Anda di halaman 1dari 2

Nama: Avisena

Nim: 11210331000077

Kelas: AFI 4C

Matakuliah: Etika AFI 4C (12:45)

1. Dalam menyikapi berbagai masalah konflik yang dihadapi, baik itu konflik kepentingan
maupun dilema, setidaknya sampai sekarang, saya cenderung berhaluan utilitarian sekaligus
menganut etika kantian dilain pihak. Dalam kasus konflik kepentingan misalnya; “saya lebih
mengutamakan my time dibandingan merelakan kesehatan psikis untuk keperluan orang
lain”. Dalam hal ini, corak utilitarian justru saya tempatkan (mengutamakan) pada diri sendiri
untuk melihat ‘akibat’ kepada orang lain. Alasanya sederhana saja, saya pikir banyak orang
diluar sana, yang bertentangan dengan nilai moral universal seperti; membunuh, berbohong,
mencuri dll, berawal dari kesehatan mental yang dialami. Jika saya terus merelakan
kesehatan mental saya demi melayani orang lain (saya memahaminya sebagai tuntutan
sebagai makhluk sosial), yang mana bisa mengakibatkan ‘stres’ yang berat, maka saya pikir
akan menimbulkan masalah yang lebih banyak dibandingkan kebaikan yang saya berikan.
Berawal dari kondisi ‘stres’ yang dialami, mengakibatkan kondisi yang tidak stabil, tidak
fokus pada sesuatu yang dikerjakan, seperti misalnya; teman saya meminta bantuan untuk
mengerjakan tugasnya, karena kondisi yang lelah, kurang waktu untuk istirahat, kondisi yang
tidak stabil, mengakibatkan tugas yang saya bantu bisa saja salah atau keliru, dan bahkan
bisa mengakibatkan yang lebih parah lagi dalam ranah sosial. Dilain pihak, saya juga percaya
bahwa ‘membantu’ itu merupakan hal yang baik, semakin banyak membantu maka semakin
banyak juga hal baik yang dilakukan. Bukan karena alasan tertentu, tapi karena kebaikan
adalah ‘baik’ itu sendiri.

2. Dalam menanggapi fenomena ‘Idul Fitri’, jika pertanyaannya adalah keutamaan


‘memaafkan’ dan ‘meminta’ maaf, saya menempatkan diri saya sebagai orang yang
beragama Islam. Bahwa, dalam konteks ‘memaafkan dan ‘meminta maaf’ merupakan dua
nilai yang setara dalam kualitas kebaikannya (dalam konteks tertentu). Dalam ajaran Islam,
ketika dihadapkan dengan permasalahan hubungan antara manusia, misalnya; saya
bertengkar dengan kakak saya karena persoalan pembagian piket kebersihan, saya
mendapatkan jadwal pagi dan kakak di sore hari. Tapi karena ada kondisi yang mendesak di
pagi hari, yang mengharuskan untuk mengganti jadwal piketnya di pagi hari dan
mengerjakannya di sore hari. Dalam konteks itu, Islam mengajarkan bahwa ketika ada
pertengkaran antara dua orang atau lebih, “maka diharamkan untuk saling mendiami selama
tiga hari. Dan yang lebih utama adalah dari mereka adalah orang yang menyapa terlebih
dahulu”. Disini saya memahami sikap ‘menyapa’ sebagai bentuk memafaankan dan
permintaan maaf (karena bisa saja itu berawal dari kesalahpahaman atau miskomunikasi).
(Lihat: HR. Bukhori dan Muslim). Tetapi dalam konteks tertentu saya pikir bahwa
‘memaafkan’ mempunyai kedudukan lebih setingkat daripada ‘meminta maaf’, karena,
seringkali kita merasa berat untuk memaafkan dibandingkan meminta maaf. Misalnya dalam
konteks mencuri, seringkali susah memaafkan orang yang telah mencuri barang kita
(meskipun ia dalam keadaan mendesak) walaupun ia sudah meminta maaf kepada kita.
Karena tantangannya lebih berat, maka kemuliaannya atau kebaikannya juga lebih
dibandingkan hanya meminta maaf saja. Dalam konteks ini, jika saya menempatkan diri saya
sebagai seorang utilitarian, maka, saya akan memaafkan dengan keutamaannya; karena jika
saya tidak memaafkannya, mungking si pencuri tersebut akan merasa bahwa tidak ada lagi
harapan untuk dia berubah. Jika demikian, karena perasaan ‘tidak ada kesempatannya untuk
berubah’ memungkinkan untuknya mengulangi perbuatan yang sama pada orang lain dilain
waktu. Dalam hal ini, saya sebagai kantian tidak mengartikan ‘memaafkan’ sebagai bentuk
‘melupakan’ tetapi sebaliknya, bahwa perbuatan salah tetap salah. Tetapi bagaimana cara
menjadikannya pelajaran agar menghasilkan keutamaan bagi pribadi dan orang banyak,
bukan karena alasan tertentu, tapi melainkan itu adalah kebaikan itu sendiri.

3. Contoh kasus yang bisa saya berikan dalam kehidupan pribadi, ketika menasehati diri saya
dan saudara saya tentang malas kebersihan. Dalam persoalan fiqih, tidak ada hukum
tertentu yang mengatur tentang rasa malas; menjaga kebersihan, bersikap tidak ramah, dan
persoalan etis lainya, tapi melainkan membahas apa perbuatan yang nyata dan hukumnya
(mana yang boleh dan mana yang tidak secara hukum). Analoginya seperti rambu lalu-lintas,
fiqih hanya membahas tentang orang-orang yang melanggar lalu-lintas; tidak memakai helm,
menerobos lampu merah dll, tetapi tidak membahas apakah dia malas (tidak memakai helm,
malas menunggu lampu merah dll). Tapi dalam konteks soal yang diberikan, setidaknya
sampai sekarang, pemahaman saya antara ranah fiqih dan etika masih saja beririsan.
Mengenai kebersihan, memang tidak diatur dalam fiqih tapi dalam ruang lingkup syariah itu
semua diatur (etika, etos, akhlak, perasaan, estetika dll). Dalam kajian syariah, bermalas-
malasan itu tidak dibenarkan. Memang dalam hal ini ilmu fiqih tidak membahas secara
langsung ‘hukum malas’. Tetapi ketika seorang terlambat mengerjakan ibadah lima waktu,
maka ada hukum fiqihnya. Lepas dari apa yang menjadi dasar keterlambatannya, apakah
malas mandi, malas bangun dll, fiqih menitik beratkan bahwa kewajiban shalat tidak gugur
karena sikap malas, melainkan orang itu wajib mengqadha’ shalatnya.

Anda mungkin juga menyukai