Anda di halaman 1dari 19

Latar Belakang Berdasarkan Riskesdas 2007 angka rata-rata nasional gangguan mental emosional (cemas dan depresi) pada

pendudukusia 15 tahun adalah 11,6% atau sekitar 19 juta penduduk. Sedang gangguan jiwa berat rata-rata sebesar 0,46% atau sekitar 1 juta penduduk. Sedikit sekali dari jumlah penderita yang besar ini datang ke fasilitas pengobatan. Menurut perhitungan utilisasi layanan kesehatan jiwa di tingkat primer, sekunder dan tersier kesenjangan pengobatan diperkirakan >90% (Diatri, 2011). Hal ini berarti bahwa hanya <10% orang dan masalah kesehatan jiwa terlayani di fasilitas kesehatan. Kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehatan jiwa berdasarkan hasil Riskesdas 2007 tersebut mencapai Rp. 20 T, jumlah yang sangat besar dibandingkan masalah kesehatan lainnya. Masalah kesehatan jiwa dan psikososial yang juga penting antara lain: masalah kesehatan jiwa pada TKl, masalah KDRT, masalah kekerasan/agresivitas di masyarakat, masalah kesehatan jiwa dan psikososial akibat bencana, angka kejadian bunuh diri yang semakin meningkat, kenakalan remaja, penyalahgunaan Napza, masalah kesehatan jiwa pada usia sekolah, serta pemasungan terhadap ODMK. Khusus masalah pasung, estimasi jumlah pemasungan di Indonesia sekitar 18.800 kasus, suatu jumlah yang cukup besar dan kebutuhan penanganan. Selain pembiayaan, investasi juga termasuk dalam sumber daya manusia (SDM) bagi kesehatan jiwa, baik yang berasal dari tenaga kesehatan maupun masyarakat, serta program promosi. Investasi dalam SDM dan promosi kesehatan jiwa sangat krusial dan diperlukan bagi pembangunan infrastruktur serta layanan kesehatan jiwa yang adekuat, serta perlindungan terhadap ODMK. Layanan kesehatan jiwa

diharapkan lebih efektif, lebih terjangkau, lebih manusiawi, dapat mencegah terjadinya disabilitas kronik, sehingga tercapai kesehatan dan kehidupan yang lebih baik. Investasi pada kesehatan jiwa akan meningkatkan produktivitas kerja dan menurunkan biaya perawatan dan pengobatan, sehingga akhirnya akan terjadi pengembalian pembiayaan atau manfaat yang lebih besar dari investasi tersebut. Investasi yang lebih dini pada anak dan remaja, juga kepada ibu dalam mempersiapkan diri dan tumbuh kembang putra putrinya, diharapkan mampu berkontribusi terhadap terciptanya SDM yang unggul pada tiap tahapan kehidupan di kemudian hari. Investasi pada promosi kesehatan jiwa dan prevensi terhadap gangguan kejiwaan akan menghasilkan individu dan masyarakat yang dapat beradaptasi terhadap stres dan konflik sehari-hari, meningkatkan daya saing, dan pada akhirnya turut serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Investasi pada kesehatan jiwa juga turut berperan dalam beberapa upaya pencapaian MDGs di Indonesia, di antaranya adalah pada meningkatnya kesehatan anak dan ibu, serta pengurangan kemiskinan.

Kesehatan Jiwa (KESWA) Memasuki bidang Psikiatri untuk kemudian bergiat di pelayanan keswa, seorang dokter sering merasa dirinya didorong oleh stimulasi intelektual; luasnya materi subjek, termasuk berbagai tantangan dan tuntutan manusiawi dan ilmiah; serta undangan untuk melaksanakan kontak dengan para sejawatnya yang menguji sensitivitas interpersonal, toleransi dan fleksibilitas. Demikian pula keprihatinan dan keinginan untuk mengetahui lebih lanjut tentang condition humaine. Psikiatri jelas bukanlah merupakan suatu panacea untuk penderitaan manusia, tetapi yang penting disadari adalah bahwa kesehatan jiwa; yaitu pengetrapan dari prinsip-prinsip psikiatri secara individual di dalam kelompok maupun masyarakat, dapat membantu meringankan dan memecahkan permasalahan manusiawi yang delikat. Oleh sebab itu, bertentangan dengan pendapat sebagian orang, psikiatri merupakan salah satu seni dasar sentral dari ilmu kedokteran. Ini sudah disadari oleh rakyat dan bangsa Indonesia, yaitu sejak permulaan ditegaskannya pelayanan kesehatan dan kesehatan jiwa secara sistimatik dan integratif. Ditetapkan melalui Undang-Undang Pokok Kesehatan (nomor 9/1960); Undang-Undang Kesehatan Jiwa (nomor 3/1966); dan lebih jelas lagi dalam Undang-Undang Narkotik (nomor 9/1976). Landasan Hukum dan Dokumen Intemasional Landasan ini terdiri dari beberapa produk legislatif, yaitu : 1. Undang-Undang nomor 9/1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. 2. Undang-Undang nomor 3/1966 tentang Kesehatan Jiwa. 3. Undang-Undang nomor 9/1976 tentang Narkotik.

Dan beberapa Dokumen Internasional, seperti : 4. "World Health Organization (WHO), Constitution". 5. Alma Ata, USSR, 1978, "International Conference on Primary Health Care", yang disponsori bersama oleh WHO dan UNICEF. Berdasarkan landasan hukum dan dokumen internasional ini dapat ditarik hal-hal sebagai berikut: Tentang kesehatan (UUPokok Pokok Kesehatan) Bab I : Ketentuan Umum, fasal 2. "Yang dimaksud dengan kesehatan dalam Undang-Undang ini meliputi kesehatan badan, rohani (mental) dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacad dan kelemahan". Bab II : Tugas Pemerintah, fasal 8 ayat 2. Ayat ini lebih menjabarkan lagi istilah "sakit, yaitu termasuk cacad (invaliditas). kelemahan (weakness; feeble conditions; keterbelakangan dalam perkembangan fisik dan mental). usia lanjut (geriatric conditions; dengan atau tanpa kelainan yang sifatnya mental). Tentang kesehatan jiwa (UU Kesehatan Jiwa) Undang-undang ini menjelaskan hal dan materi kesehatan jiwa, dan dengan pasti mengemukakan definisi sebagai berikut : Bab I : Ketentuan Umum, fasal 1 ayat 1

"Kesehatan jiwa adalah kesehatan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur daripada kesehatan, seperti yang termaksud dalam fasal 2 UU Pokok-Pokok Kesehatan." Penjelasan mengenai fasal ini, yaitu "Kesehatan Jiwa (mental health) menurut faham ilmu kedokteran sekarang adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektuil dan emosionil yang optimal dari seseorang. Perkembangan itu berjalan selaras dengan orang-orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi), dan memperhatikan semua segi dalam penghidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Bab II Pemeliharaan kesehatan jiwa, fasal 3 Fasal ini memberitahukan tentang usaha-usaha pemerintah c.q. Departemen Kesehatan, sebagai berikut : (a) Merpelihara kesehatan jiwa dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. (b) Mengusahakan keseimbangan jiwa dengan menyesuaikan penempatan tenaga selaras dengan bakat dan kemampuan. (c) Perbaikan tempat kerja dan suasana kerja dalam perusahaan dan sebagainya, sesuai dengan ilmu kesehatan jiwa. (d) Mempertinggi taraf kesehatan jiwa seseorang dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat. (e) Usaha-usaha lain yang dianggap perlu oleh Menteri Kesehatan. Bab III : Perawatan dan pengobatan Bab IV : Harta benda milik penderita Bab V : Penampungan bekas penderita penyakit jiwa

Bab-bab dan masing-masing fasalnya memberitahukan hal-hal khusus, sehingga memang sudah selayaknya Pemerintah RI memperhatikan dan membina bidang pelayanan kesehatan jiwa ini secara khusus. (a) Perawatan dan pengobatan bagi mereka yang terganggu berat dilakukan dalam RS Jiwa yang pada dasarnya tersedia di semua propinsi RI, atau di fasilitas keswa lain. (b) Perawatan dan pengobatan senantiasa dilakukan atas permintaan (tidak pernah atas paksaan). Ini menandaskan sikap open door policy dalam pelayanan kesehatan jiwa. (c) Perawatan dan pengobatan yang dimaksud itu harus disetujui oleh dokter/psikiater yang bertanggung jawab. Ini berarti, bahwa dokter/psikiater tersebut harus dapat membuat diagnosis tertentu seperti yang tercantum dalam buku Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa, edisi 2 (berlaku 1984 1994), terbitan Direktorat Kesehatan Jiwa. (d) Semua perawatan pasien di RS Jiwa dan fasilitas kesehatan jiwa yang representatif di seluruh Indonesia dimonitor oleh Sistim Informasi Keswa, yang berpusat pada Direktorat Kesehatan Jiwa, Depkes RI, Jakarta. (e) Hubungan dengan pihak hukum dan pengadilan sangat erat, khususnya karena menyangkut hak milik dan harta benda penderita. Demikian pula visum et repertum psikiatrikum, menyangkut responsibility and accountability concepts yang merupakan bidang kepentingan bersama antara Psikiatri dan disiplin-disiplin yuridis/legal.

(f) Keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam kesehatan jiwa sangat erat dan mendalam. Ini menciptakan kulminasi dalam pembentukan konsep kesehatan jiwa masyarakat (keswamas), dan pembentukan BPKJM (Badan Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat), di bawah Gubernur/KDH tingkat I dan II di semua propinsi yang sudah mempunyai RS Jiwa Pemerintah (Pedoman Kerja BPKJM, 1983). Tentang Narkotik (UUNarkotik) Undang-Undang ini menjelaskan tentang materi narkotik. Beberapa pokok yang khususnya menyangkut kesehatan dan kesehatan jiwa: Bab VIII: Pengobatan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotik dan usaha penanggulangannya; fasal 32. 1) Orang tua/wali dari seorang pecandu narkotik yang belum cukup umur wajib melaporkan pecandu tersebut kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, dan wajib membawanya kepada dokter terdekat untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan yang diperlukan. 2) Pecandu narkotik yang telah cukup umur wajib melaporkan diri kepada pejabat yang telah ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. 3) Syarat-syarat untuk melaksanakan ketentuan tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Perlu diketahui, walaupun peraturan pelaksanaan Menteri Kesehatan yang dimaksud dalam fasal 32 hingga kini belum ditetapkan, tapi dalam kenyataan sehari-hari semua penderita yang dikirimkan itu langsung menuju kepada dokter puskesmas/ RS Umum terdekat, yang kemudian meneruskannya kepada RS Ketergantungan Obat di Jalan Fatmawati, Kebayoran Baru, atau RS Jiwa

Pemerintah terdekat. Tindakan tersebut benar dan menjamin bantuan medikpsikiatrik yang tepat. Ditkeswa (Direktorat Kesehatan Jiwa) telah mengeluarkan instruksi (1973) yang berlaku hingga sekarang: "Para penderita ketergantungan narkotik, alkohol, dan substansi (obat) dapat diterima untuk terapi dan rehabilitasi di semua RS Jiwa Pemerintah dan Swasta, bila permintaan itu datang dari pihak masyarakat sesuai syarat-syarat yang berlaku untuk semua permintaan perawatan di RS Jiwa." Dalam hubungan ini, perlu ditegaskan diagnostik di bidang penyalahgunaan narkotik, alkohol dan substansi (obat) yang tercantum dalam PP DGJ (1984) dan ICD 9/WHO, Geneva. WHO Constitution Dokumen ini memberikan anjuran dan justifikasi suatu pendekatan holistik terhadap materi kesehatan manusia. Ini dituangkan dalam pernyataan-pernyataan di bawah ini. (a) Mengenai konsep kesehatan "Health is a state of complete physical, mental and social wellbeing and not merely the absence of disease or infirmity." (b) Mengenai anak (pertumbuhan dan perkembangan) "Health development of the child is of basic importance; the ability to live harmoniously in a changing environment is essential to such development." (c) Mengenai informasi kepada masyarakat "Informed opinion and active participation on the part of the public are of the utmost importance in the improvement of the health of the people."

(d) Mengenai tanggung jawab pemerintah "Government have the responsibility for the health of their people which can be fulfilled only by the provision of adequate health and social measures." Alma Ata, USSR, 1978 Konferensi ini diadakan pada tanggal 6 12 September 1978 di kota Alma Ata, USSR, ibukota Kazakh Soviet Socialist Republic di bawah sponsorship gabungan WHO dan UNICEF. Beberapa hasil penting perlu dikemukakan: (a) Declaration of Alma Ata, Section I The Conference strongly reaffirms that health which is a state of complete physical, mental and social well-being, and not merely the absence of disease and infirmity, is a fundamental right and that the attainment of the highest possible level of health is a most important world-wide social goal whose realization requires the action of many other social and economic sectors in addition to the health sector. (b) Content of Primary Health Care (Recommendation 5) The conference; Stressing that Primary Health Care should focus on the main health problems in the community, but recognizing that these problems and ways of solving them will vary from one country and community to another. Recommends that primary health care should include at least: Education concerning prevailing health problems and the methods of identifying, preventing and controlling them. Promotion of food supply and proper nutrition.

Adequate supply of safe water, and basic sanitation. Maternal and child health care, including family planning. Immunication against the major infectious diseases. Prevention and control of locally endemic diseases. Appropriate treatment of common diseases and injuries. Promotion of mental health; and provision of essential drugs. (c) Primary Health Care Approach (Summary and Discussions 15) The conference considered primary health care to be essential care based on practical, scientifically sound and socially acceptable methods and technology made universally accessible to individuals and families in the community through their full participation and at a cost that the community and the country can afford to maintain at every stage of their development in the spirit of self-reliance and self-determination. It forms an integral part both of the country's health system, of which it is the central function and main focus, and of the overall social and economic development of the community. It is the first level of contact of individuals, the family and the community with the national health system, bringing health care as close as possible to where people live and work, and constitute the first element of a continuing health care process.

Kesehatan Jiwa Masyarakat (KESWAMAS) Sesuai dengan istilahnya, maka kesehatan jiwa masyarakat merupakan (a) Suatu orientasi dalam keswa.

(b) Mencakup semua upaya yang dilaksanakan di masyarakat, di bawah nama kesehatan jiwa. Baik yang dilaksanakan secara hospital based maupun ambulatory. Beberapa karakteristik lain yang melekat pada upaya keswamas adalah sebagai berikut: (a) Terutama sekali tertuju kepada kelompok-kelompok masyrakat (walaupun fokus terhadap individu tidak diabaikan. (b) Dititikberatkan kepada upaya prevensi dan promosi; tidak hanya terapi dan rehabilitasi. (c) Diikhtiarkan agar ada suatu kontinuitas dari berbagai pelayanan (keswa, sosial, kesejahteraan dan sebagainya). Dengan demikian maka diikthiarkan agar pelayanan-pelayanan itumerupakan suatu sistim keswa yang komprehensif. (d) Mengutamakan suatu kerjasama intersektoral, khususnya sektor kesehatan / kesehatan jiwa / pendidikan / kesejahteraan social / keagamaan / penerangan / keluarga berencana / dan sektor-sektor lain yang ada relevansi dengan keswa. (e) Berupaya melaksanakan "kegiatan psikoterapi singkat" (brief psychotherapy), dan tertuju kepada intervensi kondisikondisi krisis. (f) Mengutamakan peran serta masyarakat. (g) Mengusahakan pendidikan keswa bagi pejabat/petugas di bidang-bidang pelayanan kemanusiaan (human services), guna memperkokoh orientasi keswa mereka. (h) Mengusahakan kerjasama yang mantap dan erat dengan bidang kesehatan masyarakat (public health).

(i) Melaksanakan research epidemiologi keswa. (j) Mengusahakan agar seluruh lapisan masyarakat (golongan ekonomi; usia; jenis-jenis gangguan keswa; dan sebagainya) dapat mengambil manfaat dari upaya keswamas. BERBAGAI KEGIATAN Orientasi Di hampir semua negara berkembang, perubahan sosial yang cepat (sebagai hasil dari perkembangan ekonomi, industrialisasi, urbanisasi dan proses-proses lain yang berkaitan dengan itu) telah diketahui membawa serta akibat-akibat buruk terhadap struktur keluarga, berfungsinya keluarga, dan dengan sendirinya taraf keswa dari individu-individu. Berbagai laporan tentang keretakan rumah tangga, kenakalan remaja, gaya hidup yang kurang sehat, kekerasan dan pengrusakan, semua dapat merupakan indikasi daripada disorganisasi sosial tertentu. Sistim pendukung tradisional mengalami erosi, demikian pula daya tahan keluarga dan individu menghadapi stres, ancaman penyakit atau disabilitas sehingga peranan sosial mereka terganggu. Kondisikondisi itu jelas akan menambah beban dari sistim pelayanan kesehatan yang sudah sangat besar beban rutinnya. Ditambah keterbatasan dari sumber-sumber dana dan manusia yang ahli, maka dapat dikatakan bahwa jaringan pelayanan keswa perlu diperkuat dengan segera dan merata. Tidak kurang dari 40 juta manusia di dunia menderita gangguan jiwa berat, dan kira-kira dua kali dari jumlah tersebut menderita gangguan jiwa akibat

ketergantungan alkohol, narkotik dan substansi (obat), retardasi mental dan gangguan organik lain dari susunan saraf pusat. Penderita epilepsi di dunia ditaksir berjumlah 15 juta. Dugaan mengenai jumlah pasien dengan gangguan jiwa yang relatif ringan (neurotik) itu bervariasi, dan tergantung dari lokasinya. Tapi, tidak kurang dari 200 juta manusia yang menderita gangguan tersebut sehingga efisiensi kerja atau hidupnya merosot. Oleh sebab itu, gangguan kesehatan jiwa merupakan bagian yang cukup besar dari seluruh morbiditas umat manusia dan tidak dapat diabaikan baik di dunia berkembang atau maju. Di Indonesia, diperhitungkan gangguan jiwa berat (psikotik) berjumlah 13 per mil dari seluruh penduduk; sedangkan yang relatif ringan (neurotik) antara 40 60 per mil. Kota Jakarta yang berpenduduk 6 juta, diperhitungkan ada 618 ribu penderita psikotik. 10% di antaranya perlu perawatan segera di RS Jiwa atau klinik Psikiatri untuk pengobatan intensif. Perhitungan untuk penderita neurotik dan lain-lain dengan sendirinya jauh lebih besar. Pendekatan prevensi, terapi dan rehabilitasi.

MENUJU INDONESIA SEHAT 2010 MELALUI UPAYA KESEHATAN JIWA PARIPURNA 1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. 2. Mengembangkan dan meningkatkan mutu, pemerataan dan jangkauan pelayanan Kesehatan Jiwa bersama dengan pelayanan kesejahteraan/kemanusiaan lainnya.

3. Mendorong kemandirian masyarata untuk mewujudkan jiwa yang sehat 4. Meningkatkan profesionalisme SDM kesehatan jiwa melalui pengembangan IPTEK, ketrampilan dan Etika Profesi.

TUJUAN KESEHATAN JIWA 1. Meningkatkan derajat kesehatan jiwa di Indonesia sebagai bagian dari derajat kesehatan masyarakat. 2. Mencegah perkembangan berbagai masalah gangguan jiwa dalam masyarakat. 3. Mengurangi dampak masalah gangguan jiwa dan gangguan jiwa terhadap individu, keluarga dan masyarakat. 4. Menjamin terwujudnya hak-hak individu yang mengalami masalah/gangguan kesehatan jiwa. 5. Melindungi tenaga kesehatan jiwa dalam meningkatkan profesionalisme dan pengembangan Iptek bidang kesehatan Jiwa.

SASARAN KESEHATAN JIWA


Prevalensi gangguan jiwa tidak meningkat Insiden gangguan jiwa menurun Beban gangguan jiwa terhadap individu, keluarga dan masyarakat tidak

bertambah

STRATEGI KESEHATAN JIWA


Advokasi kebijakan publik yang memperhatikan masalah kesehatan jiwa.

Peningkatan jumlah dan mutu SDM kesehatan Jiwa. Integrasi pembiayaan Pelayanan Kesehatan Jiwa melalui system asuransi

kesehatan.
Desentralisasi program kesehatan Jiwa pada propinsi/kabupaten/kota. Pemantapan kerjasama lintas sector dan kemitraan dengan swasta. Pemberdayaan masyarakat melalui promosi kesehatan jiwa

PELAYANAN KESEHATAN JIWA DI INDONESIA

Dimulai 30 Desember 1865 dengan dasar Koninklijk Besluit No. 100, sbg dasar

didirikannya RSJ.
Pelayanan masih bersifat tertutup pd saat itu : Custodial Care. Pelayanan dibawah Dinkes (Hoofd Van den Dienst der Volksgezonheid) dengan

perintah dari Direktur P & K (Directeyr van Onderwijs en Eeredienst).


1926 YANKESWA telah merupakan bagian dari YANKES di RSU (RSCM). 1947 ----- YANKESWA dibawah Jawatan Urusan Penyakit Jiwa yang dipimpin

Dr. Latumeten.
1960 ----- menjadi urusan bagian kesehatan jiwa. 1963 ----- di Amerika diundangkan Community Mental Health Centre Act,

YANKESWA dapat dilakukan di tengah masyarakat.


Sejak PELITA V, YANKESWA di Integrasikan dlm pelayanan di Puskesmas. 2000 --- menjadi bagian KESWAMASY dan Bagian dari Pelyanan Medik

Spesialis.

Pelayanan KESWA di mulai dari RS, bersistem tertutup sampai kemudian sistem terbuka dengan pelayanan Hospital Without Wall

SISTEM PELAYANAN KESEHATAN JIWA

STANDAR PELAYANAN MINIMAL

Administratif, Yan Medik, Yan Gawat Darurat, Yan.Kep., Rekam Medik, Farmasi, Radiologi, Laboratorium dan Pengendalian Infeksi.

FUNGSI

Pelyanan Komprehensip meliputi : Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif.

PELAYANAN RUJUKAN

RS menitik beratkan pada kuratif dan prevensi sekunder/tertier, sesuai kemampuan RS (Kelas RS, SDM, kekuatan Pengembangan).

PELAYANAN KESEHATAN JIWA DASAR DI RS

Pelayanan Integratif dengan ruang lingkup prevensi sekunder.

Tujuan : Memperluas jangkauan dan meningkatkan mutu pelayanan. Strategi : Mengembangkan jejaring kerja dengan RSU atau pelayanan kesehatan lainnya.

Menyediakan pedoman pelayanan kesehatan jiwa dasar.

Memasukan Pelayanan Kesehatan Jiwa dalam Penilaian akreditasi.

Tujuan : Meningkatkan kemampuan tenaga pelayanan kesehatan jiwa dasar Strategi : Pelatihan penatalaksanaan kesehatan jiwa dasar. Pembuatan pedoman pelatihan

PELAYANAN KESEHATAN JIWA RUJUKAN

Pelayanan spesialistik dengan ruang lingkup prevensi tertier dan memperhatikan

penapisan teknologi dan standar profesi. Tujuan : Menetapkan peran dan fungsi RSJ dan membangun jejaring YANKESWA Propinsi, regional dan Nasional.

Strategi : Membuat kebijakan desentralisasi YANKESWA

Membuat jejaring YANKESWA

Tujuan : Membangun jejaring pelayanan kasus Narkotika dan zat adiktif lainnya.

Strategi : Membuat jejaring pelayanan kasus penggunaan zat adiktif.

KONDISI PROGRAM KESEHATN JIWA DI INDONESIA 1. TENAGA PELAKSANA


Dr. Spesialis Jiwa 400 orang, > dari 50 % di Pulau Jawa. Perawat Keswa 1.769 ( Memenuhi standar ---36 %) Pengetahuan dokter umum belum memuaskan

2. SARANA PELAYANAN
RSJ 33, TT 8.150 di 24 Propinsi. Unit/Bagian Psikiatri di RSU (A?B/Pendidikan) terbatas. Fasilitas YANKESWA di RSU (C/D) dan Puskesmas Terbatas.

3. DANA
Pemerintah : Anggaran pembangunan kesehatan terbatas. Masyarakat : Pengeluaran kesehatan masyarakat terbatas.

4. MUTU DAN CAKUPAN PELAYANAN


Mutu YANWA di pelbagai RSU & PKM belum memuaskan. Cakupan terbatas : Yan. Di RS cenderung Pasif serta Yanwa di PKM belum

Optimal. 5. PERAN SERTA MASYARAKAT


Pemahaman Masyarakat rendah ( Stigma sosial)

BKJM belum berfungsi optimal.

Anonymous. Program Pelayanan Kesehatan Jiwa di Indonesia. (online), (http://flaviviridae.blogspot.com/2009/06/program-pelayanan-kesehatan-jiwadi.html, diakses 29 Mei 2012) Prof. Dr. R. Kusumanto Setyonegoro. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma. 1984.

Anda mungkin juga menyukai