Anda di halaman 1dari 24

TUGAS PATOFISIOLOGI KEBIDANAN

GANGGUAN SISTEM AUTOIMUN


HEPATITIS AUTOIMUN

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Patofisiologi Kebidanan
Dosen Pengampu : Dr. Melyana Nurul Widyawati, SSiT, M.Kes.

Disusun Oleh :
Nama : 1. Fatma Pratiwi (P1337424817031)
2. Diana Lukitasari (P1337424817032)
3. Wahyu Candra A. (P1337424817033)
Kelas : Profesi Bidan Semester I
Prodi : Profesi Bidan

JURUSAN KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN 2017 / 2018
HEPATITIS AUTOIMUN

A. Pengertian Hepatitis Autoimun


Menurut NIH Publication No. 14-4761 Januari 2014, hepatitis autoimun
adalah penyakit kronis atau jangka panjang dimana sistem kekebalan tubuh
menyerang komponen normal, atau sel-sel hati dan menyebabkan peradangan dan
kerusakan hati. Sistem kekebalan tubuh biasanya melindungi orang dari infeksi
dengan mengidentifikasi dan menghancurkan bakteri, virus, dan zat asing yang
berpotensi berbahaya lainnya.
Hepatitis autoimun adalah kondisi serius yang bisa memburuk seiring
waktu jika tidak diobati. Hepatitis autoimun dapat menyebabkan sirosis dan gagal
hati. Sirosis terjadi ketika jaringan parut menggantikan jaringan hati yang sehat dan
menghambat aliran darah normal melalui hati. Kegagalan hati terjadi saat hati
berhenti bekerja dengan baik. (NIH Publication No. 14-4761 Januari 2014)
Hepatitis autoimun adalah peradangan di hati/liver yang terjadi saat system
imun anda menyerang hati anda. Walaupun penyebab hepatitis autoimun belum
sepenuhnya dimengerti, beberapa penyakit, toksin/racun, dan obat-obatan dapat
mencetuskan munculnya hepatitis autoimun di orang yang rentan, terutama wanita.
(DokterDigital, 2017)
Hepatitis autoimun (Auto Immune Hepatitis = AIH) adalah salah satu
bentuk penyakit hati autoimun, yang mana terjadi inflamasi yang berat pada hati,
dengan etiologi yang belum diketahui, dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. (Yusri, dkk 2010)
Hepatitis autoimun tipe I merupakan bentuk yang paling banyak
ditemukan (meliputi 80% kasus) dengan rasio pasien wanita dibanding laki-laki 4:1
dan dapat menyerang pada segala jenis usia. Hepatitis autoimun tipe II pada
umumnya menyerang anak-anak (2th-14th). Tetapi di Eropa, khususnya Jerman
dan Perancis, 20% pasiennya adalah dewasa. Perbedaan prevalensi dalam setiap
regional mungkin berhubungan dengan perbedaan etnis dalam predisposisi genetik
untuk penyakit ini. (Feldman, dkk, 2010)

B. Macam – Macam Hepatitis Autoimmune


Dalam jurnal NIH Publication No. 14-4761 Januari 2014 hepatitis autoimun
dikelompokkan menjadi beberapa jenis. Hepatitis autoimun tipe 1 adalah bentuk
yang paling umum di Amerika Utara. Tipe 1 dapat terjadi pada usia berapapun;
Namun, ini paling sering dimulai pada masa remaja atau dewasa muda. Sekitar 70
persen orang dengan hepatitis autoimun tipe 1 adalah perempuan orang dengan
hepatitis autoimun tipe 1 umumnya memiliki kelainan autoimun lainnya, seperti :
1. Penyakit celiac, penyakit autoimun di mana orang tidak dapat mentolerir
gluten karena merusak lapisan usus kecil mereka dan mencegah penyerapan
nutrisi.
2. Penyakit Crohn, yang menyebabkan radang dan iritasi pada bagian saluran
pencernaan
3. Penyakit Graves, penyebab paling umum hipertiroidisme di Amerika Serikat
4. Penyakit Hashimoto, juga disebut tiroiditis limfositik kronis atau tiroiditis
autoimun, suatu bentuk peradangan kronis pada kelenjar tiroid.
5. glomerulonefritis proliferatif, atau radang glomeruli, yang merupakan
kelompok kecil pembuluh darah perulangan di ginjal.
6. primary sclerosing cholangitis, yang menyebabkan iritasi, jaringan parut, dan
penyempitan saluran empedu di dalam dan di luar hati.
7. rheumatoid arthritis, yang menyebabkan rasa sakit, bengkak, kaku, dan
kehilangan fungsi pada persendian
8. Sindrom Sjögren, yang menyebabkan kekeringan di mulut dan mata
9. lupus eritematosus sistemik, yang menyebabkan radang ginjal yang disebut
lupus nephritis
10. Diabetes tipe 1, suatu kondisi yang ditandai dengan glukosa darah tinggi, juga
disebut gula darah, kadar yang disebabkan oleh total kekurangan insulin
11. Kolitis ulserativa, penyakit kronis yang menyebabkan radang dan luka,
disebut bisul, di lapisan dalam usus besar
Hepatitis autoimun tipe 2 kurang umum terjadi dan terjadi lebih sering
pada anak-anak daripada orang dewasa.1 Orang dengan tipe 2 juga dapat
mengalami gangguan autoimun di atas.
Ada 3 klasifikasi yang diperoleh berdasarkan marker serologis, tetapi hanya
2 tipe yang memiliki feno-tipe klinis yang jelas, seperti yang dijelaskan pada tabel
1. Tidak ada penye-bab yang khusus, gejala yang khas atau strategi
penatalaksanaan tertentu. Klasifikasi tersebut yakni (Yusri, 2010) :
1. AIH tipe 1 merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, terdapat pada 80%
kasus, dan ditandai dengan ditemukannya Anti Nukclear Antibody (ANA)
dan/atau Smooth Muscle Antibody (SMA). 78% penderitanya adalah
perempuan, dengan rasio antara perempuan : laki-laki adalah 3,5 : 1. AIH
mempunyai gambaran bimodal age, karena sering terjadi pada usia 10 – 30
tahun dan usia 40 – 50 tahun. Sekitar 48% pasien berusia < 40 tahun dan
penyakit ini dapat mengenai bayi. AIH tipe 1 dapat dikaitkan dengan penyakit
imunitas lainnya, seperti thyroiditis, Grave’s disease, dan ulcerative colitis.
Jenis ini responnya sangat baik dengan pemberian kortiko-steroid. Sekitar 25%
penderitanya telah disertai dengan sirosis saat diagnosis.
2. AIH tipe 2 ditandai dengan dite-mukannya antibodi terhadap microsome
hati/ginjal (anti-LKM1). Jenis ini meru-pakan predominance pada perempuan.
Jenis ini terutama ditemukan pada anak, tetapi 20% penderitanya di Eropa
adalah orang dewasa dan hanya 4% di Amerika Serikat. Usia rata-rata saat
diagnosis adalah 10 tahun, tetapi jenis ini juga ditemukan pada orang dewasa,
terutama di Eropa. AIH tipe 2 ini dapat dikaitkan dengan penyakit imunitas
lainnya, seperti thyroiditis, vitiligo, diabetes mellitus tipe 1, dan Autoimmune
Poly Endocrinopathy Candidiasis Ectodermal Dystrophy (APECED). Jenis ini
cukup baik dengan pemberian kortikosteroid. AIH tipe 2 ini berisiko tinggi
untuk menjadi sirosis dan fulminan.
3. AIH tipe 3 merupakan jenis yang paling sedikit, yang ditandai dengan
ditemukannya antibodi terhadap Soluble Liver Antigen / Liver - Pancreas (anti-
SLA/LP). Jenis ini paling banyak dite-mukan pada perempuan (91%) dengan
usia rata-rata tahun (antara 17-67 tahun). Autoantibodi lainnya, misalnya ANA,
SMA dan anti-LKM1 bisa terdapat bersamaan dengan anti-SLA/LP dan hanya
26% penderita yang memiliki anti-SLA/LP sebagai hasil serologis dasarnya.
Penderita dengan anti-SLA/LP tidak dapat dibedakan dari AIH tipe 1, baik
secara klinis atau laboratorium, fenotipe HLA, ataupun responterhadapkortiko-
steroid. Definisi AIH tipe 3 telah banyak ditinggalkan saat ini.
Tabel 1 Tipe Hepatitis Autoimun
Tipe 1  Sering pada anak atau orang tua
 Anti-smooth muscle antibodies
(ASMA) positif (80%)
 Antinuclear antibody (ANA) positif
(10%)
 Hypergamm aglobulinemia(IgG)
Tipe 2  Sering terjadi pada wanita muda
 Progresifi tas tinggi menjadi sirosis
 Anti-liver/kidney microsomal type 1
(LKM1) antibody positif
Tipe 3  Sering pada dewasa
 Secara klinis sulit dibedakan dengan
tipe 1
 Adanya antibodi terhadap liver soluble
antigen atau antigen pankreas.

Tabel 2 Sistem Skoring Hepatitis Autoimun menurut Guideline AASLD 2010


Revised Original Scoring System of The International Autoimmune Hepatitis Group
Sex Female +2 HLA DR3 or DR 4 +1
AP: AST (or Immune Thyroiditis,
>3 -2 +2
ALT) disease colitis, others
ratio < 1.5 +2
Interface
Υ-globuline > 2.0 +3 +3
hepatitis
or
1.5-2.0 +2 Plasmacytic +1
IgG level
1.0-1.5 +1 Rosettes +1
above Histological
None of
normal < 1.0 0 features -5
above
Biliary
ANA, SMA, > 1:80 +3 -3
changes
or anti
1:80 +2 Other features -3
LKM 1
1:40 +1 Treatment Complete +2
titers
< 1:40 0 response Relapse +3
Pretreatment aggregate score:
AMA Positive -4 Defi nite diagnosis >15
Probable diagnosis 10-15 (12)
Posttreatment aggregate score:
Viral
Positive -3 Defi nite diagnosis >17
markers
Probable diagnosis 12-17 (14)
Negative +3
Yes -4
Drugs
No +1
< 25 g/day +2
Alcohol
< 60 g/day -2

C. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Penyebab pasti dari AIH belum diketahui, tetapi diperkirakan adanya
ketidakseimbangan aktifitas limfosit T CD4 dan CD8. Faktor genetik merupakan
faktor predisposisi yang penting dalam patogenesis AIH. Ada 2 serotipe penting
yang dikaitkan dengan AIH tipe 1 yaitu HLA-DR3 dan HLADR4. Sedangkan AIH
tipe 2 dikaitkan dengan HLA-DR7 dan HLA-DQB. Virus, bakteri, bahan kimia,
obat dan faktor genetik merupakan faktor pencetus terjadinya proses autoimun pada
AIH.
Obat-obatan yang dapat mencetuskan terjadinya AIH adalah
Nitrofurantoin, Methylphenidate, Atomoxetine, Propylthiouracil, Risperidone,
Rifam-pisine, Pyrazinamide, Beta Interferon, Doxycycline, Minocycline,
MethylDopa, Ranitidine, Oxyphenisatin, Diclofenac, Indomethacin, Statin, dan
Ezetimibe. Imatinib yang merupakan immunomo-dulatory antineoplastic agent
juga dilaporkan dapat menyebabkan AIH.(Krawitt El, 2006 ; Mackay, 2008)
Hubungan antara pemakaian obat-obatan herbal dengan AIH pernah
dilaporkan pada tahun 2008 oleh Barski et al, di mana penderitanya mengkon-
sumsi preparat herbal dalam bentuk echinacea, combucha, campuran herbal dari
Cina, dan kava. Kava adalah pengobatan herbal merupakan bentuk pengobatan
tambahan yang sangat berkembang di pasaran akhirakhir ini. (Barski 2008 ;
Vergani, 2008) Jenis herbal lain yang dapat menjadi pencetus terjadinya AIH
adalah Black cohosh, Ma Huang (Ephendra), Dai-saiko-to, Sho-saiko-to dan
melatonin. (Saed, 2010)
Transplantasi hati juga dapat berkembang menjadi AIH sebagai komplikasi
jangka panjangnya. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 oleh Hernandez et
al menemukan bahwa risiko berkembangnya AIH muncul lebih besar pada anak
setelah trnsplantasi hati tanpa riwayat AIH sebelumnya dibandingkan populasi
anak secara umum. AIH timbul setelah 1,5-9 tahun (rata-rata 3,5 tahun)
transplantasi hati. (Yusri, 2010)

D. Patofisiologi
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya hepatitis autoimun, yaitu
(Sulaiman, dkk, 2007) :
1. Faktor predisposisi genetik
Faktor predisposisi genetik yang dominan dalam mempengaruhi terjadinya
hepatitis autoimun dalah Gen HLA. Hepatitis autoimun tipe 1 berhubungan
dengan serotype HLA-DR3 dan HLA-DR4. Sedangkan hepatitis autoimun
tipe 2 berhubungan dengan HLA-DQB1.
2. Faktor pencetus
Faktor pencetus yang diduga dapat menyebabkan hepatitis autoimun adalah
infeksi virus, obat-obatan dan toksin. Beberapa infeksi virus yang menjadi
pencetus yaitu virus campak, hepatitis, cytomegalovirus dan virus Ebstein-
Barr. Obat seperti metildopa, nitrofurantion, diklofenak, oksifenasetin,
interferon, minosiklin dan atorvastatin dapat memicu kerusakan hepar yang
mirip dengan hepatitis autoimun.

E. Tanda dan Gejala


Dalam NIH Publication No. 14-4761 Januari 2014, gejala paling umum dari
hepatitis autoimun adalah
1. Kelelahan
2. nyeri sendi
3. mual
4. kehilangan selera makan
5. nyeri atau ketidaknyamanan di hati
6. ruam kulit
7. urin kuning tua
8. Tinja berwarna terang
9. sakit kuning, atau menguningnya kulit dan mata putih
Gejala hepatitis autoimun berkisar dari ringan sampai parah. Beberapa
orang mungkin merasa seolah-olah mereka memiliki kasus flu ringan. Orang lain
mungkin tidak memiliki gejala ketika penyedia layanan kesehatan mendiagnosis
penyakit ini; Namun, mereka bisa mengembangkan gejala nantinya.
Pendapat lain (Feldman, dkk, 2010) yakni bahwa gambaran klinis
hepatitis autoimun sering mencerminkan aktivitas inflamasi dari penyakit hati
atau komplikasi sirosis. Gejala dan tanda yang sering terjadi seperti pada
penderita hepatitis autoimun antara lain:

F. Komplikasi
Menurut mansjoer dkk (2000) dalam nurkhozing (2008) komplikasi
hepatitis terdiri dari edema serebral, perdarahan saluran cerna, gagal ginjal,
gangguan elektrolit, gangguan pernafasan, hipoglikemia, sepsis, gelisah,
koagulasi intra vaskuler diseminata, hipotensi dan kematian. Tanda-tanda edema
serebral adalah kenaikan tekanan intrakranial dengan gejala dini transpirasi,
hipervertilasi, heperefleksi, opistotonus, kejang-kejang, kelainan kedua pupil
yang terakhir dengan reflek negatif terhadap cahaya. Hilangnya reflek
okulovestibular menunjukkan prognosis total. Kemudian pendapat Iin Inayah
(2000) dalam nurkhozing (2008) komplikasi dari hepatitis adalah kegagalan hati
(hepatoseluler), hipertensi portal, asites, ensefalopati, peritonitis bakterial
spontan, sindrom hepatorenal dan transformasi kearah kanker hati primer
(hepatoma).
Menurut Dokter Digital (2017) Hepatitis autoimun dapat dihubungkan
dengan beberapa penyakit autoimun lainnya, seperti:
1. Anemia pernisiosa.
Anemia pernisiosa, sering dihubungkan dengan beberapa penyakit autoimun
lainnya, terjadi apabila terjadi kekurangan vitamin B12 sehingga terjadi
gangguan pembentukan sel darah merah oleh tubuh.
2. Anemia hemolitik.
Pada anemia tipe ini, sistem imun menyerang dan menghancurkan sel darah
merah dibanding kecepatan yang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.
3. Kolitis ulseratif.
Penyakit peradangan usus besar ini dapat menyebabkan diare berair atau
berdarah yang parah dan nyeri di daerah perut.
4. Tiroiditis autoimun (tiroiditis Hashimoto). Pada kondisi ini, system imun
menyerang kelenjar tiroid.
5. Artritis rheumatoid (RA).
RA terjadi apabila system imun menyerang pinggiran sendi, menyebabkan
kekakuan, nyeri, pembengkakan, dan bahkan terkadang deformitas dan
disabilitas sendi.
6. Penyakit celiac.
Kondisi ini disebabkan reaksi abnormal terhadap gluten, sebuah protein yang
ditemukan di gandum. Mengonsumsi gluten dapat menyebabkan respon imun
yang merusak usus halus.
Komplikasi dari kerusakan hati Hepatitis autoimun yang tidak terobati
dapat menyebabkan munculnya jaringan parut permanen pada hati/sirosis.
Komplikasi dari sirosis adalah (Dokter Digital, 2017):
1. Meningkatnya tekanan darah di vena porta.
Darah dari usus halus, limpa, dan pancreas masuk ke hati melewati pembuluh
darah besar yang disebut vena porta. Apabila jaringan parut menghambat
sirkulasi masuk ke hati, darah terakumulasi sehingga meningkatnya teakanan
vena porta (hipertensi portal).
2. Pembesaran vena di esophagus (varises esophageal).
Saat sirkulasi di vena porta tertahan, darah mengalir ke pembuluh lain, yaitu
yang di lambung dan esophagus. Pembuluh darah ini memiliki dinding yang
tipis, dan karena terdapat lebih banyak darah dibanding yang seharusnya hal
tersebut menjadikannya lebih mudah berdarah. Perdarahan massif di esophagus
akibat pecahnya pembuluh darah ini dapat megancam jiwa dibutuhkan
tatalaksana segera.
3. Cairan di abdomen (asites).
Penyakit hati dapat menyebabkan banyak cairan terakumulasi di abdomen.
Asites dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan mengganggu pernapasan dan
biasanya menjadi sirosis stadium lanjut.
4. Gagal hati.
Hal ini terjadi apabila kerusakan di sel hati menyebabkan hati tidak dapat
berfungsi dengan benar. Pada saat ini, transplantasi hati adalah satu-satunya
pilihan.
5. Kanker hati.
Orang dengan sirosis memiliki risiko yang meningkat untuk menderita kanker
hati.

G. Data Penunjang
Penyedia layanan kesehatan akan membuat diagnosis hepatitis autoimun
berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, tes darah, dan biopsi hati. (NIH Publication
No. 14-4761 Januari 2014)
1. Penyedia layanan kesehatan melakukan pemeriksaan fisik dan meninjau
riwayat kesehatan seseorang, termasuk penggunaan alkohol dan obat-obatan
yang dapat membahayakan hati. Seseorang biasanya membutuhkan tes darah
untuk diagnosis yang tepat karena orang dengan hepatitis autoimun dapat
memiliki gejala yang sama dengan penyakit hati lainnya atau gangguan
metabolisme.
2. Tes darah melibatkan pengambilan darah di kantor penyedia layanan
kesehatan atau fasilitas komersial dan mengirimkan sampel ke laboratorium
untuk dianalisis. Seseorang memerlukan tes darah untuk autoantibodi untuk
membantu membedakan hepatitis autoimun dari penyakit hati lainnya yang
memiliki gejala serupa, seperti hepatitis virus, sirosis bilier primer,
steatohepatitis, atau penyakit Wilson.
3. Biopsi hati adalah prosedur yang melibatkan pengambilan selembar jaringan
hati untuk diperiksa dengan mikroskop untuk tanda-tanda kerusakan atau
penyakit. Penyedia layanan kesehatan mungkin meminta pasien untuk
sementara berhenti minum obat tertentu sebelum biopsi hati. Dia mungkin juga
meminta pasien untuk berpuasa selama 8 jam sebelum prosedur.
Selama prosedur, pasien berbaring di atas meja, tangan kanan bersandar di
atas kepala. Penyedia layanan kesehatan akan menerapkan anestesi lokal ke daerah
di mana dia akan memasukkan jarum biopsi. Jika dibutuhkan, dia akan memberikan
obat penenang dan obat penghilang rasa sakit. Kemudian, dia akan menggunakan
jarum untuk mengambil sepotong kecil jaringan hati, dan mungkin menggunakan
ultrasound, pemindaian tomografi terkomputerisasi, atau teknik pencitraan lainnya
untuk memandu jarum. Setelah biopsi, pasien harus berbaring di sisi kanan hingga
2 jam dan dipantau 2 hingga 4 jam lagi sebelum dikirim ke rumah.
Menurut Doengoes (2000) dalam nurkhozing (2008) data penunjang yang
perlu dikaji adalah :
1. Tes fungsi hati : abnormal (4-10 x dari normal)
2. SGOT / SGPT : awalnya meningkat, dapat meningkat 1-2 minggu
sebelum ikterik kemudian tampak menurun.
3. Darah lengkap : trombositopenia mungkin ada (splenomegli)
4. Alkalifosfatase : agak meningkat kecuali ada kolestasis berat.
5. Feces warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
6. Albumin serum menurunj.
7. Gula darah hiperglikemia transient / hipoglikemia (gangguan fungsi hati).
8. HbSAg dapat positif (B) atau negative (A).
9. Biopsi hati menunjukkan diagnosis dan luasnya kerusakan parenkim.
10. Urinalisa peningkatan kadar bilirubin protein atau hematuria dapat terjadi.

H. Pengaruh Hepatitis Terhadap Kehamilan


Dalam penelitian yang dilakukan oleh Acholder Tahi Pardomuan Sirait, dkk
tahun 2013, menjelaskan bahwa pada plasenta dan cairan amnion ibu hamil dengan
HBsAg positif dapat ditemukan DNA Virus Hepatitis B. Hasil penelitian
menunjukkan hubungan DNA virus hepatitis B pada plasenta dan cairan amnion
dimana didapatkan plasenta yang positif ada 19 kasus (51,4%), dimana 18 kasus
(94,7%) positif dan 1(5,3%) negatif pada cairan ketuban. Sementara dari data
plasenta 18 kasus plasenta yang negatif (48,6%) didapatkan 12 kasus (66,7%)
negatif dan 6 kasus (33,3%) positif pada cairan ketuban dengan p=0.0001. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa pada plasenta dan cairan amnion ibu hamil dengan
HBsAg positif dapat ditemukan DNA Virus Hepatitis B. Keberadaan Virus
Hepatitis B kedalam kompartemen ini mempunyai hubungan dimana
keberadaannya disebabkan oleh kebocoran dari plasenta dan juga berasal dari
sumber lain.
Sedangkan pada saat persalinan kemungkinan ibu yang mengidap penyakit
hepatitis akan lebih beresiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR),
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu bersalin dengan kejadian Berat
Badan Lahir Rendah berstatus HBSAg Positif (+) yaitu sebanyak 73 responden
(80,2%). Didapatkan hasil bahwa x2 hitung (3.948) < x2 tabel (3.481) dengan nilai
p-value 0,036 > dari 0,05. Hal tersebut menunjukkan adanya Hubungan antara
status HBSAg pada ibu bersalin dengan kejadian Berat Badan Lahir Rendah di
RSUD Panembahan Senopati Bantul, yang artinya ibu bersalin yang berstatus
HBSAg positif memiliki potensi lebih tinggi untuk kelahiran bayi dengan BBLR.
(Arifah Istiqomah, dkk, 2014).

I. Penatalaksanaan
Orang dengan hepatitis autoimun yang tidak memiliki gejala atau bentuk
ringan dari penyakit mungkin atau mungkin tidak perlu minum obat. Penyedia
layanan kesehatan akan menentukan apakah seseorang memerlukan perawatan.
Pada beberapa orang dengan hepatitis autoimun ringan, penyakit ini mungkin akan
sembuh. Remisi adalah periode ketika seseorang bebas gejala dan tes darah dan
biopsi hati menunjukkan peningkatan fungsi hati.
Kemudian dengan kortikosteroid. Kortikosteroid adalah obat yang
menurunkan pembengkakan dan mengurangi aktivitas sistem kekebalan tubuh.
Penyedia layanan kesehatan memperlakukan kedua jenis hepatitis autoimun
dengan dosis harian kortikosteroid yang disebut prednison. Pengobatan bisa
dimulai dengan dosis tinggi yang secara bertahap diturunkan saat penyakit ini
dikendalikan. Tujuan pengobatannya adalah untuk menemukan dosis serendah
mungkin yang membantu mengendalikan penyakit. Pendapat lain mengatakan
bahwa tata laksana yang dapat dilakukan, yaitu :
1. Pemberian obat
a. Obat untuk mengontrol sistem kekebalan tubuh (imunosupresan) yang
digunakan pada penderita hepatitis autoimun meliputi prednisone dan
azathioprine. Sistem pemberian obat pada hepatitis autoimun yaitu
(Feldman, dkk , 2010) :
b. Obat non-imunosupresi seperti ursodeoxycholic acid (UDCA) (13-15
mg/kg per hari) dapat digunakan sebagai adjunctive therapy pada pasien
hepatitis autoimun tipe 1. Obat ini dapat memperbaiki enzyme liver dalam
waktu 6 bulan, tetapi tidak berhubungan dengan penurunan dosis steroid,
dan tidak memperbaiki kondisi klinis serta gambaran histologis. Jenis
imunosupresan lain yang dapat digunakan pada penderita hepatitis
autoimun yaitu, calcineurin inhibitors spt, antimetabolite spt dan
cyclophosphamide. (Sulaiman, dkk, 2007).
2. Transplantasi hati
Transplantasi hati merupakan terapi pilihan pada pasien hepatitis autoimun
yang refrakter atau tidak toleransi terhadap imunosupresan dan yang
mengalami penyakit hati tahap akhir. (Sulaiman, dkk, 2007).

J. Diet Untuk Hepatitis


Periset belum menemukan bahwa makan, diet, dan gizi berperan dalam
menyebabkan atau mencegah hepatitis autoimun. Poin yang perlu diingat (
Almatsier, 2014) :
1. Siram sistem tubuh dengan minum delapan gelas air sehari.
2. Pertimbangkan diet rendah lemak, rendah sodium dan tinggi serat. Hindari
makan terlalu berlemak tinggi seperti makanan gorengan, kentang goreng dan
sebagian besar makanan cepat saji. Makanan bermutu rendah yang diolah
seperti makanan kaleng atau dibekukan dan daging dan keju proses kadang-
kadang mengandung sedikit serat atau kurang gizi. Sering kali makanan
tersebut mengandung banyak garam dan sebaiknya dihindari. Tetapi, tidak ada
aturan yang mutlak berkaitan dengan hal ini. Makanan bermutu tinggi yang
diawetkan dengan baik dan makanan yang dibekukan juga dapat mempunyai
nilai gizi yang sangat tinggi jika dipakai dengan hati-hati.
3. Biasakan diri dengan kandungan dan isi makanan yang dibeli. Jika
memungkinkan, makan buah dan sayuran dengan mutu terbaik, dan bahan
tersebut, baik organik atau komersial, harus dicuci dengan hati-hati sebelum
dimakan.
4. Hati-hati dengan makanan apa pun jika tidak tahu sumbernya. Misalnya,
beberapa jamur liar yang tampaknya aman dapat menghancurkan hati
seseorang dalam beberapa hari saja.
5. Penting untuk mempertahankan pemasukan protein dan berat badan yang
cukup.
6. Jika hati rusak, kurangi garam dalam diet. Daging cenderung mengandung
banyak garam. Makanlah sayuran kaya protein. Protein hewani mencakup
daging, ikan, telur, unggas dan produk susu. Daging tidak berlemak adalah
yang terbaik. Buang lemak dari daging merah dan kulit dari unggas.
7. Jangan mengkonsumsi ikan mentah atau ikan pemakan bangkai (ikan lele,
dll.). Bisa jadi mereka mengandung bahan kimia dan bakteri yang
membahayakan hati. Seseorang dengan hati yang sudah rusak atau terbebani
tidak perlu mendapat tugas tambahan. Karena hati menjaga kadar glukosa,
yang penting untuk fungsi otak dan sistem saraf, dianjurkan makan makanan
dalam jumlah sedikit tetapi sering. Ini mengurangi kerja hati.

K. Manajemen Kebidanan
1. Pengumpulan data
a. Subjektif
Penilaian subyektif mencakup anamnesis. Anamnesis harus dikaitkan
dengan faktor obat-obatan dan toksin, kelelahan, nyeri sendi, mual,
kehilangan selera makan, nyeri atau ketidaknyamanan di hati, ruam kulit,
urin kuning tua, tinja berwarna terang, dan sakit kuning atau menguningnya
kulit dan mata putih. Secara garis besar anamnesis meliputi :
1) Riwayat penyakit, antara lain :
a) Riwayat keluarga
b) Riwayat penderita
c) Obat-obatan dan toksin
d) Kelelahan
2) Keluhan nyeri atau ketidaknyamanan di hati, ruam kulit, urin kuning
tua, tinja berwarna terang, dan sakit kuning atau menguningnya kulit
dan mata putih
3) Klien yang mengkonsumsi obat-obatan dan toksin seperti metildopa,
nitrofurantion, diklofenak, oksifenasetin, interferon, minosiklin dan
atorvastatin
b. Objektif
Setelah dilakukan penilaian subyektif, dilanjutkan dengan penilaian obyektif,
yang meliputi :
1) Pemeriksaan fisik dan meninjau riwayat kesehatan seseorang, termasuk
penggunaan alkohol dan obat-obatan yang dapat membahayakan hati.
Seseorang biasanya membutuhkan tes darah untuk diagnosis yang tepat
karena orang dengan hepatitis autoimun dapat memiliki gejala yang
sama dengan penyakit hati lainnya atau gangguan metabolisme.
2) Tes darah melibatkan pengambilan darah di kantor penyedia layanan
kesehatan atau fasilitas komersial dan mengirimkan sampel ke
laboratorium untuk dianalisis. Seseorang memerlukan tes darah untuk
autoantibodi untuk membantu membedakan hepatitis autoimun dari
penyakit hati lainnya yang memiliki gejala serupa, seperti hepatitis
virus, sirosis bilier primer, steatohepatitis, atau penyakit Wilson.
3) Biopsi hati adalah prosedur yang melibatkan pengambilan selembar
jaringan hati untuk diperiksa dengan mikroskop untuk tanda-tanda
kerusakan atau penyakit. Penyedia layanan kesehatan mungkin
meminta pasien untuk sementara berhenti minum obat tertentu sebelum
biopsi hati. Dia mungkin juga meminta pasien untuk berpuasa selama 8
jam sebelum prosedur (NIH Publication No. 14-4761 Januari 2014).
c. Diagnosis
Hepatitis Autoimmune
d. Penatalaksanaan
1) Pemberian Obat
a) Obat untuk mengontrol sistem kekebalan tubuh (imunosupresan)
yang digunakan pada penderita hepatitis autoimun meliputi
prednisone dan azathioprine. Sistem pemberian obat pada hepatitis
autoimun yaitu (Feldman, dkk , 2010) :

b) Obat non-imunosupresi seperti ursodeoxycholic acid (UDCA) (13-


15 mg/kg per hari) dapat digunakan sebagai adjunctive therapy pada
pasien hepatitis autoimun tipe 1. Obat ini dapat memperbaiki
enzyme liver dalam waktu 6 bulan, tetapi tidak berhubungan dengan
penurunan dosis steroid, dan tidak memperbaiki kondisi klinis serta
gambaran histologis. Jenis imunosupresan lain yang dapat
digunakan pada penderita hepatitis autoimun yaitu, calcineurin
inhibitors spt, antimetabolite spt dan cyclophosphamide. (Sulaiman,
dkk, 2007)
c) Transplantasi hati
Transplantasi hati merupakan terapi pilihan pada pasien hepatitis
autoimun yang refrakter atau tidak toleransi terhadap
imunosupresan dan yang mengalami penyakit hati tahap akhir.
(Sulaiman, dkk, 2007)
2) Diet Untuk Hepatitis
a) Siram sistem tubuh dengan minum delapan gelas air sehari.
b) Pertimbangkan diet rendah lemak, rendah sodium dan tinggi serat.
Hindari makan terlalu berlemak tinggi seperti makanan gorengan,
kentang goreng dan sebagian besar makanan cepat saji. Makanan
bermutu rendah yang diolah seperti makanan kaleng atau dibekukan
dan daging dan keju proses kadang-kadang mengandung sedikit
serat atau kurang gizi. Sering kali makanan tersebut mengandung
banyak garam dan sebaiknya dihindari. Tetapi, tidak ada aturan
yang mutlak berkaitan dengan hal ini. Makanan bermutu tinggi yang
diawetkan dengan baik dan makanan yang dibekukan juga dapat
mempunyai nilai gizi yang sangat tinggi jika dipakai dengan hati-
hati.
c) Biasakan diri dengan kandungan dan isi makanan yang dibeli. Jika
memungkinkan, makan buah dan sayuran dengan mutu terbaik, dan
bahan tersebut, baik organik atau komersial, harus dicuci dengan
hati-hati sebelum dimakan.
d) Hati-hati dengan makanan apa pun jika tidak tahu sumbernya.
Misalnya, beberapa jamur liar yang tampaknya aman dapat
menghancurkan hati seseorang dalam beberapa hari saja.
e) Penting untuk mempertahankan pemasukan protein dan berat badan
yang cukup.
f) Jika hati rusak, kurangi garam dalam diet. Daging cenderung
mengandung banyak garam. Makanlah sayuran kaya protein.
Protein hewani mencakup daging, ikan, telur, unggas dan produk
susu. Daging tidak berlemak adalah yang terbaik. Buang lemak dari
daging merah dan kulit dari unggas.
g) Jangan mengkonsumsi ikan mentah atau ikan pemakan bangkai
(ikan lele, dll.). Bisa jadi mereka mengandung bahan kimia dan
bakteri yang membahayakan hati. Pasien dengan masalah hati
terutama harus waspada terhadap segala macam kerang, karena
kerang dapat menjadi sumber hepatitis A. Seseorang dengan hati
yang sudah rusak atau terbebani tidak perlu mendapat tugas
tambahan. Karena hati menjaga kadar glukosa, yang penting untuk
fungsi otak dan sistem saraf, dianjurkan makan makanan dalam
jumlah sedikit tetapi sering. Ini mengurangi kerja hati.

L. Contoh Kasus
Terdapat penelitian deskriptif retrospektif yang mencakup semua pasien
hamil dengan diagnosis AIH yang diikuti di Departemen Obstetri di Centro
Hospitalar do Porto, Oporto, Portugal, antara tahun 2004 dan 2014. Tujuh pasien
dengan total sembilan kehamilan diikuti. Jalannya masa gestasi, persalinan dan
nifas dianalisis secara retrospektif, dan data dikumpulkan dari catatan medis pasien.
Diagnosis AIH ditetapkan oleh departemen Pengobatan / Hepatologi Internal
berdasarkan kriteria IAHG (15). Pasien sirip diidentifikasi sesuai dengan temuan
histologis sebelumnya.
Semua pasien diikuti oleh tim multidisiplin, dibentuk oleh ahli hepathologi
dan ahli obstetri berisiko tinggi. Kunjungan antenatal dijadwalkan satu bulan sekali
sampai 28 minggu kehamilan, setiap dua minggu sampai 32 minggu, dan
selanjutnya mingguan. Evaluasi fungsi hati pra-konsepal dilakukan pada semua
kasus dan evaluasi hepar periodik dilakukan dengan evaluasi analitis bulanan. Pada
pasien dengan sirosis hepatik dan hipertensi portal, evaluasi varices esofagus
dilakukan selama trimester kedua dan pengobatan profilaksis diterapkan bila
diindikasikan. Jenis dan dosis obat imunosupresan dicatat. Evaluasi ultrasound
janin secara rutin dilakukan pada semua kehamilan di semua trimester.
Komplikasi maternal dan obstetrik selama kehamilan dan masa puerperium
didaftarkan. Hasil kehamilan yang buruk didefinisikan sebagai keguguran
(kehilangan janin sebelum minggu ke 20 kehamilan), kelahiran prematur
(persalinan sebelum minggu ke 37 kehamilan), dan perkembangan gangguan
hipertensi pada kehamilan atau kematian perinatal (kelahiran mati atau kematian
neonatal).
Eksaserbasi AIH didefinisikan sebagai peningkatan dua kali lipat dalam
transaminase serum atau munculnya gejala. Remisi penyakit didefinisikan sebagai
perbaikan analitik dengan normalisasi kadar transaminase serum. Tindakan caesar
dilakukan hanya untuk indikasi obstetrik, kecuali dengan adanya sirosis.
Seorang ibu hamil 32 minggu mengeluh kelelahan, nyeri sendi, mual,
kehilangan selera makan, nyeri atau ketidaknyamanan di hati, ruam kulit, urin
kuning tua, tinja berwarna terang, dan sakit kuning atau menguningnya kulit dan
mata putih dirujuk ke RS. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang
didapatkan hasil bahwa ibu mengalami penyakit Hepatitis autoimmune. Sesuai
dengan advis dokter, pasien diberikan terapi satu obat Prednison dengan dosis 60
mg x 1 minggu, 40 mg x 1 minggu, 30 mg x 2 minggu, dan 20 mg hingga end point.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier. 2014. Penuntun Diet. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Arifah dk., 2014. Hubungan Status Hbsag Pada Ibu Bersalin Dengan Kejadian Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR). Jurnal

Barski L. 2008. Autoimmune Hepatitis and Hypergammaglobulinemic Purpura


Associated with Herbal Medicine Use. IMAJ,; 10: p 390-1

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2013. Hubungan Antara Keberadaan


Dna Virus Hepatitis B Pada Plasenta Dan Cairan Amnion Ibu Dengan
Hepatitis B Antigen Positif Acholder Tahi Pardomuan Sirait, IMS Murah
Manoe, St. Maisuri T Chalid Bagian Obstetri dan Ginekologi. Jurnal

Feldman dkk.2010. Sleisenger dan Fordtrans’s. Gastrointestinal and Liver Disease.


Pathophysiology/ Diagnosis/ Manajemen. Ninth Edition. Canada: Saunders
Elsevier.

http://www.dokterdigital.com/id/penyakit/60_hepatitis-autoimun.html diakses tanggal


14 September 2017

Invernizzi dkk. 2008. Aetiopathogenesis of Autoimmune Hepatitis. World J


Gastroenterol; 14(21): p 3306-12

Krawitt EL. 2006. Autoimmune Hepatitis. N Engl J Med,; 354(1): p 54-66

Nurkhozing. 2008. Asuhan Keperawatan Klien A dengan Hepatitis Akut Di Ruang


Kenanga RSUD Dokter H. Soewondo Kendal. Unimus

Priyantoro dkk. 2014. Laporan Kasus Hepatitis Autoimun, Fakultas Kedokteran


Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia, CDK-221/ vol. 41 no. 10

Sulaiman dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta: Jayabadi

Vergani dkk. 2008. Autoimmune Liver Disease. In : Kelly D, ed. Diseases of the
Liver and Biliary System in Children. Edisi ke-3. WileyBlackwell Publishing
Ltd.: p 191-205.

Yusri dkk. 2010. Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34.

Anda mungkin juga menyukai