Anda di halaman 1dari 61

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak yang sangat
besar bagi masyarakat dunia yang bukan hanya melanda negara-negara maju
tetapi juga melanda negara dunia ketiga dalam perkembangan peradaban dan
teknologinya. Arus globalisasi Informasi dan komunikasi tidaklah sepenuhnya
membawa kebahagiaan bagi semua orang, masyarakat dan bangsa. Pengetahuan
dan preferensi yang cenderung seragam terhadap informasi di masing-masing
negara justru dapat menimbulkan perbedaan atau kesenjangan internasional dalam
berbagai bidang.
1

Cyber crime diindentikkan sebagai computer crime. The U.S. Department
of Justice memberikan pengertian Computer Crime sebagai: " any illegal act
requiring knowledge of Computer technology for its perpetration, investigation,
or prosecution". Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European
Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized behavior
relating to the automatic processing and/or the transmission of data".
Cyber Crime sebagai: kejahatan di bidang komputer secara umum dapat
diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal.
2
Sedangkan menurut
Eoghan CaseyCybercrime is used throughout this text to refer to any crime that

1
Wawan Kuswandi, 1996, Komunikasi Massa, Jakata: PT Rineka cipta, hal 2
2
Andi Hamzah 1989, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer. Jakarta, Rineka Cipta Hal. 6
2

involves computer and networks, including crimes that do not rely heavily on
computer.
3

Polri dalam hal ini unit cybercrime menggunakan parameter berdasarkan
dokumen kongres PBB tentang The Prevention of Crime and The Treatment of
Offlenderes di Havana, Cuba pada tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000,
menyebutkan ada 2 istilah yang dikenal :
1. Cyber crime in a narrow sense (dalam arti sempit) disebut computer
crime: any illegal behaviour directed by means of electronic operation
that target the security of computer system and the data processed by
them.
2. Cyber crime in a broader sense (dalam arti luas) disebut computer related
crime: any illegal behaviour committed by means on relation to, a
computer system offering or system or network, including such crime as
illegal possession in, offering or distributing information by means of
computer system or network.
Dari beberapa pengertian di atas, cybercrime dirumuskan sebagai perbuatan
melawan hukum yang dilakukan dengan memakai jaringan komputer sebagai
sarana/ alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan
ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain.
Pada periode Januari hingga September tahun 2002, jumlah kejahatan
dengan menggunakan teknologi informasi sebagai sarana mengalami peningkatan
tajam menjadi 109 kasus. Yang terbanyak adalah kejahatan credit card fraud,
disusul banking fraud dan terorism. Contoh kasus yang ditangani Mabes Polri
(Subdit Tindak Pidana Teknologi Informasi (TPTI)) pada tahun 2002 situs resmi

3
Jenis-jenis Cyber Crime berikut modus operandinya terdapat di
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=DEFINISI%20PENGERTIAN%20DAN%2
0JENIS-
JENIS%20CYBERCRIME%20BERIKUT%20MODUS%20OPERANDINYA&&nomorur
ut_artikel=353, diakses tanggal 20 September 2012
3

Mabes Polri dimasuki virus atau lebih rincinya lagi, yaitu telah mengalami
defacing yang dilakukan oleh penjahat dunia maya.
4
Di tahun yang sama kasus
Bom Bali terjadi dan merenggut banyak nyawa WNI dan WNA termasuk WN
Australia. setelah ditelusuri, yang bertanggung jawab atas kejadian ini adalah
kelompok teroris yang juga menggunakan internet sebagai media propaganda,
perekrutan anggota, hingga penggalangan dananya.
Lalu pada tahun 2005 yaitu dari dunia perbankan melalui Internet
(ebanking) Indonesia, seseorang bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan
jurnalis pada majalah Master Web. Pemuda dari Bandung ini dengan sengaja
membuat situs asli tapi palsu layanan Internet banking Bank Central Asia, (BCA).
Steven membeli domain-domain dengan nama mirip www.klikbca.com (situs asli
Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-bca.com, kilkbca.com,
clikbca.com, klickca.com. dan klikbac.com. Isi situs-situs palsu inipun nyaris
sama, kecuali tidak adanya security untuk bertransaksi dan adanya formulir akses
(login form) palsu. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli maka
nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven
sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal (PIN) dapat di
ketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut pengakuan
Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia, www.webmaster.or.id, tujuan
pelaku membuat situs palsu adalah agar publik menjadi lebih berhati hati dan

4
Modus Operandi Cyber Crime di Indonesia makin canggih terdapat di
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7136/modus-operandi-icybercrimei-di-indonesia-
makin-canggih diakses 20 April 2014
4

tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan untuk
mengeruk keuntungan.
5

Sedangkan pada tahun 2010 di Australia terjadi kasus pembobolan
Account Twitter oleh Pearce Delphin, pelajar 17 tahun asal Australia mengaku,
mendalangi aksi hacking di situs jejaring sosial Twitter. Dengan keahliannya,
Delphin memanfaatkan celah keamanan Twitter. Dia membuat sebuah kode
"mouseover" JavaScript yang membuat pengguna situs microblogging itu
terhubung dengan situs porno Jepang dan sekretaris pers Gedung Putih.
Twitter.Inc, selaku pemilik dan pengelola Twitter, meminta maaf kepada semua
penggunanya terkait serangan "Bug Mouseover" ini. Tindakan itu langsung
disambar peretas lain. Mereka menautkan ke situs pornografi dan menciptakan
cacing cyber (worm) yang terus berduplikasi setiap kali pesan dibaca.
Secara umum dalam hubungan Indonesia-Australia selalu berusaha
memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk peningkatan berbagai kerjasama
bilateral. Dukungan Australia terhadap keutuhan wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merupakan faktor kunci dalam upaya meningkatkan
hubungan bilateral tersebut. Untuk konteks yang lebih luas, dan dalam rangka
membangun hubungan yang saling menguntungkan, telah pula ada kerjasama
Indonesia-Australia yang tertuang dalam Lombok Treaty. Lombok Treaty
adalah kerjasama di bidang keamanan yang dibuat pada 13 November 2006, yang
kemudian diratifikasi pada tahun 2007. Perjanjian kerjasama ini diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 47 tahun 2007 Tentang Pengesahan

5
www.freezcha.wordpress.com/2011/02/27/contoh-kasus-cybercrime-bagian1 diakses 20 April
2014
5

Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Australia tentang Kerangka Kerjasama
Keamanan yang meliputi 21 kerjasama keamanan yang terangkum dalam 10
bidang, yaitu kerjasama bidang pertahanan, penegakan hukum, anti-terorisme,
kerjasama intelijen, keamanan maritim, keselamatan dan penerbangan,
pencegahan perluasan (non-proliferasi) senjata pemusnah masal, kerjasama
tanggap darurat, organinasi multilateral, dan peningkatan saling pengertian dan
saling kontak antar-masyarakat dan antar-perseorangan.
Lombok Treaty secara formal memang mengatur mengenai kerjasama dua
negara di bidang keamanan akan tetapi, apabila dikaitkan dengan konteks sejarah
hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia, perjanjian ini dapat dikatakan
menjadi semacam peredam ketegangan dari persoalan pemberian suaka kepada 43
warga Papua Barat yang melarikan diri ke Australia.Kasus Papua Barat memang
dapat dikatakan sebagai pemicu atau latar belakang utama dari penandatanganan
Lombok Treaty.Akan tetapi, tidak dapat diabaikan bahwa isu terorisme yang
marak terjadi di Indonesia juga turut melatarbelakangi ditandatanganinya Lombok
Treaty oleh Indonesia dan Australia.
6

Sejak tahun 2002hingga 2012 dengan adanya perjanjian LombokTreaty,
Kerjasama Indonesia dan Australia berkembang ke Forum Tingkat Menteri
Indonesia Australia (Indonesia Australia Ministerial Forum (IAMF)) yang
isinya pengembangan dari Agreement between the Republic Of Indonesia And
Australia On The Framework For Security Cooporation yang bertujuan untuk
menciptakan suatu kerangka guna memperdalam dan memperluas kerjasama dan

6
http://www.scribd.com/doc/227535401/Kerjasama-Bidang-Keamanan-Lombok-Treaty diakses 20
April 2014
6

pertukaran bilateral serta untuk meningkatkan kerjasama dan konsultasi antara
para pihak dalam bidang yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama
mengenai permasalahan yang memperngaruhi keamanan bersama serta keamanan
nasional masing-masing. Juga untuk membentuk suatu mekanisme konsultasi
bilateral dengan tujuan untuk memajukan dialog dan pertukaran intensif serta
penerapan kegiatan kerjasama dan sekaligus juga memperkuat hubungan antar-
lembaga sesuai dengan perjanjian.
7

Penulis mengambil fokus penelitian pada tahun 2002-2012 agar dapat
menemukan perkembangan kerjasama yang sudah dan akan dilakukan oleh kedua
Negara yaitu Australia dan Indonesia dalam penanggulangan cybercrime yang
berpotensi membahayakan keamanan dan hubungan luar negeri suatu Negara.

B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan yang diambil oleh peneliti adalah tentang penanganan cyber crime
di Indonesia dan Australia pada tahun 2002-2012 yaitu kerjasama antara
Polri dan Polisi Federal Australia dalam menanggulangi Cyber crime di
tahun 2002-2012
2. Rumusan Masalah
Bagaimana bentuk kerjasama antara Polri dan Polisi Federal Australia
dalam menanggulangi Cyber crime di tahun 2002-2012 ?



7
Perjanjian kerjasama Indonesia-Australia terdapat dalam Agreement between the Republic Of
Indonesia And Australia On The Framework For Security Cooporation hal. 4
7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari Penelitian ini adalah :
Menjelaskan bentuk-bentuk kerjasama antara Polri dan Polisi Federal
Australia dalam menanggulangi Cyber crime di tahun 2002-2012
2. Manfaat dari Penelitian
a. Sebagai kajian dalam memahami kerjasama antara Polri dan Polisi
Federal Australia dalam menanggulangi Cyber crime di tahun
2002-2012
b. Penelitian diharapkan bisa memberikan kontribusi sebagai
referensi dalam perkembangan Studi Hubungan Internasional,
bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti baru dan pembaca
umumnya.

D. Landasan Teori Dan Konsep
1. Teori Kepentingan Nasional
Penulis menggunakan landasan teori berupa kepentingan Nasional karena
didalam penelitian ini membahasa tentang kepentingan Indonesia dalam
melakukan kerjasama dengan Australia dalam penanggulangan cybercrime.
Paul Seabury mendefinisikan kepentingan nasional secara normatif dan
deskriptif: secara deskriptif kepentingan nasional adalah tujuan yang harus dicapai
oleh suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah.
8

George F. Kennan (1951) memahami makna konsep kepentingan nasional
(national interest) dalam hubungan antarnegara. Kennan membuat definisi konsep

8
Paul Seabury, Balance of power 1965. Chandler Pub. Hal 147
8

ini secara negatif tentang apa yang tidak termasuk ke dalam pengertian
kepentingan nasional. Pertama, konsepsi kepentingan nasional bukan merupakan
kepentingan yang terpisah dari lingkungan pergaulan antarbangsa atau bahkan
dari aspirasi dan problematika yang muncul secara internal dalam suatu negara.
Kepentingan nasional suatu bangsa dengan sendirinya perlu mempertimbangkan
berbagai nilai yang berkembang dan menjadi ciri negara itu sendiri. Nilai-nilai
kebangsaan, sejarah, dan letak geografis menjadi ciri khusus yang mempengaruhi
penilaian atas konsepsi kepentingan nasional suatu negara. Kedua, kepentingan
nasional bukan merupakan upaya untuk mengejar tujuan-tujuan yang abstrak,
seperti perdamaian yang adil atau definisi hukum lainnya. Sebaliknya, ia mengacu
kepada upaya perlindungan dari segenap potensi nasional terhadap ancaman
eksternal maupun upaya konkrit yang ditujukan guna meningkatan kesejahteraan
warga negara. Ketiga, konsepsi ini pada dasarnya bukanmerupakan pertanyaan
yang berkisar kepada tujuan, melainkan lebih kepada masalah cara dan metode
yang tepat bagi penyelenggaran hubungan internasional dalam rangka mencapai
tujuan tersebut secara efektif.
9

Kebanyakan kerjasama yang dilakukan secara bilateralseperti pertukaran
pelajar, proses ekspor impor dan kunjungan kenegaraan. Ketika suatu negara
menjalin kerjasama dengan negara lainnya pasti memiliki kepentingan nasional
masing-masing yang menjadi landasan utamanya. Menurut Hans J. Morgenthau
kepentingan Nasionalialah:
Kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar kekuasaan, yaitu apa
saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu

9
George F. Kennan, The Tragedy of Great Power. 1951. Inc Publishing hal. 155
9

negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan dan pengendalian itu bisa
diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerja sama
10


Konsep kepentingan nasional di atas akan tercapai bila terjadi interaksi
atau hubungan luar negeri. Kepentingan tersebut mempengaruhi cita-cita, aspirasi
dan tujuan suatu negara serta akan menentukan pengambilan sikap negara tersebut
terhadap bangsa lain. Hal inilah yang akan menentukan cara dan pendekatan
untuk merealisasikan cita-cita dan wawasan suatu bangsa ke dalam tindakan, baik
bilateral maupun regional.
Penulis mengambil konsep kepentingan nasional dalam kerjasama
Indonesia dan Australiauntuk kepentingan bersama suatu masyarakat dalam
sebuah negara dengan melihat beberapa aspek yang penting dalam menjaga
keutuhan dan pertahanan negara, dan kepentingan nasional tersebut yang menjadi
landasan bagi terciptanya hubungan bilateral antar dua negara.

2. Konsep Keamanan Nasional
Dalam berbagai literatur Studi Keamanan, masalah pendefinisian konsep
keamanan menjadi salah satu topik perdebatan yang hangat, setidaknya sampai
berakhirnya Perang Dingin. Dalam hal ini, perdebatan akademik mengenai konsep
keamanan ini berkisar seputar dua aliran besar, yakni antara definisi strategis
(strategic definition) dan definisi non-strategis ekonomi (economic non-strategic
definition). Definisi yang pertama umumnya menempatkan keamanan sebagai
nilai abstrak, terfokus pada upaya mempertahankan independensi dan kedaulatan
negara, dan umumnya berdimensi militer. Sementara, definisi kedua terfokus pada

10
Mohtar Masoed, 1990 Ilmu Hubungan Internasinal; Disiplin dan Metodologi, Ulasan tentang
Morgentahau mengenai Konsep Kepentingan Nasional, Jakarta, PT Pusataka LP3ES hal 139
10

penjagaan terhadap sumber-sumber ekonomi dan aspek non-militer dari fungsi
negara
11
.
Definisi Frederidck Hartman yang melihat keamanan sebagai the sum
total of the vital national interests of the state, maka kepentingan nasional
didefinisikan sebagai sesuatu yang membuat negara bersedia dan siap untuk
berperang.
12
Keamanan juga sering dipahami sebagai upaya negara untuk
mencegah perang, terutama melalui strategi pembangunan kekuatan militer yang
memberikan kemampuan penangkal (deterrent).
13
Dengan kata lain, definisi
keamanan kerap dilandasi oleh asumsi dengan supremasi kekuatan militer sebagai
sarana untuk melindungi negara dari ancaman militer dari luar.
Konsep keamanan Nasional digunakan oleh penulis untuk membantu
dalam menempatkan Kebijakan Keamanan nasional sebagai payung bersama
dalam merumuskan berbagai strategi majemen ancaman (threat management),
baik ancaman dari dalam maupun dari luar, sehingga tercipta sinergi nasional
dalam menyelesaikan berbagai masalah tentang kejahatan dunia maya atau
Cybercrime antara Indonesia dan Australia.

3. Cyber Crime
Cybercrime adalah tidak criminal yang dilakukan dengan menggunakan
teknologi computer sebagai alat kejahatan utama. Cybercrime merupakan

11
Abdul-Monem M. Al-Mashat, National Security in the Third World (Boulder, Col.: Westview
Press, 1985), hal. 19.
12
Frederick H. Hartman, The Relations of Nations (New York, 1967), hal. 14
13
Barry Buzan, People, States, and Fear: The National Security Problem in the Third World,
dalam Azar dan Moon, ed. National Security, hal. 15.
11

kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi computer khususnya
internet.
Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang
memanfaatkan teknologi computer yang berbasasis pada kecanggihan
perkembangan teknologi internet.
14

Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer
(2013) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara
umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal.
15

Forester dan Morrison mendefinisikan kejahatan komputer sebagai: aksi
kriminal dimana komputer digunakan sebagai senjata utama.
16

a. Karakteristik Cybercrime
Dalam perkembangannya kejahatan konvensional cybercrime dikenal
dengan :
1. Kejahatan kerah biru
2. Kejahatan kerah putih
b. Cybercrime memiliki karakteristik unik yaitu :
1. Ruang lingkup kejahatan
2. Sifat kejahatan
3. Pelaku kejahatan
4. Modus kejahatan
5. Jenis kerugian yang ditimbulkan

14
http://fauzzi23.blogspot.com/definisi_hacer di ambil pada tanggal 25 April 2014
15
Andi Hamzah, Aspek-Aspek Pidana di bidang Komputer, 2002, hal. 47 Jakarta: Sinar Grafika
16
Forrester, T. dan Morrison, P. (1999). Computer Ethics: Cautionary Tales and Ethical
Dillemmas in Computing. Hal. 142 Cambridge: The MIT Press

12

Dari beberapa karakteristik diatas, untuk mempermudah penanganannya
makacybercrime diklasifikasikan :
Cyberpiracy : Penggunaan teknologi computer untuk mencetak ulang
software atau informasi, lalu mendistribusikan informasi atau software
tersebut lewat teknologi komputer.
Cybertrespass : Penggunaan teknologi computer untuk meningkatkan
akses pada system computer suatu organisasi atau indifidu.
Cybervandalism : Penggunaan teknologi computer untuk membuat
program yang mengganggu proses transmisi elektronik, dan
menghancurkan data dikomputer
Walaupun kejahatan dunia maya atau cybercrime umumnya mengacu
kepada aktivitas kejahatan dengan komputer atau jaringan komputer sebagai unsur
utamanya, istilah ini juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional di mana
komputer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau
memungkinkan kejahatan itu terjadi.
Dari berbagai definisi cyber crime diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
istilahCybercrime yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan komputer
atau jaringan komputer menjadi alat, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan.
Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain adalah penipuan lelang
secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit/carding, confidence fraud,
penipuan identitas, pornografi anak, dll.
17


17
Definisi cyber crime terdapat di http://dumadia.wordpress.com/2009/02/03/upaya-internasional-
dalam-menghadapi-cyber-crime diakses 01 Juni 2014
13

Adapun modus operandi dari Cyber crime digolongkan menjadi:
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis
komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk
sesuai modus operandi yang ada, antara lain:
1. Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam
suatusistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa
sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.
Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud
sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu,
ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk
mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat
proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya
teknologi Internet/intranet. Kita tentu belum lupa ketika masalah Timor
Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan di tingkat internasional,
beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas,
11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus
masuk ke dalam data base berisi data para pengguna jasa America Online
(AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang
ecommerce yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian
Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI) juga
tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak
berfungsinya situs ini beberapa waktu lamanya (http://www.fbi.org).
2. Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet
tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap
melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya,
pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan
14

martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan
pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara,
agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah dan
sebagainya.
3. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen
penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet.
Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce
dengan membuat seolah-olah terjadi "salah ketik" yang pada akhirnya
akan menguntungkan pelaku karena korban akan memasukkan data
pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalah gunakan.
4. Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan Internet untuk
melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki
sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran.
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen
ataupun data pentingnya (data base) tersimpan dalam suatu sistem yang
computerized (tersambung dalam jaringan komputer).
Disamping menargetkan saingan bisnis, dalam ruang lingkup keamanan,
Negara juga dapat melakukan hal serupa terhadap Negara lain yang
dirasakan dapat menjadi ancaman baginya sehingga penting untuk
mengetahui kapabilitas Negara tersebut dengan melihat data rahasia yang
dimiliki Negara tersebut.
5. Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau
penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan
15

komputer yang terhubung dengan Internet. Biasanya kejahatan ini
dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun
suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem
jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana
mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.
6. Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang
dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada
web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu
informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain,
dan sebagainya.
7. Infringements of Privacy
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang
yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara
computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat
merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu
kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan
sebagainya.
18


Penulismengunakandefinisi Cybercrime dari Andi Hamzah yang
mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum
dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal. Hal ini untuk
mengetahui tentang kejahatan dunia maya yang dilakukan oleh kedua negara yaitu
Indonesia dan Australia serta penangulangannya.

18
Modus Operandi Cyber Crime, terdapat di
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=DEFINISI+PENGERTIAN+DAN+JENIS-
JENIS+CYBERCRIME+BERIKUT+MODUS+OPERANDINYA&&nomorurut_artikel=353, diakses pada
tanggal 20 Juli 2014
16


E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah jenis
deskriptif, yaitu penelitian yang berupaya untuk menjelaskan kerjasama antara
pihak kepolisian Indonesia dengan pihak kepolisian Federal Australia dalam
menangani masalah cyber crimedi kedua negara. Teknik Analisa yang digunakan
bersifat Kualitatif.
2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder
yang diperoleh dari literatur-literatur ataupun atikel-artikel yang berkaitan dengan
pokok permasalahan yang diteliti. Data sekunder diperlukan oleh peneliti
merupakan data yang terkait dengan masalah cyber crime dan bagaimana
kejahatan tersebut dipandang sebagai fenomena dalam politik internasional.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, teknik yang digunakan penulis adalah telaah
pustaka atau studi kepustakaan yaitu cara pengumpulan data dengan menelaah
sejumlah literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti melalui buku-
buku, jurnal, dokumen, majalah dan artikel-artikel, media elektronik serta
pencarian informasi melalui internet.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis Kualitatif dimana penulis menggambarkan dan menjelaskan permasalahan
17

yang ada sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi secara spesifik yaitu fakta yang
dapat dibuktikan lewat literatur dan dokumen-dokumen kerjasama antara dua
negara Indonesia dan Australia, kemudian dari fakta tersebut akan ditarik
simpulan. Fakta-fakta yang dimaksud disini adalah mengenai penanganan
kejahatan dunia maya/cyber crimelewat kerjasama Indonesia dan Autralia sebagai
fenomena politik internasional yang secara khusus menyoroti bidang keamanan
dan hukum di Indonesia.
5. Definisi Operasional
a. Kerjasama Polri Federal Australia dalam menangulangi Cyber Crime
dilakukan dengan beberapa kali penandatanganan antara kedua negara
untuk menangulangi semakin besarnya kejahatan telematika (cybercrime)
antara Indonesia dan Australia.
b. Cybercrimesebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat
diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal. Hal ini untuk
mengetahui tentang kejahatan dunia maya yang dilakukan oleh kedua
negara yaitu Indonesia dan Australia serta penangulangannya.

F. Sistematika Penulisan
Penulisan akan dibagi menjadi lima bagian :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuraikan latar belakang, batasan dna rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitiaan, landasan teori dan konsep,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi tentang tinjauan pustaka menggunakan penelitian
sebelumnya yang mempunyai permasalahan penelitian yang sama atau
sejenis yaitu dari penelitian Lusi Dwi Anggrani (2013) dengan judul
Kerjasama Bidang Keamanan Indonesia-Australia (Lombok Treaty),
penelitian Paulus Nugoho (2006) dengan judul kebijakan pemerintah
Indonesia dalam mengatasi Cybercrime tahun 2002-2008 (Studi Kasus
Carding) dan penelitian Didik Kamal (2013) dengan Judul
Pertanggungjawaban Pidana Cybercrime Dalam Hukum Pidana.
BAB III GAMBARAN UMUM
Pada bab ini berisi pemaparan tentang objek penelitian yang penulis
bahas tentang :
a. Perkembangan Cyber Crime di Indonesia.
b. UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
a. Dalam bab ini penulis membahas mengenai permasalahan yang
penulis ajukan berdasarkan data yang diperoleh yaitu bentuk
kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dan Australia dalam
menanggulangi kejahatan dunia maya (Cybercrime) dan
b. Hambatan dan kendala dalam menanggulangi kejahatan dunia
maya (Cybercrime)


19

.BAB V PENUTUP
Merupakan bab penutup dari skripsi ini yang berisi tentang kesimpulan
yang sekaligus juga merupakan intisari dari skripsi ini.




















20

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu
1. Lusi Dwi Anggraini, 2013.
19
Dengan judul Kerjasama Bidang Keamanan
Indonesia-Australia (Lombok Treaty). Menurut Lusi Dwi Anggraini Secara
umum hubungan Indonesia-Australia selalu berusaha memanfaatkan setiap
peluang yang ada untuk peningkatan berbagai kerjasama bilateral. Perjanjian
kerjasama Lombok Treaty diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 47 tahun 2007 Tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik
Indonesia dan Australia tentang Kerangka Kerjasama Keamanan. Namun
akibat adanya Penyadapan yang dilakukan oleh Intelijen Australia,
kerjasama tersebut diberhentikan sementara karena tidak ada kejelasan dari
pemerintah Australia terkait kerjasama tersebut.
Lombok Treaty secara formal memang mengatur mengenai kerjasama
dua negara di bidang keamanan akan tetapi, apabila dikaitkan dengan
konteks sejarah hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia,
perjanjian ini dapat dikatakan menjadi semacam peredam ketegangan dari
persoalan pemberian suaka kepada 43 warga Papua Barat yang melarikan
diri ke Australia.Kasus Papua Barat memang dapat dikatakan sebagai
pemicu atau latar belakang utama dari penandatanganan Lombok Treaty.

19
Lusi Dwi Anggraini, 2013. Kerjasama Bidang Keamanan Indonesia-Australia (Lombok Treaty)
Universitas Brawijaya Malang.

21

Akan tetapi, tidak dapat diabaikan bahwa isu terorisme yang marak terjadi di
Indonesia juga turut melatarabelakangi ditandatanganinya Lombok Treaty
oleh Indonesia dan Australia. Dari tahun 2002 hingga 2005, telah terjadi
pengeboman di berbagai daerah di Indonesia. Pengeboman tersebut tidak
hanya merugikan dan menjadi ancaman bagi Indonesia semata tetapi juga
berdampak kepada Australia yang turut menjadi korban dalam berbagai
pengeboman tersebut.
Penjelasan tentang kerangka kerjasama Perjanjian Keamanan tertuang
dalam pasal 3 perjanjian mengenai area dan bentuk kerjasama dalam
berbagai bidang, diantaranya;
1. Di bidang pertahanan
2. Di bidang kerjasama intelijen
3. Di bidang pemberantasan terorisme
Kedua negara menyadari akan adanya suatu kebutuhan untuk
melakukan kerjasama internasional dalam penanggulangan masalah
terorisme. Upaya kerjasama dilakukan untuk dapat meningkatkan
kemampuan profesionalisme kepolisian dan intelijen dalam mendeteksi dan
mengeliminir berbagai ancaman, tantangan, dan gangguan yang berpengaruh
terhadap kepentingan nasional, khususnya dalam hal pencegahan, penindakan
dan penanggulangan terorisme. Hal ini dikarenakan Pemerintah Australia
menempatkan prioritas setinggi-tingginya dalam upaya memerangi ancaman
terorisme baik di dalam maupun di luar negeri. Keberhasilan hanya akan
22

tercapai melalui usaha bersama dengan bentuk kerjasama, baik bilateral
maupun multilateral.
Di dalam perjanjian tersebut ditegaskan prinsip-prinsip saling
menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan
bangsa dan kemerdekaan politik setiap pihak, serta tidak campur tangan
urusan dalam negeri masing-masing negara.
Kesimpulan dari penelitian Lusi Dwi Anggraini adalah kerjasama
pertahanan antara Indonesia dan Australia berlangsung baik apalagi setelah
ditandatanganinya Lombok Treaty. Lombok Treaty seakan menjadi solusi bagi
gesekan hubungan di antara kedua negara yang kadang menemui jalan buntu.
Lombok Treaty menjadi batu loncatan yang sangat besar bagi kedua negara
dalam memperbaiki hubungannya.
2. Penelitian Paulus Nugroho 2009
20
, dengan judul kebijakan pemerintah
Indonesia dalam mengatasi Cybercrime tahun 2002-2008 (Studi Kasus
Carding), didalam penelitian Paulus Nugroho dibahas tentangKebijakan
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan,
bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Upaya
penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:

20
Paulus Nugroho, 2009, kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatasi Cybercrime tahun
2002-2008 (Studi Kasus Carding) Mahasiswa Universitas Mulawarman.
23

sarana penal dan sarana non penal, dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Sarana Penal. Sarana penal adalah melalui kebijakan hukum pidana atau
disebut pula dengan istilah politik hukum pidana. Ada beberapa istilah asing
yang digunakan terhadap istilah politik hukum pidana, antara lain penal
policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek. Upaya dalam
penanggulangan kejahatan dengan kebijakan hukum pidana, mencakup 3
(tiga) tahapan, yaitu :
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)
2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif)
Tahap formulasi merupakan tahap penegakan hukum in abstracto,
sedangkan tahap aplikasi dan tahap eksekusi telah memasuki tahap
penegakan hukum in concreto. Tahap kebijakan formulasi merupakan tahap
awal dan menjadi sumber landasan dalam proses kongkritisasi bagi
penegakan hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan eksekusi.
Adanya tahap formulasi ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan juga menjadi tugas dan kewajiban dari para
pembuat hukum, bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum.
Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan atau program dari
pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam
menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau
melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu.
24

Berdasarkan definisi ini, secara sederhana kebijakan formulasi dapat
diartikan sebagai usaha merumuskan atau memformulasikan suatu undang-
undang yang dapat digunakan untuk menanggulangi kejahatan. Dalam
perumusan undang-undang akan ada proses kriminaliasi, yaitu suatu proses
untuk menentukan suatu perbuatan yang awalnya bukan sebagai tindak
pidana kemudian dijadikan sebagai tindak pidana. Proses kriminalisasi harus
mempertimbangkan banyak hal, seperti kepentingan hukum yang akan
dilindungi, tingkat bahaya, kerugian, kesiapan dan penguasan teknologi oleh
aparat dan lain sebagainya. Hal ini penting agar pada tahap implementasi
peraturan tersebut nantinya dapat berjalan dengan efektif dan tidak bersifat
mandul, apalagi sampai terjadi krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of
over-criminalization) dan krisis kelampauan batas dari hukum pidana (the
crisis of overreach of the criminal law). Dua masalah sentral dalam kebijakan
kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana).
Dari penelitian Paulus Nugroho dapat diambil kesimpulan bahwa
kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengatasi Cybercrime pada tahun
2002-2008adalah proses pembuatan undang-undang sebagai kepentingan
hukum dengan mempertimbangkan kepentingan pemerintah dan masyarakat
sehingga dapat meminimalisir kejahatan dunia maya atau cyber crime di
Indonesia.

25

3. Penelitian Didik Akmal 2010
21
Yang Berjudul Pertanggungjawaban Pidana
Cybercrime Dalam Hukum Pidana. Menurut Didik Akmal, Cybercrimedapat
melampaui batas-batas wilayah suatu negara. Apalagi tempat atau perantara
kejahatan tersebut tidak nyata atau semu dan kemudian lebih dikenal dengan
dunia virtual reality atau cyberspace yang merupakan media perantara tanpa
batas dengan memiliki daya jangkau dan jaringan ke seluruh dunia.
Dari hasil penelitian Didik Akmal dapat diambil kesimpulan bahwa
tindak pidana di dalam KUH Pidana yang perlu kejelasan, yang meliputi
hal-hal sebagai berikut :
a. Istilah surat-surat pada pasal 263 KUHP telah terdesak dengan media
elektronik di bidang komputer, khususnya di dalam cyberspace semua
data program terus berjalan tiap detiknya dan selalu berpindah secara
otomatis.
b. Bila ekonomis sering menjadi berbentuk immateriil, dalam hal ini
berwujud transfer data secara elektronis melalui dunia cyber, yang
menjadi masalah kemudian apakah ini dapat disamakan dengan
barang menurut pengertian KUHP.
c. Pasal 362, dapat diterapkan untuk perbuatan pidana pengambilan data
dan informasi di bidang komputer.
d. Carding dapat dianggap sebagai tindak pidana penipuan sebagaimana
dalam pasal 378 KUHP.

21
Didik Akmal, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Cybercrime Dalam Hukum Pidana, Mahasiswa
Universitas Gajah Mada.
26

Dari hasil penelitian Didik Akmal jelas bahwa cybercrime sangat
merugikan pihak-pihak yang menggunakan cyberspace. Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki jaringan cyberspace, juga
terkena imbas dari cybercrime.

B. Perbandingan penelitian
Perbandingan dua penelitian sebelumnya antara lain :
1. Penelitian Lusi Dwi Anggraini mengangkat tentang pemanfaatan setiap
peluang yang ada untuk peningkatan berbagai kerjasama bilateraldalam
rangka membangun hubungan yang saling menguntungkan, penelitian
Paulus Nugroho mengetengahkan kebijakan pemerintah Indonesia dalam
mengatasi Cyber Crime dalam kasus Carding dalam hal ini merancang dan
membuat rencana undang-undang untuk melindungi masyarakat, sedangkan
penelitian Didik Akmal mengangkat tentang tindak pidana kejahatan
Cybercrime di Indonesia berhubungan dengan KUHP pidana. Sedangkan
penelitian penulis berhubungan dengan bentuk kerjasama pihak kepolisian
Indonesia dan Australia dalam menanggulangi kejahatan Cyber Crime.
2. Hasil Penelitian Lusi Dwi Anggraini dan penulis mengangkat tentang
kerjasama 2 negara yaitu Indonesia dan Australia dalam bilang keamanan
termasuk adanya perjanjian Lombok Treaty, sedangkan penelitian Paulus
Nugroho meneliti di lingkup negara Indonesia dan penelitian Didik Akmal
mengangkat tentang peningkatan kualitas penegak hukum dia kedua Negara
yaitu Indonesia Australia dengan jalur hukum.
27

3. Penelitian Lusi Dwi Anggraini, Paulus Nugroho, Didik Akmal dan Penulis
walau berbeda judul dan bahasan tetapi sama-sama berisikan penelitian
tentang Cyber Crime, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ke tiga
penelitian terdahulu dapat memberikan masukan serta dampak terhadap
penelitian penulis yang mengangkat tentang bentuk kerjasama Polri dan
kepolisian Australian dalam menangani Cyber Crime di tahun 2002-2012.

C. Pandangan Kritis
Hubungan bilateral Indonesia dan Australia tergolong hubungan yang
sangat unik, di satu sisi menjanjikan berbagai peluang kerjasama namun di sisi
lain juga penuh dengan berbagai tantangan. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai
perbedaan menyolok diantara kedua negara dan bangsa bertetangga, yang terkait
dengan kebudayaan, tingkat kemajuan pembangunan, orientasi politik yang
mengakibatkan pula perbedaan prioritas kepentingan. Tidak dipungkiri,
perbedaan-perbedaan tersebut akan menciptakan berbagai masalah yang akan
selalu mewarnai hubungan kedua negara di masa-masa mendatang. Jika ada yang
berpendapat bahwa pada suatu titik hubungan kedua negara akan tercipta
sedemikian rupa sehingga terbebas dari masalah. Sebaliknya data empiris
menunjukkan bahwa hubungan kedua negara memiliki kecenderungan yang
sangat fluktuatif, sehingga para pemimpin serta masyarakat kedua negara dituntut
untuk selalu siap dengan berbagai solusi menghadapi setiap masalah yang muncul.
Negara sebagai salah satu aktor hubungan internasional dalam menjalin
kerja sama dengan negara lain mempunyai tujuan nasional yang berdasar kepada
28

kepentingan nasional masing-masing negara dan dalam melakukan hubungan
internasionalnya telah memikirkan kepentingan nasionalnya. Hakikat dalam
menjalankan kepentingan nasional tersebut ialah bagaimana menyelaraskan dua
kepentingan nasional agar tidak mengalami tumpang tindih atau dengan kata lain
masing-masing negara dapat mewujudkan kepentingan nasional mereka masing-
masing. Dalam hal ini kepentingan nasional relatif sama dengan kepentingan
nasional negara lain, yaitu: keamanan (mencakup kelangsungan hidup rakyatnya
dan keutuhan wilayah serta kesejahteraan). Kedua hal pokok tersebut merupakan
dasar suatu negara dalam merumuskan kepentingan dan tujuan nasional.
22
Hans J
Morgenthau, mengemukakan bahwa:
Kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar kekuasaan,
yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan
pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan
kekuasaan dan pengendalian itu bisa diciptakan melalui teknik-
teknik paksaan maupun kerja sama.
23


Morgenthau menjelaskan bahwa strategi dari hubungan luar negeri suatu
negara dalam strategi diplomasi, dimana strategi diplomasi harus didasarkan pada
kepentingan nasional, bukan pada alasan-alasan moral, legal, ideologi yang utopis
dan bahkan sangat berbahaya. Dengan demikian kepentingan nasional suatu
bangsa akan berbicara pada tataran kepentingan nasional negara lain pula. Dalam
menjalin hubungan internasional ini diperlukan sifat prudence yaitu kemampuan
menilai kebutuhan dan keinginan sendiri dengan tidak mengabaikan kepentingan
negara lain.

22
T. may Rudy, 2002, Study Strategis: Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang
Dingin, Refika Aditama, Jakarta, hal 70
23
Morgenthau, Hans j. Politik Antar Bangsa.1999 terjemahan Cecep Sudrajat direvisi oleh
J.Thomson Buku III Yayasan Obor Indonesia
29

BAB III
GAMBARAN UMUM CYBER CRI ME DI INDONESIA

A. Perkembangan Cyber Crime di Indonesia
Cyber crime merupakan suatu perbuatan merugikan orang lain atau
instansi yang berkaitan dan pengguna fasilitas dengan sistem Informasi dan
Transaksi Elektronik yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri maupun
orang lain secara materi, maupun hanya untuk sekedar memuaskan jiwa pelaku
atau orang tersebut. Cyber crime merupakan kejahatan transnasional dimana
kejahatan ini melintasi batas-batas negara dan dapat memberikan ancaman bagi
stabilitas suatu negara dan kawasan bahkan dunia. Ini dianggap sebagai ancaman
keamanan karena kejahatan transnasional dapat mengancam segala aspek
kehidupan termasuk pembangunan kehidupan sosial kemasyarakatan dalam
sebuah negara.
Upaya-upaya yang dilakukan sehubungan dengan masalah pembuktian
oleh pengadilan dan penyidikan oleh polri dalam cyber crime dapat digunakan
berbagai macam cara, antara lain dengan mengoptimalkan Undang- Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,
mengembangkan pengetahuan dan kemampuan penyidik dalam Dunia Cyber,
menambahkan dan meningkatkan fasilitas komputer forensik dalam POLRI.
Era kemajuan teknologi informasi ditandai dengan meningkatnya
penggunaan internet dalam setiap aspek kehidupan manusia. Meningkatnya
penggunaan internet di satu sisi memberikan banyak kemudahan bagi manusia
30

dalam melakukan aktivitasnya, di sisi lain memudahkan bagi pihak-pihak tertentu
untuk melakukan tindak pidana.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi cyber crime di Indonesia adalah :
a. Faktor Politik dan Hukum
Sebelum tahun 2008, di Indonesia belum ada perangkat hukum yang
khusus mengatur tentang tata laksana di dunia maya (Cyber Space) sehingga
praktik hacking, carding, defacing, dsb. berkembang dengan cepat. Hal ini
membuat para pengguna internet di Indonesia merasa kurang aman untuk
menjadikan internet sebagai bagian dari hidup sehari-hari mereka sesuai tuntutan
zaman karena mereka khawatir menjadi korban dari para pelaku cyber crime
Indonesia karena belum ada aturan yang jelas tentang penindakan terhadap pelaku
cyber crime. Hal ini juga dirasakan oleh pengguna internet dari luar Indonesia,
khususnya di bidang online marketing. Ketika mereka melihat calon pelanggan
mereka memiliki Internet Protocol (IP) bernomor Indonesia, mereka akan merasa
khawatir menjadi korban penipuan. Selain bidang itu, ada juga ketakutan akan
menjadi korban Carding dimana seseorang belanja secara online dengan
menggunakan nomor kartu kredit orang lain. Dalam Carding, korban biasanya
berasal dari negara lain dan korban biasanya tak langsung menyadari telah
menjadi korban karena mereka baru menyadarinya ketika tagihan atas
pembelanjaan yang dilakukan carder datang.
Kondisi ini memerlukan kebijakan politik pemerintah Indonesia untuk
menanggulangi cyber crime yang berkembang di Indonesia. Aparat penegak
hukum telah berupaya keras untuk menindak setiap pelaku cyber crime, tapi
31

penegakkan hukum tidak dapt berjalan maksimal sesuai harapan masyarakat
karena perangkat hukum yang mengatur khusus tentang cyber crime belum ada.
Untuk menghindari kerugian yang lebih besar akibat tindakan pelaku cyber crime
maka diperlukan kebijakan politik pemerintah Indonesia untuk menyiapkan
perangkat hukum khusus (lex specialist) bagi cyber crime. Dengan perangkat
hukum ini aparat penegak hukum tidak ragu-ragu lagi dalam melakukan
penegakan hukum terhadap cyber crime.

2. Faktor Ekonomi.
Cyber Crime, seperti kejahatan konvensional yang bermotif ekonomi, juga
didasari oleh kebutuhan masyarakat akan pemenuhan atas kebutuhannya sehari-
hari. Carding, Cyber Fraud, Cyber Scam, dsb. memiliki potensi mengeruk
keuntungan yang besar tanpa harus bekerja keras.
Korban dari Cyber Crime bermotif ekonomi beragam, mulai dari kalangan
masyarakat kelas ekonomi menengah hingga kalangan kelas ekonomi atas.

3. Faktor Sosial Budaya.
Kemajuan dibidang teknologi khususnya internet menghasilkan
bermunculannya orang-orang yang memiliki minat terhadap dunia internet
(Cyber). Orang-orang tersebut kemudian membentuk suatu komunitas-komunitas
sendiri yang didalamnya mereka secara khusus membahas tentang perkembangan
dunia Cyber. Sayangnya, seiring perkembangan tersebut, berkembang pula Cyber
Crime di komunitas-komunitas tersebut. Mereka saling bertukar informasi tentang
32

kiat-kiat melakukan hal menarik di cyber space mulai dari hal ringan seperti
Hacking, Cyber Stalking, Phising, hingga hal yang sangat serius seperti Cyber
Fraud dan Carding.
Meski dengan adanya UU ITE tahun 2008 negara dapat menghukum siapa
saja yang melakukan Cyber Crime, para anggota komunitas ini tetap saja
melakukannya. Hal ini dilakukan antara lain sebagai suatu keisengan hingga
sebagai ajang pembuktian diri agar kemampuannya diakui oleh komunitas
tersebut. Hal ini menunjukkan kalau Cyber Crime telah menjadi budaya bagi
komunitas tertentu di Indonesia.

4. Dampak Cyber Crime Terhadap Keamanan Negara.
Dampak cyber crime terdapat keamanan negara yang dapat disorot dari
aspek :
a. Kurangnya kepercayaan dunia terhadap Indonesia.
b. Berpotensi menghancurkan negara.
c. Keresahan masyarakat pengguna jaringan komputer.
d. Dampak terhadap keamanan dalam negeri.
Pada tahun 2002, terjadi peristiwa Bom Bali yang dilakukan oleh
kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI), peristiwa ini menelan korban jiwa 88
orang warga negara Australia, 38 orang warga negara Indonesia, 26 orang warga
negara Inggris, 7 orang warga negara Amerika Serikat, 6 orang warga negara
Jerman, dan 4 orang warga negara Belanda. Selain itu ledakan itu juga melukai
33

puluhan orang lain. Sedikitnya lebih dari 200 orang yang berasal dari 21 negara
menjadi korban dalam peristiwa ini.
24

Jaringan teroris yang terlibat dalam peristiwa ini, seperti jaringan teroris
lainnya, menggunakan Internet sebagai alat penyebaran ideologi, perekrutan,
hingga penggalangan dana.
Menurut kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Ansyaad Mbai, kelompok teroris menggunakan media internet dan video untuk
berbagai hal termasuk untuk merekrut anggota dengan memanfaatkan kelemahan
kontrol pemerintah atas situs tertentu yang menyebarkan kebencian.
25
Kelompok-
kelompok teroris juga menggunakan Internet sebagai alat mencari dana mereka
dengan cara meretas (hacking)
26

Karena kelompok teroris tersebut menggunakan internet sebagai alat
mereka melakukan kejahatan, maka POLRI juga melakukan penelusuran dan
penyelidikan di Cyber Space. Setelah ditangkapnya para tersangka bom bali
tersebut, Polisi kemudian menyita laptop tersangka dan melakukan penyelidikan
atas laptop tersebut. Bahkan dalam masa penahanan, tersangka bom bali, Imam
Samudra, ternyata masih aktif melakukan perekrutan lewat media Internet. Hal ini
diketahui setelah Polisi menyita Laptop yang ia selundupkan ke selnya di lapas

24
Bali Death Toll Set At 202 terdapat di http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/2778923.stm
diakses pada 27 Juni 2014
25
BNPT: Kelompok Teroris Gunakan Internet dan Video Untuk Ajak Jihad terdapat di
http://www.voaindonesia.com/content/bnpt-kelompok-teroris-gunakan-internet-untuk-ajak-
jihad/1699449.html diakses pada 27 Juni 2014
26
Modus Baru Penggalangan Dana Teroris dengan Cara Meretas Jaringan Internet terdapat di
http://news.detik.com/read/2014/07/04/193240/2628379/modus-baru-penggalangan-dana-teroris-
dengan-cara-meretas-jaringan-internet?nd/77110bcj diakses pada 27 Juni 2014
34

Kerobokan Bali sebelum ia dipindah tahanan ke Nusakambangan pada akhir
2005.
27

Australia, sebagai negara yang secara geografis berbatasan langsung
dengan Indonesia sekaligus sebagai negara yang warga negaranya paling banyak
menjadi korban aksi teror Bom Bali I tahun 2002, merasa sangat berkepentingan
dalam pemberantasan terorisme di Indonesia, karena hal itu juga merupakan
ancaman bagi Australia dan warganya, terutama warga negaranya yang
berkunjung ke Indonesia. Australia membantu Indonesia dengan berbagai hal
mulai dari bantuan teknis, pengadaan sarana dan prasarana, hingga pelatihan
personel POLRI, khususnya dalam bidang Cyber Crime.

B. UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Dengan seiringnya perkembangan jaman dan perkembangan dunia
kejahatan khususnya perkembangan cyber crime yang semakin mengkhawatirkan,
penegak hukum dituntut untuk bekerja keras karena penegak hukum menjadi
subjek utama yang berperang melawan cyber crime. Misalnya Resolusi PBB No.5
tahun1963 tentang upaya untuk memerangi kejahatan penyalahgunaan Teknologi
Informasi pada tanggal 4 Desember 2001, memberikan indikasi bahwasanya ada
masalah internasional yang sangat serius, gawat dan harus segeraditangani.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih dijadikan sebagai
dasar hukum untuk menjaring cyber crime, khususnya jenis cyber crime yang
memenuhi unsur-unsur dalam pasal-pasal KUHP seperti Cyber Crime yang jelas

27
Ditemukan, Surat Trio Bom Bali Untuk Noordin terdapat di
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/93604__temukan__surat_trio_bom_bali_untuk_noordin
diakses pada 25 Juni 2014
35

pelaku, korban, dan objek kriminalnya (uang dan barang). KUHP tidak mencakup
Hacking dan Defacing karena objeknya bersifat maya.
Maka, selain KUHP adapula UU yang berkaitan dengan hal ini, yaitu UU
No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dimana
aturan tindak pidana yang terjadi didalamnya terbukti mengancam para pengguna
internet.
UU No 11 tahun 2008 dibuat mengingat dan menimbang bahwa
pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus
senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat.
Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan
mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional
sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal,
merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata
untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga
negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di
luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia
maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum
asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan
Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat
bersifat lintas teritorial atau universal.
36

Terdapat Asas-asas dalam UU ini, dalam Pasal 3, Bab Asas dan Tujuan,
maksudnya:
Asas kepastian hukum berarti landasan hukum bagi pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang
mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di
dalam dan di luar pengadilan.

Asas manfaat berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Asas kehati-
hatian berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus
memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian,
baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik.

Asas iktikad baik berarti asas yang digunakan para pihak dalam
melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain
tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.

Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi berarti asas
pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus
pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti
perkembangan pada masa yang akan datang.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud seperti tertulis diatas
maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.Dalam Undang-Undang ini juga dijelaskan definisi-definisi dari
informasi dan transakasi elektronik sebagai berikut :
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
37

2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis,
dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik
oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik
atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
38

8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang
dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi
Elektronik tertentu secara otomatis yang dilakukan oleh seseorang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang
memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status
subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan
oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi
sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit
Sertifikat Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk
oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah
dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan
dalam Transaksi Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi
Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait
dengan Tanda Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik,
atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan
penyimpanan.
39

15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang
berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi
di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui
Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi
melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat
unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga
negara asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan
persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
40

23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh
Presiden.
28

Keunikan Undang-Undang ini karena berlaku untuk setiap Orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik
yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di
luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Sehingga dapat dimaknai dan memiliki ruang lingkup yang berebeda dan
lebih luas dari Undang-Undang yang ada sebelumnya dalam menangani masalah
Cyber Crime, Karena pemaknaan penggunan pasal-pasal dalam UU yang ada
sebelumnya terasa bias.
Asas Dan Tujuan UU ini adalah pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat,
kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral
teknologi. Jadi dapat diartikan bahwa pengunaan teknologi informasi dan
Transaksi elektronik diharapkan dijamin dengan kepastian hukum, memiliki
manfaat, penuh kehati-hatian, beritikad baik, dan adanya kebebasan memilih
teknologi dan netral.
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan
dengan tujuan untuk:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia;

28
Undang-undang Informasi dan Tehnologi Elektronik terdapat di
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik di akses 01
Juni 2014
41

b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung
jawab; dan
e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara teknologi informasi.














42

BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Kerjasama Indonesia Dan Australia Dalam Menanggulangi Cyber
CrimeTahun 2002-2012.
Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2014 tengah berupaya untuk
memperbaiki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai bagian dari
usaha pembaharuan hukum nasional yang menyeluruh. Usaha pembaharuan itu
tidak hanya karena alasan bahwa KUHP yang sekarang diberlakukan dianggap
tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat, tetapi juga karena
KUHP tersebut tidak lebih dari produk warisan penjajah Belanda, dan karenanya
tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merdeka dan
berdaulat. Usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia tentunya tidak terlepas
dari politik hukum yang bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan yang perlu
diadakan terhadap hukum yang ada agar supaya memenuhi kebutuhan baru
didalam masyarakat. Politik hukum tersebut meneruskan arah perkembangan
tertib hukum, dari ius contitutum yang bertumpu pada kerangka landasan hukum
yang terdahulu menuju pada penyusunan ius constituendum atau hukum pada
masa yang akan datang.
Perjanjian internasional Uni Eropa pada tanggal 23 November 2001di
Kota Budapest, Hongaria telah membuat dan menyepakati Convention on Cyber
Crime yang kemudian di masukkan dalam European Treaty Series dengan nomor
185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5
43

negara termasukdiratifikasi oleh 3 negara anggota Council of Europe. Substansi
konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mencakup kebijakan kriminal
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui
undang-undang maupun kerjasama internasional.
Adapun yang menjadi pertimbangan dari pembentukan konvensi ini antara
lain sebagai berikut :
1. Bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar
negara dan industri dalam memerangi kejahatan mayantara dan adanya
kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah di dalam suatu negara
serta pengembangan teknologi informasi.
2. Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahnaan sistem,
jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Dengan
demikian, perlu adanya kepastian hukum dalam proses penyelidikan dan
penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu
mekanisme kerjasama internasional yang dapat dicapai, dipercaya dan
cepat.
3. Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu
kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak asasi manusia
(HAM) dan konvenan PBB 1996 tentang hak politik dan sipil yang
memberikan perlindungan kebebasasn berpendapat seperti hal berekspresi,
yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyabarkan
informasi dan pendapat.

44

Konvensi ini telah disepakati oleh Uni Eropa sebagai konvensi yang
terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk
dijadikan norma dan instrumen hukum internasional dalam mengatasi kejahatan
may antara, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap
mengembangkan kreativitasnya dalam mengembangkan teknologi informasi.
Organisation for Economic Co-operation and Development(OECD)
pertama kali dimulai menggarap masalah e-commerce pada tahun 1998 di Ottawa
dengan mengumumkan Actions Plan for Electronics Commerce yang antaranya
merencanakan untuk :
1. Membangun kepercayaan untuk pengguna dan konsumen.
2. Menetapkan aturan dasar untuk tempat pasar digital.
3. Memperbaiki infrastruktur informasi untuk perdagangan elektronik.
4. Memaksimalkan keuntungan dari perdagangan elektronik.
Resolusi Kongres PBB VIII tahun 1990 tentang The Prevention of Crime
and Treatment of Offenders di Havana mengajukan beberapa kebijakkan dalam
upaya menanggulangi cyber crime, antara lain sebagai berikut :
1. Menghimbau negara anggota untuk menginvestasikan upaya-upaya
penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan
mempertimbangkan langkah-langkah di antaranya :
1) Melakukan modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana.
2) Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan
komputer.
45

3) Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga masyarakat,
aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan
kejahatan yang berhubungan dengan komputer.
4) Melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim, pejabat
dan para penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime.
5) Memperluas rules of ethics dalam penggunaan komputer dan
mengajarkannya melalui kurikulum informatika.
6) Mengadopsi kebijakan perlindungan korban Cyber Crime sesuai dengan
deklarasi PBB mengenai korban, dan mengambil langkah-langkah untuk
korban melaporkan adanya cyber crime.
7) Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam
upaya penanggulangan Cyber Crime.
8) Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan
Kejahatan (Committe on Crime Prevention and Control) PBB untuk :
a. Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu negara
anggota menghadapi Cyber Crime di tingkat nasional, regional dan
internasional.
b. Mengembangkan penelitian dan analisis lebih lanjut guna
menemukan cara-cara baru menghadapi masalahCyber Crime pada
masa yang akan datang.
29



29
Rekomendasi Komite pengendalian dan Pencegahan Kejahatan PBB terdapat di
https://www.unodc.org/unodc/commissions/CCPCJ di akses 20 April 2014
46

Di Indonesia dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik jika dilihat dalam perspektif
penanggulangan penyalahgunaan internet, dalam pasal 27 ayat 1 dan 2
mendeskripsikan bahwa Dokumen elektronik dan Informasi Elektronik adalah
merupakan alat bukti yang sah. Selain itu dalam pasal 44 Undang-undang yang
sama mengatakan alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-
undangan;dan
b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 dan ayat 2

Selain deskripsi undang-undang ITE tersebut, dikenal pula alat bukti
digital.tindakan kejahatan tradisional umumnya meninggalkan bukti kejahatan berupa
bukti-bukti fisikal, karena proses dan hasil kejahatan ini biasanya juga berhubungan
dengan benda berwujud nyata. Dalam dunia komputer dan internet, tindakan
kejahatan juga akan melalui proses yang sama.
Perjanjian Antara Republik Indonesia Dan Australia Tentang Kerangka
Kerjasama Keamanan (Agreement Between The Republic Of Indonesia And
Australia On The Framework For Security Cooperation) pada November 2006
atau Lebih Dikenal Sebagai Lombok Treatyberisikanbahwa Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Australia antara lain :
1. Menegaskan kesetaraan berdaulat Para Pihak, keyakinan mereka pada
prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
47

keinginan untuk hidup dalam perdamaian dengan semua bangsa dan
pemerintahan;
2. Menegaskan komitmen terhadap kedaulatan, kesatuan, kemerdekaan dan
integritas teritorial Para Pihak, dan pentingnya prinsip bertetangga baik
dan tidak campur tangan terhadap urusan dalam negeri masing-masing,
sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
3. Mengakui bahwa kedua Pihak adalah anggota yang demokratis, dinamis
dan berpandangan ke depan dari masyarakat regional dan internasional;
4. Mengakui juga tantangan-tantangan global baru, terutama terorisme
internasional, ancaman keamanan tradisional dan non-tradisional;
5. Mengakui pula pentingnya kelanjutan dan peningkatan kerjasama guna
menghadapi tantangan dari terorisme internasional dan kejahatan
transnasional;
6. Berketetapan untuk bekerja bersama dalam menghadapi tantangan dan
ancaman-ancaman baru tersebut;
7. Berketetapan juga untuk memelihara dan memperkuat kerjasama bilateral
dan dialog berkala termasuk diskusi berkala yang telah ada di bidang
strategis, pertahanan, intelijen, penegakan hukum dan bidang lainnya;
8. Berketetapan pula untuk memelihara dan memperkuat kerjasama yang
telah lama terjalin di bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan yang
ada di antara kedua Pihak, dan kepentingan serta ikatan regional mereka
bersama, termasuk stabilitas, kemajuan dan kemakmuran kawasan Asia-
Pasifik;
48

9. Mengakui nilai dari perjanjian dan pengaturan bilateral antara kedua
negara sejak 1959 termasuk instrumen bilateral utama di bidang keamanan
yang telah menciptakan kerangka hukum yang kuat bagi kedua negara
dalam menghadapi berbagai ancaman dan masalah keamanan serta
pentingnya dialog dan kerjasama yang telah ada melalui Forum Tingkat
Menteri Indonesia Australia I Indonesia Australia Ministerial Forum
(lAMF).

Dalam Lombok Treaty di jelaskan bahwa Prinsip yang menjadi dasar pelaksanaan
hubungan bilateralkedua negara adalah:
a. Kesetaraan dan saling menguntungkan;
b. Saling menghargai dan mendukung kedaulatan, integritas wilayah,
kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik;
c. Tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing;
d. Tidak mendukung atau berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan, baik
yang dilakukan oleh orang dan/atau lembaga, yang mengancam stabilitas,
kedaulatan dan/atau integritas wilayah pihak lain, termasuk menggunakan
wilayahnya untuk melakukan kegiatan separatisme;
e. Menyelesaikan sengketa secara damai; dan
f. Tidak menggunakan ancaman atau menggunakan tindakan kekerasan
Di dalam perjanjian tersebut ditegaskan prinsip-prinsip saling menghormati dan
mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan bangsa dan kemerdekaan
49

politik setiap pihak, serta tidak campur tangan urusan dalam negeri masing-
masing negara.
Salah satu faktor yang mendasari adanya bentuk kerjasama dalam
menanggulangi Cyber Crime Indonesia-Australia adalah faktor geografi, dimana
Indonesia memiliki karakteristik geografi yang terbuka dan bersebelahan dengan
negara Australia, utamanya dimensi maritim. Ancaman keamanan lebih banyak di
dominasi oleh ancaman non-tradisional yang banyak memanfaatkan jalur laut
seperti penyelundupan manusia, penyelundupan senjata, pembajakan laut,
terorisme maritim, yang juga memiliki peluang terhadap adanya eskalasi gerakan
separatis dan konflik komunal, khususnya di Indonesia Timur. Hal ini perlu
dilakukan untuk menjaga integritas wilayah NKRI.
Perjanjian Antara Republik Indonesia Dan Australia Tentang Kerangka
Kerjasama Keamanan (Agreement Between The Republic Of Indonesia And
Australia On The Framework For Security Cooperation) pada November 2006
atau Lebih Dikenal Sebagai Lombok Treatyberisikanbahwa Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Australia bekerjasama dalam bentuk antara lain :
1. Cyber Forensic
Cyberforensics, adalah pengaplikasian teknik investigasi dan analisis
computer untuk mengumpulkan bukti yang cocok untuk presentasi di pengadilan
hukum. Tujuan dari Cyber Forensics adalah untuk melakukan penyelidikan
terstruktur sambil mempertahankan rantai dokumen bukti untuk mencari tahu
dengan persis apa yang terjadi pada komputer tersebut dan siapa yang
bertanggung jawab untuk itu. Kerjasama Australia dan Indonesia dalam
50

menangani Cyber Crime salah satunya adalah dengan cyber Forensic yang
biasanya mengikuti suatu standar prosedur yaitu peneliti Australia dan Indonesia
mengisolasi komputer tersebut untuk memastikan tidak dapat terkontaminasi,
kemudian penyidik membuat salinan digital dari hard drive. Setelah hard drive
asli telah disalin, hard drive asli tersebut disimpan dalam sebuah fasilitas
penyimpanan yang aman untuk mempertahankan kondisi aslinya.
Cyber forensics dilakukan dalam contoh kasus KPU, yang terjadi dalam
kasus defacing Situs KPUyang didiganti gambar resminya oleh hacker, sehingga
pada tahun 2004 menurut informasi dari kepolisian bahwa dipanggilnya staf ahli
dari Australia untuk membantu menangani hal ini.
Semua investigasi yang dilakukan oleh penyidik Australia dan Indonesia
dilakukan pada salinan digital. Peneliti menggunakan berbagai teknik dan aplikasi
forensik kepemilikan untuk memeriksa copy hard drive, mencari folder
tersembunyi dan ruang disk dialokasikan untuk salinan yang dihapus, terenkripsi,
atau file rusak. Setiap bukti yang ditemukan disalinan digital secara seksama
didokumentasikan dalam sebuah "laporan temuan" dan diverifikasi dengan aslinya
dalam persiapan untuk proses hukum yang melibatkan penemuan, deposisi, atau
litigasi sebenarnya. Cyber forensic dapat juga didefinisikan sebagai proses
penggalian informasi dan data dari media penyimpanan komputer dan menjamin
akurasi dan reliabilitas. Tantangan tentu saja adalah untuk dapat menemukan data
bukti tersebut, mengumpulkan, menjaga, hingga menyajikannya dengan cara yang
dapat diterima dalam pengadilan hukum. Sehingga akan menghasilkan runutan
kejadian yang dapat dibuktikan atau diverifikasi dengan metode sebab akibat dan
51

pihak kepolisian menyusun laporan untuk diajukan sebagai bahan pengajuan delik
atau proses sidang dengan memanggil saksi kunci.
Hal ini diberlakukan di Indonesia pada saat adanya tindakan kasus yang
berhubungan dengan pidana atau pencucian uang yang sudah memiliki bukti fisik
dan memerlukan bukti forensic dari media yang digunakan. Cyber forensic harus
pula dibantu dengan Sumber Daya Manusia yang baik dan peralatan yang cukup
untuk melakukan kegiatan penelitian forensic. Walaupun kepolisian Indonesia
sudah sangat maju dibandingkan pada tahun 1990, tetapi pendidikan bagi anggota
kepolisian untuk lebih spesialis dalam menangani cybercrime belum terlalu
banyak.
Karena itu untuk beberapa kasus yang belum bisa ditangani oleh pihak
penyidik kepolisian Indonesia akan bekerjasama dengan Australia dengan Police
Forensic Laboratory Centre (Puslabfor Bareskrim Polri) dengan meminta ahli
forensic untuk datang ke Indonesia. Hal ini diutarakan oleh AKBP Muhammad
Nuh Al-Azhar, MSc., CHFI, CEI sebagai Chief of Computer Forensic Sub-
Department dari Puslabfor Bareskrim Polri sebagai berikut :
Bila Puslabfor mengalami kesulitan dalam menangani kasus yang
berhubungan dengan digital, tentu kami berkoordinasi dengan
negara-negara sahabat yang berkerjasama dalam menangani
kasus digital agar membantu dalam hasil tindak pidana sebagai
Ahli forensic. Dalam hal ini kami berkerjasama dengan Inggris,
Amerika dan Australia untuk mengungkap kejahatan digital.
(Sumber www.jawapos.co.id 12 Januari 2005)

Berdasarkan kutipan diatas maka Polri dan jajarannya berkerjasama untuk
mengungkap kasus dengan mendatangkan ahli yang mampu membantu kasus
kepolisian di Indonesia.
52

2. Hibah Peralatan Laboratorium Cyber Crime
Kerjasama Indonesia dan Australia juga terkait dengan hibahnya peralatan
untuk forensic di Kepolisian di Indonesia. Dalam kerangka kerjasama ini pula,
Indonesia-Australia menyambut baik kelanjutan program capacity building dalam
kerangka kerja sama penegakan hukum melalui Jakarta Centre for Law
Enforcement Cooperation (JCLEC). Kerjasama ini merupakan salah satu bentuk
(plan of action) dari perjanjian keamanan Lombok Treaty.
Sejak tahun 2010 Australian Federal Police telah bekerja sama dengan
POLRI dalam pembangunan CCIC (Cyber Crime Investigation Center) Bantuan
berupa pembangunan tempat training, layar LCD 21 serta perangkat-perangkat
computer yang mencapai $20 juta merupakan bantuan peralatan yang diperlukan
oleh kepolisian tanpa menggunakan APBD Negara.
30
. Peralatan tersebut
disimpan di Cyber Crime Investigation Center (CCIC) yang berada di Gedung
Bareskrim Jakarta, Polda Nusa Tenggara Barat, Polda Bali, Polda Sumatera Utara,
dan Polda Metro Jaya. Bukan hanya dalam bentuk CCIC, ada juga dalam bentuk
Cyber Crime Investigation Satellite Office (CCISO).
31


3. Training Personil Polri oleh Australia
Dalam peningkatan kemampuan kelembagaan, dilakukan melalui cara-cara
seperti pertukaran personil untuk tugas belajar, program pelatihan, mengadakan
seminar dan konferensi serta penyediaan peralatan. Realisasi dalam kerjasama

30
Bantuan hibah peralatan di CCIC terdapat di http://pasundanekspres.co.id/pasundan/5633-
gabungkan-kecanggihan-alat-dan-insting-reserse diakses 15 Juli 2014
31
Hibah peralatan terdapat di
http://www.jclec.com/index.php?option=com_content&task=view&id=26&Itemid=32 diakses 15
Juli 2014
53

pengembangan SDM diantaranya dilakukan dalam program IMOSC
(International Management Of Serious Crime) yang diselenggarakan JCLEC
(Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation) sejak tahun 2004 dimana
Australia melatih personil POLRI untuk banyak bidang, termasuk Cyber Crime,
perwira yang mengikuti program ini adalah orang-orang yang memenuhi
kualifikasi sebagai pemimpin investigasi kejahatan serius, memiliki pengalaman
investigasi pengalaman serius, fasih berbahasa inggris, dan kualifikasi-kualifikasi
lainnya. Program ini dibiayai oleh Australia. Dalam bidang bantuan teknis, sarana
dan prasarana, diantaranya; pembangunan Laboratorium DNA Pusdokkes Polri,
Pembangunan Gedung TNCC (Transnational Crime Coordination Centre),
Gedung Sekretariat Tim DVI Indonesia. Kerjasama antara Indonesia dan Australia
di bidang penanganan terorisme di atas, yang di implementasikan melalui institusi
Polri dan AFP, mendapatkan banyak bantuan yang di berikan oleh Australia,
mulai dari bantuan dana, pembangunan sarana dan prasarana, dan berbagai
macam bentuk bantuan lainnya yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas
Polri dalam menangani terorisme dan cyber crime.

4. Pertukaran Informasi Berdasarkan MOU Interpol
Bidang ini mencakup kerjasama dan pertukaran informasi intelijen atas
isu-isu keamanan, dengan melibatkan berbagai lembaga dan kantor terkait, sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku di tingkat nasional dan sebatas
tanggung jawab masing-masing. Dalam pengumpulan informasi, sharing intelijen
yang digunakan adalah setiap bahan keterangan yang diperlukan dalam proses
54

penyelidikan atau penyidikan dalam rangka penegakan hukum. Pelaksanaan atas
sharing intelijen ini juga harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan
negara masing-masing.
Contoh sharing intelijen antara Indonesia- Australia diantaranya adalah
Kedua negara berkomitmen untuk konteks isu gerakan separatis dan gerakan
terorisme di Indonesia sebagai contoh terjadinya Bom Bali I dan II pada tahun
2003-2004 agar dapat dideteksi dengan mengumpulkan informasi dan data,
analisa informasi intelijen atau fungsi-fungsi yang terkait dengan pencegahan
dini.
32

Kedua negara menyadari akan adanya suatu kebutuhan untuk melakukan
kerjasama internasional dalam penanggulangan masalah terorisme. Upaya
kerjasama dilakukan untuk dapat meningkatkan kemampuan profesionalisme
kepolisian dan intelijen dalam mendeteksi dan mengeliminir berbagai ancaman,
tantangan, dan gangguan yang berpengaruh terhadap kepentingan nasional,
khususnya dalam hal pencegahan, penindakan dan penanggulangan terorisme. Hal
ini dikarenakan Pemerintah Australia menempatkan prioritas setinggi-tingginya
dalam upaya memerangi ancaman terorisme baik di dalam maupun di luar negeri.
Keberhasilan hanya akan tercapai melalui usaha bersama dengan bentuk
kerjasama, baik bilateral maupun multilateral.
Strategi yang digunakan adalah pengembangan dan peningkatan
kemampuan melalui pertukaran informasi intelijen yang berkaitan dengan

32
Pertukaran Informasi Berdasarkan MOU Interpol terdapat dalam perjanjian Kerjasama
pertahanan dan militer antara Indonesia dengan Australia, dan masih berhubungan dengan adanya
bantuan hibah peralatan kepada Kepolisisan Indonesia terdapat di
http://www.tempo.co/read/news/2011/02/07/063311692/Indonesia-dan-Australia-Resmikan-Lab-
Kejahatan-Dunia-Maya diakses 15 Juli 2014
55

berbagai jenis kejahatan lintas negara berdasarkan hukum tiap jurisdiksi. Selain
itu, juga akan dilakukan peningkatan manajemen informasi yang akan berguna
untuk membantu dalam mengenali dan mengembangkan peluang-peluang
penyidikan terhadap berbagai jenis kejahatan lintas negara.
Kantor penghubung antara Polri dan AFP di Indonesia berada di kantor
Duta Besar Australia di Jl. HR. Rasuna Said Kav.C 15-16 Jakarta Selatan, dengan
empat perwira penghubung; yakni Bruce Hill, Marzio Da Re, Glen Fisher dan
Dean Wealands, Sedangkan Polri memiliki kantor penghubung yang berada di
Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra Australia dengan
seorang perwira penghubung, yakni Kombes Pol. Drs. Estasius Widyo Sunaryo.

B. Hambatan Dalam Menanggulangi Cybercrime
Perkembangan Internet yang semakin hari semakin meningkat baik
teknologi dan penggunaannya, membawa banyak dampak baik positif maupun
negatif. Tentunya untuk yang bersifat positif kita semua harus mensyukurinya
karena banyak manfaat dan kemudahan yang didapat dari teknologi ini, misalnya
kita dapat melakukan transaksi perbankan kapan saja dengan e-banking, e-
commerce juga membuat kita mudah melakukan pembelian maupun penjualan
suatu barang tanpa mengenal tempat. Mencari referensi atau informasi mengenai
ilmu pengetahuan juga bukan hal yang sulit dengan adanya e-library dan banyak
lagi kemudahan yang didapatkan dengan perkembangan Internet.
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi Internet membawa dampak
negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat yang ada. Internet membuat
kejahatan yang semula bersifat konvensional seperti pengancaman, pencurian dan
56

penipuan kini dapat dilakukan dengan menggunakan media komputer secara
online dengan risiko tertangkap yang sangat kecil oleh individu maupun
kelompok dengan akibat kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat
maupun negara disamping menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Seperti seorang hacker dapat masuk ke dalam suatu sistem jaringan
perbankan untuk mencuri informasi nasabah yang terdapat di dalam server
mengenai databaserekening bank tersebut, karena dengan adanya e-banking
jaringan tersebut dapat dikatakan terbuka serta dapat diakses oleh siapa saja.
Kalaupun pencurian data yang dilakukan sering tidak dapat dibuktikan secara
kasat mata karena tidak ada data yang hilang tetapi dapat diketahui telah diakses
secara ilegal dari sistem yang dijalankan.

Hambatan yang terjadi dalam penanggulangan Cybercrime antara lain :
1. Kemampuan Penyidik
Secara umum penyidik Polri masih sangat minim dalam penguasaan
operasional komputer dan pemahaman terhadap hacking komputer serta
kemampuan melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus kejahatan dunia
maya semakin berkembang. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh
(determinan) adalah:
a. Kurangnya pengetahuan tentang komputer
b. Pengetahuan teknis dan pengalaman para penyidik dalam menangani
kasus-kasus cybercrime masih terbatas

57

c. Faktor sistem pembuktian yang menyulitkan para penyidik
Dalam hal menangani kasus cybercrime diperlukan penyidik yang cukup
berpengalaman (bukan penyidik pemula), pendidikannya diarahkan untuk
menguasai teknis penyidikan dan menguasai administrasi penyidikan serta
dasar-dasar pengetahuan di bidang komputer dan profil hacker.

2. Alat Bukti
Persoalan alat bukti yang dihadapi di dalam penyidikan terhadap
Cybercrime antara lain berkaitan dengan karakteristik kejahatan cybercrime itu
sendiri, yaitu:
a. Sasaran atau media cybercrimeadalah data dan atau sistem komputer atau
sistem internet yang sifatnya mudah diubah, dihapus, atau disembunyikan
oleh pelakunya. Oleh karena itu, data atau sistem komputer atau internet
yang berhubungan dengan kejahatan tersebut harus direkam sebagai bukti
dari kejahatan yang telah dilakukan. Permasalahan timbul berkaitan
dengan kedudukan media alat rekaman (recorder) yang belum diakui
KUHAP sebagai alat bukti yang sah.
b. Kedudukan saksi korban dalam cybercrimesangat penting disebabkan
cybercrime seringkali dilakukan hampir-hampir tanpa saksi. Di sisi lain,
saksi korban seringkali berada jauh di luar negeri sehingga menyulitkan
penyidik melakukan pemeriksaan saksi dan pemberkasan hasil penyidikan.

58

Sedangkan untuk syarat keempat, yaitu adanya kesadaran masyarakat yang
terkena aturan untuk mematuhi aturan tersebut, nampaknya masih belum akan
terpenuhi dalam waktu singkat. Jangankan mematuhi aturan hukum yang belum
begitu jelas, mematuhi aturan hukum yang sudah jelas saja merupakan persoalan
tersendiri bagi sebagian masyarakat.




























59

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Cyber crime merupakan suatu perbuatan merugikan orang lain atau
instansi yang berkaitan dan pengguna fasilitas dengan sistem Informasi
dan Transaksi Elektronik yang bertujuan untuk menguntungkan diri
sendiri maupun orang lain secara materi, maupun hanya untuk sekedar
memuaskan jiwa pelaku atau orang tersebut.
2. Perjanjian Antara Republik Indonesia Dan Australia Tentang Kerangka
Kerjasama Keamanan (Agreement Between The Republic Of Indonesia
And Australia On The Framework For Security Cooperation) pada
November 2006 atau Lebih Dikenal Sebagai Lombok
Treatyberisikanbahwa Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Australia antara lain dengan meningkatkan cyber forensic dibantu dengan
Sumber Daya Manusia yang baik dan peralatan yang cukup untuk
melakukan kegiatan penelitian forensic.Untuk hibah peralatan Australia-
Indonesia merupakan kelanjutan program capacity building dalam
kerangka kerja sama penegakan hukum melalui Jakarta Centre for Law
Enforcement Cooperation (JCLEC). Hasil hibah peralatan disimpan di
Cyber Crime Investigation Center (CCIC) yang berada di Gedung
60

Bareskrim Jakarta, Polda Nusa Tenggara Barat, Polda Bali, Polda
Sumatera Utara, dan Polda Metro Jaya, memberikan trainingdalam
peningkatan kemampuan kelembagaan, dilakukan melalui cara-cara seperti
pertukaran personil untuk tugas belajar, program pelatihan, mengadakan
seminar dan konferensi serta penyediaan peralatan. Dalam bidang bantuan
teknis, sarana dan prasarana, diantaranya; pembangunan Laboratorium
DNA Pusdokkes Polri, Pembangunan Gedung TNCC (Transnational
Crime Coordination Centre), serta adanya pertukaran informasi antara
kedua negaraDalam pengumpulan informasi, sharing intelijen yang
digunakan adalah setiap bahan keterangan yang diperlukan dalam proses
penyelidikan atau penyidikan dalam rangka penegakan hukum.Beberapa
hambatan dalam menangulangi Cybercrime antaralain : Kemampuan
Penyidik, Alat Bukti.

B. Saran
Indonesia dan Australia sudah melakukan kerjasama dalam
menanggulangi cybercrime terhitung sudah cukup lama. Sehingga saran-saran
penulis dapat dijadikan pertimbangan dalam menanggulangi Cyber crime antara
lain :
1. Masyarakat Indonesia diharapkan berhati-hati dan bijaksana dalam
menggunakan atau beraktifitas di Cyber space, karena cyber crime bersifat
dinamis yang berarti terus berkembang dan akan berbahaya bila tidak
diimbangi oleh kewaspadaan dan pengetahuan.
61

2. Institusi dan masyarakat meningkatkan keamanan data sensitive dengan
melakukan tindakan pencegahan terhadap cyber crime, seperti
menggunakan password yang tidak mudah ditebak dan menggantinya
secara berkala, memasang program anti spyware dan antivirus yang
diperbaharui secara berkala.
3. Polri mensosialisasikan tentang cybercrime, computer dan jaringan kepada
masyarakat umum dan luas agar masyarakat lebih siap atau lebih waspada
dalam beraktifitas dalam cyberspace.
4. Karena cyber crime semakin berkembang, maka kepolisian juga harus
mengimbangi dengan meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia.
5. Mengembangkan dan meningkatkan kerjasama bilateral dengan Australia
dan Indonesia dalam kerangka kerjasama keamanan sesuai perjanjian
Lombok treaty khususnya dibidang cybercrime.

Anda mungkin juga menyukai