Anda di halaman 1dari 36

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

Refa Swinta Maharani, S.H., M.H.


Pertemuan 15:
Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Makna Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman juga mengandung makna perlindungan bagi hakim
sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang
berasal dari:
1) Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun
legislatif, dan lainnya;
2) Lembaga-lembaga internal didalam jajaran kekuasaan kehakiman sendiri;
3) Pengaruh-pengaruh pihak yang berperkara;
4) Pengaruh tekanan-tekanan masyarakat, baik nasional maupun internasional;
5) Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the press”.
Fungsi Kekuasaan Kehakiman
1) Fungsi pokok berupa fungsi mengadili (rechtsprekende functie);
2) Fungsi pengawasan (controlerende functie);
3) Fungsi memberi nasihat (advieserende functie);
4) Fungsi mengatur (regelende functie);
5) Fungsi menguji materiil (materiel toetsingrecht).
Makna Keadilan
Adil Adl (Arab): tidak berat sebelah (tidak memihak), berpihak kepada
kebenaran, berbuat sepatutnya;

Keadilan dalam memberi ganti kerugian diterjemahkan sebagai mewujudkan


penghormatan kepada seorang yang haknya dikurangi dengan memberikan
imbalan berupa sesuatu yang setara dengan keadaannya sebelum hak tersebut
dikurangi atau diambil, sehingga yang bersangkutan tidak mengalami degradasi
kesejahteraan.
Hakim dalam Penegakan Hukum
Hakim hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan tersebut.

 Hakim Ad Hoc;
 Hakim Karier;
 Hakim Nonkarier.
 Hakim Ad Hoc
Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. (Pasal 1 angka
6 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (“UU 49/2009”))

Tujuan diangkatnya Hakim Ad Hoc (Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang Nomor 50


Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama): untuk membantu penyelesaian perkara yang
membutuhkan keahlian khusus.

Kedudukan Hakim Ad Hoc: Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor, Pengadilan


Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PHI), dan Pengadilan Kehutanan.
Batasan Hakim Ad Hoc:
• Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia: “Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud …
diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun.”
• Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XVIII/2020 mengatur hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan
selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan tanpa
seleksi ulang sepanjang masih memenuhi persyaratan peraturan perundang-
undangan, serta dapat diangkat untuk masa jabatan 5 tahun berikutnya
dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Hakim Karier
Hakim Karier adalah hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada bagian peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung.

Syarat Hakim Karier (Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung):
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang
mempunyai keahlian di bidang hukum;
4. berusia sekurang-kurangnya 45 tahun;
5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
6. berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim, termasuk pernah menjadi hakim
tinggi; dan
7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode
etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
 Hakim Nonkarier
Hakim Nonkarier adalah hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan
peradilan.

Syarat Hakim Nonkarier (Pasal 7 huruf b UU MA):


1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka
4, dan angka 5;
2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit
20 tahun;
3. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan keahlian di bidang
hukum tertentu dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai
keahlian di bidang hukum; dan
4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman
 Mahkamah Agung
Pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial.

Kewenangan:
1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung;
2) Mengajukan tiga orang anggota hakim konstitusi;
3) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang;
4) Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.
 Mahkamah Konstitusi
Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
1) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
3) Memutus pembubaran partai politik;
4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum:
1) Penghianatan terhadap negara;
2) Korupsi;
3) Penyuapan;
4) Tindak pidana berat lainnya; atau
5) Perbuatan tercela; dan/atau
6) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Peradilan Umum
Peradilan Umum: Pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya.

Dasar Hukum:
 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Pelaksana Kekuasaan Kehakiman Peradilan Umum
1) Pengadilan Negeri
Pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa dan memverifikasi hasil
penyelidikan polri; memutuskan dan menyelesaikan perkara perselisilahan
antara tergugat dengan pengugat kasus perdata atau pidana bagi masyarakat
pencari keadilan; lembaga instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan
di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu
kota kabupaten atau kota.

Susunan Pengadilan Negeri:


 Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN);
 Hakim Anggota;
 Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
2) Pengadilan Tinggi
Sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan
di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-
perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri.
Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir
mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya.

Susunan Pengadilan Tinggi:


 Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN);
 Hakim Anggota;
 Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
Peradilan Agama
Peradilan Agama: Salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman
untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan
perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam. (Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945)

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Wewenang (Pasal 49 UU Peradilan Agama): bertugas dan berwenang


memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Fungsi:
1) Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat pertama. (Pasal 49 UU Peradilan Agama);
2) Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan
petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
baik menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun
administrasi umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan
pembangunan. (Pasal 53 ayat (3) UU Peradilan Agama jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006);
3) Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. (Pasal 53 ayat
(1) dan (2) UU Peradilan Agama) dan terhadap pelaksanaan administrasi
umum kesekretariatan serta pembangunan. (KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006);
4) Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila
diminta. (Pasal 52 ayat (1) UU Peradilan Agama);
5) Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan
(teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan,
dan umum/perlengkapan) (KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
Fungsi Lainnya:
1) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan
instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain
(Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama).
2) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya
serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era
keterbukaan dan Transparansi Informasi Peradilan, sepanjang diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan TUN: salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang mencari
keadilan terhadap sengketa tata usaha negara atau sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat atau daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua


atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Tujuan: untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera,
aman, tenteram serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat
dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat.
Tujuan:
1) Menerima, Memeriksa, Memutus dan Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha
Negara (TUN) Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan Berpedoman
Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dan Ketentuan dan Ketenuan Peraturan Perundang-undangan Lain;
2) Meneruskan Sengketa-Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Ke Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(PTTUN) yang Berwenang;
3) Peningkatan Kualitas dan Profesionalisme Hakim Pada Pengadilan Tata
Usaha Negara), Guna Tercipta dan Dilahirkannya Putusan-Putusan yang
Dapat Dipertanggung jawabkan Menurut Hukum dan Keadilan, Serta
Memenuhi Harapan Para Pencari Keadilan (Justiciabelen);
5) Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Lembaga Peradilan
Guna Meningkatan dan Memantapkan Martabat dan Wibawa Aparatur dan
Lembaga Peradilan, Sebagai Benteng Terakhir Tegaknya Hukum dan
Keadilan, Sesuai Tuntutan Undang-Undang Dasar 1945;
6) Memantapkan Pemahaman dan Pelaksanaan Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai Keputusan Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/012/SK/III/1993,
tanggal 5 Maret 1993 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PT.TUN);
7) Membina Calon Hakim Dengan Memberikan Bekal Pengetahuan Di
Bidang Hukum dan Administrasi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Agar Menjadi Hakim yang Profesional.
Fungsi:
1) Melakukan Pembinaan Pejabat Struktural dan Fungsional Serta Pegawai
Lainnya, Baik Menyangkut Administrasi, Teknis, Yustisial Maupun
Administrasi Umum;
2) Melakukan Pengawasan atas Pelaksanaan Tugas dan Tingkah Laku Hakim
dan Pegawai Lainnya;
3) Menyelenggarakan Sebagian Kekuasaan Negara Dibidang Kehakiman.
Peradilan Militer
Peradilan Militer: lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang
berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh militer.

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan


Militer.

Wewenang: Mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh Militer (prajurit


TNI) berpangkat Kapten ke bawah yang melakukan tindak pidana (kejahatan)
maupun pelanggaran masih berdinas aktif dan atau orang-orang yang tunduk
pada kekuasaan Peradilan Militer berdasarkan Undang-Undang Peradilan
Militer.
Fungsi:
1) Fungsi Mengadili (Judicial Power): Memeriksa dan memutus dalam Peradilan
Tingkat Pertama atas perkara-perkara tindak pidana dan pelanggaran yang
terdakwanya adalah prajurit TNI berpangkat Prada sampai dengan Kapten
(berdasarkan Perundang-undangan menjadi wewenangnya); Mengatur dan
meneruskan permohonan Banding, Kasasi, Grasi dan Peninjauan Kembali dalam
perkara-perkara yang menjadi wewenangnya;
2) Fungsi Pembinaan: memberikan pengarahan kepada Jajarannya tentang teknis
yudisial, administrasi peradilan, administrasi umum, perlengkapan, keuangan,
kepegawaian dan tatalaksana;
3) Fungsi Pengawasan: mengadakan pengawasan internal di lingkungan Pengadilan
Militer atas pelaksanaan tugas peradilan, perilaku Hakim, perilaku Panitera dan
Pegawai, pelaksanaan administrasi perkara, pelaksanaan dan administrasi umum;
4) Fungsi Administrasi: menyelenggarakan administrasi umum, administrasi
kepegawaian, administrasi keuangan dan lainnya untuk mendukung pelakasanaan
tugas pokok teknis peradilan dan administrasi peradilan.
Pengadilan Khusus
1) Pengadilan HAM (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM)
• Sebagai upaya pemulihan atas pelanggaran HAM berat yang merupakan
extra ordinary crimes dan berdampak secara luas baik secara nasional
maupun internasional, pelanggaran mana yang bukan merupakan delik yang
diatur dalam KUHP, serta pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian baik
materiil maupun immateriil berupa perasaan tidak aman baik bagi
perseorangan maupun masyarakat;
• Pelanggaran HAM berat tersebut dilakukan oleh seseorang yang pada saat
pelanggaran tersebut dilakukan, ia telah berumur lebih dari 18 (delapan
belas) tahun (a contrario Pasal 6 UU Pengadilan HAM).
Kompetensi Absolut Pengadilan HAM Ad hoc :
• Memeriksa dan memutus pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM, yaitu 26 November 2000;
• Pelanggaran HAM berat tersebut terbatas hanya yang terjadi pada
tempat dan waktu yang ditentukan dalam Keputusan Presiden tentang
Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
2) Pengadilan Tipikor (Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang- Jenis Tindak Pidana Lain yang berkaitan
Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan Tipikor:
tentang Tipikor) • Merintangi proses pemeriksaan perkara
korupsi;
Pengelompokan jenis atau bentuk Tipikor: • Tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar;
• Kerugian keuangan Negara;
• Bank yang tidak memberikan keterangan
• Suap menyuap; rekening tersangka;
• Penggelapan dalam jabatan; • Saksi atau ahli yang tidak memberi
• Pemerasan; keterangan atau memberi keterangan
palsu;
• Perbuatan curang;
• Orang yang memegang rahasia jabatan
• Benturan kepentingan dalam pengadaan; tidak memberikan keterangan atau
• Gratifikasi. memberi keterangan palsu;
• Saksi yang membuka identitas pelapor.
3) Pengadilan Hubungan Industrial (Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial)
• Tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
• Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
• Tingkat pertama mengenai perselisihan PHK;
• Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/
serikat buruh dalam satu perusahaan.
4) Pengadilan Perikanan (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan)
Pasal 71A UU Perikanan: “Pengadilan perikanan berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi di wilayahpengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing.”

Wewenang: Menangani perkara dengan gejala penangkapan ikan yang


berlebihan, pencurian ikan, dan tindakan illegal fishing lainnya yang tidak
hanya menimbulkan kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam kepentingan
nelayan dan pembudi daya ikan, iklim industri, dan usaha perikanan nasional.
Tujuan:
a) Menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal
dan berkelanjutan;
b) Lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan huku
matas tindak pidana di bidang perikanan;
c) Melengkapi dan menyempurnakan hukum acara dalam proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan (di samping mengikuti
hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 8Tahun 1981 tentang KUHAP,
juga memuat hukum acara khusus);
d) Menjamin hukum materiil dan hukum acara (formil) bersifat lebih cepat;
e) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak
pidana di bidang perikanan.
5) Pengadilan Kehutanan (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan)

Tujuan (Pasal 3 UU Kehutanan):


a. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional;
b. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;
c. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
d. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan
sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan
terhadap akibat perubahan eksternal; dan Menjamin distribusi manfaat yang
berkeadilan dan berkelanjutan;
Wewenang:
• Mengatur dan mengurus segala sesuatu perkara yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan;
• Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan
sebagai bukan kawasan hutan;
• Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai Kehutanan.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai