Anda di halaman 1dari 6

Nama : Swastika Qayyuumunisaa

NIM : 190111600083

Off : B9

Kasus yang saya ambil permasalahan peserta didik pada jenjang SMP

“ Remaja 15 tahun bunuh balita : apa penjara anak bisa jamin pelaku jera”

Pada Jumat (6/3/2020) sekitar pukul 09.00 WIB, remaja perempuan, NF, berangkat
dari rumahnya menuju ke Polsek Tamansari, Jakarta Barat. Hari itu ia tak bersekolah, meski
mengenakan seragam sekolah. Tiba di sana, ia menemui polisi dan mengaku telah membunuh
seorang anak. Dia sempat lepas seragamnya dan mengenakan jilbab putih, baju lengan
panjang motif kotak berkelir cokelat, celana panjang biru muda yang ada motif kucing di
dengkulnya, ketika berada dalam ruangan polisi. Menerima informasi itu, kepolisian setempat
melimpahkan kasus itu ke Polsek Sawah Besar lantaran domisili siswi SMP berusia 15 tahun
itu ada di kawasan Karang Anyar RT 004/006 Nomor 41, Kelurahan Karang Anyar,
Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Polisi menyambangi kediaman gadis berinisial NF
itu guna melakukan verifikasi terkait informasi pembunuhan. Lantas polisi memeriksa NF
atas dugaan pembunuhan terhadap bocah berinisial APA (5), anak tetangga yang juga teman
adiknya. Hasil pemeriksaan dan olah tempat kejadian perkara (TKP) yakni dia terinspirasi
film horor Chucky dan anime Slender Man. "Pengakuan dari NF, dia melakukan dengan
kesadaran dan terinspirasi oleh film," kata Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru
Novianto Heru di kantornya, Jumat (6/3/2020).

Kronologi kasus

Peristiwa ini bermula pada 5 Maret 2020, sekitar pukul 16.00, ketika pelaku mengajak
korban ke kamar mandi dengan dalih meminta tolong diambilkan mainan di dalam bak
mandi. Kepala APA ditenggelamkan NF ketika bocah itu berada di dalam bak sekitar lima
menit. Pelaku juga menyumpal mulut korban agar tak berteriak. Setelah tubuh korban
melemas lalu pelaku memasukkan tubuh korban ke ember dalam keadaan terikat. Jenazah
urung dibuang sore itu karena takut ketahuan warga, maka NF menyimpan jasad APA di
dalam lemari. Di dalam sebuah lemari, polisi menemukan jasad anak perempuan, mulutnya
disumpal kain dan badannya 'dibedong' sprei pula. Jasad itu tertutup pakaian yang digantung
dan ditumpuk pakaian. Esoknya ia mengaku ke polisi. Kini pihak RS Bhayangkara Tingkat I
Raden Said Soekanto, Jakarta Timur, memeriksa kejiwaan pelaku. Hasilnya belum diketahui.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak


(SPPA) mengatur anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satunya diversi, pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Komisioner Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) Putu Elvina menyatakan kasus pembunuhan merupakan salah satu perkara
yang tidak bisa dilakukan diversi. "Maka upaya hukum harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak sesuai mandat UU SPPA," ucap dia ketika dihubungi Tirto,
Senin (9/3/2020). Menilik kasus ini, lanjut Putu, dengan mempertimbangkan aspek internal
maupun eksternal maka anak lebih prioritas untuk dilakukan pengobatan medis maupun
psikososial dalam bentuk rehabilitasi. Hal ini bertujuan agar kejahatan yang sama tidak
terulang. "Tentu saja menunggu diagnosis medis, psikologis anak serta latar belakang
keluarga atau pengasuhan yang mungkin menjadi salah satu pemicu pembunuhan tersebut,"
tutur Putu. Dia berpendapat tontonan saja tidak cukup mendorong anak melakukan
pembunuhan lantaran banyak anak usia seperti NF yang hobi menonton film horor atau
thriller, tapi tidak serta-merta menuntun anak melakukan kejahatan.

Pihaknya akan mengawasi proses hukum NF, memastikan hak-hak hukum berjalan
baik serta merekomendasikan agar anak direhabilitasi dan diobati melalui terapi tertentu. Putu
juga mengingatkan pengawasan yang lebih baik oleh orang tua terhadap anaknya;
mengimbau pemerintah pusat maupun daerah membangun sistem pencegahan anak dari
kekerasan; dan membuat regulasi tayangan yang berpotensi memiliki adegan kekerasan yang
mudah ditiru anak. Putu melanjutkan jika NF dipenjara, dampak bagi anak dan lingkungan
juga harus dipertimbangkan pada saat keluar penjara nanti. "Apakah selama di dalam penjara
anak jadi jera?" ujar dia. Dugaan Kejiwaan NF Terganggu Psikolog Klinis Rahajeng
Ikawahyu berpendapat terlalu dangkal kalau mengklaim film adalah pemicu pelaku nekat
beraksi. Jika betul film horor jadi pemicu, bisa dibayangkan ada berapa banyak pembunuhan
yang bisa terjadi. "Jadi perasaan puas tidak bisa dikaitkan begitu saja dengan menonton
filmnya," kata dia ketika dihubungi Tirto, Senin (9/3/2020). Menurut Rajaheng, yang harus
dicari tahu adalah apa yang memengaruhi pelaku hingga muncul hasrat ingin membunuh.
Yang pasti ada teori dasar berpikir, misalnya teori faktor genetik turunan, faktor lingkungan
maupun faktor neurologis melalui pindai otak. "Ada teori yang mengatakan para pelaku
kriminal itu ada bagian otak tertentu yang mengenal rasa dan empati, yang tidak berkembang
atau malah tidak ada," jelas dia. Artinya dalam kasus ini, belum bisa diketahui secara spesifik
apa pemicu utama NF. "Karena pasti akan dilihat dari keseharian anak ini sesuai pengakuan
dia, nanti hasilnya akan dibandingkan dengan pengamatan orang lain di sekitarnya. Kalau
sesuai, tandanya dia jujur dan mungkin akan bisa ada data pemicunya," tutur Rahajeng.
Pelaku pembunuhan, kata Rahajeng, tidak semudah itu menghilangkan hasrat menyakiti
bahkan membunuh. Persoalan hasrat membunuh, yang seharusnya diperhatikan adalah
kemampuan mengontrol. Boleh jadi hasratnya tidak lenyap, tapi pelaku diajarkan
mengontrol.

Namun jika sekadar dipenjara, mungkin saja pelaku mendapatkan 'ilmu baru' dari
tahanan lain, tidak membuat kapok pelaku. "Jadi penjara anak dan remaja harus berbeda dari
penjara dewasa." Menurut Nina, terkait perkembangan mental anak, menciptakan situasi
kekeluargaan dan kenyamanan menetap di rumah menjadi hal yang penting. Anak yang
tumbuh dalam keluarga penuh kehangatan, lanjut Nina, maka tidak ada tempat bagi anak
untuk mengekspresikan kekerasan. Orang tua juga harus disiplin dalam mengontrol kesalahan
anak. "Kalau anak salah, harus mendapatkan konsekuensi yang sesuai dengan perbuatannya.
Bukan berarti anak melakukan kesalahan satu kali ataupun berapa kali, lalu dibiarkan saja,"
tegas dia.

Pengertian pembunuhan

Seperti diketahui bahwa pembunuhan, merupakan suatu kesengajaan menghilangkan


nyawa orang lain. Pembunuhan merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang tidak
manusiawi dan atau suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan, karena pembunuhan
merupakan suatu tindak pidana terhadap nyawa orang lain tanpa mempunyai rasa
kemanusiaan. Pembunuhan juga merupakan suatu perbuatan jahat yang dapat mengganggu
keseimbangan hidup, keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam pergaulan hidup
bermasyarakat. Oleh karena itu, pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang tercela,
ataupun tidak patut.

Analisis Kasus :

What : Apa yang melatarbelakangi remaja tersebut melakukan pembunuhan?

Who : Siapa yang membunuh balita 5 tahun?

When : Kapan kasus tersebut terjadi?

Where : Dimana pembunuhan itu dilakukan?

Why : Mengapa remaja tersebut tega membunuh balita itu?

How : Bagaimana kronologi pembunuhan dilakukan?

Berdasarkan kasus tersebut, pelaku termasuk melakukan tindak kriminal di bawah umur. Hal
ini dapat dilihat dari unsur subyektif dan obyektif yakni:

Unsur subyektif :

1. Dengan sengaja

Unsur obyektif :
1. Dengan menghilangkan nyawa
2. Objeknya : nyawa orang lain

Perumusan masalah sesuai dengan SKKPD (Siswa SMP)

1. Landasan perilaku etis


Tindakan apa yang telah menyalahi aspek perkembangan landasan perilaku etis?
Remaja tersebut telah melakukan tindakan pembunuhan, yakni pembunuhan anak
dibawah umur. Dalam hal ini remaja masih belum bertindak atas dasar pertimbangan
diri. Karena remaja 15 tahun pada umumnya masih belum mempertimbangkan
tindakan-tindakan apa yang akan terjadi kedepannya.
2. Kematangan emosi
Bagaimana remaja tersebut mengekspresikan perasaannya? Apakah sudah sesuai
dengan kematangan emosinya?
Remaja tersebut mengekspresikan perasaannya melalui apa yag telah digambarkan di
kertas demi kertas dengan karakter yang berbeda-beda. Dalam hal tersebut anak
mengekspresikan perasaan dirinya atas dasar pertimbangan kontekstual. Kontekstual
disini dalam arti ia memahami materi-materi yang dipelajarinya berdasarkan dengan
apa yang sudah ia tonton dan mengaitkannya pada kehidupan sehari-harinya. Hal ini
pada umur 15 tahun puncaknya seorang remaja mengalami kematangan emosi dan
bisa melakukan hal-hal yang ia inginkan, tetapi biasanya ada yang emosi masih belum
stabil.
3. Kematangan intelektual
Mengapa remaja tersebut menyalahi perkembangan intelektual pada anak seusianya?
Ya. Karena remaja yang berusia 15 tahun masih pada tahap mempelajari cara-cara
dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Pada kasus diatas remaja
tersebut tidak pikir pajang antara si balita harus dibunuh ataupun tidak. Karena dalam
kematangan intelektual seharusnya remaja tersebut menyadari adanya resiko dari
pengambilan keputusan dan hal yang telah ia perbuat.
4. Kesadaran tanggung jawab sosial
Bagaimana sikap remaja tersebut terhadap lingkungannya? Apakah sadar akan
tanggung jawab sosialnya?
Remaja tersebut antara abai dengan lingkungannya. Remaja 15 tahun ini sendiri masih
memiliki pikiran/mindset yang kurang terbuka. Bahwasanya tanggung jawab sosial
harusnya saling menjaga satu sama lain bukan justru membunuh teman sendiri.
Pendapat terkait permasalahan sesuai dengan BK Pribadi Sosial

Menurut pendapat saya pribadi kaget mengenai berita pembunuhan remaja 15 tahun
yang membunuh balita 5 tahun. Hal ini merupakan sesuatu hal yang memprihatinkan.
Biasanya dalam kasus-kasus pembunuhan lainnya dikarenakan adanya rasa benci ataupun iri
terhadap korban yang secara mendalam dan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan pun
terjadi. Namun kali ini tidak, bukan karena iri ataupun benci. Hanya dikarenakan terinspirasi
dari film-film sadis dan horror dan membuat anak meniru/melakukan hal yang diterapkan di
dunia nyata alhasil seperti kasus diatas. Bahwasannya kasus tersebut menurut saya masih
kurangnya peran orangtua. Karena orangtua tidak mengawasi tontonan anak saat itu. Bisa
dilihat bahwa anak tersebut kurang perhatian orang tua dan kurangnya keakraban antara anak
dan orangtua. Masa-masa remaja merupakan masa-masa yang masih membutuhkan
perhatian, kehangatan, dll. Anak dengan kisaran usia 15 tahun masih masa-masa mencari jati
diri, emosi yang kurang stabil.

Kaitan dalam BK Pribadi Sosial, dalam aspek pribadi si anak belum mampu
mengendalikan emosi sehingga dalam menyikapi hal tersebut ia merasa seakan-akan itu
hanya permainan belaka dan belum mengerti apa resikonya. Menurut kasus tersebut ia sudah
merasa puas dengan hal yang sudah dilakukannya. Begitu pula dalam aspek sosialnya, si anak
kurang memperhatikan lingkungan sekelilingnya baik dari hubungan antar orangtua ataupun
dengan masyarakat setempat. Melihat kasus tersebut, diperlukan usaha untuk mencegah dan
menindaklanjuti agar tidak terjadi lagi pada remaja tersebut. Dengan diadakan pelayanan
bimbingan bimbingan terkait pribadi sosial. Maka dari itu, diharapkan kasus pembunuhan
dibawah umur semakin berkurang agar bisa memenuhi kebutuhan informasi bagi para
remaja/peserta didik untuk mendukung aspek pribadi dan hubungan sosialnya.

Sumber kasus: https://tirto.id/eD3M ( diakses pada tanggal 16 maret 2020 pukul 13.08)

Anda mungkin juga menyukai