Anda di halaman 1dari 4

SDGs merupakan perpanjangan dari programsebelumnya yaitu pembangunan milenium

(Millenium Development Global /MDG) yang selesai tahun 2015 lalu (KOMPAS, Mei 2016).
Awalnya, Millenium Development Global (MDG) berlangsung selama 15 tahun dari 2000-2015
yang didalamnya terdapat indikator hanya untuk mengurangi permasalahan yang dialami negara
anggotanya tanpa ditargetkan sampai permasalahan tersebut selesai. MDG memiliki tujuan
utamaterhadap permasalahan yang dialami negara anggotanya, yaitu kemiskinan dan kelaparan, 
pendidikan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, kesehatan
ibu, penanggulangan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan,
dan pembangunan (KOMPAS, Mei 2016). Pelaksanaan MDG tersebut masih terkendala
sehingga terbentuklah Suistanable Development Goals (SDGs) untuk meraih target yang belum
dicapai serta menyempurnakan program MDG. SDGs mengatasi masalah secara tuntas sehingga
lebih sulit dalam pencapaiannya.

SDGs berisi tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus melibatkan masyarakat


untuk mencapai tujuan program tersebut(KOMPAS, 14 April 2016). SDGs telah disepakati oleh
193 anggotanya dengan 17 tujuandengan 169 target dan 240 indikator. Menurut Sonny Harry B
Harmadi dalam KOMPAS 14 April 2016, tujuan tersebut dapat dibagi menjadi 3 pilar, yaitu

a. Pembangunan manusia mencakup kesehatan, pendidikan, dan kesetaraangender


b. Pembangunan ekonomi sosial, seperti kemiskinan, ketersediaan saran dan prasarana
lingkungan, dan ekonomik.
c. Pembangunan lingkungan berupaya dengan menjaga ketersediaan sumberdaya alam dan
kualitas lingkungan yang baik.
Pilar pembangunan manusia merupakan pilar yang paling penting karena untuk
mengembangkan pembangunan di bidang lain, harus dimulai dari manusianya terlebih
dahulu. Salah satu aspek di pilar pertama yakni kesehatan. Kesehatan ini sendiri
tercantum dalam SDGs nomor 3, yang mencakup kesehatan fisik dan kesehatan mental.
Isu kesehatan mental di Indonesia sudah bukan lagi hal yang baru. Banyak sekali
kasus bunuh diri dan kematian akibat gangguan mental yang sering muncul sebagai
headline di berita-berita televisi Indonesia. Orang dengan gangguan kesehatan mental ini
memiliki istilah di Indonesia, yakni ODGJ dan ODMK. Undang-Undang No. 18 Tahun
2014 tentang Kesehatan Jiwa mendefinisikan orang yang mengalami kesehatan jiwa
menjadi dua yaitu Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ). OMDK adalah orang yang mempunyai gangguan di bagian
fisik, mental, sosial, pertumbahan dan perkembangan, dan kualitas hidup seperti depresi
dan kecemasan yang lebih bersifat prefentif sehingga beresiko untuk mengalami
gangguan jiwa. ODGJ didefinisikan sebagai orang yang mengalami gangguan pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi sehingga menjadi menderita dan terhambat
fungsinya sebagai manusia seperti skizofrenia.
Dari kasus-kasus yang disebutkan di atas, semuanya menjangkit masyarakat
Indonesia tanpa pandang kalangan. Mulai dari pelajar, petani, bahkan pejabat tinggi
sekalipun. WHO merilis data bahwa pada 2010, angka bunuh diri akibat depresi di
Indonesia mencapai 1,6 sampai 1,8 per 100.000 jiwa. Besarnya angka ini tentu sangat
mengkhawatirkan. Jika tidak ada upaya bersama dalam melakukan pencegahan bunuh
diri, angka tersebut bisa tumbuh dari tahun ke tahun. Bahkan, WHO memprediksi pada
2020 angka bunuh diri di Indonesia secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa.
Data di atas menyimpulkan bunuh diri akibat gangguan mental telah menjadi
masalah yang butuh konsentrasi besar karena terus meningkatnya jumlah di setiap negara
berpenghasilan rendah dan sedang. Hampir satu juta orang meninggal setiap tahunnya
akibat bunuh diri. Ini berarti kurang lebih setiap 40 detik jatuh korban bunuh diri.
Meskipun data data tersebut menunjukkan rendahnya kualitas kesehatan mental di
Indonesia,tetapi hal ini tidak diimbangi dengan penanganan yang mumpuni serta
sosilasisasi mengenai pentingnya kesehatan mental. Pada tahun 2017, Indonesia berada
dalam ranking bawah dalam masalah penanganan kesehatan jiwa dibandingkan negara-
negara Asia Tenggara lainnya karena kurangnya jumlah Psikiatris yang hanya mencapai
hampir 900 Psikiatrir di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga dihadapi dengan masalah
sedikitnya petugas kesehatan jiwa (Pols and Wibisono, 2017). Selain itu, permasalahan
kesehatan mental di Indonesia masih terdengar tabu. Masih terdapat salah
satu stigma terbesar di Indonesia yakni bahwa orang yang masuk rumah sakit jiwa adalah
orang-orang yang memiliki gangguan mental, padahal masalah kesehatan mental sangat
beragam seperti depresi dan kecemasan.
Banyak peneliti dan psikolog yang mengataka bahwa kesehatan mental dalam tubuh
seseorang tidak bisa diabaikan dan dipisahkan. Kalimat bijak dari zaman Romawi kuno ”di
dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat benar adanya. Tubuh yang sehat tidak hanya
dilihat dari kesehatan fisik saja. Kesehatan pun harus dilihat dari aspek psikologis juga alias
kesehatan jiwa. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.Upaya menjaga kesehatan jiwa
sama halnya dengan fisik, yakni sama-sama menjaga seseorang agar ia menjadi sejahtera. Ketika
orang mengalami penyakit fisik, tentu kondisi mentalnya juga dalam Banyak orang yang
melarikan diri dari permasalahan psikologis dengan bunuh diri. Inilah mengapa ketika kita
menghargai kesehatan mental, itu berarti kita juga menghargai kehidupan.

Walau berada dalam kondisi yang dari luar terlihat baik-baik saja, seseorang dapat
terjebak dalam masalah psikologis. Apa yang terlihat dari luar bisa saja menipu. Peduli akan
kesehatan jiwa akan membuat kita peka terhadap kondisi orang-orang di sekitar kita. Kita pun
dapat memberikan pertolongan lebih awal pada seseorang, sebelum masalah psikologis
menenggelamkannya lebih dalam.Stigma adalah salah satu alasan, mengapa kita perlu bekerja
keras demi kesehatan jiwa. Bagai hantu, stigma membuat hal-hal terkait kesehatan jiwa menjadi
hal yang mengerikan dan memperdaya banyak orang. Akibatnya, masih banyak yang salah
memberikan tindakan kepada teman-teman yang sedang memiliki masalah kejiwaan.

Indonesia perlu meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental. Edukasi dan sosialisasi
akan hal ini penting untuk mengubah stigma akan orang-orang dengan gangguan kesehatan jiwa
Komunitas harus lebih erat lagi dan membuka diri untuk cerita-cerita yang dialami anggotanya
yang mengalami depresi. Peran pemerintah juga tidak kalah besar. Pemerintah mungkin sudah
membuat gerakan seperti “Indonesia Bebas Pasung 2014, 2019” dan sudah membuat aplikasi
Sehat Jiwa yang merupakan kerjasama dengan World Health Organization (WHO) untuk
meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental, namun pelaksanaan akan Undang-Undang
Kesehatan Jiwa harus diasah dan diperbaharui kembali. Pada akhirnya, mereka semua adalah
manusia dan adalah tanggung jawab kita sebagai suatu komunitas dan suatu masyarakat untuk
saling peduli satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai