Anda di halaman 1dari 32

MORAL REASONING

Disusun oleh :

1. Sendi Mahareni
2. Ninda Laras Winastiti
3. Eva Aprilia Dewi
4. Nur Indah Ayu S
5. Faradila Andriyani
6. Aprilia Noor Aryani
7. Miftahatul Khoeriyah
8. Elma Rahmadina F. H
9. Putri Hapsari
10. Ade Krisna Damayanti
11. Fatma Pratiwi
12. Diana Lukitasari
13. Wahyu Candra A
14. Noor Maulida F
15. Atffiana Nur Afifah
16. Widi Astuti B. R
17. Henny Armawati
18. Rizka Fitrianingtyas
19. Annisa Rizqi M
PENALARAN BERBASIS NILAI
ETIS
Manusia dibekali dengan hasrat ingin
tahu yang akan selalu memunculkan
berbagai macam pertanyaan. Kemudian
selalu berusaha berpikir mencari jawaban
untuk memperoleh pengetahuan baru atau
memecahkan masalah sebagai jawaban
atas pertanyaannya. Kegiatan berpikir
tentang sesuatu secara sunguh-sungguh
dan logis inilah yang disebut Penalaran.
Penalaran

Kegiatan
berpikir

Rasional Ciri-ciri Logis

Analitik
Secara detail penalaran mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
 Logis, suatu penalaran harus memenuhi unsur logis,
artinya pemikiran yang ditimbang secara objektif dan
didasarkan pada data yang sahih.
 Analitis, berarti bahwa kegiatan penalaran tidak terlepas
dari daya imajinatif seseorang dalam merangkai,
menyusun atau menghubungkan petunjuk-petunjuk akal
pikirannya ke dalam suatu pola tertentu.
 Rasional, artinya adalah apa yang sedang di nalar
merupakan suatu fakta atau kenyataan yang memang
dapat dipikirkan secara mendalam.
Tahap Tahap Penalaran

Menurut John Dewey, proses penalaran manusia


dilakukan melalui beberapa tahap berikut:

Ide Pembuktian
Permasalahan Hipotesis pemecahan Ide dan
rasional menyimpulkan
Penjelasan....
 Timbul rasa sulit, baik dalam bentuk adaptasi terhadap alat, sulit
mengenal sifat, ataupun dalam menerangkan hal-hal yang
muncul secara tiba-tiba. Kemudian rasa sulit tersebut diberi
definisi dalam bentuk permasalahan.
 Timbul suatu kemungkinan pemecahan yang berupa reka-reka,
hipotesis, inferensi atau teori.
 Ide-ide pemecahan diuraikan secara rasional melalui
pembentukan implikasi dengan cara mengumpulkan bukti-bukti
(data).
 Menguatkan pembuktian tentang ide-ide tersebut dan
menyimpulkan melalui keterangan-keterangan ataupun
percobaan-percobaan.
Dalam profesi bidan, banyak berinteraksi sosial
dengan masyarakat, sesama teman sejawat,
ataupun antar profesi kesehatan. Interaksi ini
adalah salah satu faktor potensial penyebab
adanya konflik. Oleh karena itu, etika perilaku
seorang bidan profesional sangat penting dalam
hubungannya terhadap kredibilitas profesi
bidan. Kasus pelanggaran etika dapat di cegah
apabila bidan menerapkan penerapan nilai etika
dan moral dalam pelaksanaan profesionalnya.
Etika menjadi dasar seseorang untuk
menimbang masalah dan membuat keputusan
secara etis. Penalaran etis dapat memperkecil
anggapan bahwa seseorang memiliki
kemampuan untuk menilai suatu hal sesuai atau
tidak sesuai dengan etika. Sehingga dengan
penalaran etis tinggi akan membentuk tindakan
etis. Faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan etis dalam seperti agama, sosial,
pengetahuan, kode etik dan hak hak klien.
Prinsip etika merupakan penuntun membuat keputusan

etis praktik profesional. Beberapa pinsip etika

diklasifikasikan menjadi teori teleologi dan deontologi.


 Teleologi adalah pencapaian hasil akhir dengan
kebaikan maksimal dan ketidakbaikan sekecil
mungkin bagi manusia. Contoh pada seorang
pasien apneu, dokter dan team memberikan
pertolongan maksimal berupa RJP dan tindakan lain
yang mendukung untuk menstabilkan kondisi
pasien.
 Deontologi, fokus pada tindakan bertanggungjawab
pada moral yang dapat menjadi penentu apakah
suatu tindakan tersebut secara moral benar atau
salah. Contoh perawat yang menolak membantu
pelaksanaan abortus karena keyakinan dilarang
agama dan melanggar kode etik.
Berikut ini salah satu contoh model pengambilan keputusan etis menurut
Kerangka Jameton ditulis oleh Fry (1991) :

 Pertama, Identifikasi Masalah. Bidan mengkaji keterlibatan nya


pada masalah etika. Tahap ini memberi pernyataan apakah tindakan
ini benar.
 Kedua, Pengumpulan Data tambahan informasi yg diperlukan
meliputi orang terdekat, harapan klien dan orang terlibat dalam
pengambilan keputusan. Kemudian buat laporan.
 Ketiga Mengidentifikasi semua pilihan kepada pembuat keputusan.
Semua tindakan yg mungkin terjadi, untuk menjawab tindakan apa
yg benar dilakukan.
 Keempat, Bidan Memikirkan masalah etis secara
berkesinambunan. Mempertimbankan nilai dasar manusia yg penting
bagi individu dan prinsip etis.
 Kelima, pembuat keputusan Membuat keputusan memiliki
tindakan yg tepat untuk kemudian melakukan tindakan dan
mengkaji hasil keputusan.
Tahapan Moral Menurut Kohlberg
Dan Empati Serta Keberpihakan
Dalam Pengambilan Keputusan
Kata moral berasal dari bahasa Latin
mos (jamak mores) yang berarti
kebiasaan, adat. Moral merupakan
suatu standar salah atau benar bagi
seseorang (Rogers & Baron, dalam
Martini,1995). Teori penalaran moral
dikaitkan dengan jawaban atas
pertanyaan mengapa dan bagaimana
seseorang sampai pada keputusan baik
dan buruk
Menurut Kohlberg (1995 : 22) moral reasoning ialah
penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat
rasional. Keputusan moral bukanlah soal perasaan atau
“nilai”, melainkan selalu mengandung suatu tafsiran kognitif
terhadap keadaan dilema moral dan bersifat konstruktif
kognitif yang aktif terhadap titik pandangan masing- masing
partisipan dan kelompok yang terlibat, sambil
mempertimbangkan segala macam tuntutan, hak,
kewajiban, dan keterlibatan setiap pribadi atau kelompok
terhadap yang baik dan yang adil.
 Menurut Sarwono (2007:95) menyatakan bahwa moral
reasoning yaitu orang yang mendasarkan tindakannya
atas penilaian baik atau buruknya sesuatu, karena
sifatnya yang merupakan penalaran.

 Sehingga dapat disimpulkan bahwa moral merupakan


perbuatan baik dan buruk yang berlaku secara umum.
Sedangkan moral reasoning yaitu mengenai mengapa
atau bagaimana seseorang dapat mengatakan suatu
perbuatan itu baik dan buruk, atau salah dan benar.
Proses perkembangan penalaran moral
adalah proses alih peran menuju ke arah
struktir lebih komprehensif. Tahap tajap
perkembangan penalaran moral menurut
Kohlberg (1995) dibagi menjadi 3 tingkat,
yang terdiri dari prakonvensional,
konvensional, dan pascakonvensional.
Tahap Prakonvensional

Anak tanggap pada aturan benar dan salah. Tingkat ini


biasanya terdapat pada usia 4-10 tahun. Terdapat dua
tahap pada tingkatan ini yaitu
1. Orientasi hukuman dan kepatuhan
Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang
tidak dipersoalkan terhadap kekuasaan
yang lebih tinggi. Akibat tindakan fisik sehingga
terlepas dari arti atau nilai manusiawinya
dalam menentukan sifat baik dan buruk dari
tindakan itu sendiri.
2. Orientasi relativis-instrumental
Perbuatan yang benar adalah cara memuaskan
kebutuhannya sendiri dan orang lain. hubungan
antar manusia seperti hubungan di pasar, ada
pembagian sama rata dikedua belah pihak.
Seperti pepatah “jika engkau menggaruk
punggungku, nanti aku juga akan menggaruk
punggungmu”. Dapat diartikan apabila engkau
melakukan tindakan yang baik untuk orang lain,
maka engkau akan mendapat balasan yang sama.
Tahap Konvensional

Seseorang menyadari dirinya sebagai seorang individu di


tengah keluarga, dan masyarakat yang dinilai memiliki
kebenaran dan jika menyimpang maka akan terisolasi.
Sehingga cenderung individu menyesuaikan diri pada
aturan di masyarakat. Perasaan yang dominan adalah
malu. Tahap ini terjadi pada anak usia 10-13 tahun.
Tingkatan ini mempunyai dua tahap yaitu :
1. Tahap orientasi kesepakatan antara pribadi
Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi harapan
masyarakat dan dikatakan buruk bila melanggar aturan
sosial. Perilaku dinilai menurut niatnya. Seseorang
dapat diterima di masyarakat apabila berperilaku baik,
sehingga individu mulai mengisi peran sosial yang
diharapkan.

2. Orientasi hukum dan ketertiban


individu melihat sistem sosial secara keseluruhan. Aturan
dalam masyarakat merupakan dasar baik atau buruk,
sehingga seseorang berusaha mematuhi aturan untuk
mempertahankan tatanan & fungsi sosial. Perilaku yang
baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri
dan menjaga tata tertib sosial.
Tahap Pasca-Konvensional

Disebut juga moralitas berprinsip. Terdapat usaha jelas


merumuskan nilai dan prinsip moral yang punya
keabsahan dan diterapkan terlepas dari otoritas
kelompok atau individu. Baik atau buruk didefinisikan
pada keadilan yang lebih besar, bukan pada aturan
tertulis saja tetapi melalui pertimbangan untuk
menyeluruh. Tahap ini sudah dimulai dari remaja awal
hingga seterusnya. Ada dua tahap ditingkatan ini, yaitu:
1. Orientasi kontrak legalistis
Perbuatan baik cenderung dirumuskan dalam hak
individu yang diuji secara kritis dan disepakati. Individu
memiliki kesadaran menyesuaikan dan terdapat
penekanan atas aturan untuk mencapai kesepakatan.
Sehingga kemungkinan mengubah hukum berdasarkan
pertimbangan rasional untuk manfaat sosial.
2. Orientasi prinsip etika universal
Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai
dengan prinsip etis yang dipilih sendiri yang
mengacu pada konsistensi logis.

Pada penalaran moral dikemukakan oleh Kohlberg


dibedakan satu dengan lainnya bukan berdasarkan
keputusan yang dibuat, tapi berdasarkan alasan yang
dipakai untuk mengambil keputusan.
Komponen Penalaran Moral

Empat komponen menurut Rest antara lain


1. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi
permasalahan moral
2. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan,
merumuskan rencana tindakan yang merujuk pada
moral
3. Mengevaluasi berbagai tindakan yang berkaitan dengan
bagaimana cara orang memberikan penilaian moral
4. Melaksanakan rencana tindakan
Faktor yang mempengaruhi

Menurut Kohlberg (1992), ada 3 faktor umum yang


mempengaruhi penalaran moral:
 Kesempatan pengambilan peran
Situasi seorang sulit menerima ide
 Situasi moral
Situasi menstimulasi orang menunjukkan nilai moral
 Konflik moral
Pertentangan penalaran moral seseorang dengan orang
lain. Subyek yang bertentangan dengan orang lain
mempunyai penalaran moral lebih tinggi bahkan lebih
rendah
Empati dan pengambilan keputusan

 Empati adalah kemampuan menghubungkan dan


merasakan pikiran, emosi ataupun perasaan orang lain.
Orang-orang yang empatik sering dilihat oleh orang lain
sebagai orang yang memahami dan mampu memberikan
dukungan kepada orang lain secara tepat dengan
perasaan peka dan peduli.
 Fakta menunjukkan bahwa empati memainkan peranan
penting dalam memberikan dukungan, perlindungan dan
dorongan untuk kesuksesan kinerja khususnya dalam
budaya paternalistik. Oleh karena itu, para pemimpin,
baik pada tataran negara, korporasi ataupun lembaga
lainnya perlu mengembangkan kemampuan dalam
mendemonstrasikan empati.
 Beberapa orang secara alamiah mampu memancarkan
empati. Namun bagi sebagian orang agak sulit untuk
menunjukkan empati secara natural. Beruntungnya,
empati ternyata bukan sifat yang stagnan, namun empati
dapat dilatih dan dikembangkan dengan beberapa cara
yaitu:
1. Membiasakan diri untuk mengetahui masalah-masalah
empati
2. Melatih untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan.
Pendengar yang terampil adalah orang yang mampu
membiarkan orang lain untuk mengetahui dan merasakan
bahwa mereka didengar sehingga orang lain merasa nyaman
untuk mengemukakan perasaan dan pikirannya.
Mendengarkan secara aktif adalah upaya mendengarkan
makna yang terkandung didalam apa yg disampaikan.
3. Membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan
menggunakan perspektif orang
lain.
Ada pepatah yang mengatakan “kamu tidak akan pernah
mengerti orang lain kecuali kamu mengerti jalan pikiran
mereka”. Ini dapat diterapkan untuk memecahkan
masalah, mengelola konflik atau membangun inisiatif.

4. Melatih diri untuk mengolah rasa dengan melakukan


perenungan diri untuk merefleksikan pengalaman serta
perasaan diri dan orang lain dapat mempercepat dan
memperkuat kemampuan empati.
Empati mampu menarik minat dan memberikan
penghargaan untuk orang lain serta membuka jalan untuk
hubungan yang lebih produktif. Dengan empati, seorang
pemimpin mampu menerapkan pendekatan kepemimpinan
yang situasional.
 Empati merupakan wujud cinta kasih antar sesama
manusia. Pemimpin yang mampu berempati akan
digerakkan oleh rasa peduli dan kasih sayang kepada
para pengikutnya yang akan memunculkan aspek
kepemimpinan yang melayani. Empati akan membuat
seorang pemimpin lebih arif dan bijaksana dalam
bersikap dan dalam setiap pengambilan keputusan
karena ia tidak hanya akan memandang dari sudut
pandangnya sendiri tapi juga mempertimbangkan
keadaan orang lain. Pemimpin yang demikian tanpa
disadari akan mendapatkan dukungan dari para
pengikutnya.
Daftar Pustaka

Wahyuning W, dkk. 2003. Mengkomunikasikan moral kepada


anak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
www.repository.usu.ac.id (diakses 23 september 2017, jam
12:00)
http://web.leadership-inc.co.id/kepemimpinan-empatik/
(diakses 22 september 2017 jam 20.00)
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai