Momen Lebaran membawa setiap orang untuk saling bertemu dalam suasana
hangat untuk meminta maaf atas kesalahan yang sengaja diperbuat maupun
tidak sengaja, baik lisan maupun perbuatan, baik lahir maupun batin.
Penerima maaf pun akan memberikan maaf dengan sukarela.
Mengapa kita mudah meminta maaf dan memberikan maaf saat Lebaran, tapi
amat sulit melakukannya saat hari-hari biasa? Bagaimana ilmu perilaku
menjelaskan momen meminta dan memberi maaf ini sebagai fenomena
psikologis? Sejumlah riset menunjukkan, hati yang bahagia dan
adanya kesamaan identitas sosial antara peminta dan pemberi maaf
mendorong hati seseorang lapang dada memaafkan kesalahan.
Informasi akurat dan kredibel bagaikan oksigen yang menyehatkan kita.
Dapatkan sekarang
Selain itu, Adi juga memiliki identitas sosial. Identitas sosial menjelaskan
identitas Adi sebagai bagian dari kelompok sosialnya. Kita ambil contoh, Adi
berprofesi sebagai polisi. Identitas sebagai seorang polisi membuat Adi
bersikap dan berperilaku sesuai dengan standar perilaku polisi.
Artinya, semua tindak tanduk yang ditunjukkan Adi dalam hubungan sosial
merupakan representasi dari upaya Adi untuk menghayati nilai-nilai
keprofesiannya dalam tingkah laku sehari-hari. Adi menampilkan diri sebagai
sosok yang tegas karena identitas sosialnya sebagai penegak hukum meski ia
sebenarnya pribadi yang lembut.
Sebelum menganalisis hasilnya, Feng Jian dan tim membagi para partisipan
menjadi dua kelompok besar berdasar kondisi suasana hatinya. Kelompok
pertama adalah mereka yang sedang merasa bahagia saat itu. Sedangkan
kelompok kedua adalah mereka yang cenderung merasa datar atau bahkan
tidak memiliki suasana hati yang senang hari itu.
Spiritualitas relasional
Sedangkan fenomena permaafan dalam konteks hari raya merupakan
permaafan yang melibatkan identitas sosial. Artinya, seseorang meminta dan
memberi maaf sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab yang ia
lakukan sebagai pemeluk agama yang ia anut.
Literatur-literatur tentang dinamika psikologis manusia dalam menjalankan
ajaran agama menunjukkan bahwa agama juga berperan sebagai standar baku
tentang perilaku ideal yang harus ditunjukkan pemeluk. Dengan memiliki
identitas sosial yang kuat terhadap agama, maka seorang individu akan
mengevaluasi semua sikap dan perilakunya selaras mungkin dengan apa yang
diajarkan oleh agama, sekalipun itu bertentangan dengan sikap dan preferensi
pribadinya.
Tapi kita tidak boleh melupakan bahwa sebenarnya kita juga memiliki
kesamaan identitas sosial dengan umat agama lain. Kita sama satu bangsa,
bangsa Indonesia. Bahkan di atas semuanya itu, kita hakikatnya adalah insan
yang sama-sama mendambakan perdamaian dan kebahagiaan untuk semua
makhluk di bumi. Kesadaran ini mestinya bisa membawa kita untuk memiliki
hati yang pemaaf dalam kehidupan keseharian.
Nafsu amarah, nafsu lawwamah dan nafsu mutmainnah adalah 3
tingkatan nafsu dari manusia yang didasarkan pada Al-Quran. Nafsu
amarah adalah tingkatan nafsu manusia yang belum mampu ia kendalikan.
Nafsu lawwamah adalah tingkatan nafsu pada manusia yang berusaha ia
kendalikan. Nafsu mutmainnah adalah tingkatan nafsu pada manusia yang
sudah bisa dikendalikan dengan berdasar pada perintah dari Allah SWT.
» Pembahasan
Adapun contoh masing-masing tingkatan nafsu pada manusia menurut Al-
Quran ini adalah sebagai berikut:
•••••••••••••••••••••••••••
tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Barangsiapa yang berkepribadian ini
maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah
ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-
namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya
ia bertaubat dan ber-istighfar. Hal itu dapat dipahami bahwa kepribadian lawwamah berada
sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini
kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh
Allah SWT. Yang paling tinggi adalah jenjang ruh yang paling dekat kepada asal Ilahi, dimana manusia