Disusun oleh:
FAKULTAS HUMANIORA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah Teosofi dengan judul “Teologi Menurut Pemikiran Hasan Hanafi”.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Dr. Anwar Firdausi M.Ag.
sebagai dosen pengampu mata kuliah Teosofi yang telah membantu memberikan arahan dan
pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Penyusun Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup Hassan Hanafi...................................................................2
2.2 Karya-karya Hassan Hanafi………………...............................................4
2.3 Kunci Keilmuan Hassan Hanafi…….........................................................5
2.4 Pemikiran Hassan Hanafi………………...................................................6
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir terlahir seorang tokoh pembaharu
Islam yang memiliki nama lengkap Hassan Hanafi Hassanain (Aisyah, 2011). Ia
merupakan keturunan dari Bani Swaif yang berasal dari Mesir Selatan yang kemudian
pindah ke Kairo. Sejak kecil, ia telah dihadapkan dengan kondisi wilayahnya yang
sedang dijajah dan dikuasai oleh orang-orang asing (Gufron, 2018). Pada akhirnya,
fenomena-fenomena yang ia lihat telah melahirkan sikap nasionalismenya. Ketika ia
menginjak umur belasan tahun, ia mengenyam pendidikan yang mendorongnya
mengenal filsafat dan mendalaminya (Badruzaman, 2005). Kemudian, ia melanjutkan
pendidikannya di Universitas Kairo, setelah Hanafi lulus disana, ia melanjutkan
pendidikannya di Perancis. Hal ini yang mendorongnya menjadi seorang intelektual
modern dengan gagasan-gagasannya yang membumi, namun tidak sedikit
gagasangagasannya ditolak oleh beberapa kalangan. Sikap nasionalisme yang terdapat
dalam diri Hanafi tumbuh karena dipengaruhi oleh berbagai fenomena yang menimpa
wilayahnya, sehingga dirinya masuk ke salah satu organisasi yang bernama Al-Syubban
Al-Muslimin. Ketika ia berada dalam organisasi tersebut, ia telah banyak mempelajari
segala sesuatu dan ia juga sangat menyukai kerukunan kalangan sekretarianarian dalam
menghadapi persoalan-persoalan sosial yang sedang terjadi di wilayahnya. Oleh karena
itu, situasi sosial dan pendidikannya telah mengantarkan Hanafi sebagai seorang
pembaharu Islam dengan gagasannya yang dikenal dengan sebutan Kiri Islam
(Yusdani, 2002).
Perubahan posisi dari akademisi menjadi pengkaji sosial dialami oleh Hanafi
ketika kalahnya Mesir dalam perang melawan Israel yang terjadi pada tahun 1967.
Perubahan posisi tersebut ia lakukan guna menelusuri penyebab kalahnya Mesir.
Kemudian, lahirnya sikap kritis dalam diri Hanafi disebabkan oleh berubahnya situasi
sosial dan politik di wilayah Mesir. Keberanian Hanafi untuk mengkritisi teologi klasik
telah melahirkan kemarahan dari kalangan Islam yang berasal dari al-Azhar. Menurut
2
kalangan ulama al-Azhar, Hanafi merupakan tokoh intelektual muslim yang telah
menyimpang dari ajaran Islam. Bahkan mereka mendorong kepada pihak Universitas
Kairo untuk memecat Hanafi dari pekerjaannya sebagai pengajar di sana, hal ini mereka
lakukan agar Hanafi tidak menyebarkan ajarannya yang telah menyimpang (Nanda,
2020). Tempat kelahiran Hanafi yakni Mesir merupakan suatu wilayah yang memikat
banyaknya perhatian atas keragaman yang dimilikinya. Secara sosial, Mesir adalah
negara yang selalu terlibat dalam sejarah peradaban dunia. Pada zaman klasik, Mesir
adalah pusat perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan wilayah tersebut menjadi objek
yang mengundang banyak perhatian para intelektual dunia. secara politik, pada saat itu
Mesir memiliki dua golongan ekstim yang berusaha untuk menarik perhatian
masyarakat, hal ini dilakukan agar wilayah Mesir dikuasai oleh salah satu golongan
ekstim tersebut (Manijo, 2013).
Pada abad ke-20, paham liberalisme muncul di Mesir yang diadopsi dari budaya
Barat (Gufron, 2018). Akibat dari munculnya paham ini adalah melahirkan dua
golongan yang berbeda dalam memandang politik di wilayah Mesir. Golongan pertama
merupakan suatu kumpulan para intelektual yang dilatarbelakangi dengan pendidikan
Barat, golongan ini merupakan golongan yang berpihak kepada paham liberalisme
bahkan golongan ini berupaya untuk mengaplikasikan paham tersebut di Mesir.
Golongan kedua, golongan ini merupakan suatu kumpulan para ulama yang masih
memegang tradisi klasik, golongan ini tidak menyepakati atas munculnya paham
tersebut. Situasi seperti ini yang menjadikan para penguasa dan golongan pertama
memandang bahwa para ulama merupakan penghambat dari modernisasi Islam, bahkan
para ulama yang menjadi penyebab atas ketertinggalan Islam dalam bidang ekonomi,
sosial, dan politik (Ridwan, 1998). Fenomena-fenomena seperti inilah yang
menyadarkan Hanafi terhadap realitas yang ia alami sejak kecil hingga dewasa. Hanafi
menyadari bahwa peran pemerintah sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan
hidup rakyat. Ketika ia bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin, Hanafi
menyadari betul bahwa pentingnya kesadaran dalam beragama dan kesadaran atas
realitas (Hanafi, 2015). Pemikirannya terbentuk dari situasi sosial yang bergejolak pada
saat itu. Kemudian, Hanafi juga kecewa kepada situasi umat terutama dalam cara
berpikirnya para pemuda Islam yang terpisah-pisah atau berkelompok. Situasi ini juga
yang mengantarkannya mengkaji dan mendalami pemikiran Sayyid Qutub mengenai
3
keadilan sosial (Nurhakim, 2003). Sejak saat itu, Hanafi berusaha menemukan ciri
perubahan sosial yang dapat menjawab persoalan sosial.
Memahami riwayat hidup Hanafi dan situasi sosialnya pada saat itu, Hanafi
merasakan harus adanya suatu pembaharuan yakni pembaharuan dalam pemikiran yang
menyesuaikan dengan realitas yang sedang terjadi. Kemudian, dengan melihat umat
Islam yang banyak dipengaruhi oleh Barat, hal ini menjadikan Hanafi untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Pertemuan Hanafi dengan para pemikir besar dalam
suatu kunjungan di berbagai wilayah seperti Asia, Amerika, dan Eropa menjadikan
Hanafi sadar dan memahami banyaknya tantangan yang sedang dialami oleh umat Islam
di berbagai wilayah khususnya, dan dunia umumnya (Nurhakim, 2003).
4
g. Islam in the Modern World, terdiri dari dua jilid. Tulisan ini juga merupakan
susunan dari beberapa tulisannya yang pernah dimuat dibeberapa artikel.
a. Syuru' (kesadaran)
Istilah yang paling sentral dan penting dalam membaca karya- karya hasan Hanafi
adalah konsep kesadaran. Dalam bukunya, Hasan Hanafi menuliskan konsep ini dengan
istilah Arabnya As Syu`ur الشعورdan al-Wa`u الوعي. Konsep al-Syu`ur dan al-Wa`yu dapat
diartikan dengan kesadaran dalam bahasa Indonesia, dan dalam bahasa Ingris padanannya
“Consciousness”. Sama dengan Hanafi, konsep kesadaran atau consciousness adalah konsep
sangat utama dalam filsafat Karl Marx. Konsep kesadaran menjadi kalimat kunci bagi semua
konstruk filsafat sosialisme dan revolusi. Hakikatnya, Karl Marx adalah orang yang pertama
memperkenal konsep kesadaran kolektif (collective consciousness) dan Sigmund Freud yang
pertama memperkernalkan kesadaran individu (individual consciousness). Menurut Karl
Marx suatu kelompok masyarakat (class) akan bertahan dengan identitas dan serta akan dapat
berevolusi menjadi lebih tinggi jika mereka memiliki kesadaran kolektif yang benar (true),
namun jika kesadaran mereka palsu (false), maka keutuhan mereka akan sirna dan mereka
akan ditindas. Untuk menjaga kesadaran mereka akan tetap benar, maka diperlukan ideologi
dan revolusi, sebagai jalan pembebasan.Maka dari itu, menurut Karl max dan pengikutnya
kesadaran adalah kunci terpenting dan utama dalam menentukan perubahan dan revolusi.
(Dhuhri S. , 2021)
b. Turats wa tajdid
Turats sendiri dalam bahasa arab berarti warisan, maksudnya adalah warisan berupa
buku buku serta pemahaman dari ulama terdahulu.Turats juga dapat diartikan sebagai jalan
pehaman yang diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi sekarang. Hasan Hanafi
memaknai turats berbeda dengan kebanyakan yang didefinisikan oleh kalangan pemikir Islam
lainnya, yang dimana turats hanya dipahami berupa manuskrip-manuskrip yang mengandung
ilmu-ilmu pengetahuan masa lalu. Maka Hasan Hanafi tidak menerima sepenuhnya definisi
demikian. Menurut Hasan Hanafi turats ada dua bentuk; ada turats berbentuk benda dan ada
turats berbentuk mental. Jika turats berbentuk benda wujudnya bisa berupa tulisan dalam
5
bentuk manuskrip, buku-buku, kitab-kitab, tulisan-tulisan di batu nisan dan dalam bentuk
kayu dan lainnya, maka turats dalam bentuk mental adalah pemaknaan dan pemahaman dari
turats itu yang tersimpan dalam memori kolektif masyarakat. Memori yang ia maksudkan
adalah bentuk interaksi antara kenyataan sehari-hari dengan kesadaran mereka sebagai
sebuah eksistensi sosial. Sedangkan tajdid dalam bahasa Arab yang berakar dari kata
jaddada-yujaddidu-tajdiidan yang artinya "menjadi baru". Maka dari itu tajdid dapat diartikan
sebagai pembaruan dalam ajaran Islam. Hasan Hanafi berargumen bahwa Orang Islam
harusnya tidak menjiplak dari Barat, tetapi mestinya melakukan kreasisasi dan filterisasi ide-
ide, ilmu pengetahuan modern dan pemikiran mereka. (Munir, 2020) Karenanya gerakan
seleksi dan dialog dengan peradaban Barat hal yang wajib dilakukan sehingga tidak mengerus
indentitas Arab dan Islam, juga dapat memahami Barat secara tepat dan benar.Maka dari itu
salah satu tujuan dari tajdid Hasan Hanafi adalah untuk merekonstruksi ilmu-ilmu Islam,
seperti konsep ketuhanan misalnya, karena selama ini ilmu itu telah ketinggalan dan tidak
lagi sepenuhnya mampu merespon dan memberi solusi dari krisis-krisis yang dihadapi
masyarakat Islam. (Arifin, 2017)
6
Pengertian Kiri Islam Ketika mendengar kata kiri, akan ada muncul lawan dari
katanya yaitu kanan. Kiri dan Kanan daam kehidupan merupakan kenyataan yang tidak
bisa di nafikan. Jadi Kiri ini merupakan penerus gagasan atau seruan untuk melawan
penjajahan, keterbelakangan, dan seruan untuk menegakkan kebebasan, keadilan sosial
serta mempersatukan umat Islam dalam suatu kesatuan yang dinamai dengan Al-
Jami‟ah al Islamiyah atau al-Jami‟ah al-Syarqiyah (kesatuan bangsa-bangsa timur).
Dengan demikian Kiri Islam merupakan penyempurnaan (takmiah) atas pembaharuan
yang muncul dalam sejarah Islam modern. Kiri Islam memihak kepada kaum yang
dikuasai, tertindas, yang miskin dan menderita. Sebenarnya kiri dan kanan tidak ada
dalam Islam itu sendiri, melainkan terdapat pada tatanan sosial, politik, ekonomi dan
sejarah. Karena sepanjang manusia terlibat dalam gerak sejarah dan zaman, maka
manusia akan berada dan terbit dalam pertentangan-pertentangan antara kekuatan-
kekuatan dan perbedaan-perbedaan kepentingan. Dari dasar itulah terdapat kiri dan
kanan. Dalam Islam dikenal Golongan Kanan (Ashabul-yamin) dan Golongan Kiri
(Ashabul-Syimal) yang mengarah kepada pelaksanaan Agama, bukan politik dan sosial.
(Riza Zahriyal Falah, 2015)
Kiri Islam lahir setelah terinspirasi atas kemenangan revolusi Islam di Iran pada
tahun 1979. Akan tetapi hal tersebut bukan satu-satunya penyebab bagi gerakan kiri
Islam. Banyak faktor lain yang mempengaruhinya, yaitu adanya gerakan-gerakan Islam
Modern dan lingkungan Islam-Arab, yang tidak berhasil dalam mengentaskan masalah
keterbelakangan dan penindasan. Kegagalan tersebut menurut Hasan Hanafi
disebabkan:
7
4. Kecenderungan revolusi nasional, sekarang telah melahirkan perubahan fundamental
dalam struktur sosio-kultural dunia Islam-Arab, tetapi perubahan tersebut tidak dapat
mempengaruhi kesadaran massa muslim. (Riza Zahriyal Falah, 2015)
8
asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai
manusiawi yang universal.
Oleh karena itu, kritik kepada teologi menjadi keniscayaan. “Teologi bukanlah
ilmu tentang Tuhan (seperti arti secara epistemology dari kata theose dan logos),
melainkan theology adalah ilmu tentang kata (kalam) Tuhan karena Tuhan tidak tunduk
kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam firman-Nya yang berupa wahyu. Dalam
gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya
mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan
perubahan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
teologi tradisional lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan
untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa
Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka
konseptual lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik
menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus
dilakukan. Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir
dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik.
Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena
sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan
pendefinisian beliau tentang definisi teologi itu sendiri. (Sipahutar, 2021)
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Hasan Hanafi adalah guru besar Fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada
tanggal 13 Februari 1935 di Kairo dekat Benteng Salahuddin di kawasan desa Al-Azhar.
Kota ini merupakan tempat bertemunya mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin
menuntut ilmu, khususnya di Universitas Al-Azhar. Meski lingkungan sosialnya tidak
terlalu menggembirakan, namun tradisi keilmuan di sana telah berkembang dalam kurun
waktu yang lama. Masa kecil Hanafi menghadapi kenyataan hidup di bawah penjajahan
dan pengaruh asing. Fakta ini mengilhami patriotisme dan nasionalisme yang besar di
kalangan Hanafi.
Terdapat dua hal penting yang menjadi kunci dalam membaca karya karya hasan
hanafi, yaitu kesadaran diri dan warisan pemahaman dari ulama terdahulu. Konsep
kesadaran menjadi kalimat kunci bagi semua konstruksi filsafat sosialisme dan revolusi.
Dan warisan pemahaman terhadap ulama-ulama terdahulu dapat menjadi kunci
pemahaman yang dalam mengenai karya-karya Hassan Hanafi.
Hassan Hanafi percaya bahwa Islam, sebagai ideologi dan sumber motivasi,
telah terbukti menjadi senjata ampuh untuk setiap gerakan massa. Realitas ini juga
menjadi bukti bahwa dunia Timur (Islam) memiliki tradisi kuno yang dapat memberikan
semangat bagi perubahan sosial dan politik. Teologi pembebasan Hanafi membawa
perspektif baru yang lebih manusiawi terhadap realitas kehidupan manusia. Hassan
Hanafi ingin mengembalikan Islam pada fitrahnya yang sejati, yaitu agama pembebasan
yang peduli dan tanggap terhadap persoalan kemanusiaan.
10
DAFTAR PUSTAKA
11