Anda di halaman 1dari 19

UPAYA / KEGIATAN PREVENTIF (PENCEGAHAN

KESEHATAN JIWA) DAN KONSEP RECOVERY :


KARAKTERISTIK RECOVERY, MODEL DAN SUPORTIF
ENVIRONMENT

Dosen : Ns Riris Ocktryna, S.Kep,M.Kep, SpKep J

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

1. Cornelia F Telap ( 221560112004 )


2. Desy Ashari ( 221560112005 )
3. Dewi Kusumawati ( 221560112006 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1) DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEDISTRA INDONESIA
TAHUN 2023
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan yang tidak terpisah dari masalah
kesehatan lainnya, dan merupakan salah satu masalah yang akan menjadi beban
tanggungan negara dan keluarga akibat terjadinya kematian prematur dan disabilitas.
Kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seorang individu dapat terbebas dari
segala jenis gejala gangguan mental. Kesehatan mental terwujud atas dasar keserasian
antar fungsi kejiwaan serta terciptanya pembiasaan diri antar manusia dengan dirinya
serta lingkungannya. Individu yang memiliki mental sehat bisa menjalankan hidupnya
secara optimal saat menyesuaikan diri ketika menggunakan kemampuan pengolahan
stress yang baik agar dapat menghadapi berbagai masalah yang ditemui selama
hidupnya.

Saat ini masih ditemui penanganan yang tidak tepat bagi para penderita
gangguan kesehatan mental di Indonesia terkhususnya di daerah-daerah yang masih
tergolong pelosok. Penderita gangguan kesehatan mental dianggap sebelah mata
sehingga dijauhi oleh masyarakat. Hal tersebut akan memperburuk keadaan dimana
penderita gangguan kesehatan mental akan sulit untuk sembuh. Maka dari itu,
perlunya edukasi serta pemberian pemahaman yang tepat kepada masyarakat terkait
kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan agar tidak ada
lagi stigma yang berkembang di masyarakat dan penderita gangguan kesehatan mental
dapat segera memperoleh penanganan yang tepat.

Upaya penanganan yang ada di Indonesia terkait kesehatan mental harus


melibatkan lintas sektor yang tidak hanya berfokus pada sektor kesehatan saja.
Dikarenakan kesehatan mental banyak ditentukan oleh faktor lain yaitu interaksi
sosial, faktor lingkungan, ekonomi, psikologis seseorang serta faktor biologis.
Berbagai upaya yang dilakukan demi mewujudkan derajat kesehatan yang optimal di
Indonesia bagi masyarakat dilakukan dengan berbagai macam pendekatan yang
dimulai dari pendekatan promotif, preventif (pencegahan), kuratif dan rehabilitatif
untuk kemudian dapat diselenggarakan secara terpadu dan menyeluruh serta
berkesinambungan yang melibatkan berbagai sektor pemerintahan dan masyarakat
yang berasaskan prikemanusiaan, akuntabilitas, transparansi, manfaat, kompehensif,
perlindungan, keadilan dan non diskriminatif.

Salah satu pendekatan yakni preventif, cara ini memiliki tujuan mengurangi
faktor risiko, mencegah masalah kejiwan serta kambuhnya gangguan jiwa dan
mencegah adanya dampak masalah sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat.
Masalah kesehatan jiwa di Indonesia sangat besar. Diperkirakan ada 1 juta kasus
gangguan jiwa berat. Dari jumlah itu, sekitar 18.000 kasus “ditangani” dengan
dipasung. Terkait dengan itu, pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, telah
mencanangkan Program Indonesia Bebas Pasung dengan berusaha menemukan pasien
yang dipasung di masyarakat. Namun, penemuan pasien pasung hanya fokus pada
pelayanan kuratif dan rehabilitatif, belum menyelesaikan masalah kesehatan jiwa.

Gangguan jiwa dan perilaku menurut The World Health Report 2001 dialami
kira-kira 25% dari seluruh penduduk pada suatu masa dari hidupnya. Sekitar 30% dari
seluruh penderita yang dilayani dokter di pelayanan kesehatan primer (Puskesmas)
adalah penderita yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Prevalensi orang dengan
gangguan jiwa di Indonesia sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20% populasi
penduduk mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa (Kemenkes, 2021).
Data Riskedas menyatakan bahwa masalah gangguan kesehatan mental emosional
mengalami peningkatan jika dibandingkan data Riskesdas tahun 2013 dan 2018 yaitu
sebanyak 6%. menjadi 9,8% (Kemenkes, 2018). Selain itu, data Riskesdas juga
menunjukkan bahwa 7 dari 1000 Rumah Tangga terdapat anggota keluarga dengan
Skizofrenia/Psikosis. Lebih dari 19 juta penduduk usia di atas 15 tahun terkena
gangguan mental emosional, lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun
diperkirakan mengalami depresi. Kondisi ini telah menyerap dana BPJS Kesehatan
sebesar 730 miliar (Kemenkes, 2019). Dengan berbagai faktor biologis, psikologis
dan sosial dengan keanekaragaman penduduk di Indonesia, maka jumlah kasus
gangguan jiwa terus bertambah. Peningkatan jumlah kasus gangguan jiwa akan
berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia
untuk jangka panjang (Kemenkes, 2016).

Dari hasil survei epidemiologi gangguan jiwa yang dilakukan di beberapa


tempat di indonesia, didapat angka-angka morbiditas gangguan jiwa sebagai berikut:
1. Prevalensi psikosis: 1,44 per 1000 penduduk di perkotaan dan 4,6 per 1000
penduduk di pedesaan angka menurut WHO adalah 1-3 per 1000 penduduk.
2. Prevalensi neurosis dan gangguan psikosomatik adalah 98 per 1000 penduduk,
sedang angka WHO untuk neurosis adalah 20-60 per 1000 penduduk. Pada suatu
penelitian yang dilakukan di USA didapatkan bahwa 2-5% dari populasi
menderita ansietas dan 10% dari populasi pernah mengalami depresi.
3. Prevalensi retardasi mental: 1,25 per 1000 penduduk dan menurut WHO adalah 1-
3 per 1000 penduduk.
4. Prevalensi penyalahgunaan obat dan alkohol belum ada dengan pasti namun dari
data rumah sakit tercatat 10.000 pasien, dan diperkirakan jumlah pasien
penyalahgunaan obat dan alkohol yang terdapat dalam masyarakat kurang lebih
100.000 orang.
5. Prevalensi epilepsi adalah 0,26 per 1000 penduduk, sedang angka menurut WHO
adalah 8-10 per 1000 penduduk.

Angka tersebut diatas menggambarkan bahwa kesehatan jiwa merupakan masalah


masyarakat. Dengan menggunakan azas-azas kesehatan jiwa dalam pelayanan
kesehatan di Puskesmas maka tujuan pelayanan kesehatan paripurna akan tercapai
karena pelayanan yang diberikan adalah sebagai manusia seutuhnya. Upaya ini dapat
berhasil bila mendapat dukungan dan peran serta masyarakat melalui kerjasama
dengan Puskesmas dimana unsur masyarakat merupakan hal yang sangat penting dan
menentukan keberhasilan upaya kesehatan jiwa di Puskesmas.
Kesehatan jiwa merupakan target dari Sustainable Development Goals (SDGs)
sebagai lanjutan MDGs. Tedapat dua target SDGs yang berkaitan dengan Kesehatan
jiwa yaitu target 3.4. Pada tahun 2030, negara-negara yang menandatangani
kesepakatan SDGs dapat mengurangi hingga sepertiga angka kematian dini akibat
penyakit tidak menular melalui pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan
kesehatan mental dan kesejahteraan serta memperkuat pencegahan dan pengobatan
penyalahgunaan zat, termasuk penyalahgunaan narkotika dan penggunaan alkohol
yang membahayakan (Badan Pusat Statistik, 2016). Oleh karena itu pemerintah
Indonesia memberi perhatian khusus terhadap masalah kesehatan jiwa. Pemerintah
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang
kesehatan jiwa telah mengatur upaya kesehatan jiwa yang bertujuan untuk menjamin
setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan
yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu
Kesehatan Jiwa.
Upaya kesehatan jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat
kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau masyarakat. masuknya Selain itu dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 43
Tahun 2016, kesehatan jiwa merupakan indikator kesehatan jiwa dalam Program
Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK).
Pendekatan preventif dan promotif merupakan bagian dari upaya kesehatan
jiwa yang berperan penting dalam peningkatan kesehatan jiwa. Hal ini karena kondisi
akses pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan akan
layanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau . Sejak tahun 2016 lalu,
pemerintah mulai menjadikan tindakan preventif sebagai fokus utamanya (Fidiansjah,
2019). Fokus pelayanan kesehatan jiwa saat ini lebih ke arah upaya promotive dan
preventif kesehatan. Individu yang sehat maupun dengan penyakit kronis menjadi
fokus upaya preventif kesehatan jiwa. Upaya tersebut tidak hanya dilakukan oleh
tenaga kesehatan namun juga menjadi tanggung jawab masyarakat. Maka dari itu
perlu pemberdayaan masyarakat di mulai dari menanamkan pengetahuan, kesadaran,
perilaku sehat jiwa dan keperdulian terhadap masalah-masalah kesehatan jiwa
(Winahayu et al.,2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. UPAYA / KEGIATAN PREVENTIF (PENCEGAHAN KESEHATAN JIWA)


A. Pengertian Kesehatan Jiwa
Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,
dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya.

B. Upaya Kesehatan Jiwa


Upaya Kesehatan Jiwa dilakukan melalui kegiatan Preventif menurut Undang-Undang
No. 18 Tahun 2014 adalah suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan
dan gangguan jiwa. Upaya Preventif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk ;
a. Mencegah terjadinya masalah kejiwaan
b. Mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa
c. Mengurangi faktor resiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara umum atau
perorangan, dan/atau
d. Mencegah timbulnya dampak masalah psikososial

- Upaya Preventif Kesehatan Jiwa dilaksanakan di lingkungan : Keluarga, Lembaga dan

Masyarakat

1) Pada upaya preventif di Lingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk


pengembangan pola asuh yang mendukung, pertumbuhan dan perkembangan jiwa,
komunikasi informasi, kegiatan lain sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Salah satu contohnya adalah Pelayanan Home Visit Kepada Keluarga ODGJ.
Pelayanan preventif lain yang dilakukan oleh Puskesmas kunjungan rumah kepada
keluarga penderita untuk merawat dan membina ODGJ di rumah supaya tidak
terjadi kekerasan atau pemasungan diskriminasi termasuk pengiriman obat.
Kegiatan kunjungan rumah ini sangat membantu orang dengan gangguan jiwa
dalam menjalani masa perawatan mereka di rumah. Home visit juga melibatkan
psikiater yang jadwalnya diatur bersama Puskesmas dan kader. Home visit atau
kunjungan rumah juga dapat meningkatkan pengetahuan keluarga orang dengan
gangguan jiwa. Para kader kesehatan jiwa yang berkunjung ke rumah selain
melakukan pemeriksaan pada pasien, juga dapat melakukan pendidikan kesehatan
kepada keluarga pasien dengan gangguan jiwa terkait bagaimana perawatan
kesehatan pasien ODGJ yang efektif, serta berbagai isu kesehatan mental yang
lainnya.

2) Upaya Preventif di Lingkungan lembaga dilaksanakan dalam bentuk menciptakan


lingkungan lembaga yang kondusif bagi perkembangan kesehatan jiwa,
memberikan komunikasi, informasi dan edukasi mengenai pencegahan gangguan
jiwa dan menyediakan dukungan psikososial dan kesehatan jiwa di lingkungan
Lembaga. Salah satu contohnya adalah Deteksi dini kesehatan jiwa oleh
Puskesmas. Deteksi dini berperan penting karena memungkinkan pasien
mendapatkan intervensi lebih awal. Deteksi dini masalah kesehatan jiwa dan
pemberian penatalaksanaan yang baik dan tepat dapat mengurangi beban penderita
gangguan jiwa secara fisik, mental, dan sosial. Deteksi dini pada masalah
kesehatan jiwa terbukti tidak hanya mampu memulihkan kesehatan mental secara
cepat, namun juga memudahkan penderita gangguan jiwa berintegrasi kembali
dengan masyarakat (Sari, 2021).
Deteksi status kesehatan jiwa secara dini merupakan langkah yang baik untuk
mencegah timbulnya masalah kesehatan jiwa. Metode skrining yang digunakan
adalah Self-Reporting Questionnaire (SRQ). Self-Reporting Questionnaire (SRQ)
adalah kuesioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO)
untuk skrining gangguan kesehatan jiwa. Upaya pencegahan dan deteksi lebih
awal pada gangguan jiwa dan masalah psikososial pada masyarakat berperan
penting untuk menekan menekan dampak yang lebih luas pada masalah lainnya
yang mencakup masalah kesehatan, ekonomi sosial dan budaya masyarakat di
Indonesia (Arini & Syarli., 2020)

3) Upaya Preventif di Lingkungan Masyarakat dilaksanakan dalam bentuk


menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif, memberikan komunikasi,
informasi dan edukasi mengenai pencegahan gangguan jiwa dan menyediakan
konseling bagi masyarakat yang membutuhkan. Salah satu contohnya adalah
penyuluhan kesehatan jiwa merupakan penyampaian pesan kesehatan terkait
tentang kesehatan jiwa. Dinas kesehatan bersama Puskesmas melakukan Upaya
Promotif dan preventif dalam gedung dan luar gedung dengan bentuk penyuluhan,
salah satunya penyuluhan kesehatan jiwa. Penyuluhan kesehatan jiwa dilakukan
dengan mengundang tim dari narasumber psikiater dan psikolog untuk
memberikan informasi seputar penanganan kesehatan jiwa kepada masyarakat
baik dalam Gedung maupun luar Gedung.

Upaya Pencegahan Kesehatan Jiwa (Keliat, Akemat, Daulima & Nurhaeni, 2014):

1) Pencegahan Primer
Tujuan pelayanan adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan
dan meningkatkan Kesehatan jiwa.
Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan jiwa
sesuai dengan kelompok umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan usia lanjut
2) Pencegahan Sekunder
Tujuan pelayanan adalah menurunkan kejadian gangguan jiwa
Target pelayanan yaitu anggota keluarga masyarakat yang
berisiko/memperlihatkan tanda-tanda masalah psikososial dan gangguan jiwa
3) Pencegahan Tersier
Fokus pelayanan keperawatan pada peningkatan fungsi dan sosialisasi serta
pencegahan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa
Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa pada
tahap pemulihan.

C.
2. KONSEP RECOVERY
A. DEFINISI
Recovery merupakan suatu proses perjalanan mencapai kesembuhan dan
transformasi yang memampukan seseorang dengan gangguan jiwa untuk hidup bermakna
di komunitas yang dipilihnya untuk mencapai potensi yang dimilikinya. Recovery
merupakan proses dimana seseorang mampu untuk hidup, bekerja, belajar dan
berpartisipasi secara penuh dalam komunitasnya. Recovery berimplikasi terhadap
penurunan atau pengurangan gejala secara keseluruhan. Orang dengan gangguan jiwa
berat yang mendapatkan dukungan tepat dan secara individual, dapat pulih dari
penyakitnya dan memiliki kehidupan yang memuaskan serta produktif (Damaiyanti, 2012)
Kekuatan diri merupakan pondasi dari dukungan dan sistem recovery yang berpusat
pada diri sendiri dan motivasi diri. Aspek terpenting dari recovery didefinisikan oleh setiap
individu dengan pertolongan dari pemberi layanan kesehatan jiwa dan orang-orang yang
sangat penting dalam kehidupannya. Individu menerima dukungan pemulihan melalui
aktivitas yang didefinisikan sebagai rehabilitasi, yang merupakan proses menolong
seseorang kembali kepada level fungsi tertinggi yang dapat dicapai. Recovery gangguan
jiwa merupakan gabungan pelayanan sosial, edukasi, okupasi, perilaku dan kognitif yang
bertujuan pada pemulihan jangka panjang dan memaksimalkan kecukupan diri
(damaiyanti, 2012)
Sejumlah praktik berbasis bukti mendukung dan meningkatkan pemulihan meliputi :
treatment asertif komunitas, dukungan bekerja, manajemen dan pemulihan penyakit,
treatment terintegrasi untuk mendampingi kejadian berulang gangguan jiwa dan
penyalahgunaan zat, psikoedukasi keluarga, manajemen pengobatan. Dukungan pemulihan
dalam asuhan keperawatan jiwa meliputi bekerja dengan tim treatment multidisiplin yang
meliputi psikiater, psikolog, pekerja sosial, konselor, terapis okupasi, pakar konsumen dan
teman sejawat, manajer kasus, pengacara keluarga, pakar pengambil kebijakan. Dukungan
ini juga membutuhkan perawat untuk berfokus pada tiga elemen yaitu : individu, keluarga
dan komunitas (Keliat, 2008)

B. KARAKTERISTIK RECOVERY
Karakteristik recovery antara lain : self direction, person centered, empowerment
(pemberdayaan), holistik, non-linier, strengths based, peer support, respect, responsibility
dan hope (Tuwota, 2014). Berikut penjelasan dari masing-masing karakteristik tersebut :
1. Self Direction
Mengontrol diri sendiri merupakan bagian dari manajemen diri yang dapat diartikan
meskipun kehidupan dipengaruhi keadaan eksternal, namun kontrol tetap ada pada diri
kita sendiri. Walaupun intervensi dilakukan oleh professional kesehatan, namun inisiatif
ada pada diri, bukan menjadikan pasien ketergantungan. self direction adalah dimana
klien memimpin, mengendalikan, dan menentukan jalan mereka sendiri dalam proses
pemulihan. kontrol diri berkaitan dengan penentuan nasib sendiri, pilihan dan tanggung
jawab atas hal yang dilakukan, individu memegang kontrol atas bagaimana cara
mengatasi, mengelola atau meminimalkan segala sesuatu yang menghambat dan
membatasi kondisi gangguan jiwa, mengontrol bagaimana cara berkembang, merasa
bahagia dan puas meskipun pasien berada dalam keterbatasan
2. Person centered
Artinya didalam proses pemulihan, setiap individu memilih jalur yang berbeda-beda,
memiliki keunikan dan pengalaman yang berbeda pula. Dalam merawat pasien perawat
harus berpusat pada pasien atau patien centre care dimana perawatan bersifat individual
dan pasien secara utuh dapat bebas memilih bagaimana perawatan yang akan
dilakukan, memilih penyedia pelayanan kesehatan, dalam prosesnya individu
mendapatkan perawatan yang respek dan hangat. Klien sebagai pembuat keputusan dan
terlibat penuh dalam pelayanan keperawatan. Selain itu, perawat sebagai penyedia
pelayanan keperawatan harus memperhatikan hal-hal seperti pelayanan harus mudah
diakses oleh pasien, respek terhadap pasien, pelayanan dapat diberikan dimana saja,
melihat permasalahan dari sisi klien, melakukan pengkajian terhadap kondisi kognitif
pasien, status kesehatan pasien, inform consent dll.
3. Pemberdayaan
Pemulihan erat kaitannya dengan pemberdayaan pasien yang mengalami gangguan
jiwa. Pemberdayaan artinya klien memiliki kewenangan untuk menentukan pilihan dan
membuat keputusan yang akan berdampak pada kehidupan mereka. Pemberdayaan
didalamnya terdapat potensi faktor internal dan eksternal dikombinasikan, dimana
individu memfasilitasi dirinya sendiri, melindungi dirinya sendiri, peduli atas apa yang
terjadi. Sumber daya internal dan eksternal yang berfungsi untuk memulai dan
mempertahankan recovery itu sendiri.
4. Holistik. artinya proses recovery berfokus pada semua aspek dalam kehidupan manusia
termasuk emosi, sosial, body mind spirit. Proses pemulihan sendiri tidaklah linier,
artinya mengalami pertumbuhan dan kemunduran. Periode perubahan dapat cepat
ataupun lambat tergantung individu. Secara keseluruhan pertumbuhan terus maju ke
atas walaupun terkadang dalam prosesnya mengalami kemunduran.
5. Proses recovery bersifar non-linear artinya bahwa dalam proses pemulihan setiap
individu memiliki perbedaan dalam perkembangannya meskipun melalui langkah-
langkah yang sama. pemulihan bukanlah selangkah demi selangkah, akan tetapi satu
kesatuan yang pertumbuhannya yang terus menerus dengan kemunduran sesekali.
6. Dalam proses pemulihan hal lain yang penting yaitu strengths based. Dimana
pemulihan berfokus pada individu sendiri dalam menilai kekuatan yang dimiliki.
strengths based artinya ketahanan dan kemampuan dalam mengatasi masalah. kekuatan
dan mekanisme koping setiap individu berbeda-beda, kondisi kesehatan mental juga
berbeda maka kondisi ini perlu dilakukan pendekatan sesuai dengan kekuatan individu
itu sendiri.
7. Peer support
Peran sesama pasien yang juga mengalami gangguan jiwa sangat penting dalam
memberikan support bagi klien. Orang tersebut mendukung, menjadi orang terdekat,
dan ada saat dibutuhkan. Memberi dukungan namun tidak memaksa, mendengarkan,
memahami ketika ada permasalahan. peer support bagi gangguan jiwa membuat klien
merasa dihargai. Dalam proses pemulihan klien tidak berdiri sendiri, dibutuhkan
partisipasi masyarakat. Individu dengan gangguan jiwa ingin menjadi bagian dari
masyarakat, agar dihormati oleh masyarakat, memberikan kontribusi terhadap
masyarakat dan memiliki hubungan baik dengan masyarakat tersebut.
8. Dalam proses pemulihan juga diperlukan tanggung jawab klien atas dirinya sendiri.
Tanggung jawab tersebut meliputi manajemen diri, obat-obatan, otonomi dalam pilihan
hidup, tanggung jawab ketika mencoba kemudian gagal dan mencoba kembali.
Seseorang yang mengalami gangguan jiwa harus menentukan perjalanan hidupnya
sendiri, dengan bantuan dan bimbingan. tanggung jawab berperan penting dalam proses
pemulihan. Tanggung jawab yang dimaksud antara lain : manajemen diri & obat-
obatan, otonomi terhadap pilihan hidup, tanggung jawab terhadap tindakan, resiko atas
tindakan yang diambil, dll.
9. Orang dapat beranggapan bahwa klien tidak dapat dihargai secara sosial. Artinya klien
tidak dapat menjalankan perannya secara sosial. sebuah ktipan bijak disebutkan bahwa
“kita telah belajar bahwa kita bertanggung jawab atas hidup kita sendiri dan bisa maju
dan melakukan apa yang kita inginkan
10. Harapan. Proses pemulihan mustahil tanpa adanya harapan, harapan dilakukan untuk
mempertahankan motivasi, harapan juga mendukung individu dalam menjalani proses
pemulihan itu sendiri. harapan dapat berasal dari dalam diri individu, maupun dipicu
hal di luar individu. Harapan dapat muncul dari orang yang menjadi panutan, orang
yang di cintai, dan merupakan langkah awal proses pemulihan. Harapan bukan hanya
sebagai pemicu proses pemulihan tetapi juga dapat mempertahankan proses pemulihan
itu sendiri

C. MENTAL HEALTH RECOVERY MODEL & THE RECOVERY MODEL IN


PSYCHIATRIC NURSING
Selama ini kita mengetahui bahwa recovery sama halnya dengan kembali sehat atau
sembuh terhadap suatu penyakit, tetapi dalam kesehatan jiwa kita sepakati bahwa recovery
memiliki arti yang berbeda. Recover Model pada kesehatan jiwa tidak berfokus pada
pengobatan, tetapi sebagai gantinya lebih menekankan dapat hidup beradaptasi dengan
sakit jiwa yang sifatnya kronis. Pada model ini lebih menekankan kepada hubungan sosial,
pemberdayaan, strategi koping, dan makna hidup.
Peplau (1952 dalam Yosep 2014) menciptakan teori bahwa pentingnya hubungan
interpersonal terapeutik, model recovery berubah dari hubungan nurse-patient menjadi
nurse-partner. Model recovery menurut para ahli :
a. Models, Theories, and Therapies in Current Practice
No Theorist Model/Theory Focus of Nursing
1 Dorothy Behavioral system Membantu pasien kembali pada
Johnson keadaan seimbang ketika
mengalami stess melalui
pengurangan atau menghilangkan
sumber stress dan mendukung
proses adaptif (Johnson, 1980)
2 Imogene King Goal attainment Membangun hubungan
interpersonal dan membantu
pasien untuk mencapai tujuan nya
berdasakan peran nya dalam
konteks sosial (King, 1981)
4 Betty Neuman System Model Membangun hubungan perawat-
pasien untuk membantu
menghadapi respon stres (1982)
5 Dorothes Orem Self-Care Deficit Mengatasi defisit perawatan diri
dan mendorong pasien untuk
terlibat secara aktif pada
perawatan diri mereka (Orem,
2001)
6 Hildegard Interpersonal Menggunakan hubungan
Peplau Relations interpersonal sebagai alat
terapeutik untuk menyembuhkan
dan mengurangi kecemasan
(Peplau, 1992)

7 Jean Watson Transpersonal Caring merupakan prosedur dan


Caring tugas penting; membangun
hubungan perawat-pasien
sehingga menghasilkan
Therapeutic Outcome (Watson,
2007)

b. Terapi Supportive Environment


1. Definisi
Lingkungan didefinisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan merujuk pada
keadaan fisik, psikologis, dan sosial diluar batas sistem, atau masyarakat dimana sistem
itu berada. Terapi lingkungan (Milieu Therapy) berasal dari bahasa Perancis yang
berarti perencanaan ilmiah dari lingkungan untuk tujuan yang bersifat terapeutik atau
mendukung kesembuhan (Turwota, 2014).
Pengertian lainnya adalah tindakan penyembuhan pasien melalui manipulasi dan
modifikasi unsur-unsur yang ada pada lingkungan dan berpengaruh positif terhadap
fisik dan psikis individu serta mendukung proses penyembuhan.
Terapi lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di lingkungan kita, yang
diciptakan untuk pengobatan termasuk fisik dan sosial atau dapat dikatakan sebagai
suatu manipulasi ilmiah pada lingkungan yang bertujuan untuk menghasilkan
perubahan pada perilaku pasien dan untuk mengembangkan keterampilan emosional
dan sosial.

2. Tujuan terapi supportive environment


Membantu individu untuk mengembangkan rasa harga diri, mengembangkan
kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, membantu belajar mempercayai
orang lain, dan mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat.
a. Tujuan umum
Membekali kemampuan pasien untuk kembali ke masyarakat dan dapat menjalankan
kehidupan fisik dan sosial seoptimal mungkin.
b. Tujuan khusus
Membatasi gangguan dan perilaku maladaptif. Mengajarkan keterampilan
psikososial dengan cara :
 Orientasi yaitu pencapaian tingkat orientasi dan kesadaran terhadap realita yang
lebih baik. Orientasi berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman pasien
terhadap waktu, tempat, tujuan, sedangkan kesadaran dapat dikuatkan melalui
interaksi dan aktifitas pada semua pasien.
 Asertation yaitu kemampuan mengekspresikan perasaan sendiri dengan tepat. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara mendorong pasien dalam mengekspresikan diri
secara efektif dengan tingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat.
 Accuption yaitu kemampuan pasien untuk dapat percaya diri dan  berprestasi
melalui keterampilan membuat kerajinan tangan.
 Recreation yaitu kemampuan membuat dan menggunakan aktifitas yang
menyenangkan dan relaksasi. Hal ini memberi kesempatan pada pasien utnuk
mengikuti bermacam-macam reaksi dan membantu pasien untuk menerapkan
keterampilan yang telah dipelajari, misalnya interaksi sosial.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998 dalam Yosep 2014), tujuan terapi lingkungan
sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengalaman positif pasien khususnya yang mengalami gangguan
mental, dengan cara membantu individu dalam mengembangkan harga diri.
b. Meningkatkan kemampuan untuk berhubungan denagan orang lain.
c. Menumbuhkan sikap percaya pada orang lain.
d. Mempersiapkan diri kembali ke masyarakat.
e. Mencapai perubahan yang positif.

3. Karakteristik terapi supportive environment


Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka lingkungan harus bersifat terapeutik
yaitu mendorong terjadi proses penyembuhan, lingkungan tersebut harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Pasien merasa akrab dengan lingkungan yang diharapkannya.
b. Pasien merasa senang /nyaman dan tidak merawsa takut dengan lingkungannya.
c. Kebutuhan-kebutuhan fisik pasien mudah dipenuhi.
d. Lingkungan rumah sakit/bangsal yang bersih.
e. Lingkungan menciptakan rasa aman dari terjadinya luka akibat impuls-impuls
pasien.
f. Personal dari lingkungan rumah sakit/bangsal menghargai pasien sebagai individu
yang memiliki hak, kebutuhan dan pendapat serta menerima perilaku pasien sebagai
respon adanya stress.
g. Lingkungan yang dapat mengurangi pembatasan-pembatasan atau larangan dan
memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan pilihannya dan
membentuk perilaku yang baru.

4. Karakteristik lingkungan
a. Lingkungan Fisik
Aspek terapi lingkungan meliputi semua gambaran yang konkrit yang merupakan
bagian eksternal kehidupan rumah sakit. Tiga aspek yang mempengaruhi
terwujudnya lingkungan fisik terapeutik:
 Lingkungan fisik yang tetap.
Mencakup struktur dari bentuk bangunan baik eksternal maupun internal. Bagian
eksternal meliputi struktur luar rumah sakit, yaitu lokasi dan letak gedung sesuai
dengan program pelayanan kesehatan jiwa, salah satunya kesehatan jiwa
masyarakat. Berada di tengah-tengah pemukiman penduduk atau masyarakat
sekitarnya serta tidak diberi pagar tinggi. Hal ini secara psikologis diharapkan
dapat membantu memelihara hubungan terapeutik pasien dengan masyarakat.
Memberikan kesempatan pada keluarga untuk tetap mengakui keberadaan pasien
serta menghindari kesan terisolasi.
Bagian internal gedung meliputi penataan struktur sesuai keadaan rumah tinggal
yang dilengkapi ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi tertutup, WC, dan ryang
makan. Masing-masing ruangan tersebut diberi nama dengan tujuan untuk
memberikan stimulasi pada pasien khususnya yang mengalami gangguan mental,
merangsang memori dan mencegah disorientasi ruangan. Setiap ruangan harus
dilengkapi dengan jadwal kegiatan harian, jadwal terapi aktivitas kelompok,
jadwal kunjungan keluarga, dan jadwal kegiatan khusus misalnya rapat ruangan.
 Lingkungan fisik semi tetap.
Fasilitas-fasilitas berupa alat kerumahtanggaan meliputi lemari, kursi, meja,
peralatan dapur, peralatan makan, mandi, dsb. Semua perlengkapan diatur
sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien bebas berhubungan satu dengan
yang lainnya serta menjaga privasi pasien.
 Lingkungan fisik tidak tetap.
Lebih ditekankan pada jarak hubungan interpersonal individu serta sangat
dipengaruhi oleh sosial budaya.

b. Lingkungan Psikososial
Lingkungan yang kondusif yaitu fleksibel dan dinamis yang memungkinkan pasien
berhubungan dengan orang lain dan dapat mengambil keputusan serta toleransi
terhadap tekanan eksternal. Beberapa prinsip yang perlu diyakini petugas kesehatan
dalam berinteraksi dengan pasien:
 Tingkah laku dikomunikasikan dengan jelas untuk mempertahankan, mengubah
tingkah laku pasien.
 Penerimaan dan pemeliharaan tingkah laku pasien tergantung dari tingkah laku
partisipasi petugas kesehatan dan keterlibatan pasien dalam kegiatan belajar.
 Perubahan tingkah laku pasien tergantung pada perasaan pasien sebagai anggota
kelompok dan pasien dapat mengikuti atau mengisi kegiatan.
 Kegiatan sehari-hari mendorong interaksi antara pasien.
 Mempertahankan kontak dengan lingkungan misalnya adanya kalender harian
dan adanya papan nama dan tanda pengenal bagi petugas kesehatan.
5. Jenis-jenis terapi supportive environment
a. Terapi rekreasi
Yaitu terapi yang menggunakan kegiatan pada waktu luang, dengan tujuan pasien
dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenangkan serta
mengembangkan kemampuan hubungan sosial.

b. Terapi kreasi seni


Perawat dalam terapi ini dapat sebagai leader atau bekerja sama denagn orang lain
yang ahli dalam bidangnya karena harus sesuai dengan bakat dan minat.
 Dance therapy/menari : untuk mengkomunikasikan tentang perasaan dan
kebutuhan pasien.
 Terapi musik : untuk mengekspresikan perasaan marah, sedih, kesepian, dan
gembira.
 Terapi dengan menggambar/melukis : dengan menggambar akan menurunkan
ketegangan dan memusatkan pikiran yang ada.
c. Literatur/biblio therapy
Terapi dengan kegiatan membaca seperti novel, majalah, buku-buku dan kemudian
mendiskusikannya.Tujuannya adalah untuk mengembangkan wawasan diri dan
bagaimana mengekspresikan perasaan/pikiran dan perilaku yang sesuai dengan
norma-norma yang ada.
d. Pettherapy
Terapi ini bertujuan untuk menstimulasi respon pasien yang tidak mampu
mengadakan hubungan interaksi dengan orang-orang dan pasien biasanya merasa
kesepian, menyendiri.
e. Planttherapy
Terapi ini bertujuan untuk mengajar pasien untuk memelihara segala sesuatu/mahluk
hidup, dan membantu hubungan yang akrab antara satu pribadi kepada pribadi
lainnya.

6. Kondisi pasien pada terapi supportive environment


Pasien yang dilakukan terapi ini adalah :
a. Pasien rendah diri (low self esteem) , depresi (depression) bunuh diri (suicide).
Syarat lingkungan :
 secara psikologis harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:
 Ruangan aman dan nyaman.
 Terhindar dari ala-alat yang dapat digunakan untuk mencederai diri sendiri
atau orang lain.
 Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam keadaan
terkunci.
 Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keseluruhan ruangan mudah
dipantau oleh petugas kesehatan.
 Tata ruangan menarik dengan cara menempelkan poster yang cerah dan
meningkatkan gairah hidup pasien.
 Warna dinding cerah.
 Adanya bacaan ringan, lucu, dan memotivasi hidup.
 Hadirkan musik ceria, tv, dan film komedi.
 Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang-barang pribadi pasien.
 Lingkungan sosial:
 Komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas menyapa pasien sesering
mungkin.
 Memberikan penjelasan setiap akan melakukan kegiatan keperawatan atau
kegiatan medis lainnya.
 Menerima pasien apa adanya jangan mengejek serta merendahkan.
 Meningkatkan harga diri pasien.
 Membantu menilai dan meningkatkan hubungan social secara bertahap.
 Membantu pasien dalam berinteraksi dengan keluarganya.
 Sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan membiarkan
pasien sendiri terlalu lama di ruangannya.

b. Pasien dengan amuk


 Lingkungan fisik:
 Ruangan aman, nyaman, dan mendapat pencahayaan yang cukup.
 Pasien satu kamar, satu orang, bila sekamar lebih dari satu jangan dicampur
antara yang kuat dengan yang lemah.
 Ada jendela berjeruji dengan pintu dari besi terkunci.
 Tersedia kebijakan dan prosedur tertulis tentang protocol pengikatan dan
pengasingan secara aman, serta protocol pelepasan pengikatan.
 Lingkungan Psikososial:
 Komunikasi terapeutik, sikap bersahabat dan perasaan empati.
 Observasi pasien tiap 15 menit.
 Jelaskan tujuan pengikatan/pengekangan secara berulang-ulang.
 Penuhi kebutuhan fisik pasien.
 Libatkan keluarga.  

7. Komponen Yang Perlu Diperhatikan Dalam Terapi Lingkungan


a. Fisik : Terkait dengan desain dan renovasi.
b. Intelektual : Aspek intelektual dari lingkungan meliputi; warna, sinar, suara, suhu,
bau, dan rasa.
c. Sosial : Komponen sosial; peran pasien pola komunikasi dan perbandingan staf
dengan pasien.
d. Emosional : Faktor fisik, intelektual dan sosial menciptakan suasana emosional,
misalnya: merasa sangat senang berada di ruangan/lingkungan, merasa sangat santai,
setiap orang bekerjasama dengan baik, segala sesuatu terawat baik. peran terapis :
tidak devensif, empati, dapat menciptakan keamanan, tidak menakutkan, peran
terapis dalam terapi lingkungan adalah mendukung spontanitas pasien dan
merangsang pasien agar merasa bebas dan terbuka.
e. Spiritual
Sarana tempat ibadah, buku-buku suci, dll. Harus terpisah, sepi dan tertutup agar
memusatkan perhatian untuk pengobatan dan menemukan harapan baru bagi masa
depan pasien.

Anda mungkin juga menyukai