Anda di halaman 1dari 4

Isu Kesehatan Mental dan Peran Negara

Beberapa headline berita media cetak dan elektronik, pada pertengahan bulan Oktober
dikejutkan dengan berita bunuh diri yang dilakukan oleh TSR asal Yogyakarta dan seorang
wanita muda asal Surabaya. Berdasarkan berita yang ditelusuri, penyebab keduanya memutuskan
untuk mengakhiri hidupnya karena permasalahan hidup sehingga mengakibatkan stres dan
depresi. Data Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza (P2MKJN)
pada tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 16.000 kasus bunuh diri setiap tahunya
(data terbaru belum dirilis karena beragam alasan, termasuk perbedaan standar dan sistem
pencatatan bunuh diri di rumah sakit). Sedangkan, data Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia Tahun 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 80% pengidap gangguan psikologis,
setidaknya pernah melakukan satu kali usaha bunuh diri. Sehingga bunuh diri kerapkali dikaitkan
dengan gangguan psikologis seperti depresi, gangguan kepribadian, gangguan mood dan
gangguan kecemasan.

Kementerian Kesehatan pada bulan Juni 2020 mencatat bahwa setidaknya di Indonesia
terdapat 277 ribu kasus gangguan psikologis. Bayangkan jika dari sekian ratus ribu penderita,
memiliki kecenderungan pemikiran yang sama yakni ingin mengakihiri hidup mereka. Berapa
banyak warga negara Indonesia yang harus kehilangan nyawa akibat pemikiran destruktif
(merusak) yang tidak bisa mereka kendalikan, padahal pemikiran destruktif ini harusnya bisa
disembuhkan melalui pendekatan-pendekatan psikologi. Disinilah peran negara harusnya hadir
untuk memberikan pelayanan kesehatan mental bagi warga negaranya.

Jika dilihat, isu-isu kesehatan mental memang tidak begitu menarik jika dibandingkan
isu-isu politik ataupun ekonomi. Akan tetapi, permasalahan terkait kesehatan mental merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas dan indeks pembangunan manusia, jika
dikelola dengan baik maka akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu negara. Seperti
contoh negara Swedia, menurut majalah theceomagazine.com negara ini mendapatkan predikat
negara dengan penanganan kesehatan mental terbaik di dunia. Tidak heran jika tingkat
kesejahteraan dan usia harapan hidup warga negaranya tinggi bahkan mencapai usia 84 tahun.
Tentunya, pemerintah di Swedia juga memiliki peran yang sangat penting dalam menjadikan
negaranya sebagai negara berpredikat negara dengan penanganan kesehatan mental terbaik di
dunia, seperti menyediakan ruang terbuka hijau yang dipercaya dapat mereduksi stres, kebijakan
bekerja hanya 9 jam perhari bahkan sampai masalah asuransi kesehatan yang begitu
diperhatikan. Di Indonesia, tingginya kasus bunuh diri harusnya menjadi bahan evaluasi oleh
pemerintah, apakah negara benar-benar sudah hadir terhadap isu-isu kesehatan mental?

Dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28G Ayat 1 berbunyi “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014
tentang Kesehatan Jiwa Pasal 75 “Pemerintah dan Pemerintah Daerah memiliki tugas, dan
tanggung jawab terhadap penyelenggaraan Upaya Kesehatan Jiwa”. Merujuk pada ketentuan
tersebut, permasalahan terkait kesehatan termasuk kesehatan mental merupakan hak dasar bagi
warga negara Indonesia dan seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah
pusat dan daerah. Lantas apakah pemerintah sudah melaksanakan tugas dan kewajibanya
tersebut?

Dalam Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan


Jiwa, menyebutkan bahwa terdapat 4 upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam
mengatasi permasalahan terkait kesehatan jiwa, yaitu upaya: promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Keempat upaya tersebut apabila dapat diimplementasikan akan menghasilkan suatu
kebijakan yang unggul dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan mental. Akan tetapi, sebagai
orang yang manaruh kepedulian di dunia kesehatan mental, penulis merasa masih banyak catatan
untuk pemerintah. Beberapa catatan yang bisa menjadi bahan pertimbangan pemerintah di
lapangan sebagai berikut:

Pertama upaya promotif, dapat dilihat dari kurangnya iklan layanan masyarakat yang
bertema kesehatan mental. Terlebih isu-isu yang berkaitan dengan stigma terhadap penderita
gangguan jiwa, yang kerapkali dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat negatif akan
mempengaruhi keputusan penderita gangguan jiwa untuk mengakses pelayanan kesehatan
mental.

Kedua, preventif sesuai dengan Pasal 15 tentang Undang-Undang Kesehatan Jiwa


“menyediakan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan”. Upaya konseling ini dapat
dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti Puskesmas, sebagai fasilitas kesehatan
pertama yang bisa dikunjungi masyarakat, yang menjadi catatan adalah ternyata besarnya
populasi Indonesia yang hampir mencapai 260 juta jiwa nyatanya tidak sebanding dengan jumlah
profesi kesehatan jiwa. Sebagai data perbandingan, pada tahun 2018 jumlah tenaga profesi
kesehatan jiwa hanya sejumlah 1.224, yang terdiri dari psikiater dan psikolog klinis. Seharusnya
jika dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk Indonesia, jumlah tenaga yang dibutuhkan
sebanyak 7500 tenaga. Tersedianya jumlah tenaga kesehatan yang mumpuni, seperti psikiater
dan psikolog diharapkan dapat membantu masyarakat dalam melakukan deteksi dini masalah
kejiwaan, serta bagian dari upaya preventif pemerintah dengan melakukan penyuluhan-
penyuluhan di tingkat Kecamatan sampai Desa.

Ketiga, upaya kuratif “Berdasarkan Pasal 20 Ayat 1 Penatalaksanaan kondisi kejiwaan


pada ODGJ dilakukan di fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa”. Sedangkan fakta di
lapangan menyebutkan bahwa akses pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum merata.
Masih banyak Rumah Sakit di Indonesia yang tidak menyediakan akses pelayanan psikologis.
Provinsi Banten contohnya, yang sampai saat ini belum memiliki Rumah Sakit Jiwa (saat ini
masih dalam upaya rencana pembangunan). Hal tersebut tentunya menjadi sebuah catatan bagi
Pemerintah. Catatan lain adalah masih banyaknya layanan kesehatan primer seperti Puskesmas
atau RSJ yang kekurangan ketersediaan obat bagi penderita gangguan jiwa.

Keempat, upaya rehabilitatif berdasarkan Pasal 25 diantaranya berbunyi “memulihkan


fungsi sosial ODGJ”. Upaya pemulihan fungsi sosial ODGJ (Orang Dengan Ganggua Jiwa)
ternyata sudah diatur oleh Pemerintah. Pemberian pelatihan dan keterampilan ODGJ selama
masa penyembuhan juga harusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Agar mantan ODGJ
dapat berbaur dengan masyarakat dan kembali memulai kehidupanya sebagai manusia yang
normal.

Tingginya kasus gangguan jiwa yang erat kaitanya dengan kasus bunuh diri, harusnya
menjadi PR kita bersama, baik pemerintah pusat, daerah, hingga masyarakat. Mulai dari
pemerintah pusat dan daerah yang dapat melakukan upaya sesuai dengan mandat Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dimulai dari upaya promotif, preventif,
kuratif hingga rehabilitatif. Peraturan tersebut sudah sangat bagus dengan memperhatikan upaya
penanganan dari hulu ke hilir termasuk penerapan upaya mulai dari lingkungan keluarga, sekolah
hingga tempat kerja. Akan tetapi kualitas suatu kebijakan harusnya tidak sebatas redaksional
saja, akan jauh lebih baik jika diimplementasikan untuk memastikan bahwa negara benar-benar
sudah hadir untuk warga negaranya walaupun, membutuhkan proses yang bertahap. Sedangkan
upaya yang bisa dilakukan masyarakat adalah dengan menambah pengetahuan terkait isu-isu
kesehatan mental, pengetahuan tinggi masyarakat tentang kesehatan mental dinilai akan
mereduksi stigma terhadap ODGJ, sehingga para penderita gangguan jiwa dapat leluasa untuk
mengakses pelayanan kesehatan jiwa tanpa perlu khawatir terhadap stigma negatif masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai