Nim: 11210331000077
Kelas: AFI 4C
1. Dalam menyikapi berbagai masalah konflik yang dihadapi, baik itu konflik kepentingan
maupun dilema, setidaknya sampai sekarang, saya cenderung berhaluan utilitarian sekaligus
menganut etika kantian dilain pihak. Dalam kasus konflik kepentingan misalnya; “saya lebih
mengutamakan my time dibandingan merelakan kesehatan psikis untuk keperluan orang
lain”. Dalam hal ini, corak utilitarian justru saya tempatkan (mengutamakan) pada diri sendiri
untuk melihat ‘akibat’ kepada orang lain. Alasanya sederhana saja, saya pikir banyak orang
diluar sana, yang bertentangan dengan nilai moral universal seperti; membunuh, berbohong,
mencuri dll, berawal dari kesehatan mental yang dialami. Jika saya terus merelakan
kesehatan mental saya demi melayani orang lain (saya memahaminya sebagai tuntutan
sebagai makhluk sosial), yang mana bisa mengakibatkan ‘stres’ yang berat, maka saya pikir
akan menimbulkan masalah yang lebih banyak dibandingkan kebaikan yang saya berikan.
Berawal dari kondisi ‘stres’ yang dialami, mengakibatkan kondisi yang tidak stabil, tidak
fokus pada sesuatu yang dikerjakan, seperti misalnya; teman saya meminta bantuan untuk
mengerjakan tugasnya, karena kondisi yang lelah, kurang waktu untuk istirahat, kondisi yang
tidak stabil, mengakibatkan tugas yang saya bantu bisa saja salah atau keliru, dan bahkan
bisa mengakibatkan yang lebih parah lagi dalam ranah sosial. Dilain pihak, saya juga percaya
bahwa ‘membantu’ itu merupakan hal yang baik, semakin banyak membantu maka semakin
banyak juga hal baik yang dilakukan. Bukan karena alasan tertentu, tapi karena kebaikan
adalah ‘baik’ itu sendiri.
3. Contoh kasus yang bisa saya berikan dalam kehidupan pribadi, ketika menasehati diri saya
dan saudara saya tentang malas kebersihan. Dalam persoalan fiqih, tidak ada hukum
tertentu yang mengatur tentang rasa malas; menjaga kebersihan, bersikap tidak ramah, dan
persoalan etis lainya, tapi melainkan membahas apa perbuatan yang nyata dan hukumnya
(mana yang boleh dan mana yang tidak secara hukum). Analoginya seperti rambu lalu-lintas,
fiqih hanya membahas tentang orang-orang yang melanggar lalu-lintas; tidak memakai helm,
menerobos lampu merah dll, tetapi tidak membahas apakah dia malas (tidak memakai helm,
malas menunggu lampu merah dll). Tapi dalam konteks soal yang diberikan, setidaknya
sampai sekarang, pemahaman saya antara ranah fiqih dan etika masih saja beririsan.
Mengenai kebersihan, memang tidak diatur dalam fiqih tapi dalam ruang lingkup syariah itu
semua diatur (etika, etos, akhlak, perasaan, estetika dll). Dalam kajian syariah, bermalas-
malasan itu tidak dibenarkan. Memang dalam hal ini ilmu fiqih tidak membahas secara
langsung ‘hukum malas’. Tetapi ketika seorang terlambat mengerjakan ibadah lima waktu,
maka ada hukum fiqihnya. Lepas dari apa yang menjadi dasar keterlambatannya, apakah
malas mandi, malas bangun dll, fiqih menitik beratkan bahwa kewajiban shalat tidak gugur
karena sikap malas, melainkan orang itu wajib mengqadha’ shalatnya.