Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PSIKOLOGI PERKEMBANGAN I

Oleh Kelompok 5
Nama Anggota: 1. Asmiwati
2. Irna Ratisa
3. Lessy Yunistin Prahayu
4. Sandira Hartati
5. Syarifah Najiha
Dosen Pengampu: Dra. Syafdahningsih, M.PD / Mahyumi Rantina
M.Pd
Pendidikan Anak Usia Dini
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidkan
Universitas Sriwijaya
Tahun Ajaran 2016/2017

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur atas kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sertakaruniaNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusun makalah ini. Sholawat dansalam
semoga tercurah atas Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Keluarga sahabat danpengikutnya
yang setia hingga akhir zaman.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun
isimakalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui masih
banyakkekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu
harapankepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untukkesempurnaan makalah ini.
Semoga segala kebaikan yang diterima menjadi berkat tersendiri bagi penulis,sehingga
menjadi bekal yang sangat bermanfaat dikehidupan penulis nantinya.Akhir kata apa yang
telah penulis lakukan dapat bermanfaat bagi seluruh pembacadan pihak-pihak yang
membutuhkan kritik dan saran yang membangun penulis terima untukmenyempurnakan
dimasa mendatang.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Indralaya, 5 Oktober 2016


Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul ..1
Kata Pengantar ..... .2
Daftar Isi .. .3
BAB I: PEMBAHASAN ...... 4
a. Perkembangan Moral....................................................................5
b. Perkembangan Agama..................................................................6
c. stimulasi untuk meningkatkan perkembangan agama pada anak..8
d. Contoh dan manfaat bermain bagi perkembangan moral agama..9
BAB II: KESIMPULAN ...14
Daftar Pustaka ....15

BAB I
PEMBAHASAN
TEORI PERKEMBANGAN NILAI AGAMA DAN MORAL
A. Perkembangan Moral
1. Teori Piaget tentang perkembangan moral
Piaget berpendapat bahwa perkembangan moral berlangsung dalam tahap-tahap yang
dapat diprediksi, dalam tipe penalaran moral yang egosentris ketipe penalaran moral pada
sistem keadilan yang berdasarkan kerjasama dan tindakan timbal balik.
Tabel Tahap-tahap Perkembangan Moral Piaget
Moralitas Heteronom (Anak Kecil)
Moralitas Otonom (Anak Besar)
Didasarkan pada hubungan paksaan;
misalnya, penerimaan utuh oleh anak
terhadap ketentuan orang dewasa.

Didasarkan pada hubungan kerjasama dan


pengakuan bersama terhadap kesetaraan
diantara individu-individu yang otonom,
seperti pada hubungan antara orang-orang
yang sejajar.
Tercermin kedalam sikap realisme moral:
Tercermin kedalam sikap moral rasioal:
Aturan dipandang sebagai ketentuan yang
Aturan dilihat sebagai produk kesepakatan
tidak fleksibel, asal dan wewenang dari luar, bersama, terbuka pada negosiasi ulang,
tidak terbuka akan negosiasi, dan benar
dijadikan sah melalui penerimaan pribadi
hanya ketaatan harafiah terhadap orang
dan persetujuan bersama, dan benar berarti
dewasa dan aturan.
bertidak sesuai dengan ketentuan kerjasama
dan sikap saling menghormati.
Kejahatan dinilai berdasar bentuk objektif Kejahatan dipandang sebagai sesuatu yang
dan konsekuensi tindakan; Keadilan
terkait dengan maksud pelakunya; Keadilan
disamakan dengan isi keputusann orang
didefinisikan sebagai perlakuan setara atau
dewasa; hukuman yang semena-mena dan
kesediaan mempertimbangkan kebutuhan
kejam dipandang adil.
individu; keadilan hukuman didefinisikan
berdasarkan kepantasan atas pelanggaran.
Hukuman dilihat sebagai konsekuensi
Hukuman dilihat sebagai sesuatu yang
otonomis pelanggaran, dan keadilan sebagai dipengaruhi oleh maksud manusia.
sesuatu yang melekat.
Piaget (1964) bahwa perkembangan moral pada moralitas heteronom disebut
tahaprealisme moral atau moralitas paksaan Heteronom berarti tunduk pada aturan yang
diberlakukan orang lain. Pada tahap ini, anak kecil terus-menerus dihadapkan pada orang
tua dan orang dewasa lain yang memberitahukan kepada mereka apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Pelanggaran aturan diyakini akan
membawa hukuman otomatis dan orangg jahat pada akhirnya akan dihukum. Piaget juga
menjelaskan anak-anak pada tahapini menilai moralitas prilaku berdasarkan
konsekuensinya.
Pada tahap moralitas otonom atau moralitas kerjasama. Moralitas tersebut
muncul ketika dunia sosial anak meluas hingga meliputi banyak teman sebaya. Dengan

terus-menerus berinteraksi dan bekerjasama dengan anak yang lain, gagasan anak tersebut
tentang aturan dan karena itu moralitas akhirnya mulai berubah.
Menurut Piaget, anak-anakmelangkah dari tahap moralitas heteronom ke tahap
morakitas otonom disertai dengan perkembangan struktur kognisi, dan karena interaksi
dengan teman-teman sebaya yang statusnya sama. Disa percaya bahwa penyelaseaian
konflik denga teman akan memperlemah sikap anak dari otoritas orang dewasa dan
meningkatkan kesadaran tentang aturan yang dapat diubah dan sebagai hasil dari persetujuan
bersama.
2. Teori Kohlberg tentang perkembangan moral
Teori tahap Kohlberg (1963, 1969) tentang penalaran moral adalah penjabaran dan
perbaikan teori Piaget. Sama seperti Piaget, Kohlberg mempelajari cara anak-anak (dan orang
dewasa) bernalar tentang aturan yang mengatur perilaku mereka dalam situasi tertentu.
Kohlberg tidak mempelajari permainan anak-anak, tetapi lebih menyelidiki tanggapan
mereka terhadap beberapa situasi terstruktur atau dilema moral. Salah satu dilemanya yang
paling terkenal adalah yang berikut :
Di Eropa, seorang wanita mendekati ajal karena kanker. Satu obat dapat saja
menyelamatkannya, bentuk radium yang telah ditemukan ahli obat di kota yang sama barubaru ini. Ahli obat tersebut mematok harga $2.000, sepulih kali lipat dari biaya yang dia
butuhkan untuk membuat obat tersebut. Suami wanita yang sakit itu, Heinz, mendatangi
setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tetapi dia hanya dapat mengumpulkan
sekitar setengah dari harga obat tersebut. Dia berkata kepada ahli obat tersebut bahwa istrinya
sedang sekarat dan memintanya menjual obat itu lebih murah atau membolehkannya
membayar kemudian. Tetapi ahli obat itu berkata tidak. Suami tersebut merasa putus asa
dan merampok tokoh pria itu untuk mencari obat tadi untuk istrinya. Dilema moral dalam
teori Kohlberg tentang penalaran moral situasi yang menuntut orang mempertimbangkan
nilai-nilai yang benar dan salah. Ketika orang mempertimbangkan dilema moral, penalaran
mereka sendirilah yang berperan penting bukan keputusan akhir mereka, menurut Lawrence
Kohlberg. Dia mempunyai teori bahwa orang melewati tiga tingkat ketika mereka
mengembangkan kemampuan penalaran moral.
I. Tingkat Prakovensi
Aturan diruuskan orang lain
Tahap I : Orientasi
Hukum dan Ketaatan.
Konsekuensi fisik tindakan
menentukan kebaikan dan
keburukannya.
Tahap II : Orientasi
Relativis Instrumental.
Apa yag benar adalah apa
saja yang memuaskan
kebutuhan diri sendiri dan
kadang-kadang kebutuhan
orang lain. Unsur-unsur
keadilan dan

II. Tingkat Konvensi


Individu menganut aturan
dan kadang-kadang akan
menomorduakan kebutuhan
sendiri dibanding kebutuhan
kelompok. Harapan
keluarga, kelompok atau
bangsa dipandang bernilai
bagi dirinya, tanpa peduli
pada konsekuensinya yang
langsung dan tampak jelas.
Tahap III : Orientasi
anak baik. Perilaku yang
baik adalah apa saja yang
menyenangkan atau
membantu orang lain dan

III. Tingkat Pasca-Konvensi


Orang mendefinisikan
nilainilainya sendiri berdasar
prinsip etika yang telah
mereka pilih untuk diikuti.
Tahap V :Orientasi
Kontrak Sosial. Apa yang
benar ditentukan berdasar
hak-hak individu umum dan
berdasar standar yang telah
disepakati oleh seluruh
masyarakat. Berbeda dari
tahap IV, undangundang
Tidak beku
Tahap VI : Orientasi

ketimbalbalikan ada, tetapi


kebanyakan ditafsirkan
dalam bentuk Anda
menggaruk punggung saya,
saya akan menggaruk
punggung Anda. Individu
menganut aturan dan
kadang-kadang akan
menomorduakan kebutuhan
sendiri dibanding kebutuhan
kelompok. Harapan
keluarga, kelompok atau
bangsa dipandang bernilai
bagi dirinya, tanpa peduli
pada konsekuensinya yang
langsung dan tampak jelas.

disetujui oleh mereka.


Seseorang memperoleh
persetujuan dengan bersikap
manis.
Tahap IV : Orientasi
hukum dan keteraturan.
Besar berarti melakukan
kewajiban seseorang, dengan
memperlihatkan sikap
hormat kepada orasng yang
berwenang dan
memperetahankan tatanan
sosial tertentu bagi dirinya.

Prinsip Etika Universal.


Apa yang benar ditentukan
oleh keputusan suara hati
menurut prinsip etika yang
dipilih pribadi. Prinsip ini
adalah abstrak dan etis
(seperti Kaidah Emas),
bukan ketetuan
moral spesifik (seperti
Sepuluh Perintah Allah).
hormat kepada orang yang
berwenang dan
mempertahankan tatanan
sosial tertentu bagi dirinya.

2. Perkembangan Agama
a. Elkind menyatakan bahwa terdapat 4 tipe kebutuhan mental yang muncul
ketika anak tumbuh dewasa :
Pertama, pencarian untuk konservasi, bahwa anak memiliki ketetapan sebagai
objek yang mempunyai kekurangan.
Kedua, tahap pencarian representasi di mulai sejak anak memasuki pra
sekolah bahwa pada tahap ini anak
memiliki gambaran mental dan
perkembangan bahasa.
Ketiga, pencarian relasi dimulai pada pertengahan kanak-kanak. Anak sudah
mengalami kematangan mental sehingga dapat merasakan hubungan dengan
tuhan.
Keempat, pencarian tentang pemahaman, pada tahap ini anak menyerapa
jalinan persahabatan dan perkembangan untuk berteori.
Ada tiga tahap perkembagan dalam beribadah atau berdoa menurut Elkind :
1. Tahap pertama adalah tahap global (5-7 tahun)
2. Tahap kedua adalah konkrit
(7-9 tahun)
3. Tahap ketiga adalah abstrak
(11-12 tahun)
b. Menurut Harms ada tiga tahap perkembangan beragama pada anak :
1. Tahap firetale (usia 3-6 tahun) pada tahap ini anak merepresentasikan
keadaan Tuhan yang menyerupai raksasa, hantu, malaikat bersayap.

2. Tahap realistis (usia 7-12 tahun) pada tahap ini anak cendrung mengonkritkan
beragama. Tuhan dan malaikat dipersepsikan sebagai penampakan yang
nyata.
3. Tahap individualistik (13-18 tahun) tahap ini anak di tandai dengan adanya
tiga kategori, yaitu ide beragama kolot, mistis dan simbol. Pada tahap ini
anak telah menentukan pilihan terhadap model agama.
c. James Fowler
Menurut Fowler, iman didefiniskan sebagai cara memandang atau
mengetahui dunia. Iman juga tidak harus selalu tertuju pada sebuah Tuhan
atau sebagai sosok makhluk lainnya; keyakinan terhadap sains, kemanusiaan.
Itupun sah-sah saja disebut sebagai iman, asalkan orang itu meyakini objek
imannya yang paling bernilai dan mampu memberi makna bagi hidupnya.
6 tahapan iman menurut Fowler dan rekan-rekannyadari awal hingga
akhir hidup seseorang yaitu :
Tahap 1 : Intuitive-projective faith (usia 18-24 bulan sampai 7 tahun)
Pada masa ini iman anak banyak diperoleh dari apa yang diceritakan
orang dewasa. Dari cerita-cerita itu mereka membentuk gambaran Tuhan yang
perkasa, surga yang imajinatif, dan neraka yang mengerikan. Gambaran ini
umumnya bersifat irasional, karena pada masa ini anak belum memahami
sebab akibat dan belum dapat memisahkan kenyataan dan fantasi.
Tahap 2 : Mythic-literal faith (usia 7 sampai 12 tahun)
Anak sudah lebih logis dan mulai mengembangkan pandangan akan
alam semesta yang lebih tertata. Meskipun sudah mengikuti kepercayaan dan
ritual orang tua serta masyarakat, mereka cenderung mempercayai cerita dan
simbol religius secara literal karena pada masa ini anak belum mampu
berpikir abstrak. Disisi lain, merak sudah dapat memahami bahwa Tuhan
mempunyai sudut pandang lain dengan turut mempertimbangkan usaha dan
niat seseorang sebelum menghakiminya. Merak percaya bahwa tuhan itu
adil dalm memberi ganjaran yang sepantasnya bagi manusia.
Tahap 3 : synthetic-convintional faith (usia remaja dan selanjutnya)
Setelah mampu berfikir abstrak, remaja mulai membentuk ideologi
( sistem kepercayaan) dan komitmen terhadap ideal-ideal tertentu. Dimasa ini
mereka mulai mencari identitas diri dan menjalin hubungan pribadi dengan
tuhan namun identitas mereka belum benar-benar terbentuk, sehingga mereka
masih melihat orang lain atau teman sebaya untuk paduan moral. Iman
mereka tidak dapat dipertanyakan dan sesuai standar masyarakat.
Tahap 4 : individuative-reflective faith (awal hingga pertengahan umur 20an)
Mereka yang bisa mencapai tahap ini mulai memeriksa iman mereka
dengan kritis dan memikirkan ulang kepercayaan mereka, terlepas dari
otoritas eksternal dan norma kelompok. Pada tahap ini masalah orang muda
umumnya terkait dengan pasangan hidup sehingga perpindahan pada tahap ini
bisa dipicu oleh perceraian, kematian seorang teman, atau peristiwa- peristiwa
lainnya yang menimbulkan stres.
Tahap 5 : conjunctive faith (usia paru baya)
Pada usia paru baya, orang jadi semakin menyadari batas - batas
akalnya mereka memahami adanya paradok dan kontradiksi dalam hidup, dan
sering menghadapi konflik antara memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri
dengan berkorban untuk orang lain. Ketika mulai mengantisipasi kematian,

mereka dapat mencapai pemahaman dan penerimaan lebih dalam, yang di


integrasikan dengan iman yang mereka miliki sebelumnya.
Tahap 6 : universalizing faith (lanjut usia)
Pada tahap terakhir yang jarang di capai ini, terdapat para pemimpin moral
dan spiritual, seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther king, dan Bunda Teresa
yang visi dan komitmennya terhadap kemanusiaan menyentuh begitu banyak
orang. Mereka digerakan oleh keinginan untuk berpartisipasi dalam sebuah
kekuatan yang menyatukan dan mengubah dunia , namun tetap rendah hati,
sederhana, dan manusiawi. Karena sering mengancam kekuasaan, mereka
kerap menjadi martir; dan meski mencintai kehidupan, mereka tidak terikat
padanya.
d. Zakiyah Darajat
Menurut zakiyah Derajat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap
tuhan pada dasarnya negatif ia berusaha menerima pemikiran tentang
kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang tuhan
sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang tuhan,
tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh
perasaan takut dan ingin rasa aman kecuali jika orang tua anak mendidik anak
supaya mengenal sifat tuhan yang menyenangkan. Namun pada masa kedua
(27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap tuhan berganti positif (cinta dan
hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan rasa aman.
3.Berikut ini stimulasi untuk meningkatkan perkembangan agama pada
anak:
a. Mengikutsertakan anak dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.
\
Melibatkan anak dalam kegiatan keagamaan secara langsung dapat
memberikan kesan khusus dalam diri anak tanpa melalui nasihat-nasihat
islami, yang justru tidak di dipahami anak .kegiatan keagamaan yang bisa
melibatkan anak secara aktif adalah bermain dilingkungan masjid atau taman
pendidikan al-Quran(TPA), mengajak anak shalat di masjid,dan membersikan
lingkungan masjid.
libatkan anak dalam berbagai perlombaan keagamaan seperti lomba
adzan, hapalan surat pendek, dan lomba busana islami.
b. Membiasakan ketaatan beribadah
Untuk membina ketaatan beribadah pada anak usia dini, tidak harus
detail menjelasakan dan menyuruh anak untuk shalat 5 waktu dan sunahsunah rasul. Orang tua cukup memberikan kebiasaan dan praktik secara
langsung dengan cara itu anak akan meniru metode orang tua nya dan
melakukan nya dari tahap ke tahap.
Jika anak sulit mengahafal tata cara beribadah hingga usia 6tahun,
maka tidak ada salahnya jika orang tua mengajarkan nya dari takbir salam.
c. Pembacaan kisah Qurani dan Nabawi
Bahwa pembacaan kisah atau dongeng dapat ,mengubah imajinasi
sosial emosional- anak. Jika kisah dongeng tersebut bertema topik keagamaan

maka imajinasi anak akan cepat menangkap pesasn agama, sehinga rasa
agama cepat tumbuh dan berkembang.
Oleh karena itu, rutinlah untuk membacakan kisah atau cerita yang
berhubungan dengan al-Quran , seperti kisah 25nabi, kisah perjalanan rasul,
nama-nama malaikat.
Dari dibaca nya kisah-kisah qurani menumbuhkan perasaan beragama
anak,menstimulasi berpikir abstrak pada anak, dan seolah-olah anak berada
dalam situasi atau konteks tersebut.
d. Mendidik keshalehan sosial
Perkembangan keagamaan yang baik akan berpengaruh pada prilaku
sosial yang baik pula, oleh karena itu, pola pendidikan agama pada anak tidak
boleh dipisahkan dari nilai-nilai moral yang berlaku di masyrarakat.
Pendidikan agama dapat di prktikan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti,
berbakti kepada orang tua, suka menolong, rela berbagi mainan, dan
menghormati yang lebih tua.
Tingkat pencapaian perkembangan moral dan agama pada anak usia
dini juga dipengaruhi usia anak. Berikut adalah tingkat pencapaian
perkembangan moral dan agama pada anak usia dini yang telah ditetapkan
oleh BNSP.
Usia
Perkembangan moral dan agama
2-3 tahun
a. Meniru
gerakan
berdoa/sholat
sesuai
kepercayaanya.
b. Hafal doa-doa pendek sesuai dengan agamanya.
c. Memahami kapan mengucapkan salam, terimah
kasih, maaf dan sebagainya.
3-4 tahun
a. Memahami pengertian prilaku yang berlawanan
meskipun belum selalu dilakukan, seperti baik
buruk, benar salah, sopan tidak sopan.
b. Memahami arti kasih dan sayang kepada ciptaan
tuhan.
4-5 tahun
a. Mengenal tuhan melalui agama yang di anutnya.
b. Meniru gerakan ibadah.
c. Mengucapkan doa sebelum dan sesudah melakukan
sesuatu.
d. Mengenal prilaku baik sopan dan buruk.
e. Membiasakan diri berprilaku baik.
f. Mengucapkan salam dan membalas salam.
4. Contoh dan manfaat bermain bagi perkembangan moral agama
a. Contoh permainan
Sebenarnya sebagian besar permainan dapat mengembangkan moral
dan agama anak, karena permainan kita dapat menanamkan moral melalui
penanaman sikap seperti jujur dalam permainan, sportifitas, toleransi, tidak
menang sendiri, dan mampu mengikuti aturan tanpa melanggarnya.
Contoh pada sebuah permainan tentunya memiliki unsur permainan
berupa aturan. Penanaman disiplin atau taat pada aturan merupakan bentuk

penanaman moral pada anak. Selanjutnya bentuk lain penanaman moral pada
anak adalah jujur dalam bermain, dalam sebuah permainan juga harus ada
unsur kejujuran dan mau menerima kekalahan dan tidak berbuat curang saat
dia kalah.
Sedangkan permainan yang mampu mengembangkan agama anak
salah satu contohnya merupakan role playing. Melalui role playing kita dapat
mengenalkan nilai-nilai keagamaan pada anak. Contoh permainan lain yang
mengandung unsur moral dan religius adalah permainan Jawa nini thowong

b. Manfaat bermain bagi moral agama anak


Dari penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan, diperoleh temuan
bahwa bermain mempunyai manfaat yang besdar bagi perkembangan anak.
Bermain merupakan pengalaman belajar yang sangat berguna untuk anak,
misalnya, memperoleh pengalaman dalm membina hubungan dengan sesama
teman, menambah perbendaharaan kata, menyalurkan perasaan-perasaan
tertekan, mempelajari nilai benar dan salah melalui lingkungan bermain, dan
mempelajari nilai-nilai ketuhanan di lingkungan.

BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung
berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak didik. Keluarga adalah wadah
yang pertama dan utama dalam pelaksanaan pendidikan Agama Islam.
2. Sekolah adalah lanjutan dari pendidikan keluarga yang mendidik lebih fokus, teratur
dan terarah.
3. Pendidikan masyarakat merupakan pendidikan anak yang ketiga setelah sekolah.
Peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah bagaimana masyarakat bisa
memberikan dan menciptakan suasana yang kondusif bagi anak, remaja dan pemuda
untuk tumbuh secara baik.

Anda mungkin juga menyukai