Anda di halaman 1dari 5

Komplikasi pada sindrom koroner Akut

A. Aritmia

Aritmia jantung yang mengancam nyawa yaitu ventricular tachycardia (VT),


ventricular fibrillation (VF), dan AV blok total dapat menjadi manifestasi awal
terjadinya SKA. Insidens aritmia ventrikel biasanya terjadi 48 jam pertama setelah
onset SKA.

B. Gagal jantung

Gagal jantung pada SKA biasanya disebabkan oleh kerusakan miokard tapi
dapat pula terjadi karena aritmia atau komplikasi mekanik seperti ruptur septum
ventrikel atau regurgitasi mitral iskemik. Gagal jantung pada SKA menandakan
prognosis yang lebih buruk. Tatalaksana umum meliputi monitor kemungkinan
terjadinya aritmia, gangguan elektrolit dan adanya kelainan katup atau paru.
Pemeriksaan foto toraks dan ekokardiografi direkomendasikan untuk evaluasi luas
kerusakan miokard dan komplikasi yang mungkin terjadi seperti ruptur septum
dan regurgitasi mitral akut. Syok kardiogenik pada SKA menandakan kegagalan
pompa jantung berat dan hipoperfusi dengan manifestasi klinis TD sistolik < 90
mmHg, pulmonary wedge pressure > 20 mmHg atau cardiac index < 1,8 L/m2.
Hal ini akibat nekrosis miokard yang luas. Inotropik atau IABP sering diperlukan
untuk mempertahankan TD sistolik > 90 mmHg. Diagnosis syok kardiogenik
ditegakkan setelah menyingkirkan penyebab lain hipotensi seperti hipovolemik,
reaksi vagal, tamponade, aritmia dan gangguan elektrolit. Terapi suportif IABP
direkomendasi sebagai jembatan untuk terapi definitive yaitu terapi intervensi
(emergency PCI).

C. Komplikasi mekanik
1. Ruptur dinding ventrikel
Pada ruptur dinding ventrikel akut terjadi disosiasi aktivitas listrik
jantung yang menyebabkan henti jantung dalam waktu singkat.
Biasanya hal ini fatal dan tidak respon dengan resusitasi
kardiopulmoner standar karena tidak ada cukup waktu untuk dilakukan
tindakan bedah segera. Ruptur dinding ventrikel subakut pada 25%
kasus masih memberikan harapan untuk dilakukan tindakan bedah
secepatnya. Manifestasi klinisnya yaitu gambaran reinfark dan
didapatkan kembali gambaran elevasi segmen ST pada EKG. Biasanya
terdapat gangguan hemodinamik mendadak, tamponade dan efusi
perikard yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan ekokardiografi.
2. Regurgitasi Mitral Akut
Regurgitasi mitral akut biasanya terjadi dalam 2-7 hari SKA. Ada 3
mekanisme terjadinya yaitu; dilatasi annulus mitral akibat dilatasi
ventrikel kiri, disfungsi muskulus papilaris akibat infark miokard
inferior, ruptur dari badan atau ujung muskularis papilaris. Evaluasi
regurgitasi dilakukan dengan ekokardiografi. Atrium kiri biasanya
normal atau hanya sedikit membesar. Pasien harus dikirim segera
untuk intervensi bedah karena dapat menyebabkan syok kardiogenik.

Pengobatan ACS

1. Tatalaksana awal

A. Oksigen 4 liter / menit ( saturasi O2 dipertahankan > 90 % ).


B. Nitrogliserin 5 mg sl untuk memperbaiki pengiriman oksigen ke
miokard dan menurunkan kebutuhan oksigen di miokard. Dapat
diulang 3 kali lalu di drip bila masih nyeri.
C. Aspirin 160 mg kunyah bila tidak ada kontra indikasi, untuk
menghambat agregasi platelet dan mencegah konstriksi arterial.
D. Morphin 2-4 mg IV untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan,
mengurangi rasa sakit akibat iskemia, menurunkan tahanan pembuluh
sistemik, menurunkan afterload dan preload sehingga menurunkan
kerja jantung. Morphine juga merelaksasikan bronkhiolus untuk
meningkatkan oksigenasi.
E. Clopidogrel, dosis awal diberikan 300 mg pada pasien tanpa riwayat
pemakaian clopidogrel sebelumnya.

2. Tatalaksana lanjut

A. UAP dan NSTEMI


a) Heparin
Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat- preparat
baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih
mudah pemantauannya (tanpa APTT). Heparin mempunyai efek
menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat
merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999)
ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum
bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan
berat badan < 70 kg .
b) Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH)
Diberikan pada UAP atau NSTEMI dengan risiko tinggi.LMWH
mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu
paruh lebih lama; high bioavailability.

B. STEMI sesuai indikasi dan kontraindikasi ( jangan tunda/ reperfusi )


1. Terapi Fibrinolitik dengan Streptokinase atau Alteplase
Dianjurkan pada :
 Presentasi < 3 jam
 Tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau terlambat
 Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon > 90
menit
 Waktu antara sampai dengan inflasi balon dikurangi waktu
antara pasien tiba sampai dengan fibrinolitik > 1 jam.
 Tidak ada kontraindikasi fibrinolitik

C. Percutanius coronary intervension ( PCI )


Menurut The American College of Cardiology/American Heart
(ACC/AH) Cardiac nursing (2011), PCI adalah menggambarkan kelompok
atau kumpulan beberapa prosedur yang menggunakan tehnik percutaneous
untuk memperbaiki atau membuka kembali arteri koroner yang
menyempit, prosedur utamanya meliputi angioplasty, arterectomy dan
intra coronary stenting.
1. Primary PCI
Didefinisikan sebagai intervensi pada culprit vessel (pembuluh
darah yang terlibat serangan) dalam 12 jam setelah onset nyeri dada,
tanpa sebelumnya diberi trombolitik atau terapi lain untuk
menghancurkan sumbatan tersebut. Indikasi primary PCI dilakukan
pada pasien STEMI kurang dari 12 jam dengan LBBB, serta STEMI
dengan komplikasi gagal jantung severe.
2. Rescue PCI
Adalah tindakan PCI yang segera dilakukan pada pasien STEMI
pasca pemberian terapi fibrinolitik, tetapi terapi fibrinolitiknya gagal
mengembalikan aliran darah koroner yang tersumbat total (failed
fibrinolytic).
3. Elective PCI
Adalah tindakan perfusi yang dilakukan pada pasien dengan gejala
nyeri berulang dan pemasangan stent berulang.

PCI Dianjurkan pada :


 Presentasi > 3 jam
 Tersedia fasilitas PCI
 Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon <
90’
 Waktu antara sampai dengan inflasi balon dikurangi waktu
antara pasien tiba sampai dengan fibrinolitik > 1 jam.
 Terdapat kontraindikasi fibrinolitik
 Risiko tinggi ( gagal jantung kongestif, killip >3 )
Daftar pustaka

1. Antman EM et al. ACC/AHA 2004 guidelines for the management of


patients with ST-Elevation Myocardial Infarction. J Am Col Cardiol. 2004; 44:
e1-e211.

2. Bax J, Betriu A, Blomstrom-Lundqvist C, Crea F, Falk V, Fillipatos G, et


al. The Task Force on the Management of St- segment elevation acute myocardial
infarction of the European Society of Cardiology. ESC guideline for Management
of Acute myocardial infarction in patients presenting persistent ST-segmen
elevation. Eur Heart J. 2008; 29: 2909-45.

Anda mungkin juga menyukai