Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

VIRUS ZAMAN

A. TIGA PENYAKIT JAHILIYYAH MODERN


Istilah ‘ jahil ‘ ( bodoh ) dari jaman jahiliyah, tidak diartikan bahwa seseorang atau
bangsa tidak dapat membaca atau menulis. Kebodohan yang dmaksudkan adalah
kebodohan mental / rohaniah, dimana perilaku manusia sebagai makhluk termulia, justru
berada pada tingkatan yang memprihatinkan. Manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al
Qur’an, seperti binatang, bahkan lebih sesat. Budaya jahiliyah yang kita kenal di
antaranya mabuk, judi, merampok, bermain wanita, meletakan wanita sebagai barang.
Akhlak manusia tidak lain adalah seonggok tubuh yang diberikan akal, namun
perrilakunya lebih buruk daripada binatan. Ketika mata hati tertutup dan salah – benar
ditentukan oleh nafsu, saat itylah manusia terjebak dalam budaya jahiliyyah.

Jika kita amati masa kini, maka diajarkan Nabi untuk tidak menyakiti
kejahiliyah manusia boleh dikatakan temannya, hingga pada Batasan
lebih memprihatinkan. Jika dahulu membicarakan aib temannya itu,
bayi dibunuh ketika setelah namun sekarang memakan sesama
lahirdiketahui jenis kelaminnya teman sudah menjadi lumrah,
perempuan, sekarang belum lahir sehingga ayat Allah seakan
dan tanpa membedakan laki – laki ditunjukan dengan adanya kasus
atau perempuan, langsung dibunuh Sumanto yang demikian nikmat
kalau dulu, seseorang makan bangkai tetangga.

Ada tiga idiologi Jahiliyah modern : humanism, Materialisme dan ateisme. Dalam tataran
pragmatis, urgensi ajaran tasawuf adalah jawaban atas kekhawatiran para ulama terhadap
perkembangan jaman yang semakin menunjukuan kejahiliyahanya.
Humanisme adalah faham kesombongan diri manusia. Manusia merasa bahwa ia adalah
the centre of univers. Kekuatan otaknya dipercaya dapat menyelesaikan semua permasalahan.
Ukuran kebenaran adalah otaknya. Kebanggaan dirinya atas ‘ kuasa ‘ otak menutup mata
hatinya untuk menerima kekuatan yang lebih besar dari apa yang ia miliki. Manusia tampil
sebagai sosok super-man yang sanggup menjawab semua problems of life. Namun dalam
kenyataannya ketika diajukan pertanyaan ‘ sederhana’ , pertanyaan yang sesungguhnya sudah
menjadi bagian tak terpisah dari dirinya, seperti hal – hal yang berkaitan dengan rizqi, jodoh, dan
usia, manusia dengan otak yang secerdas apapun sama sekali terbungkam untuk menjawabnya.

Beberapa perilaku yang menunjukan kesesatan humanisme:

Kesesatan pertama:
Manusia merasa bahwa solusi segala
masalah adalah rasionya / otaknya

Otak adalah bola kecil yang dituhankan. Manusia mempercayai bahwa masalah dapat
diselesaikan dengan otak. Namun realita menunjukan bahwa krisis semakin terpuruk ketika
didekati ‘hanya’ dengan analisis rasio. Hal ini terjadi karena rasio memilki keterbatasan. Yang
Maha Tahu seakan merancang bahwa setiap otak memiliki kemampuan menampung berbagai
macam informasi. Tetapi keluasan informasi di alam, justru mengharuskan otak untuk
mengambil spesialisasi. Pada keterbatasan inilah, kebenaran yang diangkat sebagai dalil
penyelesaian masalah menjadi relative, tidak berlaku untuk semua cara pandang. Setiap cara
pandang memiliki alasan sendiri yang kadang berbeda dengan yang lain. Menganalisis sebuah
kecelakaan, maka analisis seorang mekanik akan terfokus pada sepeda motornya, remnya,
bannya. Seorang psikolog akan melihat kondisi mental pengendara, atau orang yang ditabrak.
Seorang tekhnik sipil akan memperhatikan kondisi jalannya, dsb. Masing – masing punya
alasan. Rasio bersifat relatife. Mengapa seorang jaksa penuntut berdebat sedemikian sengit
dengan penasehat hukum pada sebuah kasus yang sama, yang satu menuntut sementara yang
lain membela terdakwa, padahal rujukan mereka sama ( KUHP ).
Pada sisi lain, rasio juga memiliki keterbatasan dalam mengumpulkan factor – factor
pengalaman. Contoh kasus :

Seorang pemuda yang terburu – buru ke rumah sakit menabrak seorang anak yang
menyeberang.
Pertanyaanya:
Siapakah yang salah

Dari sisi pertama : seorang pengendara melarikan motor dengan kencang, karena dikabari
ibunya masuk Rumah Sakit. Ibunya masuk rumah sakit karena sakit magnya kambuh. Waktu itu
si ibu marasa lapa. Si anak menunggu ibunya, sebenarnya sudah menyiapkan makan di almari.
Karena ia melihat keluar ternyata mendung tampak menghitam , si anak memasukan jemuran.
Pada saat bersamaan si ibu yang sudah merasa lapar itu mencari makanan sendiri. Beliau
mengambil makanan terdekat di meja, yang ternyata ada satu porsi kiriman tetangganya. Pada
sate itu begitu banyak irisan cabenya, sehingga selesai makan pun perut si ibu terasa sakit.

Dari sisi kedua, yaitu di lokasi tabrakan : yang menyebabkan anak itu tertabrak karena ia lari
terburu – buru ke belakang. Ia makan rujak terlalu pedas. Si penjual rujak saat ini di antre banyak
orang masing-masing maunya cepet. Sewaktu mengabil rujak pesanannya, si anak salah comot. Yang di
ambil adalah rujak ibu-ibu yang sedang nyidam sambel puedes.

Dari sejumlah rangkaian kejadian itu, siapakah yang salah:

a. Si pemuda yang mengendarai motornya dengan kencang?


b. Adik si pemuda yang kurang memperhatikan ibunya, tapi keluar untuk memasukkan jemuran,
jadi yang salah apa “mendung”-nya?
c. Si anak yang salah ambil rujaknya?
d. Para membeli rujak yang rame?
e. Penjual rujak yang tidak teliti?
f. Jalan yang dilalui sepeda motor yang tidak rata?
g. Rem sepeda motor yang kurang pakem?
h. Dan pertanyaan lainya…
Dalam pengalaman nyata, seorang polisi akan menyidik kejadian kecelakaan yang sebatas bagaimana
terjadinya di tempat itu. Itulah relativitas otak

Kesesatan kedua:

Menjadikan dirinya sebagai


prima causa

Ia merasa pandai karena belajarnya. kaya karena daganganya , jaya karena usahanya.
Dirinya adalah yang mengatur hidup. Tangan Tuhan seakan tiada pernah menyentuhnya, atau
mengatur nasibnya. Namun orang-orang ini tidak pernah mau mengakui kekalahan karena
dirinya. Ia akan senantiasa mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahnya. Jika tulisanya
buruk, maka ia akan menyalahkan pena atau kertasnya. Jika terdengar suaranya yang jelek,
maka kambing hitamnya dalah microphone atau amplifiayernya, dsb. Jika ia tidak berhasil
menemukan kambing hitam , maka ia akan bunuh diri karena kesal dengan dirinya sendiri.

Tasawuf mengajarkan pengakuan akan adanya kekuatan di atas dia. Apapun yang ia lakukan
sesungguhnya dalam pengatura Allah. Apa yang terjadi ada dalam kerangka kehendak Allah.
Perhitungan rasio harus sejajar dengan ketundukan pada hukum Allah dan kepasrahan diri
pada kehendak-Nya. Tentang kemampuan dirinya, maka hendaklah seorang menyadari bahwa
dari harta atau ilmu yang ia miliki, ia hanya melakukan pengumpulan. Bukan menemukan. Dan
untuk mengumpulkan sesuatu itupun karena ia diberi ( atau lebih tepatnya di pinjami) alat-alat
lengkap dari Allah. Al-quran mengajarkan bahwa tidak ada manusia yang sukses , yang ada
hanya manusia yang beruntung.

Materialism, faham ini bisa dari humanism dimana dominasi kekuatan hidup diwujudkan dalam
bentuk material, dipandang sebagai sebuah khayalan. Tuhan sebagai zat Supra-material tidak diakui
keberadaanya. Manusia mempercayai bahwa materi adalah satu-satunya realita. Menyelesaikan
masalah pun cukup dengan materi. Manusia dikondisikan untuk memikirkann dan menginginkan materi.
“Kotak ajaib” yang bernama “Televisi” menjadi alat yang membentuk masyarakat yang the economic of
wants bukan the economic of needs. Maksudnya, orang membeli barang bukan karena butuh tetapi
karena ingin. Sering terjadi, seorang ibu pergi kepasar ingin membeli sapu, sampai di rumah
malahmembawa sepatu, karena ia melihat di etalase took dekat penjual sapu, sepasang sepatu yang
merayu untuk di beli.

Kita tidak menyadari bahwa secara bertahap namun pasti, otak kita di bentuk melalui
iklan iklan produk konsumtif, untuk senang tiasa memikirkan bagaiman memperoleh brang
tersebut . bahkan sampai iklan pun di perlombakan, manakah iklan yang lembut- tidak langsung
menawarkan sebuah produk, namun sanggup membentuk opini massa tehadap produk
tersebut. Pada saat pemikiran sudah terpatri pada keinginan untuk memperoleh barang
dimaksut maka target usaha, kerja, dialog, bahkan hidup terfokus pada apa yang di inginkannya
tersebut. Kinerja dan hidup tidak di orientasikan sebagai mengabdi kepada Allah. Disinilah
muncul pengalihan orientasi hidup dari Allah kepada materi.

Dalam menyelesaikan masalah, materi adalah pelicin jalan. Kunci penyelamat manusia,
dsb. Keberadaan tuhan di pertanyakan, karena dari pengalaman, bahwa seorang yang rajin
sujud kepada Tuhan, nasibnya tidak lebih baik dari mereka yang ingkar pada perintah-Nya.
Mereka yang memiliki materi melimpah, dapat “menyelesaikan” masalahnya dengan materi
yang di miliki. Ibadah menjadi sebuah seremoni tanpa makna. Dalam hubungan social yang
sederhana, seorang mertua akan menjadikan gelar formal atau jenuis pekerjaan dari calon
mantu, menjadi syarat utama dari sekian banyak persyartan.

Dokter-insinyur lebih berpeluang menduduki

jabatan mantu di banding mereka yang

hanya menjadi guru. Karena dokter dan

insinyur dapat DI-NUNUTI MERTUA ,sedang

guru, mungkin hanya bias NUNUT MERTUA.

Tasawuf mencoba mendudukan posisi materi sebagai sesuatu yang seharusnya mendukung misi
hidup manusia ( liya’budun), bukan sesuatu yang menjadi target hidup. Bahwa diatas materi ada
sesuatu yang lebih hakiki untuk di capai. Materi justru kadang menjadi penghalang untuk mencapai
sesuatu itu, jika manajemen mater tidak berjalan sebagaimana petunjuk-petunjuk dan Sang Pencipta
materi. Rusaknya alam, peperangan atau bencana lain karena manusia tidak menjaga kesucian materi.
Materi akan memberi manfaat hidup, jika ia tetap terjaga dalam kesuciannya, dan mengelolanya
sesuai hukum aturan sang pemilik Asli materi.

Ateisme, faham tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Dalam masyarakat sekarang, menurut
Saefudin, ateis wujud dalam dua macam , yakni:

Pertama, ateisme konsepsional, yaitu tidak mempercayai Tuhan karena Tuhan tidak
dapat ditangkap indra;

Kedua, ateisme ilmiah, yaitu tidak mempercayai keberadaan Tuhan karena seseorang
tidak merasakan sama sekali peran tuhan dalam hidupnya. Seseorang menjadi kaya,
dirasakan bukan sebagai pemberian Tuhan, tapi karena ia (merasa) telah bekerja keras
kemudian mendapat gaji yang menjadi haknya. Bahkan pada taraf yang lebih parah,
bentuk ibadah/ penyembahan kepada Tuhan dianggap sebagai ‘penghalang’
mencapai kesuksesan hidup.

Cerita:

Seoang pernah bertanya, “ mengapa sholat harus diperintahkan lima kali, mengapa tidak
langsung dikerjakan satu kali waktu saja, misal sholat subuh, duhur, asar dan magrib
dikerjakan pada waktu dan bersamaan sholat isya’. Dari segi waktu jelas lebih efisien dan
secara ekonomis tidak banyak mengganggu waktu kerja siang yang jelas padat. Padahal
semenit bagi kami, maka itu berarti keuntungan yang besar.” inilah ateisme ilmiah.
Dimana kesombongan manusia sudah sampai puncaknya. Kelembutan Allah yang
mengatur jadwal aktivitas yang telah disesuaikan dengan kondisi manusia, tidak
tertangkap manusia.

Mereka yang mempermasalahkan sholat untuk digabung,


mengapa tidak melakukan makan yang juga digabung (makan
pagi, siang dan malam, digabung pas mau tidurr saja). Sehingga
tidak mengganggu aktivitas. Bukankah waktu untuk makan
lebih lama dibanding waktu untuk sholat?
Tasawuf memberikan pengalaman rohaniah, bahkan sampai sesuatu yang sulit diterima. Mi’raj
Rasulullah SAW adalah ibrah ketercapaian maqam tertinggi rohani manusia. Saat ia menemui
Tuhannya. Tuhan ada dan tidak pernah tidak ada. Keberadaan tuhan tidak dipengaruhi oleh
angan-angan yang meniadakan-Nya. Kuncinya adalah pengenalan diri.

Manusia dihadapkan pada kaca hakekat diriya agar ia mau introspeksi dan retropeksi siapa
sebenarnya dirinya; dari mana ia berasal;siapakah yang menjadi sebabwujud dirinya; untuk
tujuan apakah ia adaa; kemana ia setelah kehidupan ini dan pertanyaan lain.

Sekitar pengenalan diri yang ujungnya adalah pengenalan pada Rabb-Nya. Sebagaiamana hadist
pegangan tasawuf, “ barang siapa mengenal dirinya ia akan mengenal tuhannya” atau sebaliknya
“ barang siapa mengenal tuhannya ia akan mengenal dirinya.” Rasulullah SAW ketika dilahirkan
dalam lingkungan jahiliahnya dengan berbagai kebejatan ahlaknya maka seruan pertama Allah
adalah untuk mau membaca, membaca dirinya, lingkungannya, masyarakatnya, sehingga ia
sampai pada pengenalan sifat-sifat Allah.

B. PENYAKIT ROHANI MAHASISWA

Secara intelektual, jenjang pendidikan mahasiswa adalah jenjang tertinggi.


Penyebutan “maha” menunjukan strata superlatif/ paling tinggi. Sebutan “maha-siswa”
mengindikasikan bahwa golongan ini menduduki posisi tertinggi dalam hal ke-siswa-an.

Dalam banyak dialog dengan mahasiswa, ditemukan banyak kasus yang


bersumber pada tidak utuhnya perkembangan jasmani dan rohani. Terjadi split
personality dalam kcerdasan intelektual-emosional-spiritual. Semua itu muncul
kepermukaan sebagai masalah yang menyebabkan mahasiswa bingung mengenalidiri,
bingungmenentukan pasangannya, bingung menentukan profesinya, bingung merancang
kehiduan mendatang. Dan yang sangat berbahaya adalah terjadinya krisis keimanan
kepada Allah. Mereka percaya allah ada, tapi tidak yakin bahwa Allah maha kuasa dan
mencintai –Nya.

Ada berapa “Penyakit Rohani” yaitu mewabah dikalangan mahasiswa. Istilah


penyakit dimaksudkan bahwa hal itu bisa disembuhkan. Istilah rohani karena penyakit itu
sebenarnya perpangkal dari belum selesainya mereka mengenal Tuhan.
Jika diidentifikasi, beberapa penyakit rohani yang menggejala dikalangan mahasiswa
adalah:

1. Krisis Ma’rifiah al Nafsi (Identitas Diri)


Ketika kita bertanya kepada mahasiswa tentang diri mereka, misalnya, “siapa namamu,
berapa usiamu, siap nama orang tuamu, dimana alamatmu?”, maka mereka akan dapat
dengan mudah menjawab kemudian pertanyaan kita teuskan:
Apakah kamu memiliki kelebihan yang dapat diandalkan.
a. Apakah kamu memiliki kelemahan yang mengganggu dirimu dan orang yang
berhubungan dengan mu,
b. Kemampuan apa yang bisa kau andalkan untuk jalan membangun masa depany ang
lebih baik?
c. apa yang menjadikan mu begitu resah?
Dalam menanggapi pertanyaan itu biasanya mereka yang mengalami Krisis
Identitas Diri akan menjawab, “Tidak tahu, saya merasa tidak punya kelebihan yang
dapat diandalkan untuk menyiapkan masa depan, saya memang banyak kekurangan, tapi
saya tidak paham apa yang paling meresahkan.
Seorang mahasiswa sering berkata,” Saya juga bingung, sebenarnya saya harus
bagaimana”.
Ketika mahasiswa mengalami krisis identitas diri, maka akan kebingungan
menjawab pertanyaan tentang alasan ia memilih fakultas atau jurusan dalam pendidikan.
Mereka terkadang tidak memiliki alasan kecuali hanya ikut-ikutan. Perencanaan ke depan
menjadi kabur, aktifitas atau profesi apa yang akan digeluti setelah lulus kuliah pun
masih belum jelas.
Dalam bingkai tasawuf, krisis ini menjadi biang munculnya krisis iman dan krisis
ibadah para mahasiswa. Mereka mempertanyakan urgensi keberadaan Allah sebagai
Tuhan, mereka menganggap ibadah sebagai bentuk ritual yang tidak ada hubungannya
dengan kehidupan mereka. Mereka mulai mempertanyakan apakah masih perlu untuk
beragama dan mengakui adanya Tuhan.
2. Krisis Menejemen Jodoh
Memfokuskan masalah yang paling praktis dari keberadaan mahasiswa sebagai
manusia muda, maka masalah menyolok yang sering menjadikan mahasiswa bingung,
gelisah bahkan tidak sedikit yang menyudahi kehiduannya adalah masalah jodoh. Yang
paling awal adalah kebingungan mereka tentang cara mencari jodoh yang benar. Patah
hati yang menjadi “trend” para pencari cinta manusia, sebenarnya tetap menjadi hal yang
menakutkan. Ketidakpahaman mereka pada taqdir jodoh menyebabkan muncul dua
kelompok, (a) yang sangat bersemangat mencari jodohnya, dengan cara apapun dan
bagaimanapun. Kelompok ini menggunakan “trial and error”, (b) kelompok pasif yang
menunggu taqdir, menunggu dikirimnya seseorang yang ditulis ole Allah sebagai
jodohnya. Kelompok “andre-andre lumut”, yang menunggu di - unggah – ungguh - i atau
di datangi calonnya.
3. Krisis Menejemen Profesi
Perencanaan masa depan yang menjadi pekerjaan rumah mahasiswa adalah
mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Mahasiswa terjebak pada pemikiran yang
sempit, yang mengharuskan profesi harus sesuai dengan latar belakang pendidikan
seseorang. Kalau pendapat yang menyatakan bahwa untuk memegang sebuah pekerjaan
perlu dibekali paket pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai, itu benar. Tapi jika
dibalik, bahwa latar belakang pendidikan tertentu mengharuskan lulusannya harus
bekerja pada satu jenis pekerjaan itu menjadi keliru.
Kajian ilmu memiliki banyak kemungkinan dalam penerapannya. Misalnya lulus
dari fakultas pendidikan, tidak harus menjadi guru , yang mengajar disekolah. Fakultas
ini membuka banyak kemungkinan profesi, bisa menjadi penulis, penerbit buku,
penyelenggara paket pelatihan atau kursus, dan sebagainya. Namun yang sering ada
dalam benak mahasiswa, bahwa fakultas atau jurusan yang diambil secara pasti telah
diarahkan kepada satu atau dua jenis pekerjaan. Secara sosial cara berfikir seperti ini
menjadi salah, mengingat luasnya lapangan kerja jenis tertentu dengan banyaknya
jumlah lulusan perguruan tinggi tidak sebanding. Contohnya kasus, mahasiswa masih
banyak yang mendambakan setelah lulus dapat menjadi PNS. Pekerjaan ini menjadi
impian yang sangat diingikan. Sehingga banyak dari sarjana yang mau mendaftar ulang
sampai 6 tahun agar bisa ikut tes PNS. Ada yang menggunakan pelicin, bernepotisme,
dan penyimpangan lainnya. Gambaran semput tersebut sesungguhnya telah
mempersempit pula kesempatan yang sangat luas dalam mendapatkan pekerjaan. Dari
cara berfikir yang keliru ini, sering mahasiswa mengalai ketutus-asaan. Mereka menjadi
tidak bersemangat dalam mencari ilmu. Dan ii berpengaruh buruk terhadap prestasi
mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa masa depan yang suram para sarjana
sebenarnya bukan terjadi karena mereka tidak mampu meraih yang lebih baik, tetapi
karena sejak awal mereka telah membayangkan bahwa masa depan mereka akan suram.

Sumber penyakit:

Dengan membatasi kajian tasawuf, ketiga penyakit rohani tersebut bersumber


kepada pemahaman yang tidak utuh tentang eksistensi Allah. Pada kebanyakan umat,
seorang beriman kepada Allah baru sebatas mempercayai bahwa ALLAH ITU
WUJUD/ADA, tapi tidak mempercayai bahwa Allah Maha Kuasa dan Mencintai
hamba-Nya.

Mahasiswa tidak percaya Allah Maha Kuasa:

Manusia sudah dapat menggunakan akalnya untuk mengamati alam ini


sebagai “jejak Allah”. Kesimpulan akhir dari pengamatannya itu adalah pernyataan
bahwa Tuhan itu ADA. Namun dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, mereka
yang percaya bahwa Allah itu ada ternyata kebanyakan belum sampai pada tingkat
kepercayaan yang penuh bahwa ALLAH ITU MAHA KUASA. Hal ini terbukti
bahwa meskipun seorang setiap hari melakukan sholat seraya bertakbir, mengakui
bahwa Allah Maha Besar, namun ketika ia ditimpa masalah, larinya bukan kepada
Allah. Solusinya bukan dengan menambah kedekatan diri kepada-Nya. Ada
anggapan mungkin Allah tidak mampu menyelesaikan masalah yang ia hadapi.

Contoh kasus riil pada anak-anak sekolah, bahwa jika ia kesulitan mengerjakan
matematika atau bahasa inggris, maka jarang sekali seorang siswa lari minta tolong
pada Allah, misalnya dengan menambah amaliah sholeh, disamping tetap menambah
jam belajar. Mungkin Allah dianggap tidak mampu memberi solusi di bidang
matematika, atau matematika tidak ada hubunganya dengan Allah. Dalam istilah AM
Saefudin, kasus seperti itu disebut Ateis Ilmiah (mengakui keberadaan Allah, tapi
tidak mengakui campur tangan Allah dalam aktivitasnya).

Orang-orang seperti ini, memiliki karakteristik yang khas, yaitu:

a. Jika berhasil akan sombong karena ia merasa bahwa berkat usahanya sendiri ia
mencapai kesuksesan tersebut.
b. Jika ia mendapat masalah dan telah berusaha diselesaikan, ternyata menjadi lebih
runyam, akibatnya ia akan putus asa. Paling tidak mencari kambing hitam.

Mahasiswa percaya pada Kuasa Allah tapi


tidak percaya pada Cinta-Nya:

Masalah berikutnya yang muncul pada orang yang percaya akan Allah, bahkan ia
telah percaya pada kuasa-Nya adalah ia kurang yakin bahwa Allah CINTA kepada
manusia. Ketika ia meyakini bahwa tidak ada satu pun Kuasa yang dapat mencelakakan
seseorang atau memberikan kebaikan pada seseorang, kecuali yang datang dari Allah,
orang tersebut begitu semangat berusaha mencapai cita-citanya. Namun dalam usahanya
itu ia justru tenggelam dalam Kuasa Allah. Ia justru memakai “Baju” Allah, sehingga ia
berlaku seperti Allah. Ia merasa bahwa pilihannya adalah yang terbaik dan harus
terwujud. Sehingga ketika yang diusahakan itu tidak berhasil, ia merasa Allah tidak
meperhatikan dirinya. Ia merasa Allah tidak memperhatikan doanya. Ia merasa dicuekin
Allah. Orang yang seperti ini juga akan mudah putus asa.

Orang seperti ini salah dalam menempatkan diri. Ia hanya hamba yang sekedar
menjalani sebuah kehendak. Meskinya ia menempatkan kehendaknya di bawah kehendak
Allah. Ia tidak perlu memaksa, karena boleh jadi yang dicita-citakan, tidak tepat dan tidak
baik untuknya. Allah akan mengganti keinginan itu dengan sesuatu yang lebih pas dan
lebih baik, karena Allah CINTA kepadanya. Dalam kesadaran inilah seorang percaya
pada Kuasa Allah akan mengembalikan seluruh hasil kesungguhannya pada Taqdir
Terbaik yang DIPILIHKAN ALLAH.
C. TASAWUF BAGI MAHASISWA

Manusia adalah makhluk unik. Sebagai makhluk yang memiliki potensi mendua,
dapat menjadi baik sekaligus dapat menjadi jahat, membutuhkan tuntunan hidup,
sehingga “kekuatan dahsyat” yang dimiliki memang akan dipergunakan untuk sebuah
tugas suci yang langsung di-SK-kan oleh Sang Pencipta, yaitu sebagai Kholifah/ Wakil
Allah di bumi.jika fasilitas Allah yang diberikan kepada manusia tidak terbimbing oleh
ajaran yang lurus, lahirnya manusia akan seperti yang digambarkan malaikat sebagai
makhluk yang suka berbuat kerusakan dan mengalirka darah. Di sinilah Rahman-Rahiem
menyambangi manusia dengan diturunkannya”Juklak” (Kitab Suci Al Qur’an) menjadi
wakil yang disampaikan para “kurir” Allah, yaitu para Rasul terpuji.

Dalam praktek pendidikan, koreksi yang sering dilontarkan berdasarkan fakta di


lapangan adalah, bahwa pendidikan sekarang boleh jadi melahirkan makhluk-makhluk
siluman, makhluk yang jasadnya manusia, namun dikendalikan oleh kekuatan jahat dalam
dirinya.

...sehingga pada tahun 2002, Allah


memberikan gambar secara simbolis
tentang kondisi manusia, denga lahirnya
manusia bernama “SUMANTO”. Dan
dalam kamus ‘lelucon’ yang saat itu
disuarakan oleh sebuah group lawak
terkenal , SUMANTO adalah kependekan
dari SUKA MAKAN MANUSIA, TO?

Jaman ini adalah jaman dimana manusia sudah mejadi serigala bagi manusia lain.
Hanya memperebutkan sesuatu yang tidak berharga, manusia tega membuuh saudaranya
sendiri. Manusia yang jasadnya, tampan, cantik, gagah, tinggi, semampai, ternyata berisi
srigala menyeringai yang sanggup melenyapkan siapapun demi memenuhi keinginanya.
Namun kalau kita berfikir husnudhon,maka kondisi yang seperti itu belum begitu parah.
Terbukti, definisi Sumanto, berakhir dengan pertanyaan (adanya kata: To?) symbol ini
seakan memberitahukan kepada umat manusia bahwa kondisi yang demikian baru tingkat
“lampu kuning”. Semua kembali kepada manusia, apakah peringatan ‘lampu kuning’ itu
akan diteruskan menjadi ‘lampu merah’, artinya jaman ini akan menjadi lebih rusak
kondisi kemanusiaannya, ataukah ada usaha sungguh-sungguh sehingga ‘lampu kuning’
justru berubah menjadi ‘lampu hijau’ yang mengembalikan mausia pada fitrah
kemanusiaannya.

Tasawuf adalah ilmu yang mengajarkan kepada manusia untuk mengenalkan dan
mendekatkan diri kepada Allah. Pada bingkai global, urgensi tasawuf yang disajikan bagi
kalangan intelektual muda, seperti para mahasiswa, adalah upaya positif untuk sadar dan
mengenal pada eksistensi dirinya, sehingga ia akan sampai pada eksistensi Tuhannya.
Konsep pendidikan tasawuf yang terkenal adalah: “Barang siapa mengenal dirinya, maka
ia akan mengenal Tuhannya”. Pengenalan diri yang mutlak harus diketahui oleh
mahasiswa yakni bahwa dirinya adalah MANUSIA. Banyak manusia yang perangai ,
akhlak, dan perilakunya bukan manusia.

Banyak manusia yang perbuatannya lebih hina dari golongan hewan.


Artinya banyak manusia yang bukan manusia. Dalam sebuah analisis
cerdas, simbolis urutan surat al Qur’an telah menjelaskan hal itu. Surat
pertama dalam alQur’an setelah pembukaan (Al Fatihah) adalah Al
Baqoroh dan diakhiri dengan An Naas. “Surat Cinta” Allah yang
dikirimkan kepada seluruh manusia ini memberikan petunjuk bahwa, pada
awalnya manusia hanyalah “Al Baqoroh” (sapi betina) maka dengan
mengikuti 114 surat dari Allah, manusia akan mengalami transformasi
spiritual untuk menjadi makhluk mulia yaitu “An Naas”. Dalam konteks
inilah tasawuf hadir untuk menjadi penuntun proses.

“MEMANUSIAKAN MANUSIA”

Atau lebih specific bagi dunia pendidikan.

“Memanusiakan civitas
akademika yang selama ini
merasa menajdi manusia”
Dan semua itu hanya berjalan hanya dalam Kuasa dan Kehendak-Nya.

Wallahu A’lam

Anda mungkin juga menyukai