Anda di halaman 1dari 2

Mengapa Remaja Menjadi Pelaku Kriminalitas?

Saat ini publik tengah dihebohkan dengan kasus pembunuhan seorang anak berusia 11 tahun asal
Makasar. Kasus tersebut diawali dengan penculikan yang berakhir pembunuhan oleh Pelaku berusia 17
tahun (AD) dan 14 tahun (MF). Berdasarkan hasil konferensi pers yang dilakukan oleh Kepolisian Resor
Kota Besar (Polrestabes) Kota Makasar, mengungkapkan bahwa motif tersangka melakukan pembunuhan
dikarenakan faktor ekonomi. Tersangka tergiur tawaran di situs internet jual beli organ tubuh manusia
untuk mendapatkan uang dengan jumlah fantastis, sehingga memunculkan niat tersangka untuk
melakukan aksi pembunuhan (tribuntimur.com, 10/01/2023). Kasus ini menyita perhatian publik,
dikarenakan motif pelaku yang terbilang cukup sadis dan tak lazim, serta melibatkan anak di bawah umur.
Jika selama ini kita mendengar berita tentang tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh orang dewasa,
sangat berbeda dengan kasus yang saat ini terjadi, dimana para pelaku merupakan anak yang masih duduk
di bangku sekolah dan masih tergolong usia remaja. Tentunya hal tersebut akan memunculkan
pertanyaan, mengapa tindakan kriminalitas tersebut bisa dilakukan oleh remaja yang masih dibawah
umur, bahkan untuk tindakan yang keji dan termasuk dalam kriminalitas tingkat berat.
Terdapat beberapa pendekatan yang dirasa mampu menjawab pertanyaan tersebut, termasuk
dalam sisi psikologis pelaku. Pertama faktor internal, faktor internal berasal dari dalam diri tersangka
yang memunculkan dorongan dalam bertindak kriminalitas. 1). Psikopatik, seseorang remaja dengan
karakteristik psikopatik tidak akan ragu untuk menyakiti atau merugikan orang lain, demi mencapai
tujuan yang diinginkan. Mereka juga tidak akan merasa bersalah jika tindakan yang dilakukan membawa
kesengsaraan pada orang lain. Karakter psikopatik ini, dapat terlihat meskipun masih dalam usia kanak-
kanak, seperti perilaku suka menyakiti/ agresif terhadap hewan atau mahluk yang lebih lemah, isolasi
sosial, pembangkangan secara berulang ataupun melakukan tindakan-tindakan ekstrim lainya, seperti
melakukan pembakaran ataupun tindakan kriminalitas diusia dini. 2). Narsisme yakni kepercayaan yang
dimiliki oleh remaja yang memandang dirinya sebagai orang yang unggul, serta menilai orang lian lemah
atau lebih rendah dari pada dirinya. Sehingga mereka akan merasa memiliki kekuatan lebih, yang
dipergunakan menyakiti orang lain. 3). Pengendalian diri yang rendah, merupakan kemampuan individu
dalam menentukan perilakunya sesuai dengan peraturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Remaja
dengan kontrol diri rendah akan cenderung melakukan tindakan kriminal, dikarenakan ketidakmampuan
dalam mempertimbangkan konsekuensi yang akan terjadi.
Kedua adalah faktor eksternal, termasuk dalam faktor eksternal yang memiliki pengaruh besar
dalam pembentukan perilaku remaja adalah lingkungan keluarga dan sosial. Beberapa penelitian terkait
perilaku kriminalitas remaja menunjukkan bahwa tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh remaja
disebabkan oleh pola pengasuhan yang buruk, seperti pola pengasuhan yang bersifat authoritarian,
permissive dan univolved. Pada pola pengasuhan authoritarian, orangtua atau lingkungan keluarga
memberikan disiplin yang kaku dan penuh dengan kekerasan. Dalam prosesnya apabila orangtua
menerapkan pola pengasuhan ini terhadap anaknya, pola tersebut akan ditiru oleh anak sehingga mereka
akan mengembangkan perilaku kekerasan atau agresif. Pola pengasuhan permissive, ditandai dengan
perlakuan orangtua yang memberikan kebebasan bagi anak agar bertanggung jawab dengan sendirinya.
Orangtua dengan tipe permissive cenderung sangat memanjakan anaknya, akan tetapi memberikan sedikit
panduan dan aturan dalam proses pengasuhanya. Jika dikaitkan dengan pola pengasuhan permisif dengan
usia remaja, fase remaja merupakan fase peralihan dari fase kanak-kanak menuju fase dewasa. Pada fase
ini secara psikologis dan emosional masih belum stabil, sehingga membutuhkan pendampingan orangtua
dan orang sekitar dalam memberikan arahan dalam bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pola
asuh univolved, merupakan pola asuh dimana orangtua kurang terlibat secara langsung dalam proses
pengasuhan anak. Anak dibiarkan sendiri sehingga mereka kekurangan cinta, kasih sayang dan perhatian
dari orangtuanya. Pola pengasuhan ini seringkali menyebabkan gangguan psikologis anak dan akan
cenderung membuat anak menjadi pribadi yang pendiam, karena terciptanya jarak antara orangtua dengan
anak. Selain faktor pola pengasuhan dari orangtua, berdasarkan teori belajar sosial juga dikenal adanya
role model, seringkali remaja akan meniru apa yang dilakukan oleh role model-nya, termasuk hal-hal
yang bersifat negatif. Selain itu, perilaku negatif yang secara berulang ditampilkan di sosial media, akan
membentuk pola pikir anak bahwa perilaku buruk tersebut benar secara sosial dan menjadi model peran
yang ditiru oleh anak. Beberapa pendekatan tersebut, tentunya tidak secara tepat dapat
menggambarkan motif remaja melakukan tindakan kriminalitas, sehingga perlu diteliti lebih
mendalam dengan menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan latarbelakang
tersangka. Pendekatan yang dikemukakan penulis diatas, hanya sesuatu yang menjadi
kemungkinan, berdasarkan bagaimana salah satu cabang ilmu psikologi melihat kondisi
ketidaksadaran manusia.
Masa remaja merupakan fase rentan, dimana anak akan menghadapi banyak kebingungan
terkait tugas-tugas perkembangan yang tentunya berbeda dengan masa kanak-kanak. Pada fase
ini, berdasarkan perspektif psikologis anak akan mengalami kesulitan dalam melakukan
penyesuaian diri yang apabila tidak tertangani dengan baik akan memunculkan masalah perilaku
seperti tindakan kriminalitas. Sehingga diperlukan peran orangtua dalam mendampingi dan
mengarahkan anak agar dapat berperilaku sesuai dengan peraturan dan norma yang berlaku
dimasyarakat.

Anda mungkin juga menyukai