Anda di halaman 1dari 8

AKAL DAN WAHYU:

Tela’ah atas Pemikiran Kalam Harun Nasution

DIKI CANDRA
Jurusan Ahwal Syakhsiyah
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak
email : diki7282@gmail.com

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tentang kalam menurut Harun Nasution,
terutama yang berhubungan dengan akal dan wahyu. Adapun persoalan yang
dibahas dalam artikel ini adalah siapa Harun Nasution? Seperti apa pemikiran
Harun Nasution? dan Bagaimana coraknya? Hasil dari penulisan artikel ini
menginformasikan bahwa Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Provinsi
Sumatra Utara tahun 1919. Ia merupakan seorang mutakalimin yang menempatkan
lebih banyak porsi terhadap akal dibanding dengan wahyu. Akal ini berfungsi untuk
menjelaskan informasi dari wahyu, sedangkan wahyu hanya sekedar memberikan
informasi yang belum diketahui oleh manusia.

Kata Kunci : Kalam, Akal, Wahyu

PENDAHULUAN
Sejatinya tidak akan terjadi perdebatan di antara manusia tanpa didasari dengan
adanya perbedaan pendapat dalam membahas sebuah persoalan. Telah dibahas oleh
Harun Nasution di dalam bukunya yang berjudul Teologi Islam, bahwa sejarah
timbulnya persoalan-persoalan teologi di dalam Islam, awalnya adalah persoalan
politik yang akhirnya merambat kepada persoalan-persoalan teologi (ilmu kalam),
yang kemudian melahirkan persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir
dan persoalan-persoalan ilmu kalam lainnya.1
Fenomena persoalan-persoalan yang menjadi pembahasan dalam ilmu kalam
diklaim berasal dan diimpor dari tradisi intelektual Kristen dan Yahudi. Dari
persoalan takdir Tuhan versus kebebasan manusia, soal keadilan Tuhan, keesaan dan

1
Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan (Jakarta :
UI Press, 1986), hlm. 8.

79
Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislaman
Vol. 1, No. 1, 2018 [p. 79-86].

sifat-sifat Tuhan, penciptaan alam semesta, hingga teori atom dan persoalan apakah
al-Qur’an itu pra-abadi ataukah makhluk. Dengan kata lain, tradisi ilmu kalam
hanyalah hasil pinjaman, pengambilan, pengembangan, atau bahkan tiruan dan
jiplakan dari tradisi polemik yang dikenal dalam sejarah teolog Kristen, Yahudi dan
pemikiran Yunani.2
Namun itu semua hanyalah motivasi yang melatarbelakangi studi orientalis-
misionaris untuk menghancurkan rasa percaya diri kaum muslim. 3 Sejatinya
persoalan-persoalan dalam pembahasan ilmu kalam yaitu tentang akidah dalam Islam
muncul setelah timbulnya pembicaraan pelaku dosa besar. Pernyataan ini ada
benarnya karena didukung oleh bukti-bukti historis.4
Lepas dari itu, pemikiran kalam kian hari kian menyebar ke penjuru dunia,
banyak tokoh-tokoh kalam terkemuka bermunculan. Indonesia sendiri terdapat
banyak sekali tokoh-tokoh kalam terkemuka, salah satunya yaitu Harun Nasution.
Beliau merupakan seorang tokoh populer kalam, terutama yang berkaitan dengan
akal dan wahyu.
Adapun definisi ilmu kalam terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan kalam. Kata
ilmu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengandung arti pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu.
Sedangkan kalam dalam bahasa arab berarti kata-kata. Ilmu kalam secara harfiah
berarti ilmu tentang kata-kata, namun ilmu ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali
dengan Ilmu Bahasa. Ilmu kalam menggunakan kata-kata untuk menyusun argumen-
argumen yang digunakannya. Oleh sebab itu, kalam sebagai kata bisa mengandung
arti perkataan manusia (kalam an-nas) atau perkataan Allah (kalam Allah).5 Ilmu
kalam adalah teologi rasional yang tumbuh karena kebutuhan aliran pikiran tertentu.6
Ilmu kalam digunakan sebagai alat atau sarana untuk membantu persoalan-persoalan
tentang Tuhan.

2
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta : Gema Insani, 2008), hlm. 62.
3
Syamsuddin Arif, Orientalis..., hlm. 62.
4
Hamka Haq Al-Badry, Al-Syatibi : Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam Kitab al-
Muwafaqat (Jakarta : Erlangga, 2007), hlm. 30.
5
Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam : dari Khawarij ke Buya Hamka hingga
Hasan Hanafi (Jakarta : Prenada Media, 2016), hlm. 1-2.
6
Nurcholish Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung : Mizan Pustaka,
2008), hlm. 323.

80
Diki Candra:
Pemikiran Kalam Tentang Akal dan Wahyu Menurut Harun Nasution

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih tentang kalam
menurut Harun Nasution terutama yang berhubungan dengan akal dan wahyu. Beliau
merupakan seorang yang populer dalam pemikiran kalam. Tidak hanya itu, karya-
karya yang dihasilkannya pun begitu banyak.

PEMBAHASAN
Harun Nasution kelahiran pematang Siantar 1919 M adalah guru besar bidang
filsafat Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
sekarang telah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) untuk mengenal lebih jauh
sosok Harun Nasution berikut ini biografi singkat beliau.7
Harun Nasution lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara 23 September 1919
M. Setelah menyelesaikan HIS (1934) dan Moderne Islamietische Kweekschool di
Bukittinggi (1937), ia masuk Universitas Al-Azhar di Cairo, Mesir dan memperoleh
gelar Ahliyyah (1940) dan Candidate dari Fakultas Ushuluddin (1992). Di Mesir ia
juga memasuki Universitas Amerika, Cairo dan memperoleh B.A. dalam studi sosial
(1952). Pada tahun 1962 ia melanjutkan studi di Universitas McGill, Montreal,
Canada dan memperoleh M.A. dalam studi Islam (1965) dan Ph.D dalam bidang
yang sama (1968), gelar profesor ia peroleh dari IAIN Jakarta (1978). Setelah
bekerja pada beberapa perusahaan di Cairo, dari tahun 1947 sampai 1958, ia menjadi
pegawai Departemen Luar Negeri, di perwakilan RI Cairo, Kedutaan Besar RI Cairo,
Kedutaan RI Jeddah, dan Kedutaan RI Brussel.8
Sejak tahun 1969 ia menjadi staf pengajar di IAIN Jakarta, di samping itu ia
menjadi dosen luar biasa di IKIP Jakarta (Sejak 1970), dan Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia Jakarta (sejak 1975).9 Pada tahun 1973 beliau ditunjuk menjadi
rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menandai bermulanya reorientasi, reformasi
dan penyemaian bibit-bibit pemikiran liberal ala Muktazilah.10
Biografi Harun Nasution dalam sumber lain disebutkan bahwa, “beliau lahir
pada tanggal 23 September 1919 di Pematang Siantar, Provinsi Sumatra Utara. Dari
negeri gurun pasir, ia memohon kepada orang tuanya agar bisa pindah studi ke

7
Ahmad Sudirman Abbas, The Power Of Tahajud (Jakarta : QultumMedia, 2007), hlm. 25.
8
Ahmad Sudirman, The Power..., hlm. 26.
9
Ahmad Sudirman, The Power..., hlm. 26.
10
Syamsuddin Arif, Orientalis..., hlm.88.

81
Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislaman
Vol. 1, No. 1, 2018 [p. 79-86].

Mesir. Di negeri Sungai Nil ini Harun mula – mula mendalami Islam di Fakultas
Ushuluddin. Universitas Al-Azhar, kemudian pindah lagi ke universitas Amerika
(kairo). Di Universitas ini, Harun tidak mendalami Islam, melainkan ilmu pendidikan
dan ilmu-ilmu sosial,”11
Harun Nasution adalah figure sentral jaringan intelektual yang terbentuk di
kawasan IAIN Ciputat, semenjak paruh kedua dawarsa 70-an. Sentralisasi Harun
Nasution di dalam jaringan itu ditopang oleh kapasitas intelektualnya, kemudian oleh
kedudukan formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN.
Dalam kapasitas terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama yang
menyangkut sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah satu
sarana awal menuju pembentukan jaringan antara Harun Nasution dan
mahasiswanya.
Berbagai karya yang dihasilkan oleh Harun Nasution dan seluruhnya menjadi
buku teks terutama dilingkungan IAIN. Buku-buku tersebut antara lain: Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1974), Teologi Islam (1977), Filsafat Agama
(1978), Filsafat dan Mistisme dalam Islam (1978), Aliran Modern dalam Islam
(1980), Muhammad Abduh dan Teologi Muktazilah (1987), dan Islam Rasional
(1995).12
Ia adalah seorang pengembang / penganut aliran Teologi rasional muktazilah
yang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mengubah tradisi pemikiran
keislaman di Indonesia. Salah satu fokus Harun Nasution adalah hubungan antara
akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal menimbulkan
pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan.13
Wahyu dan akal merupakan dua entitas yang sebenarnya tidak perlu
dipertentangkan secara diametral. Wahyu sebagai tuntunan Ilahi diturunkan tidak
lain untuk membimbing entitas akal menuju jalan yang benar sesuai rambu-rambu
Tuhan. Sebaliknya akal pikiran diciptakan Tuhan menjadi Mi’yar (tolok ukur) dalam
menentukan baik-buruk, suci-najis dan mashlahah-mafsadah.14 Akal dan wahyu

11
Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam : Formula Meluruskan Keyakinan Umat Di Era Digital
(Pontianak : IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 173.
12
Elmansyah, Kuliah..., hlm. 174.
13
Elmansyah, Kuliah..., hlm. 173.
14
Abu Yazid, Islam Moderat (Jakarta : Erlangga, 2014), hlm. 76.

82
Diki Candra:
Pemikiran Kalam Tentang Akal dan Wahyu Menurut Harun Nasution

merupakan dasar dan menjadi tolok ukur dalam menganalisa dan menilai setiap
persoalan kalam. Dalam teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan
persoalan mengetahui Tuhan dan persoalan baik dan jahat.15
Akal digunakan sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha
untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam
metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan
kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan.16 Menurut Harun Nasution, kata al ‘aql
mengandung beberapa arti dan pengertian, antara lain, mengikat dan menahan.
Makna akar katanya adalah ikatan. Ia juga mengandung arti mengerti, memahami
dan berpikir. Lebih jauh, Harun Nasution menjelaskan bahwa akal menjadi daya
(kekuatan, tenaga) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang
dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan
(tidak berwujud) benda-benda yang ditangkap oleh panca indera.17
Sedangkan wahyu didefinisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada
seorang Nabi. Wahyu dalam pengertian Muhammad Abduh berfungsi sebagai
konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan
informasi. Lebih jauh lagi menurutnya, bahwa menggunakan akal merupakan salah
satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal.
Islam adalah agama yang pertama kali mempersaudarakan antara akal dan agama.
Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Kemudian
dia beranggapan bahwa wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan
dengan akal. Kalau ternyata antara keduanya pertentangan, penyimpangan, maka
diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.18
Ilmu dalam Islam tidak hanya diformulasikan dan dibangun melalui akal
semata, tetapi juga melalui wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk
menemukan dan mengembangkan ilmu, sedangkan wahyu datang memberikan

15
Afrizal M., Ibn Rusyd : Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam (Jakarta : Erlangga,
2006), hlm, 37.
16
Harun, Teologi..., hlm.79.
17
Ahmad Izzan dan Saehudin, Tafsir Pendidikan : Konsep Pendidikan Berbasis Alquran
(Bandung : Humaniora, tidak dicantumkan tahun), hlm. 5.
18
Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur’an (Jakarta : Prenada Media, 2016), hlm. 78-79.

83
Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislaman
Vol. 1, No. 1, 2018 [p. 79-86].

bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal.19 Secara fungsional, wahyu tidak
akan berfungsi tanpa adanya akal-pikiran, begitu juga akal, ia akan kehilangan arah
tanpa bimbingan wahyu. Karena kedua entitas tersebut berasal dari sumber yang
sama dan memiliki fungsi yang sama, hanya saja wilayah kerjanya berbeda,
walaupun demikian tentu akan bertemu pada titik yang sama pula.20
Sepintas kelihatannya kedudukan akal dan wahyu itu sama. Namun sebagian
mutakallimin menyuarakan kedudukan yang istimewa itu pada wahyu, sedang akal
adalah membantu menjelaskan lebih rinci pernyataan wahyu. Wahyu berfungsi sebagai
pemberitahuan yang sama sekali belum diketahui (i’lam), sedangkan akal berfungsi
memberikan penjelasan terhadap informasi wahyu (bayan).21
Maka dari itu, kedudukan akal dalam Islam itu sangat penting. Akal inilah yang
menjadi wadah yang menampung akidah, syariah serta akhlak dan menjelaskannya.
Kita sendiri tidak pernah dapat memahami Islam tanpa menggunakan akal. Dengan
menggunakan akalnya secara baik dan benar, sesuai dengan petunjuk Allah, manusia
akan selalu merasa terikat dan dengan sukarela mengikatkan diri kepada Allah.
Dengan menggunakan akalnya, manusia dapat berbuat atau bertindak, memahami,
dan mewujudkan sesuatu. Karena posisinya yang demikian, dapatlah dipahami kalau
dalam ajaran Islam ada ungkapan yang menyatakan: Akal adalah kehidupan, hilang
akal berarti kematian.22
Harun Nasution merupakan seorang Mutakallim yang menempatkan akal lebih
banyak porsinya dari pada wahyu. Meskipun demikian, peranan akal terhadap wahyu
ditempatkan sebagai pengembang atas teks yang masih bersifat global menjadi suatu
bentuk nyata dalam kehidupan. Akal menafsirkan wahyu, sementara wahyu
merupakan sandaran utama bagi akal untuk berkembang.23

19
Muljamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode
Kritik (Jakarta : Erlangga, 2005), hlm. 143.
20
Bukhori At-Tunisi, Konsep Teologi Ibn Taimiyah (Yogyakarta : Deepublish, 2017), hlm. 12.
21
M. Ridwan Lubis, Agama Dan Perdamaian: Landasan, Tujuan, Dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2017), hlm. 184-185.
22
Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan..., hlm. 5.
23
Elmansyah, Kuliah Ilmu Kalam..., hlm. 175.

84
Diki Candra:
Pemikiran Kalam Tentang Akal dan Wahyu Menurut Harun Nasution

KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa Harun
Nasution merupakan seorang mutakallimin yang lahir pada tanggal 23 September
1919 di Pematang Siantar, Provinsi Sumatra Utara. Ia menyelesaikan studinya di
Mesir. Dalam menyelesaikan studinya, ia tidak mendalami ilmu-ilmu Islam,
melainkan mendalami ilmu-ilmu sosial. Setelah pulang dari studinya, ia kemudian
mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang kini berganti nama menjadi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah itu, ia diangkat menjadi rektor IAIN Syarif
Hidayatullah pada tahun 1973 menandai bermulanya reorientasi, reformasi dan
penyemaian bibit-bibit pemikiran Muktazilah.
Adapun pemikiran Harun Nasution cenderung lebih menempatkan pada akal.
Akal digunakan sebagai daya berpikir untuk sampai kepada Tuhan sekaligus
memberikan penjelasan lebih rinci terhadap informasi dan pernyataan wahyu. Wahyu
tidak akan berfungsi tanpa adanya akal-pikiran, begitu juga akal, ia akan kehilangan
arah tanpa bimbingan wahyu.
Sedangkan untuk corak pemikirannya, dapat diketahui bahwa coraknya itu
seperti pemikiran Muktazilah. Muktazilah dalam menyelesaikan suatu persoalan
lebih banyak menggunakan akal. Begitu juga Harun Nasution, ia lebih banyak
menggunakan akal ketimbang wahyu. Selain itu, dapat diketahui bahwa Harun
Nasution bercorak pemikiran Muktazilah, pada saat ia di angkat menjadi rektor
IAIN, menandai bermulanyalah pemikiran-pemikiran Muktazilah.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syamsuddi. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Jakarta, Gema Insani.

At-Tunisi, Bukhori. 2017. Konsep Teologi Ibn Taimiyah, Yogyakarta, Deepublish.

Elmansyah. 2017. Kuliah Ilmu Kalam : Formula Meluruskan Keyakinan Umat Di


Era Digital, Pontianak, IAIN Pontianak Press.

Hamid, Abdul. 2016. Pengantar Studi Al-Qur’an, Jakarta, Prenada Media.

Haq, Hamka Al-Badry. 2007. Al-Syatibi : Aspek Teologis Konsep Mashlahah Dalam
Kitab al-Muwafaqat, Jakarta, Erlangga.

85
Jurnal Ad-Dirasah: Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislaman
Vol. 1, No. 1, 2018 [p. 79-86].

Izzan, Ahmad, Saehudin. Tafsir Pendidikan : Konsep Pendidikan Berbasis Alquran,


Bandung, Humaniora.

M., Afrizal. 2006. Ibn Rusyd : Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam,
Jakarta, Erlangga.

Majid, Nurcholish. 2008. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan


Pustaka.

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan


Perbandingan, Jakarta, UI Press.

Qomar, Muljamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional


Hingga Metode Kritik, Jakarta, Erlangga.

Ridwan, M. Lubis. 2017. Agama Dan Perdamaian: Landasan, Tujuan, Dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Sudirman, Ahmad Abbas. 2007. The Power Of Tahajud. QultumMedia. Jakarta

Yazid, Abu, 2014. Islam Moderat. Erlangga. Jakarta.

Yusuf, Yunan, 2016. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam : dari Khawarij ke Buya
Hamka hingga Hasan Hanafi. Prenada Media. Jakarta.

86

Anda mungkin juga menyukai