan hukum lain,
yang menimbulkan kerugian material bagi orang atau badan hukum lain tersebut dipidana penjara
6
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
2. Apabila akses yang dirusak dimaksud ayat (1) pasal ini, milik pemerintah, militer atau situs
Internet lain yang termasuk dilindungi oleh pihak yang berwenang, dipidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

Pasal 22
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum terbukti melakukan penyadapan terhadap
jaringan komunikasi data atau sistem komputer yang terhubung dalam jaringan komputer lokal
maupun global (Internet), yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan sendiri atau untuk
kepentingan pihak lain, dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun.

Pasal 23
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memanfaatkan Teknologi Informasi untuk
mengambil kartu kredut dan mengganggu hak privasi individu dengan cara menyebarkan data
pribadi tanpa seijin yang bersangkutan, dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun.

BAB XV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 24
1.Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan kejahatan kartu
kredit yang menjamin diperolehnya hak masyarakat dan penegakan hukum yang dilaksanakannya
kewajiban negara kepada setiap perseorangan dan badan hukum
2.Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan kejahatan kartu kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
perlindungan masyarakat terhadap kejahatan tersebut.
4.Pembinaan penyelenggaraan perlindungan kejahatan kartu kredit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi upaya untuk:
a. terciptanya kepercayaan hubungan yang sehat antara masyarakat dan pemerintah;
b. berkembangnya lembaga perlindungan kejahatan kartu kredit;
5.Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
1.Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan kejahatan kartu kredit serta penerapan
ketentuan peraturan perundang- undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,
dan lembaga perlindungan kejahatan kartu kredit swadaya masyarakat.
2.Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri
dan/atau menteri teknis terkait.
3.Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan kejahatan kartu kredit dilakukan
terhadap transaksi yang terjadi.
4.Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat ternyata menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan masyarakat, Menteri dan/atau
menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan kejahatan kartu
kredit dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan
menteri teknis.
6.Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
7
BAB XVI
BADAN PERLINDUNGAN KEJAHATAN KARTU
KREDIT
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas

Pasal 26
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan
Kejahatan Kartu Kredit Nasional.

Pasal 27
Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 28
Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di
Indonesia.

Pasal 29
1.Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan
Kejahatan Kartu Kredit Nasional mempunyai tugas:

a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan


kebijaksanaan di bidang perlindungan Kejahatan Kartu Kredit;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang perlindungan Kejahatan Kartu Kredit;
c. melakukan penelitian terhadap transaksi ilegal yang menyangkut kerugian masyarakat;
d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan Kejahatan Kartu Kredit masyarakat;
e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan Kejahatan Kartu Kredit dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada masyarakat;
f. menerima pengaduan tentang perlindungan Kejahatan Kartu Kredit dari masyarakat, lembaga
perlindungan Kejahatan Kartu Kredit;
g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan masyarakat.

2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan
Kejahatan Kartu Kredit Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.

Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 30
1.Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan
sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
2.Anggota Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
3.Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit
selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
8
4.Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional dipilih oleh anggota.

Pasal 31
Anggota Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional terdiri atas unsur :
1. pemerintah;
2. bank;
3. lembaga perlindungan Kejahatan Kartu Kredit masyarakat;
4. akademisi; dan
5. tenaga ahli.

Pasal 32
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional adalah:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan Kejahatan Kartu Kredit;
f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Pasal 33
Keanggotaan Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional berhenti karena :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit secara terus menerus;
e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f. diberhentikan.

Pasal 34
1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional
dibantu oleh sekretariat.
2. Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional.
3. Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
keputusan Ketua Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional.

Pasal 35
1. Apabila diperlukan Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional dapat membentuk
perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
2. Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan
keputusan Ketua Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional.

Pasal 36
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional berkerja
berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Kejahatan Kartu
Kredit Nasional.

Pasal 37
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit Nasional dibebankan
kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
9
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit
Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bab XVII
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 39
1. Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan dalam tindak pidana Kejahatan
Kartu Kredit, dilakukan berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
2. Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan
penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.
3. Dalam kasus ayat (2) di atas jika dipandang perlu penyidik dapat meminta ekstradisi tersangka
pelaku tindak pidana kepada negara di mana tersangka berdomisili.

Pasal 40
Untuk memperoleh bukti yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen dari
kepolisian, kejaksaan, Direktorat Jendral Imigrasi, Direktorat Jendral Bea Cukai, Tentara Nasional
Indonesia, Badan Intelijen Negara, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri atau
Instansi lain yang terkait

Pasal 41
1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan Departemen atau Kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Kejahatan Kartu Kredit diberi kewenangan khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Untuk melakukan
penyidikan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit;
2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini mempunyai wewenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau badan hukum tentang adanya tindak
pidana Kejahatan Kartu Kredit;
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana Kejahatan Kartu Kredit;
c. melakukan penangkapan terhadap orang, badan usaha atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang Kejahatan Kartu Kredit;
d. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan atau sarana yang berkaitan dengan pemanfaatan
Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana Kejahatan Kartu
Kredit;
e. menghentikan penggunaan alat dan atau sarana kegiatan pemanfaatan Teknologi Informasi yang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
f. meminta keterangan dan menetapkan barang bukti sehubungan dengan tindak pidana Kejahatan
Kartu Kredit;
g. memanggil orang untuk didengar dan atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan
dengan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit;
h. melakukan pemeriksanaan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat
untuk melakukan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit;
i. menyegel atau menyita alat dan atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak
pidana Kejahatan Kartu Kredit;
10
j. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana Kejahatan
Kartu Kredit;
k. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit;
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melaksanakan
tugasnya memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
4. Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang – Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Pasal 42
1. Selain alat bukti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, catatan
elektronik yang tersimpan dalam sistem komputer merupakan alat bukti yang sah.
2. Catatan elektronik dalam ayat (1), yang akan dijadikan alat bukti sah di pengadilan wajib
dikumpulkan oleh penyidik dengan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Selain catatan elektronik dimaksud ayat (2), maka dapat digunakan sebagai alat bukti meliputi:

a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik atau yang
serupa dengan itu.
b. Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1). Tulisan, suara atau gambar;
2). Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
3). Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu membaca atau memahaminya;
c. Alat bukti elektronik, khususnya yang berwujud perangkat lunak diperoleh dengan cara
penggandaan dari lokasi asalnya dengan cara tertentu tanpa merusak struktur logika program.

4. Prosedur pengumpulan dan perolehan alat bukti elektronik ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 43
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan
tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit berdasarkan bukti permulaan yang cukup .

Pasal 44
1. Penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga
jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap rekening bank dan atau harta kekayaan
setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana Kejahatan Kartu
Kredit.
2. Perintah penyidik, penuntut umum atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum atau hakim;
b. Identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada
penyidik, tersangka atau terdakwa;
c. Alasan pemblokiran;
d. Tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan, dan
e. Tempat harta kekayaan berada;
11
3. Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau
hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah
surat perintah pemblokiran diterima;
4. Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan Berita Acara pelaksanaan pemblokiran
kepada penyidik, penuntut umum atau paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal
pelaksanaan pemblokiran;
5. Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank dan atau lembaga jasa keuangan
yang bersangkutan.
6. Bank dan atau lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 45
1. Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pemanfaatan Kejahatan Kartu
Kredit; penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank
dan atau lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut
diduga melakukan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit.
2. Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut
umum atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang rahasia bank
dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
3. Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas
mengenai:

a. Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum atau hakim;


b. Identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana Kejahatan
Kartu Kredit
c. Tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan;

4. Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) harus ditandatangani oleh:

a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;


b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c. Hakim Ketua majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan;

Pasal 46
1. Berdasarkan bukti yang cukup sebagaimana dimaksud pasal 34, penyidik berhak:

a. Membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya
yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit yang sedang
diperiksa;
b. Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk
mempersiapkan, merencanakan dan melakukan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit;
c. Menyita perangkat elektronik yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan
dan melakukan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit;

2. Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud ayat (1) butir b, hanya dapat dilakukan atas
perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari;

Pasal 47
1. Dalam pemeriksaan, saksi memberikan keterangan terhadap apa yang dilihat dan dialami
12
sendiri dengan bebas dan tanpa tekanan.
2. Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit, dilarang menyebutkan nama atau
alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas
pelapor.
3. Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberitahukan
kepada saksi dan orang lain tersebut.

Pasal 48
1. Apabila terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, namun tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa;
2. Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa
wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang
sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang sekarang;
3. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada
pengumuman pengadilan, atau diberitahukan kepada kuasanya.
4. Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan dimaksud dalam ayat (1).
5. Apabila terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup
kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit, maka
hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan penyitaan terhadap harta kekayaannya;
6. Penetapan penyitaan sebagaimana dimaksud ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum;
7. Setiap orang atau badan hukum yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan dimaksud ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

BAB XVIII
GANTI RUGI DAN REHABILITASI

Pasal 49
1. Setiap korban akibat tindak pidana Kejahatan Kartu Kredit berhak memperoleh ganti rugi
sepanjang diatur dalam Undang – Undang atau ketentuan lain yang sah;
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dibebankan kepada pelaku tindak pidana;
3. Ganti rugi dimaksud diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan.

Pasal 50
1. Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
2. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud ayat (1).

Pasal 51
1. Pengajuan ganti rugi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga atau
kepada Pengadilan Negeri sesuai prosedur yang berlaku dan berdasarkan amar putusan.
2. Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia;

Pasal 52
1. Pelaku sebagaimana dimaksud pasal 42 ayat (1) wajib melaksanakan pemberian ganti rugi,
paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak penerimaan permohonan.
2. Pelaksanaan pemberian ganti rugi dilaporkan oleh pelaku kepada Ketua Pengadilan yang
13
memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian ganti rugi tersebut.
3. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1)
disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli waris.
4. Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud ayat (1), Ketua
Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang
bersangkutan;
5. Apabila pelaksanaan pemberian ganti rugi kepada pihak korban melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan.
6. Pengadilan sebagaimana dimaksud ayat (1) segera memerintahkan pelaku untuk melaksanakan
putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perintah
tersebut diterima.

Pasal 53
Apabila ganti rugi dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau
keterlambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Pengadilan.

Bab XIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54
Undang – undang ini berlaku mulai pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang – undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : ………….
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
…………………………………………..

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal : ………………..
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Ttd
……………………………………………….

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ……. NOMOR……

14
Penjelasan Atas Rancangan Undang – Undang
Nomor 13 Tahun 2002
Tentang
Perlindungan Kejahatan Kartu Kredit

Umum
Pembangunan nasional berupaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang
merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Salah
satu sarana untuk mewujudkan masyarakat sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam
Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 adalah pemanfaatan teknologi khususnya
Teknologi Informasi secara aman, optimal, merata dan menyebar ke seluruh lapisan warga
negara Indonesia.
Kemajuan Teknologi Informasi di samping telah memberikan kemaslahatan terhadap
masyarakat di sisi lain juga menimbulkan kekhawatiran karena adanya penggunaan yang
menyimpang dari tujuan sebenarnya. Agar peluang kerugian yang ditimbulkan oleh adanya
pemanfaatan teknologi informasi yang tidak semestinya, dibutuhkan perangkat peraturan dan
perundangan yang membatasi sekaligus menghukum penggunaan Teknologi untuk kejahatan.
Kejahatan dalam bidang Teknologi secara umum terdiri dari dua kelompok. Pertama,
kejahatan biasa yang menggunakan teknologi informasi sebagai alat bantunya. Dalam kejahatan
ini, terjadi peningkatan modus dan operandi dari semula menggunakan peralatan biasa,
sekarang telah memanfaatkan Teknologi. Dampak dari kejahatan biasa yang telah
menggunakan Kartu Kredit ternyata cukup serius, terutama bila dilihat dari jangkauan dan nilai
kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut. Pencurian uang atau pembelian barang
menggunakan kartu kredit curian melalui media Internet dapat menelan korban di wilayah
hukum negara lain, suatu hal yang jarang terjadi dalam kejahatan konvensional. Kedua,
kejahatan yang muncul setelah adanya Internet, di mana sistem komputer sebagai korbannya.
Jenis kejahatan dalam kelompok ini makin bertambah seiring dengan kemajuan teknologi
informasi itu sendiri. Salah satu contoh yang termasuk dalam kejahatan kelompok kedua adalah
perusakan situs Internet, pengiriman virus atau program – program komputer yang tujuannya
merusak sistem kerja komputer tujuan.
Kesulitan yang banyak dihadapi dengan perangkat perudangan yang selama ini berlaku
antara lain ada pada penindakan terhadap kejahatan jenis kedua, yang ternyata belum diatur
dalam KUHP. Kesulitan berikutnya adalah pada pengumpulan dan penyajian barang bukti yang
sah di pengadilan. Sistem hukum harus dapat mengakui catatan transaksi elektronik sebagai
alat bukti yang sah di pengadilan.

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Undang – undang ini dimaksudkan sebagai pendamping KUHP ketika terjadi tindak pidana di
bidang teknologi informasi yang penyidikan, pembuktian, dan penuntutannya tidak dapat
sepenuhnya menggunakan KUHP. Lebih khusus, undang – undang ini digunakan untuk
menghukum tindak pidana konvensional di mana penggunaan teknologi informasi cukup
menonjol dalam kejahatan tersebut, atau tindak pidana dengan teknologi informasi sebagai
sasarannya.
15
Pasal 3
Cukup Jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Pasal ini adalah pasal koneksitas, jika pencurian yang diancam dengan pasal 362 KUHP
terbukti menggunakan teknologi informasi, maka terhadap pencurian tersebut dapat dituntut
dengan pasal ini.

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas
16
Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
17
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
18
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas
******

19

Anda mungkin juga menyukai