Anda di halaman 1dari 8

FAKTOR KELUARGA DALAM KENAKALAN REMAJA

ABSTRAK
Penelitian yang berjudul Faktor Keluarga Dalam Kenakalan Remaja ini diharapkan bisa menjelaskan faktor
keluarga yang melatarbelakangi fenomena kenakalan remaja dan apa saja potensi yang bisa digali untuk
pemecahan masalah kenakalan remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat
dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan
individual, individu sebagai satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk pendekatan sistem, individu
sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem sebagai sumber masalah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
diperoleh hasil bahwa ternyata ada hubungan negative antara kenakalan remaja dengan keberfungsian keluarga.
Artinya semakin meningkatnya keberfungsian sosial sebuah keluarga dalam melaksanakan tugas kehidupan,
peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah tingkat kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya
semakin rendah. Di samping itu penggunaan waktu luang yang tidak terarah merupakan sebab yang sangat
dominan bagi remaja untuk melakukan perilaku menyimpang.
KATA KUNCI : Kenakalan Remaja, Keluarga

PENDAHULUAN
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku
menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat
penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial
yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat
membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara
tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak
melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan adanya
perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya karena si pelaku
kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku yang menyimpang yang
disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami
bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia
tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26),
mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang
mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap
manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa pada
kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, sebab orang
dianggap normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja” bisa
melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual melalui
pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi, perilaku akan diidentifikasi sebagai
masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang
perilaku disorder di kalangan anak dan remaja (Kauffman, 1989:6) mengemukakan bahwa
perilaku menyimpang juga dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku
disorder tidak dapat dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan
lebih dari itu harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak benar antara
seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan”
dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam beberapa hal.
Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial dengan
menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi kehidupan
lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan pengetahuan yang
diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa
beberapa tempat di kota mempunyai sifat yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena
lokasi tersebut mempunyai karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986:400), mengatakan
tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian
wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding, derajat
kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil. Penelitian inipun
dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Pondok Pinang Jakarta Selatan tampak ciri-ciri
seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland dalam (Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang
belajar untuk menjadi kriminal melalui interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung
devian, maka seseorang akan mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan
nilai-nilai devian yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan tindakan
kriminal.
Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang
bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial sebagai sumber
masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat menjadi buruk/jelek oleh
karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada
umumnya pada masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial
menjadi kehilangan kekuatan mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah,
sehingga memungkinkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam
masyarakat yang disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan
surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang karena
tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan wajar.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat di rumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana faktor keluarga dapat menyebabkan kenakalan remaja?

2. Bagaimana potensi-potensi pemecahan masalah kenakalan remaja?

Tinjauan Mengenai Kenakalan Remaja


Terdapat banyak keterangan mengenai alasan remaja melakukan kenakalan, salah satu
diantaranya disebut Teori Pilihan (Siegel&Senna dalam Raharjo, dkk., 2011). Dengan teori ini,
seseorang terlibat pada aktifitas kenakalan karena hal tersebut akan memberi manfaat dan
menguntungkan, serta merasa bahwa kenakalan tersebut relatif tanpa resiko dan tidak khawatir
akan mendapat hukuman.
Kenakalan remaja berkaitan erat pula dengan sikap antisosial (sosiopatis) di kalangan
remaja ditunjukan dengan rendahnya rasa bersalah, kekhawatiran, dan seringkali melawan hak
orang lain. Hal ini seringkali menyebabkan mereka tidak mampu menjalin hubungan baik
dengan orang lain.

Penyebab Penyimpangan Perilaku Remaja


Untuk melihat faktor penyebab remaja berperilaku menyimpang diperlukan sudut pandang
yang komprehensif mengingat sumber-sumber masalah dapat berasal dari aspek-aspek yang
luas dan saling mempengaruhi. Beberapa pandangan yang bersifat parsial seperti faktor
individu, keluarga, teman sebaya, komunitas dan masyarakat perlu diintegrasikan sebagai
upaya melacak akar persoalan yang jika menggunakan analisa parsial tidak memadai. Cara kita
mengindentifikasi penyebab perilaku menyimpang akan mempengaruhi strategi
penanganannya. Dengan demikian perlu mengkategorikan penyebab masalah dari mulai faktor
yang bersifat individual sampai kelompok dan lingkungan komunitas yang lebih besar. Mc.
Withers et al., (Raharjo, dkk., 2011), mengelompokan berbagai penyebab remaja berperilaku
menyimpang atau beresiko yang didasarkan pada faktor individu, keluarga, teman sebaya,
sekolah, dan komunitas/masyarakat, seperti yang diuraikan di bawah ini :
1. Faktor individu, terdiri dari penyebab fisik seperti riwayat sakit kronis, kelahiran
prematur, bobot kelahiran yang rendah, kecelakaan saat melahirkan. Aspek psikososial
dan perilaku mencakup kelekatan yang kurang dengan orang tua, tidak memiliki
keterampilan memecahkan masalah, tidak memiliki kemampuan empati,
ketidakmampuan mengendalikan diri, keterasingan, kesulitan dalam belajar, harga diri
dan motivasi yang rendah, penggunaan Napza, aspirasi dan prestasi akademik yang
rendah, tingkah laku agresif.
2. Faktor keluarga, terdiri dari struktur keluarga mencakup ketidakutuhan keluarga,
keterpisahan dari keluarga dan ukuran keluarga yang terlalu besar. Fungsi keluarga
mencakup kelemahan dalam pengelolaan kontrol dan pengawasan, gangguan hubungan
antara orang tua dan anak, keterlantaran anak, kekerasan terhadap anak, kekerasan
dalam keluarga, pengabaian atau penolakan dari orang tua, ada model/contoh keluarga
yang berperilaku anti sosial, mobilitas orang tua yang tinggi, dan pengasuhan orang
yang psikopat. Status sosial ekonomi keluarga, mencakup pendapatan dan tingkat
pendidikan orang tua yang rendah, dan orang tua yang menganggur.
3. Faktor teman sebaya, terdiri dari remaja yang berteman dengan sebaya yang
menyimpang, penolakan dari teman sebaya, dan berteman dengan orang dewasa yang
anti social. Faktor sekolah, terdiri dari organisasi sekolah yang mencakup kebijakan
dan pelaksanaan kebijakan yang rigid, disiplin yang represif, kelas yang besar, sekolah
yang besar tanpa substruktur. Aspek kurikulum mencakup pelajaran yang tidak menarik
atau tidak disukai, tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan, strategi
pembelajaran yang pasif, penilaian yang mendominasi adalah penilaian yang hanya
berdasarkan persaingan akademik (ada yang kalah dan menang). Suasana sekolah
mencakup budaya sekolah yang tidak mendukung misi pendidikan, hubungan murid-
guru yang negatif, ketidakberfungsian konselor sekolah, ketiadaan partisipasi siswa,
kurangnya hubungan antara orang tua dan sekolah, miskinnya pengembangan
profesionalisme staf.
4. Faktor komunitas dan kemasyarakatan, terdiri dari kemiskinan yang ekstrem, ada
norma anti sosial di masyarakat, lingkungan masyarakat yang kacau dan tidak harmonis,
tingkat kriminalitas yang tinggi, adanya akses pada senjata api, konsentrasi teman
sebaya yang nakal tinggi, dan status etnik minoritas.
Hasil dan Pembahasan
Perilaku agresif yang cenderung merusak (destruktif) yang sering terjadi saat ini,
terutama tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja, bukanlah perilaku yang muncul secara
spontan tanpa penyebab. Dalam penelitian ini menggali mengenai berbagai motivasi atau
faktor keluarga sebagai penyebab individu/remaja tergabung dalam suatu komunitas yaitu geng
motor yang kemudian memunculkan sikap yang agresif. Berikut adalah uraiannya. Faktor
keluarga terdiri dari struktur keluarga, fungsi keluarga, dan status sosial-ekonomi keluarga.
Fungsi keluarga yang tidak berjalan dengan menjadi faktor yang lebih jelas sebagai
penyebab kenakalan remaja dibanding dengan faktor lainnya. Hal ini diperkuat oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh Laub & Sampson (dalam Raharjo, dkk., 2011) yaitu bahwa
kualitas kehidupan keluarga termasuk pengawasan, kelekatan dengan orang tua, dan disiplin
merupakan faktor yang jauh lebih menentukan dalam memprediksi perilaku menyimpang atau
tidak dibanding faktor struktur keluarga. Lemahnya fungsi keluarga lebih banyak pada sisi
kurangnya perhatian, pengabaian, dan persoalan kontrol.
Hubungan Antara Kenakalan Remaja Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga
Dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial keluarga, di antaranya
adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi keluarga yaitu jika berhasil
dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi
kebutuhannya. Hubungan-hubungan tersebut terdiri dari :
1. Hubungan antara pekerjaan orang tuanya dengan tingkat kenakalan
Untuk mengetahui apakah kenakalan juga ada hubungannya dengan pekerjaan
orangtuanya, artinya tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena pekerjaan orangtua
dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan keluarganya.
Hal ini perlu diketahui karena dalam keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu
memenuhi kebutuhannya. Kurangnya perhatian orang tua terhadap anak dan lebih sibuk
bekerja yang dapat menyita waktu bersama pekerjaannya dibandingkan berkumpul di
rumah. Orang tua yang terlalu sibuk mulai tidak mengetahui kebiasaan-kebiasaan anak-
anak mereka dan begitupun sebaliknya, hal ini dikarenakan tidak ada waktu bagi
mereka untuk bersama. Jawaban yang muncul dari responden pun ternyata menunjukan
bahwa memang latar belakang orang tua responden adalah orang yang sibuk dalam
kerja.
2. Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan
Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap kenakalan remaja.
Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari keluarga yang tidak
utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam interaksinya di keluarga. Namun
bisa jadi struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan jaminan bagi
anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan khusus. Karena ternyata
mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih banyak yang melakukan kenakalan
khusus. Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan keserasian dalaam
interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya melakukan kenakalan. Artinya
semakin tidak serasi hubungan atau interaksi dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan
yang dilakukan semakin berat, yaitu pada kenakalan khusus. Keutuhan keluarga anak
yang melakukan kenakalan lebih menunjukan kondisi keluarga yang kurang utuh,
meskipun ukuran keluarga mereka termasuk kecil. Besar atau kecilnya ukuran keluarga
ternyata tidak merupakan faktor yang mempunyai efek besar terhadap dorongan remaja
untuk masuk dalam kelompok geng motor. Impact negatif justru turun dari fungsi
keluarga yang lagi ideal untuk perkembangan anak.

3. Hubungan antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat kenakalan


Kehidupan beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk melihat
keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian juga dilihat dari segi
rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban agama secara baik, berarti
mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma yang baik. Artinya secara teoritis bagi
keluarga yang menjalankan kewajiban agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun
akan melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan norma agama. Ketaatan dan tidaknya
beragama bagi keluarga sangat berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh
anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban
agamanya kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus, demikian juga
sebaliknya.

4. Hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan
Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di atas adalah sikap
orang tua dalam mendidik anaknya. Peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar
pengaruhnya terhadap kehidupan anak. Pada persoalan mengatur, seringkali
pendekatan orang tua dianggap tidak tepat oleh anak remaja. Orang tua yang tidak
mengembangkan relasi dialog dengan mereka cenderung gagal dalam menerapkan
aturan. Banyak anak yang merasa banyak aturan di rumah yang menekan mereka.
Kondisi komunikasi keluarga yang diktator ternyata memang tidak baik, akan tetapi
kontrol yang terlalu lemah pun bisa membuat anak merasa bebas tanpa aturan yang
membatasi.

5. Hubungan antara interaksi keluarga dengan lingkungannya dengan tingkat kenakalan


Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau tidak mau
harus berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang diharapkan dari
hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan menciptakan kenyamanan dan
ketenteraman. Apabila hal itu dapat diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi
yang baik bagi anak-anaknya. Sejalan dengan sistem kontrol keluarga terhadap perilaku
anak, ternyata keharmonisan hubungan dalam keluarga juga berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Seseorang akan merasa nyaman apabila dihargai dalam
lingkungannya begitupun sebaiknya, ketika seseorang merasa tidak dihargai dalam satu
lingkungan dia akan mencari lingkungan yang lebih nyaman walaupun negatif.

Peran orang tua terbatas hanya ketika anak berada dirumah, oleh karena itu lembaga-lembaga
juga perlu memeperhatikan perkembangan anak. Sekolah diharapkan mampu memahami apa
persolan psikososial siswa dan mendeteksi sejak awal kecenderungan perilaku siswa yang
menyimpang sehingga upaya pencegahan untuk tidak terlibat kegiatan kriminal bisa dilakukan.
Kemampuan staf sekolah dalam mendeteksi kecenderungan perilaku siswa yang anti sosial
sangat penting oleh karena itu dibutuhkan staf sekolah yang memiliki pengetahuan dan
keterampilan memadai untuk melakukan pembimbingan pada siswanya. Potensi ide yang
positif dan harapan yang dimiliki para anggota geng motor pada penelitian ini sebaiknya
ditangkap sebagai kekuatan oleh semua pihak yang terlibat dalam penanganan masalah ini
seperti penyelenggara pendidikan, aparat penegak hukum, pemerintah kota, bahkan para orang
tua dalam rangka mengkoreksi perilaku menyimpang yang dilakukan para anak muda ini.
Penutup
Struktur keluarga mencakup struktur dan fungsi keluarga. Fungsi keluarga yang tidak berjalan
dengan baik, lebih signifikan efeknya terhadap potensi remaja melakukan kenakalan remaja
dibandingkan dengan struktur keluarga yang mencakup keutuhan keluarga, besar kecilnya
ukuran keluarga, atau remaja yang tinggal terpisah dengan keluarga. Fungsi keluarga yang
tidak berjalan dengan memadai menjadi ikut berkontribusi pada penyebab remaja masuk dalam
geng motor. Kelemahan fungsi keluarga lebih banyak pada sisi kurangnya perhatian,
pengabaian, dan persoalan penerapan kontrol misalnya aturan yang dierapkan di rumah tidak
berjalan efektif atau sebaliknya keadaan tidak teratur karena tidak ada aturan atau hanya
terdapat aturan yang lemah.

Daftar Pustaka
Eitzen, Stanlen D. 1986. Social Problems., Toronto:Allyn and Bacon inc
Kaufman, James, M. 1989. Characteristics of Behaviour Disorders of Children and Youth.,
Toronto:Merril Publishing Company
Raharjo, Santoso T. dkk. “Faktor Keluarga dalam Kenakalan Remaja:Studi Deskriptif
Mengenai Geng Motor di Kota Bandung”. Bandung:Universitas Padjadjaran
Soerjono Soekanto. 1988. Sosiologi Penyimpangan. Jakarta:Rajawali.

Anda mungkin juga menyukai