Anda di halaman 1dari 12

Paper Filsafat Manusia

“Penilaian Mengenai Kasus Pembunuhan Balita Oleh Siswi SMP dengan


Menggunakan Tatanan Moral Subjektif dan Objektif”

Dosen Pengampu : DR. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.HUM

Oleh:

Liza Anik Rosidah

3903019069

Manajemen
Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi akal budi. Seperti
yang kita ketahui, akhir- akhir ini banyak sekali terjadi kemorosotan nilai yang
membuat krisis moral dalam manusia. Sebagai manusia yang berakal budi tentu
kita prihatin akan kejadian yang belum lama ini menggemparkan Indonesia.
Pembunuhan balita oleh siswi smp yang belum lama terjadi pasti membuat kita
bertanya Tanya. Bagaimana bisa seorang remaja berusia 15 tahun tega membunuh
balita yang tak berdaya. Dalam paper ini saya akan membahasnya dengan
beberapa teori dalam tatanan moral subjektif dan objektif.
Abstrak

“Penilaian Mengenai Kasus Pembunuhan Balita Oleh Siswi SMP dengan


Menggunakan Tatanan Moral Subjektif dan Objektif”

Oleh: Liza Anik Rosidah

Paper yang berjudul “Penilaian Mengenai Kasus Pembunuhan Balita Oleh Siswi
SMP dengan Menggunakan Tatanan Moral Subjektif dan Objektif” saya buat
dengan tujuan agar pembaca paham akan pentingnya pendidikan moral sedari
dini. Pendidikan moral pertama kali dapat kita dapat dari keluarga sebagai agen
sosialisasi primer. Moral sendiri mengandung bebrapa tatanan dalam kehiupan
kita. Tatanan moral subjektif yang memaksudkan dinamisme penilaian baik buruk
dari sutu tindakan manusia yang dipahami pertama- tama sebagai subjek. Tatanan
moral subjektif yang saya bahas dalam paper saya kali ini adalah mengenai
bagaiman hati nurani pelaku pembunuhan balita oleh siswi SMP. Tak hanya
tatanan moral subjektif, dalam paper saya juga membahas bagaimana tindakan
pelaku pembunuhan balita oleh siswi SMP ditinjau dari tatanan moral objektif.
Tatanan moral objektif menjelajah tema tatanan moral kita, tatanan moral hidup
bersama. Tak hanya itu saya juga dalam paper “Penilaian Mengenai Kasus
Pembunuhan Balita Oleh Siswi SMP dengan Menggunakan Tatanan Moral
Subjektif dan Objektif” saya juga menjelaskan beberapa faktor yang mungkin
menyebabkan pelaku yang berusia 15 tahun tega melakukan tindakan
pembunuhan terhadap balita. Faktor yang saya cantumkan didukung oleh studi
yang dilakukan oleh Bussey dan muridnya Paul Wagland untuk menilai
kemampuan anak- anak untuk memahami niat dan kemampuan mengatur diri
serta perilaku mereka.

Kata kunci: Manusia, moral, pembunuhan


Rumusan Masalah

a. Kronologis peristiwa pembunuhan balita oleh siswi SMP


b. Bagaimana tindakan pelaku?
c. Struktur tindakan pelaku
d. Meninjau Tindakan Pelaku dengan Filsafat Nilai
e. Hukuman perbuatannya?apa yang mungkin akan diterima oleh pelaku atas
f. Bagaimana kita sebagai masyarakat mengambil pelajaran dari kasus ini?
Pembahasan

a. Kronologis peristiwa pembunuhan balita oleh siswi SMP

Akhir-akhir ini Indonesia sedang digemparkan oleh kasus pembunuhan balita oleh
siswi SMP yang berusia 15 tahun. Kronologi dari kejadian tersebut dimulai saat
korban pergi bermain ke rumah tersangka. Saat sedang asyik bermain, pelaku
menyuruh korban untuk bermain di dalam kamar mandi. Diduga saat itu pelaku
menyuruh korban untuk mengambilkan mainan di dalam bak mandi. Ketika
korban dalam keadaan jongkok, pelaku mendorong korban ke dalam bak mandi.
Saat itulah pelaku melakukan eksekusi dengan cara dicekik dan ditahan di dalam
air sehingga korban tidak dapat bernafas selama 5 menit. Tak cuma itu, usai
korban ditahan di dalam air, pelaku melihat korban masih bernafas sehingga
pelaku mencolok mulut korban dan memasukkan air. Saat itu, keadaan rumah
pelaku diduga kosong tanpa pengawasan orang tua. Karena takut perbuatan
sadisnya diketahui orang tuanya, akhirnya pelaku membawa jasad korban menuju
kamarnya. Pada saat korban berada dalam kamar pelaku, mulut korban
mengeluarkan darah sehingga pelaku memasukkan tisu kedalam mulut. Korban
sempat ingin dibuang namun pelaku bingung akan dibuang kemana. Sehari
setelah kejadian tersebut, pelaku menyerahkan diri ke POLSEK Taman Sari.
Namun saat inikasus tersebut dilimpahkan kepada POLRES Jakarta Pusat. Yang
mengejutkan adalah pelaku mengatakan bahwa ia tersinspirasi dari sebuah film
yang sering ia tonton. Dan yang lebih mengejutkan adalah pelaku mengaku
merasa puas telah membunuh korban. Hal ini membuat pelaku harus diperiksa
kondisi psikisnya. Sedangkan keluarga korban merasa terkejut mengetahui buah
hatinya meninggal secara tidak wajar. Diduga pelaku tinggal bersama ayah
kandung dan ibu tirinya. Ayah korban telah bertemu ibu kandung pelaku dan ibu
kandung pelaku meminta maaf atas perbuatan anaknya. Ayah korban
menanggapinya dengan bijak, ayah korban telah memaafkan perbuatan pelaku
namun ia ingin ada proses hukum tetap berjalan. Dari kasus tersebut banyak
permasalahan yang bisa kita kaitkan dengan beberapa teori dalam filsafat
manusia. “Every man has by nature desire to konow”. Setiap manusia dari
kodratnya ingin tahu. Demikian kalimat pembuka buku monumental dari
Aristoteles, Metaphysics (980a25). Manusia kodratnya merupakan makhluk
berpikir, ingin mengenal, menggagas, merefleksikan dirinya, sesamanya,
Tuhannya, hidup kesehariannya, lingkungan dunia kehadirannya, asal dan tujuan
keberadaannya, dan segala sesuatu yang berpartisipasi dalam kehadirannya.

b. Bagaimana tindakan pelaku?

Dalam kasus ini tindakan pelaku pembunuhan balita tergolong dalam actus
humanus. Mengapa demikan? Actus humanus adalah syarat perbuatan moral.
Artinya, etika berada dalam lapangan perbuatan manusiawi. Perbuatan moral
artinya perbuatan itu berada dalam bingkai konteks penilaian baik/buruk dan
terpuji/tercela. Dalam kasus ini bisa kita nilai bahwa perbuatan pelaku yang
membunuh balita dikategorikan buruk dan tercela. Selain itu Actus humanus juga
berhubungan dengan tahu,mau,dan bebas. Pelaku ini jelas tahu mengenai
perbuatannya yang tidak manusiawi meskipun dia masih dibawah umur.
Meskipun pelaku berumur dibawah 17 tahun tidak mungkin diusianya yang 15
tahun ia tidak bisa mengetahui bahwa membunuh adalah kegiatan yang buruk dan
berdosa. Mau merupakan esensial dari bebas. Tidak ada paksaan. Sejauh ini tidak
ada indikasi pembunuhan balia tersebut terdapat paksaan dari pihak manapun.
Kebebasan mengandaikan dua hal, yaitu tahu dan mau. Pelaku tersebut
mengetahui dan menghendaki membunuh balita dengan demikian ia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun sampai saat ini belum ada hukuman
yang ideal bagi pelaku mengingat usianya dibawah umur dan kondisi psikisnya
yang belum diketahui.

c. Struktur tindakan pelaku

Ada 2 struktur tindakan manusia. Pertama adalanh voluntary (tindakan yang


dikehendaki) dan involuntary (tindakan yang tidak dikehendaki). Mengenai
eksekusi kehendak bebas (voluntary) ini pun, Thomas Aquinas
mengklasifikasikannya dalam dua macam, yaitu; directly voluntary dan indirectly
voluntary. Dalam kasus pembunuhan balita oleh siswi smp, struktur tindakan yang
dilakukan oleh pelaku adalah directly voluntary. Directly voluntary adalah cetusan
dari manusia sebagai subjek tingkah lakunya. Pembunuhan yang dilakukan pelaku
merupakan kehendak dirinya sendiri. Dalam kasus diatas semua keputusan atas
tindakan dan konsekuensi konsekuensi yang ada dari keputusan tindakan menjadi
milik dan tanggung jawab penuh pelaku. Tindakan membunuh terdiri dari
beberapa elemen-elemen yang kompleks. Pelaku mengaku kepada polisi bahwa ia
membunuh balita tersebut karena terinspirasi dari film yang sering ia tonton.
Kasus pembunuhan ini mengajarkan pada kita peran orang tua, keluarga sangat
penting dalam mengatur batasan- batasan mengenai tontonan yang ditonton oleh
anak –anak. Hati nurani pelaku pembunuhan balita tersebut dikategorikan ke
dalam hati nurani sesat. Mengapa demikian? Hidup manusia tidak hanya
mengalir begitu saja, melainkan juga dibentuk oleh banyak factor, seperti
lingkungan sekitar, tradisi, peraturan, relasi kemanusiaan satu dengan yang lain.
Menurut St Thomas: jika kesesatannya bisa diatasi dan bisa dipersalahkan
tanggung jawab perbuatan buruk/jahatnya ada pada si pelaku. Kesesatan adalah
culpable apabila itu merupakan produk dari pemanfaatan kebebasannya. Pelaku
membiarkan dirinya melakukan kesesatan tanpa curiga apa yang telah perbuat
adalah buruk dan salah. Jika kita cermati kembali kasus pembunuhan balita oleh
siswi smp ini, pasti kita berfikir “Apakah suatu film mampu mempengaruhi pola
pikiran seorang anak usia 15 tahun?” disini kita harus bijak dalam menilai. Suatu
film akan berpengaruh pada tindakan seseorang apabila sudah tertanam suatu niat
sebelumnya. Mengapa demikian? Jika kita kembali menelaah, seseorang berniat
menonton film dengan niat menghibur dirinya. Disini film hanya dijadikan suatu
hiburan. Berbeda dengan kasus pembunuhan balita oleh siswi smp. Pelaku
pembunuhan balita tersebut mengaku kepada polisi bahwa dirinya melakukan aksi
keji tersebut karena terinspirasi oleh film yang ia tonton. Disini kita bisa mengerti
ada yang salah dari diri seorang bocah 15 tahun. Terdapat 2 faktor yang mungkin
terjadi pada pelaku sampai ia tega menghabis nyawa seorang balita. Pertama,
faktor keadaan lingkungan. Lingkungan yang tidak sesuai dengan usianya,
membuat pelaku tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Seperti informasi yang beredar, keadaan keluarga yang bercerai menambah
situasi semakin buruk. Yang kedua adalah fungsi otak yang menyebabkan
hilangnya rasa empati pelaku sehingga tega melakukan pembunuhan yang sadis.

d. Meninjau Tindakan Pelaku dengan Filsafat Nilai

Manusia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki akal budi. Suatu nilai berkaitan
dengan perbuatan manusia. Artinya, perbuatan manusialah ( dalam makna
“perbuatan” dicakup pula aktivitas berpikir, mempertimbangkan, memutuskan,
mempraktikkan, menindaklanjuti, dan seterusnya) yang langsung berperkara
dengan suatu nilai. Tindakan seorang siswi smp yang membunuh balita pasti
dapat ditinjau dengan nilai. Karena secara fenomenologis, nilai itu berhubungan
dengan peristiwa suatu tindakan. Tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh
siswi smp tersebut tidak mungkin hanya semata- mata terinspirasi oleh film yang
ditonton. Karena nilai dalam hubungannya dengan perbuatan manusia jelas
langsung menyoal kepada kehendak, maka tindakan pelaku sudah termasuk ke
dalam kehendak pelaku tersebut. Pelaku sadar dalam melakukannya. Bagaimana
seorang anak tak bisa membedakan nilai baik dengan nilai buruk? Kembali lagi
pada teori mengenai apa itu baik apa itu buruk. Bukan bermaksud menyalahkan
keluarga ataupun orang terdekat, melainkan pendidikan pertama kali didapatkan
oleh anak dari keluarga. Keluarga berperan sebagai sosialisasi primer. Seorang
anak akan memahami apa itu baik atau buruk dari apa yang ia peroleh pertama
kali. Memang benar keluarga tersebut tidak mengajari pelaku untuk membunuh,
namun hal lain yang bisa saja terjadi adalah kurangnya pengawasan dan perhatian
terhadap pelaku. Perilaku agresif anak juga turut dipengaruhi oleh kenyataan yang
ada dalam keluarga. Mengingat pelaku masih berusia 15 tahun yang masih butuh
dampingan orang tua. Apakah kasus ini bisa kita sebut dengan krisis nilai? Tentu
saja bisa. Apalagi pelaku mengatakan bahwa tindakan yang ia lakukan didasari
“pengin aja”. Disini ada pertumbuhan anak yang melampaui kewajaran. Di
Indonesia telah terjadi kemerosotan nilai, tak perlu jauh- jauh mencari contoh
dengan meningkatnya kasus kekerasan pada anak dari waktu ke waktu dapat
menjadi indicator kegagalan keluarga dalam membentuk kepribadian seorang
anak. Bukankah seorang anak melihat bahu orang tuanya? Bisa saja anak yang
mengalami kekerasan menjadi pribadi yang lebih menakutkan karena melihat
bagaiman orang tuanya memperlakukan dirinya. Hal ini tentu saja tak hanya
berpengaruh pada diri anak itu sendiri, melainkan berpengaruh pada lingkungan
selanjutnya yang akan anak itu tinggali. Mengapa demikian? Sebagai contoh
seorang anak menerima kekerasan dari keluarganya karena dia tidak mendapatkan
apa yang orang tuanya kehendaki. Anak itu bisa saja melakukan hal yang sama
kepada orang lain ketika dirinya tak mendapatkan apa yang ia inginkan dari orang
lain. Anak yang mengalami kekerasan bisa saja melakukan kekerasan kepada
orang lain karena menganggap hal itu biasa dan tak perlu disesali. Tak hanya itu,
ia akan memendam rasa benci dan dendam pada orang tuanya dan bisa melakukan
hal yang terduga pada orang tuanya sendiri. Kondisi lingkungan keluarga yang
buruk akan berangsur- angsur membentuk skema dalam otak seorang anak bahwa
hal itu memang harus dilakukan dan wajar. Hal inilah yang akan menjadi awal
mindset bahwa kekerasan adalah hal biasa. Keluarga yang harusnya menjadi
pelindung diri beralih menjadi hal yang anak takuti. Jika memang benar pelaku
melakukan kekerasan karena dirinya menerima kekerasan baik verbal maupun non
verbal dari orang dewasa di lingkungan sekitarnya, maka mengapa ia melakukan
pembunuhan pada seorang balita? Bisa saja, karena dirinya merasa tak berdaya
untuk melawan orang dewasa lalu ia lampiaskan kepada balita yang tak berdaya.
Pelaku pembunuhan balita oleh siswi smp yang berusia 15 tahun bisa dikatakan
tindakan criminal yang menyalahi nilai. Studi yang dilakukan oleh Bussey dan
muridnya Paul Wagland untuk menilai kemampuan anak- anak untuk memahami
niat dan kemampuan mengatur diri serta perilaku mereka. Baru-baru ini studi
mereka diterbitkan dalam Psikologi Hukum dan Kriminologis. Menurut studi
tersebut anak berusia 8 tahun atau lebih mampu menilai bahwa tindakan criminal
sebagai lebih buruk secara moral daripada sekedar nakal. Menurut peneliti, hal ini
menunjukkan kemampuan untuk memahami konsekuensi. Jika kita tinjau dari
studi yang dilakukan oleh Bussey dan muridnya Paul Wagland, maka pelaku yang
berusia 15 tahun tentu dapat menilai bahwa tindakan yang ia lakukan adalah
kejahatan atau criminal. Para psikolog menjelaskan terdapat banyak faktor yang
menyebabkan anak- anak bisa melakukan pembunuhan. Diantaranya adalah faktor
biopsikologi, tingginya faktor agresi, kecenderungan impulsive, rendahanya
kemampuan impulsive.. Biopsikologi adalah studi ilmiah tentang biologi perilaku.
Faktor agresi adalah suatu respon terhadap marah, kekecewaan, sakit fisik,
penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnya memancing
agresi. Nilai moral bukanlah sebuah pilihan merupak suatu kewajiban. Untuk
remaja yang berusia 15 tahun seharusnya ia telah mengenal bagaimana nilai moral
diterapkan sehari- hari. Anak yang tumbuh dengan emosi yang baik dan moralnya
berkembang baik tidak akan melakukan pembunuhan.

e. Hukuman perbuatannya?apa yang mungkin akan diterima oleh pelaku atas

Menurut Undang- Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak di
Indonesia disebutkan di pasal 1 angka 3,4, dan 5 bahwa anak- anak adalah mereka
yang berusia dibawah 18 tahun. Kasus dengan pelaku usia 12 sampai 18 tahun
bisa diproses lewat peradilan pidana. Mengingat pelaku pembunuhan adalah
remaja yang berusia 15 tahun, jadi apa saja sanksi yang akan ia peroleh di
kemudian hari? Jika kita belajar dari beberapa kasus kasus criminal yang terjadi,
pelaku tindak criminal mendapat hukum social berupa entah gunjingan atau
penolakan dari beberapa pihak. Apalagi mengingat pelaku merupakan anak- anak
yang perjalanannya masih panjang. Sesuai perkembangan kasus pembunuhan
belita oleh siswi smp saat ini polisi gunakan UU peradilan anak. Perlakuan anak
dibawah umur tentu berbeda dengan dewasa. Bila kelak pelaku terbukti sebagai
pelaku di persidangan ia hanya menerima setengah dari hukuman yang berlaku
bagi orang dewasa.

f. Bagaimana kita sebagai masyarakat mengambil pelajaran dari kasus ini?

Dari kasus ini kita disadarkan bahwa pendampingan terhadap anak sangatlah
penting. Mengajarkan moral yang baik kepada anak sedari dini dapat membantu
anak untuk menjadi manusia yang bermoral dan bernilai baik. Keadaan keluarga
sangat berpengaruh terhadap psikis anak. Tak hanya nilai moral, tetapi agama juga
harus dijadikan pondasi kepribadian anak. Agama yang diajarkan haruslah mampu
diterima anak dengan baik. Baik disini yang dimaksudkan adalah tanpa ada
mengajari anak menjadi anak yang beragama namun tak bertoleransi baik sesame
manusia. Nilai moral dan agama haruslah seimbang. Hal ini karena moral dan
agama yang seimbang akan menjadikan anak menjadi seorang manusia yang ber
hati nurani tajam. Ia tidak akan kehilangan arah dalam hidupnya.

g. Kesimpulan

Moral manusia akan membentengi kita dari tindakan buruk yang terjadi. Manusia
memiliki kesadaran akan tindakan yang ia lakukan. Kesadaran inilah yang
harusnya menjadikan manusia berfikir sebelum bertindak. Apalagi jika tindakan
itu merugikan orang lain. Dengan adanya kasus ini semoga kita sebagai manusia
yang dianugerahi akal budi mampu menahan diri dari hal- hal buruk yang
mungkin dapat kita lakukan ketika kita dikuasai emosi dan hawa nafsu.
Daftar Pustaka

Dewantara, A. (2017). Filsafat Moral (Pergumulan Etis Keseharian Hidup


Manusia).
Dewantara, Agustinus. "Filsafat Moral (Pergumulan Etis Keseharian Hidup
Manusia)." (2017).

Anda mungkin juga menyukai