NPM : 10516588
Peminatan : Klinis
JURNAL PRIBADI
Pengalaman culture shock yang masih sangat saya ingat ialah perihal bahasa. Saya yang
notabene anak daerah, terbiasa menggunakan kata panggilan ‘aku – kamu’ atau ‘saya – kamu’.
Tapi tidak berlaku ketika saya kuliah di Kampus Gunadarma Cengkareng Jakarta Barat. Ketika
saya memanggil teman saya dengan sebutan ‘kamu’ dia langsung negur, “ Panggil ‘lo – gue’, disini
kalua panggilan ‘aku – kamu’ dikira baper. Hahaha. Aku langsung kicep dan malu saat itu.
Awalnya saya agak kaku pakai ‘lo – gue’ lama-lama terbiasa juga.
Tinggal merantau di kota membuat saya harus menjalani kehidupan sebagai anak kost. Di
kost an inilah babak kehidupan penuh drama dimulai, hehe. Saya orang Jawa tinggal satu atap
dengan teman saya yang dari Palembang. Dari segi budaya, logat Bahasa, tingkat asertivitas, kami
jauh berbeda. Hal ini membuat saya harus sering ngelus dada. Hehe. Teman saya yang dari
Palembang ini sebenarnya sangat baik, kita sebut saja Nur. Nur ini kalau berbicara keras, kalau
negur apa adanya, dan kalau ngomong lumayan cepat. Berbeda sekali dengan saya. Pernah suatu
ketika kita masak bareng membuat sambal. Dia memasukkan banyak sekali cabai dan tidak
memberi gula sama sekali pada sambal itu. Saat ingin ku beri gula dia berujar , “Heran ya orang
jawa, segala masakan diberi gula”. Saya mengalah dan sejak saat ini cukup akrab dengan rasa
sambal yang sangat pedas.
1
Nama : Alia Rohani
NPM : 10516588
Peminatan : Klinis
Sebenarnya, saat itu saya bisa saja bersikap egois atau memutuskan untuk pindah kosan.
Ada dorongan primitive untuk mendebat teman saya atau membalas perlakuan-perlakuannya.
Namun saya masih mencoba berpikir lebih jernih dan mencoba mencari win – win solutionya.
Dari berbagai peristiwa yang pernah saya alami, saya sadar bahwa penyesuaian diri
merupakan suatu kemampuan interpersonal yang sangat penting dikembangkan oleh setiap
individu. Karena sebagai makhluk sosial, kita pasti beriringan dengan orang lain dalam menjalani
kehidupan. Jika kita tidak mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang baik, maka bisa terjadi
ketegangan dalam hubungan atau terjadi ketidakpuasan dalam suatu hubungan dengan orang lain.
2
Nama : Alia Rohani
NPM : 10516588
Peminatan : Klinis
Omong – omong tentang integritas, entah mengapa pikiran saya langsung tertuju pada
isu – isu nasional, utamanya fenomena kasus korupsi. Pejabat publik di negara ini, saya perhatikan
ada saja yang tersandung kasus korupsi. Sampai – sampai dana bansos covid – 19 pun dikorupsi.
Saya cukup mengikuti kasus – kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. Dari kasus
korupsi dana haji, korupsi pengadaan Al-Qur’an, kasus penyalahgunaan dana haji, hingga jual beli
jabatan. Yang membuat saya tergelitik sekaligus miris ialah kasus – kasus tersebut terjadi di
lingkungan Kementrian Agama. Bagaimana bisa kita memiliki trust pada pejabat publik, kalau
mereka yang dinilai religius saja pelakuannya demikian? Padahal kalau kita pahami makna
integritas dari Henry Cloud, dikatakan bahwa Integritas dicapai bila seseorang telah menghidupi
nilai-nilai spiritual dan menjadikan spiritualitas sebagai panglima dalam segala aktivitasnya.
Memangnya orang-orang di Kementrian Agama ini tidak religiuskah? Apakah mereka tidak
memegang nilai – nilai spiritual? Kasus-kasus di atas kan bisa memicu masyarakat berpikir, ‘kalau
Kementrian Agama saja begini, bagaimana kementrian yang lain?’. Harapannya semoga lebih
baik.
Kemudian, ada isu yang tak kalah menyedot perhatian netizen Indonesia, yaitu kasus
para mafia. Mulai dari mafia bola, mafia minyak goreng, mafia karantina, dan mungkin masih
banyak lagi. Kasus-kasus seperti ini membuktikan bahwa tingkat integritas masyarakat perlu
ditigkatkan. Namun yang terpenting menurut saya ialah integritas generasi mudanya sebagai
penerus bangsa.
Tidak hanya kasus korupsi dan mafia yang membuat saya miris. Belum lama ini ramai
diperbincakngan mengenai kasus investasi ‘bodong’ yang menjerat dua affiliator popular. Dua
affiliator tersebut sebelum dinyatakan bersalah dan dihukum 20th penjara mendapat julukan ‘crazy
rich’. Singkatnya dan sepaham saya, dua affiliator ini menawarkan aplikasi invertasi (salah satunya
binomo) kepada orang – orang. Tidak ada yang salah dari penawarannya, yang salah ialah mereka
mengatakan bahwa aplikasi tersebut merupakan aplikasi untuk trading dan investasi. Padahal
kenyataannya, aplikasi itu seperti judi, bahkan bisa dikatakan penipuan.
3
Nama : Alia Rohani
NPM : 10516588
Peminatan : Klinis
Sangat banyak orang yang tergiur dan menaruh sejumlah uang pada aplikasi tersebut.
Awalnya mereka menang, mereka mendapat untung dari aplikasi tersebut. Lama kelamaan setelah
mereka kecanduan dengan aplikasi tersebut, mereka rugi. Karena penasaran, mereka taruh uang
lagi, rugi lagi, taruh lagi, dan seterusnya sampai mereka mengalami kerugian hingga ratusan
bahkan milyaran rupiah.
Ternyata aplikasi ini begitu gencar dipromosikan oleh tersangka ialah karena mereka
para affiliator akan mendapat keuntungan sebesar 70% dari setiap kerugian yang dialami oleh
kliennya. Sebuah nilai yang sangat besar bukan. Bayangkan saja,kalau 1 orang rugi 100 juta, maka
sang affiliator bisa mendapat 70 juta dari kerugian tersebut. Dan yang tak habis saya pikir ialah,
jumlah korbannya begitu banyak, ada ratusan bahkan mungkin rubuan.
Dari kasus investasi bodong itu, kita bisa lihat betapa rendahnya integritas tersangka.
Bagaimana mungkin dia bisa berbohong hanya demi keuntungan pribadi. Mereka tahu bahwa
aplikasi yang mereka promosikan itu bodong, itu akan merugikan banyak sekali orang, tapi sampai
hati mereka jor-joran mempromosikannya. Hal-hal semacam ini yang bisa merusak tatanan
masyarakat.
Melihat bayaknya kasus korupsi di Indonesia, membuat saya merenung dan berpikir,
sebenarnya apa yang salah dari pola asuh dan pendidikan di Indonesia? Mengapa tidak seperti
negara lain yang bebas korupsi?
Belajar materi integritas memuat saya berefleksi, apakah saya sudah memegang teguh
prinsip-prinsip integritas? Bisakah saya mampu membeikan teladan-tekadan integritas pada anak-
anak saya kelak?
4
Nama : Alia Rohani
NPM : 10516588
Peminatan : Klinis
Jurnal 3 : Psikologi Ki Ageng Suryomentaram (KAS)
Tanggal Perkuliahan : 11 April 2022
Perkenalkan, saya adalah perempuan ambis, overtinker, dan cukup perfectionis. Kabar
baiknya, itu adalah saya yang dulu ketika masih berseragam putih abu-abu. Saya yang sekarang
sudah berubah (lebih baik) semoga saja.
Saya sebagai warga Indonesia merasa bangga karena ada tokoh Psikologi dari Tanah
Jawa yaitu Ki Ageng Suryomentaram. Salah satu ajaran beliau yaitu ilmu Kawruh Jiwa sangat
relate sekali dengan anak muda zaman sekarang, khususnya saya. Saya sering sekali merasa tidak
bahagia dengan apa yang saya jalani. Saya heran, mengapa saya tidak bahagia padahal menurut
teman – teman saya, seharusnya dengan apa yang telah saya capai dan saya dapatkan tidak ada
alasan lagi bagi saya untuk tidak bahagia. Setelah saya renungkan baik - baik, ternyata selama ini
saya belum memaham diri saya sendiri. Saya belum sepenuhnya memahami apa keinginan dan
harapan saya. Sehingga selama ini saya disetir oleh orang-orang di sekitar saya. Itulah yang
membuat saya tidak bahagia.
Ilmu kawruh jiwa juga ajaran yang sangat oke menurut saya untuk kita aplikasikan
dalam kehidupan sehari – hari. Dimana ketika telah memahami diri kita sepenuhnya dengan baik
maka kita juga akan memahami orang – orang di sekitar kita. Ketika telah memahami mereka, kita
tidak akan menyakiti, menyinggung, atau berbuat kasar pada mereka. Ketika kita tahu bahwa
dicaci maki itu sakit, maka kita tidak akan mencaci maki orang lain. Dengan keadaan seperti ini
maka akan tercipta hubungan yang harmonis.
Saya sangat kagum pada sosok Ki Ageng Suryomentaram ini. Beliau adalah gambaran
individu yang penuh empati, sederhana, dan bisa mengoptimalkan diri secara penuh. Di zaman
seperti sekarang ini, menurutku, sangat susah mendapati pribadi seperti beliau.
5
Nama : Alia Rohani
NPM : 10516588
Peminatan : Klinis
Dulu sebelum mempelajari manajemen konflik saya selalu stress ketika mendapati ada
masalah, konflik, pertentangan ataupun perdebatan. Entah itu terjadi di dalam rumah, organisasi,
antar teman, atau sekolah. Saya selalu mengumpat dalam hati, “Kenapa si orang-orang (yang
berkonflik) itu tidak adem tentrem aja; kenapa sih mereka tidak nrimo-nrimo aja, kenapa sih
mereka harus berdebat; kenapa mereka tidak cinta damai?”
Saya selalu mengaitkan konflik dengan hal-hal negatif. Di pikiran saya, jika ada
konflik itu artinya akan ada permusuhan, akan ada perdebatan, akan terjadi ketidaknyamanan, dan
hal negatif lainnya. Saya baru benar-benar menyadari bahwa konflik itu bisa juga berdampak
positif saat saya cukup dewasa.
Dulu saya belum memahami bahwa konflik adalah hal normal yang mungkin terjadi
dan tak terhindarkan. Saat ini saya menyadari bahwa tiap individu unik, karena keunikan itulah
bisa terjadinya konflik – konflik.
Saya adalah orang yang tidak enakan, sering sekali ngebatin, palig sering mengalah,
dan sering dimanfaatkan. Setiap kali atasan ngomong A, saya ‘iya – kan’ saja. Tiap kali teman
saya menegur, saya ‘iya – kan’ saja. Tiap kali berdebat dengan teman atau rekan kerja, saya selalu
mengalah. Hal ini terjadi selama saya hidup sampai di usia 20thn an saya.
Saya menyadari bahwa hal-hal di atas yang saya alami dikarenakan kurangnya tingkat
asertivitas saya. Saya baru memahami konsep asertivitas saat telah duduk di bangku kuliah
semester 4. Saya baru tahu ada yang namanya pola perilaku agresif, pasif, dan asertif. Jadi selama
ini saya adalah orang yang pasif.
6
Nama : Alia Rohani
NPM : 10516588
Peminatan : Klinis
Merasakan betapa lelahnya menjadi orang yang pasif membuat saya selalu mencoba
belajar untuk bersikap asertif. Saya berlatih mulai dari hal kecil. Berperilaku asertif saya sadari
memang tidak mudah, karena saya adalah orang yang tidak tegaan. Akhirnya saya mencoba untuk
benar-benar tega dan berani bilang ‘tidak’ ketika dimintai bantuan atau dimintai mengerjakan
tugas tambahan. Hasilnya adalah, tidak semudah itu berubah. Teman saya pernah bilang kalau
saya pelit karena tidak mau dimintai pertolongan, saya pernah dikatain jahat, tegaan, dan
sebagainya.
Hal seperti itu sempat membuat saya down, membuat saya merasa bersalah, dan
membuat saya pesimis bahwa saya bisa mengembangkan perilaku asertif. Namun seiring
berjalannya waktu, kedewasaan melatih saya. Saya sadari bahwa perilaku asertif perlu waktu untuk
bisa dikembangkan dengan baik.