Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH MAHKAMAH AGUNG Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum

Tata Negara Oleh: Dede Sri Rahayu A.220110057 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012 PEMBAHASAN A. Latar
Belakang Lahirnya Mahkamah Agung (MA) Ketentuan yang menunjuk kearah badan
Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.Eksistensi
Mahkamah Agung ditetapkan setelah diundangkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1947
tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku
pada tanggal 3 Maret 1947.Undang-Undang No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan
Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan Mahkamah
Agung Indonesia ialah pengadilan tertinggi. Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang
"Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain
dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara
tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi
putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat
lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari: 1. Peradilan Umum; 2. Pemdilan
Agama; 3. Peradilan Militer; 4. Peadilan Tata Usaha Negara. B. Kedudukan Mahkamah
Agung (MA) Mahkamah Agung merupakan pengadilan tinggi negara sebagaimana yang
tercantum dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1978 dan merupakan Lembaga Peradilan tertinggi dari semua lembaga peradilan
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lainnya. Mahkamah Agung membawai 4 badan peradilan yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sejak Amandemen
Ke-3 UUD 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya puncak
kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak
kekuasaan kehakiman menjadi 2, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak
seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan.
MA adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagai Lembaga Tinggi Negara yang
merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, dimana dalam
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. (UU. No.14 Tahun
1985 pasal 1,2,3) C. Fungsi Mahkamah Agung (MA) 1. Fungsi Peradilan a. Sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas
membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan
kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI
diterapkan secara adil, tepat dan benar. b. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah
hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/ menilai secara materiil peraturan perundangan
dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya
(materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985). 2. Fungsi Pengawasan a.
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua
lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan dengan adil.
Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman
pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan
Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970). b. Mahkamah Agung juga melakukan
pengawasan terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan
Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan
petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang undang
Mahkamah Agung Nomor14 Tahun 1985). Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris
sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985). 3. Fungsi mengatur a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-
hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal
yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai
pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal
79 Undang-undang No.14 Tahun 1985). 4. Fungsi Nasehat a. Mahkamah Agung memberikan
nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga
Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka
pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun
1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal
14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan
kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian,
dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya. b. Mahkamah Agung
berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua
lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undangundang No.14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-
undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). 5. Fungsi Administratif a. Badan-
badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970
secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. b. Mahkamah Agung
berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. (Tap MPR RI No. III/MPR/1978 dan UU No. 5 tahun 2004) D. Tugas dan
Wewenang Mahkamah Agung (MA) 1. Memeriksa dan memutus permohonan kasasi; 2.
Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili; 3. Memeriksa dan
memutus permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan. 4. Mengadili pada
tingkat kasasi terhadap putusan tingkat terakhir di lingkungan peradilan yang berada
dibawah MA 5. Menguji peraturan perundang-undangan 6. Menyatakan tidak sah
peraturan perundang-undangan di bawah UU 7. Meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan 8. Memberi petunjuk, teguran, atau
peringatan kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan. (UU No. 14 tahun 1985
pasal 28, 32 ; UU No. 4 tahun 2004 pasal 11; dan UU No. 5 tahun 2004 pasal 31) E.
Keanggotaan Mahkamah Agung (MA) 1. Pemilihan Susunan MA terdiri atas pimpinan,
hakim anggota, panitera,dan seorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota MA adalah
Hakim agung yang diangkat oleh Presiden dari nama calon yang diajukan oleh DPR dari
nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Pemilihan calon hakim agung maksimal 60
orang dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon diterima DPR.
Sebelum memangku jabatannya, semua anggota MA wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya. Pimpinan MA mengucapkan janji di hadapan presiden, sedangkan
hakim anggota, panitera MA, sekretaris MA mengucapkan janji dihadapan Ketua MA. (UU
No. 5 tahun 2004 pasal 4, 8,9, 21,22, dan 25) 2. Syarat-syarat Keanggotaan a.
Warga negara Indonesia b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berijazah
sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; d. Berusia
sekurang-kurangnya 50 tahun e. Sehat jasmani dan rohani; f. Berpengalaman
sekurang-kurangnya 20 tahun menjadi hakim serta 3 tahun menjadi hakim tinggi. (UU No.
5 Tahun 2004 pasal 7) 3. Pemberhentian Anggota MA Anggota MA diberhentikan dari
jabatannya oleh Presiden atas usul ketua MA dengan alasan : a. Meninggal dunia b.
Telah berumur 65 tahun c. Permintaan sendiri d. Sakit jasmani atau rohani secara
terus-menerus atau e. Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. (UU No. 5
Tahun 2004 pasal 11) Anggota MA dapat pula diberhentikan secara tidak hormat apabila:
a. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan b. Melakukan
perbuatan tercela c. Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya; d. Melanggar sumpah atau janji jabatan (UU No. 14 Tahun 1985 pasal
12) 4. Masa Jabatan Anggota MA Berdasarkan UU No. 5 tahun 2004, Masa jabatan MA
selama 5 (lima) tahun. 5. Hak dan Kewenangan Anggota MA Berdasarkan UU NO. 14
tahun 1985 pasal 16 menyatakan bahwa anggota MA memiliki Hak keuangan/administratif
yang diatur oleh Undang-undang. MA juga mempunyai hak untuk memutus permohonan
kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir, dan dalam
tingkat kasasi MA mempunyai hak untuk membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-
pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan. F. Pimpinan Mahkamah Agung (MA) 1.
Hak Pimpinan MA Pimpinan MA yang terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan
Hakim Anggota Mahkamah Agung memiliki hak keuangan/administrative yang diatur
dengan Undang-undang. (UU No. 14 Tahun 1985 pasal 16) 2. Wewenang Pimpinan MA
Pimpinan MA sebagai pelaksana tugas Kekuasaan Kehakiman berwenang untuk memutus
permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir,
serta membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan, meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dan memberi petunjuk, teguran, atau
peringatan kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan. (UU No.14 Tahun 1985 pasal
29 dan UU No. 5 tahun 2004 pasal 31) 3. Pemilihan Pimpinan MA Pimpinan MA terdiri
atas seorang ketua, 2 wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua MA
terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial. Ketua dan
wakil ketua MA di angkat oleh presiden yang dipilih dari dan oleh hakim agung.Sedangkan
Ketua muda MA di angkat oleh presiden di antara hakim agung yang diajukan oleh ketua
MA yang pengangkatannya ditetapkan 14 hari kerja sejak pengajuan calon diterima
presiden. (UU No. 5 tahun 2004 pasal 5 dan pasal 8) 4. Pemberhentian Pimpinan MA
Pimpinan MA di berhentikan dengan hormat apabila: a. meninggal dunia b. Telah
berumur 65 tahun c. permintaan sendiri d. sakit jasmani atau rohani secara terus-
menerus atau e. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. (UU No. 5 Tahun
2004 pasal 11) Pimpinan MA dapat pula diberhentikan secara tidak hormat apabila: a.
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan b. melakukan perbuatan
tercela c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya d. melanggar sumpah atau janji jabatan (UU No. 14 Tahun 1985 pasal 12)
5. Masa Jabatan Pimpinan MA Pimpinan MA memegang jabatannya selama 5 tahun (UU
No. 5 tahun 2004 pasal 5) G. Persidangan dan Keputusan Mahkamah Agung (MA) 1.
Persidangan Sidang MA adalah kegiatan MA untuk memeriksa dan memutus suatu perkara,
mengucapkan dan mengumumkan putusan suatu perkara. Dalam persidangan MA
memeriksa dan memutus suatu perkara yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum. (UU No. 14 Tahun 1985 pasal 40) 2. Keputusan a. MA memeriksa dan
memutus dengan sekurang-kurangnya 3 orang Hakim b. Putusan MA diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum. c. Dalam mengambil putusan, MA tidak terikat pada
alasan-alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum
lain. d. Salinan putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama e.
Putusan MA oleh Pengadilan Tingkat Pertama diberitahukan kepada kedua belah pihak
selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh Pengadilan
Tingkat Pertama tersebut. (UU No. 14 Tahun 1985 pasal 40, 52,dan 53) H. Dasar Hukum
Mahkamah Agung (MA) 1. UUD 1945 Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B. 2. UU No. 5
Tahun 2004 Tentang Perubahan UU 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung 3. UU No.
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman 4. UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial 5. UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub


MAKALAH MAHKAMAH AGUNG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945.Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan setelah
diundangkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan kekuasaan Mahkamah
Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.Undang-
Undang No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang
dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan tertinggi.
Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan
bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung
sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari
Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-
masing terdiri dari:
1. Peradilan Umum;
2. Pemdilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.
Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang diperlukan karena bangsa
kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar undang-undang dasar
1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945.
Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara
lain dengan adanya system prinsip “Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai
pengganti system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.
Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk memutuskan
sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai
kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar. Maka dari itu MA di bentuk agar (the supreme law of the land )
benar-benar dijalankan atau ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai
dengan prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi factor bagi
penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Mahkamah Agung?
2. Bagaimana Kedudukan Mahkamah Agung?
3. Jelaskan Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung?
4. Jelaskan Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Mahkamah Agung.
2. Mengetahui Kedudukan Mahkamah Agung.
3. Mengetahui Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung.
4. Mengetahui Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mahkamah Agung


Mahkamah agung adalah lembaga tertinggi dalam system ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara.
Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada UU. No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman UU ini juga telah mencabut dan membatalkan berlakunya UU No. 4
tahun 2004. Undang-undang ini di susun karena UU No.4 Tahun 2004 secara substansi
dinilai kurang mengakomodir masalah kekuasaan kehakiman yang cakupannya cukup luas,
selain itu juga karena adanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 34 UU No.4
Tahun 2004, karena setelah pasal dalam undang-undang yang di-review tersebut diputus
bertentangan dengan UUD, maka saat itu juga pasal dalam undang-undang tersebut tidak
berlaku, sehingga untuk mengisi kekosongan aturan/hukum, maka perlu segera melakukan
perubahan pada undang-undang dimaksud.

2.2 Kedudukan Mahkamah Agung (MA)


Mahkamah Agung merupakan pengadilan tinggi negara sebagaimana yang tercantum
dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1978 dan merupakan Lembaga Peradilan tertinggi dari semua lembaga peradilan
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lainnya. Mahkamah Agung membawai 4 badan peradilan yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sejak Amandemen
Ke-3 UUD 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya puncak
kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak
kekuasaan kehakiman menjadi 2, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak
seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan.
MA adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagai Lembaga Tinggi Negara yang
merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, dimana dalam
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia. (UU. No.14 Tahun
1985 pasal 1,2,3)
2.3 Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung
Menurut Undang-undang Dasar 1945, wewenang Mahkamah Agung adalah:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali
undang-undang menentukan lain;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

Sedangkan Fungsi Mahkamah Agung menurut UUD 1945 ada 5, yaitu:


a. Fungsi Peradilan
→ Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan
peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah
negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
→ Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa
dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir.
1. semua sengketa tentang kewenangan mengadili. permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34
Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
2. semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang
3. Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-
undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
→ Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal
apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari
tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).

b. Fungsi Pengawasan
→ Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua
lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Nomor 14 Tahun 1970).
→ Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
1. Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat
Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok
Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan
2. setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang
diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung
Nomor 14 Tahun 1985).
3. Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

c. Fungsi Mengatur
→ Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-
undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).
→ Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk
mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

d. Fungsi Nasehat
→ Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam
bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah
Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku
Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang
Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan
untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga
rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai
rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaannya.
→ Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada
pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

e. Fungsi Administratif
→ Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun
1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
→ Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan
tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).

2.4 Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung


1. Pengangkatan Hakim Agung
Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung sebelum
reformasi, dan setelah reformas, dengan amandemen UUD 1945.Pada masa Orde Lama
proses pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara
yaitu eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman, yudikatif (MA) dan legislatif (DPR).
Aturan ini khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam pemilihan
hakim biasa hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam Pasal 4-11 Ayat (2)
KRIS ditetapkan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh
Presiden atas anjuran DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap
pengangkatan. Pengangkatan (pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde Lama meski
melibatkan lembaga negara lainnya yakni DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di
tangan eksekutif (Presiden).
Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim Agung yang
sekaligus memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif (Kepala Negara) saat itu adalah
dengan diangkat dan ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan
pangkat Menteri berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38). Meskipun Ketua MA pada saat itu
berkilah bahwa ia tidak akan menjadi pejabat eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah,
Namun secara birokrasi MA telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannya dan sangat
dimungkinkan pengaruh dari eksekutif.
Pada masa Orde baru, proses rekrutmen hakim agung diawali dengan diadakanya
forum yang melibatkan Mahkamah Agung dan pemerintah yang biasanya dikenal dengan
sebutan Forum Mahkamah Angung dan Departemen (MahDep). MahDep merupakan forum
yang digunakan sebagai ajang konsultasi antara Mahkamah Agung dab Depatrtemen dalam
membicarakan daftar kandidat hakim agung yang akan diajukan ke Mahkamah Agung da
Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat. Biasanya Mahkamah Angung berinisiatif
memberikan nama-nama calon hakim agung ke Departemen terlebih dahulu.
Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan
Mahkamah Agung sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. Namun dalam
praktiknya Ketua Mahkamah Agung seringkali memegang kontrol yang dominan dalam
menentukan nama-nama calon yang dimasukkan dalam proposal.
Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep. Pada saat
presentasi, biasanya Departemen mengusulkan beberapa perubahan, misalya dengan
memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat
hakim agung dibahas, kemudian nama-nama tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan
Rakyat yang kemudian diangkat sebagai hakim agung oleh presiden.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam rekruitmen hakim
agung jauh lebih signifikan apabila dibandingkan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal ini terkait denga lemahnya posisi Dewan Perwakilan Rakyat. Dibandingkan dengan
kekuasaan pemerintah (eksekutif).
Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata “reformasi” tiba-tiba menjadi hangat
dibicarakan. “Reformasi ekonomi”, “reformasi struktural”, dan “reformasi politik” menjadi
bahan diskursus berbagai kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), kampus, hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak mendambakan reformasi
yang segera agar dapat keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat itu[3] dan diantaranya
reformasi dalam bidang hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,
bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan menjadi 7 (tujuh), yaitu[4] :
1. kajian dan forum ilmiah;
2. perancangan peraturan;
3. implementasi peraturan;
4. pelatihan hukum
5. advokasi dan kesadaran masyarakat;
6. lembaga hukum; dan
7. penyusunan rencana.
Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk amandemen UUD
Republik Indonesia 1945. Setelah Amandemen, mekanisme rekruitmen Hakim Agung
berbeda dari hakim biasa. Calon hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan
untuk mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan Pasal 24A
ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi :
“Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”

Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya pembaruan penradilan,


termasuk di dalamnya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial ini di masa yang akan datang diharapkan dapat
menjadi salah satu mitra kerja Mahkamah Agung untuk terus melakukan upaya-upaya dalam
rangka pembaruan badan peradilan.
Komisi Yudisial bertindak sebagai pengusul, sedangkan DPR sebagai pemberi
persetujuan atau penolakan, dan selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari
ketentuan tersebut jelas bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan
‘fit and proper test’ dan pemilihan hakim agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang
dicalonkan oleh Komisi Yudusial. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa
calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan
selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan Keputusan Presiden. Hak untuk
menyetujui atau menolak inilah yang disebut sebagai hak konfirmasi (the right to confirm)
yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik yang dipandang tidak boleh
dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Karena itu, fungsi pengawasan
oleh DPR itu dilakukan tidak saja menyangkut pelaksanaan kebijakan klegislatif
berupa tindakan implementasi UU, penjabaran pengaturan UU dalam peraturan pelaksanaan
yang lebih operasional, dan dalam bentuk pengawasan terhadap pengangkatan dan
pemberhentian pejabat publik tertentu yang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara
sewenang-wenang oleh Presiden.
Dengan demikian, calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial cukup sebanyak yang
diperlukan, yang apabila tidak mendapat persetujuan, barulah diajukan lagi alternatif calon
penggantinya. Artinya, mekanisme yang ditempuh untuk pengusulan ini sama dengan yang
berlaku terhadap calon Kepala POLRI dan calon Panglima TNI yang diajukan oleh Presiden
untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan dari DPR. Setelah DPR menyatakan
persetujuannya, barulah calon Hakim Agung itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan dilantik di Istana dengan disaksikan oleh
Presiden. Dengan demikian, pengangkatan Hakim Agung melibatkan semua fungsi
kekuasaan yang terpisah, yaitu Komisi Yudisial sebagai lembaga administratif, DPR sebagai
cabang kekuasaan legislative, dan Presiden sebagai cabang kekuasaan eksekutif.
Profesi secara umum dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud karya
pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di
bidangkeilmuan tertentu, yang pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup,
dan pelaksanaannya terikat pada nilai-nilai etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian
terhadap sesama manusia, demi kepentingan umum, serta berakar pada penghormatan dan
upaya untuk menjunjung tinggi martabat manusia.
Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan pekerjaan, di
mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang diperoleh
melalui training dan pengalaman kerja.[5] Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas
yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi tersebut dengan
disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua, mempunyai
kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik. Ketiga,
mempunyai banyak pengalaman kerja.
Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim Agung tersebut juga
berkaitan dengan kepentingan untuk menjamin adanya akuntabilitas (public accountability)
dalam pengangkatan, dan juga dalam pemberhentian Hakim Agung. Bagaimanapun juga,
pengakuan akan penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan (the independence of
judiciary) sebagai Negara Hukum modern harus lah diimbangi dengan penerapan prinsip
akuntabilitas publik1. Karena itu, fungsi partisipasi publik dipandang penting, dan hal itu
terkait dengan fungsi di DPR, bukan di KY sebagai lembaga teknis yang bersifat
administratif.
Cara perekrutan hakim Mahkamah Agung dapat disebut multi-voters model karena
melibatkan banyak pihak. UUD 1945 menegaskan peran Komisi Yudisial sebagai panitia
tetap seleksi MA yang hasil akhirnya ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya
menerbitkan keputusan pengangkatan hakim agung. KY mengimbangi Presiden dan DPR
meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR.
Sebagai lembaga teknis administrasi, KY harus dijamin independen dari campur
tangan politik dari pemerintah ataupun dari lembaga politik kekuasaan legislative. Bahkan
sebaiknya, KY juga diamankan dari keterlibatannya dengan pengaruh-pengaruh politik
lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, Komisi Yudisial benar-benar dapat
bertindak sebagai lembaga antara yang kritis dan objektif, semata-mata untuk mencapai
kehormatan, kepercayaan dan martabat hakim dan lembaga peradilan. Karena dalam Pasal
24B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.

2. Pemberhentian Hakim Agung


Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya. Komisi Yudisial
berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim agung. Dalam hal terjadi
pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim agung yang bersangkutan dikenakan sanksi
etika sebagaimana mestinya. Dalam hal hakim agung melakukan pelanggaran yang berat,
baik pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum, yang menyebabkannya terancam sanksi
pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk
mendapatkann persetujuan atau penolakan dari DPR sebagaimana mestinya. Apabila DPR
menyetujui usul pemberhentian itu barulah usul itu diajukan kepada Presiden untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila DPR menyatakan menolak usul
pemberhentian tersebut, maka sanksi pemberhentian yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
tidak dapat dilaksanakan, dan Komisi Yudisial wajib mengadakan penyesuaian terhadap
keputusannya menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya.
Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di
Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat
dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian
hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran
martabat dan perilaku hakim.
Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan DPR, maka Komisi
Yudisial segera mengajukan usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan secara administratif
dengan Keputusan Presiden. Untuk mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera
mengajukan usul calon pengganti kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum
diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung sebagaimana mestinya.
Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan jabatan semacam ini, sebaiknya, Komisi
Yudisial telah memiliki daftar bakal calon Hakim Agung yang dicadangkan dari proses
seleksi yang sudah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam jabatan
Hakim Agung dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa mendatang.

Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan “merangkap jabatan”
antara lain:
a. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya;
b. pengusaha; dan
c. advokat.
Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain Hakim yang
merangkap sebagai direktur perusahaan, menjadi pemegang saham perseroan atau
mengadakan usaha perdagangan lain.
Di dalam pasal 23 ayat (1) UUKY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat
diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat
pelanggarannya, yaitu:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara; atau
c. Pemberhentian.

Manakala hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka pasal 22 ayat (4)
menegaskan: “Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang
diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka
waktu paling lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.
Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor, hakim
terlapor, atau hakim lain yang terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan itu dapat
diberikan secara lisan dan/atau tertulis” (penjelasan pasal 22 ayat 4).
Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut,
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa
paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang
diminta (Pasal 22 ayat 5).
Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetapi
tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan atau hakim yang
bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan dibidang
kepegawaian (pasal 22 ayat 6). Semua keterangan dan data ini bersifat rahasia (pasal 22 ayat
7). Sedangkan mengenai ketentuan tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada
pasal 22 ayat (1) di atur oleh Komisi Yudisial.
Usul pemberhentian sanksi teguran tertulis ini disertai alasan kesalahannya, bersifat
mengikat, disampaikan Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 2). Sedangkan usul penjatuhan sanksi pemberhentian
sementara dan pemberhentian ini diserahkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 3). Untuk hakim yang dijatuhkan sanksi
pemberhentian sementara dan pemberhentian diberi kesempatan secukupnya untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim (pasal 23 ayat 4). Dalam hal pembelaan ditolak,
usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi
kepada presiden paling lambat 14 hari sejak pembelaan ditolak oleh Majelis Kehormatan
(pasal 23 ayat 5).
Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka
waktu paling lama 14 hari sejak presiden menerima usul Mahkamah Agung (pasal 23 ayat )
Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung
pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah
Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung;
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan
ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan
kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela
diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul
pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada
Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim
Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari
Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan
di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal 32 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut :
1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan tugasnya;
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3)
dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan
kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela
diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul
pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada
Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan terutama dengan cara
lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip
kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk
mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of
law. Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi
hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa
takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari
pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan
imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk
lainnya, serta tidak menyalah gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk
berlindung dari pengawasan;

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Wewenang Mahkamah Agung sangat banyak,tidak hanya mengadili pada tingkat kasasi
terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan
lain,menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang; dan kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.seperti yang tercantum pada
pasal 20 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi juga meliputi
Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah
hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan dan terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, Pimpinan Mahkamah Agung bersama
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa menjadi saksi pengambilan sumpah Presiden
dan Wakil Presiden apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat
terdapat suatu hal yang bersifat memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelenggarakan
sidang, Mahkamah Agung bisa memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal
Pemberian Grasi dan RehabilitasiMahkamah Agung berhak untuk mengajukan 3 orang
Hakim Konstitusi dan Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman.

3.2 Saran
Mengenai Perekrutan Hakim Agung, perlu diatur bahwa seluruh hakim baik hakim agung
maupun hakim konstitusi, pengusulannya harus diusulkan oleh KY. Dengan demikian seluruh
hakim akan diawasi oleh pengawas eksternal yaitu KY. MA maupun MK tidak perlu
membentuk majelis kehormatan yang bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya
diambil dari lingkungan hakim itu sendiri. Dengan kata lain, ke depan tugas mengawasi
hakim cukup diserahkan ke KY baik hakim , Hakim Agung Maupun Hakim Kostitusi. Hasil
pengawasan KY direkomendasikan kepada ketua MA maupun MK untuk ditindaklanjuti.
Dewan kehormatan di MA maupun MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan bertindak
setelah rekomendasi KY.

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta:
Pusat Studi Hukum

Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002

E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak


Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1995, hlm. 32.
Satya Arinanto, “Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia”, Hukum
dan Pembangunan, Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998, hlm. 124-125.

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di Indonesia 1999-
2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, Jakarta: Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.

UU no 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

UU no 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/09/mahkamah-agung

http://raha-x.blogspot.com/2011/04/tugas-dan-wewenang-mahkamah-agung.html

Anda mungkin juga menyukai