Anda di halaman 1dari 10

Teori Perkembangan Moral Dan Spiritual Menurut Kohlberg

1. MORAL
A. Pengertian moral
Pengertian moral kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak mores) yang berarti
kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Kata moral sendiri berasal dari bahasa Latin moris yang
berarti adat istiadat, kebiasaan, tata cara dalam kehidupan. Jadi suatu tingkah laku dikatakan
bermoral apabila tingkah laku itu sesuai dengan nilai – nilai moral yang berlaku dalam
kelompok sosial dimana anak itu hidup. Sejalan dengan pengertian diatas, menurut Hurlock
(2003) moral berasal dari bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat, dan
cara kebiasaan rakyat. Perilaku moral merupakan perilaku di dalam konformitas dengan suatu
tata cara moral kelompok sosial. Kohlberg menegasakan bahwa moral merupakan bagian dari
penalaran. Maka iapun menamakannya dengan penalaran moral. Mendefinisikan moral
sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang
mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Moral dapat dijadikan sebuah prediktor
terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral.

B. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral


Faktor yang paling mempengaruhi penilaian moral adalah keluarga. Penelitian
mengenai perkembangan moral anak dan remaja menekankan pentingnya peran orang tua dan
keluarga. Terdapat beberapa faktor keluarga yang berhubungan secara signifikan dengan
pembelajaran moral pada anak yaitu :
1. Tingkat kehangatan, penerimaan dan kepercayaan yang ditunjukan terhadap anak.
Anak cenderung mengagumi dan meniru orang tua yang hangat, sehingga
menumbuhkan sifatyang baik pada anak. Teori differential assosiation dari Sutherland
dan Cressey (dalam Suciati, 2008) menjelaskanbahwa prioritas, durasi, intensitas dan
frekuensi dari hubungan orang tua anak memfasilitasi pembelajaran moral dan
perilaku kriminal pada anak. Hubungan orangtua anak yang dianggap penting
(prioritas tinggi) dalam jangka waktu yang lama (durasi tinggi), dikarakteristikan
dengan kedekatan emosi (intensitas tinggi) serta jumlah kontak dan komunikasi yang
maksimal (frekuensi tinggi), memiliki efek positif pada perkembangan moral anak.
2. Frekuensi interaksi dan komunikasi antara orang tua dan anak.Teori role modelling
mengatakan bahawa identifikasi anak terhadap orangtua dipengaruhi frekuensi
interaksi orang tua-anak. Orang tua yang sering berinteraksi secara intensif dengan
anaknya cenderung lebih mempunyai pengaruh terhadapkehidupan anaknya. Interaksi
orang tua-anak memberikan kesempatan untuk pembahasaan nilai-nilai dan norma-
norma,terutama bila interaksi dilakukan secara demokratis dan bersifat mutual.
3. Tipe dan tingkat disiplin yang dijalankan orang tua. Hasil penelitian menunjukan
bahwa disiplin mempunyai efek yang positif terhadap pembelajaran moral ketika:
a) Konsisten
b) Adil
c) Bersifat demokratis bukan permisif ataupun autokratik.

Orang tua anak memfasilitasi pembelajaran moral dan perilaku kriminal pada anak.
Hubungan orangtua anak yang dianggap penting (prioritas tinggi) dalam jangka waktu yang
lama (durasi tinggi), dikarakteristikan dengan kedekatan emosi (intensitas tinggi) serta
jumlah kontak dan komunikasi yang maksimal (frekuensi tinggi), memiliki efek positif pada
perkembangan moral anak.

C. Teori Perkembangan Moral


Kontak sosial dengan orang-orang dari budaya dan latar belakang sosial ekonomi
yang berbeda membantu perkembangan moral. Selanjutnya, Kohlberg (dalam Santrock,
2011) menekankan bahwa cara berfikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan
ini, menurut Kohlberg bersifat universal. Dalam teorinya, Kohlberg mendasarkan teori
perkembangan moral pada prinsip-prinsip perkembangan moral Piaget. Konsep dari
penalaran moral Kohlberg ini merupakan perubahan perkembangan dari perilaku yang
dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menggambarkan tiga tingkatan penalaran tentang
moral dan setiap tingkatnya memiliki 2 tahapan, yaitu :
1) Penalaran Prakonvensional adalah tingkat terendah dari moral menurut Kohlberg.
Pada tahap ini baik dan buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan
punishment (hukuman) eksternal.
a) Tahap 1, moralitas heteronom adalah tahap pertama dalam penalaran
prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran moral terkait dengan punishment.
Sebagai contoh anak berfikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut
hukuman terhadap perilaku membangkang.
b) Tahap 2, individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran adalah tahap
kedua dari penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran individu yang
memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar dan hal ini juga
berlaku untuk orang lain. Karena itu, menurut mereka apa yang benar adalah
sesuatu yang melibatkan pertukaran yang setara. Contoh Mereka berpikir
apabila mereka baik terhadap orang lain maka orang lain akan baik terhadap
mereka juga.
2) Penalaran konvensional, yaitu tingkat kedua atau menengah dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu memberlakukan standart
tertentu, tetapi standart ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua atau
pemerintah.
a) Tahap 3, ekspektasi interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan
konformitas interpersonal merupakan tahap ketiga dari tahap perkembangan
moral Kohlberg. Pada tahap ini individu menghargai kepercayaan, perhatian, dan
kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar dari penilaian moral. Anak dan remaja
seringkali mengadopsi standart moral orang tua dalam tahap ini agar dianggap
sebagai anak yang baik.
b) Tahap 4, moralitas system sosial adalah tahap keempat menurut teori Kohlberg.
Pada tahap ini, penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan di
masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.
3) Penalaran Pascakonvensional, adalah tingkatan tertinggi dalam perkembangan
moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu menyadari adanya jalur moral
alternative, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutaskan berdasarkan kode moral
personal.
a) Tahap 5, kontrak atau utilitas sosial dan hak individu. Pada tahap ini, individu
menalar bahwa nilai, hak dan prinsip lebih utama atau lebih luas daripada hukum.
Seseorang mengevaluasi hukum yang ada, dan system sosial dapat diuji
berdasarkan sejauh mana hal ini menjamin dan melindungi hak asasi dan nilai
dasar manusia.
b) Tahap 6, prinsip etis universal adalah tahapan tertinggi dalam perkembangan
moral menurut Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang telah mengembangkan
standard moral berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika dihadapkan
dengan pertentangan antara hukum dan hati nurani, seseorang menalar bahwa
yang harus diikuti adalah hati nurani, meskipun keputusan itu dapat memberikan
resiko.

Menurut Kohlberg (dalam Nurhani, 2016), ada 3 faktor umum yang memberikan
kontribusi pada perkembangan penalaran moral yaitu:
1. Kesempatan pengambilan peranPerkembangan penalaran moral meningkat ketika
seseorang terlibat dalam situasi yang memungkinkan seseorang mengambil perspektif
sosial seperti situasi dimana seseorang sulit untuk menerima ide, perasaan, opini,
keinginan, kebutuhan, hak, kewajiban, nilai dan standar orang lain.
2. Situasi moral Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak dan kewajiban
yang fundamental yang didistribusiakan dan melibatkan keputusan. Dalam beberapa
lingkungan, keputusan diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur
otoritas (tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan didasarkan pada
pertimbangan pada system yang tersedia (tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran
moral ditunjukkan oleh situasi yang menstimulasi orang untuk menunjukkan nilai
moral dan norma moral.
3. Konflik moral kognitif Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran
moral seseorang dengan penalaran orang lain. Dalam beberapa studi, subjek
bertentangan dengan orang lain yang mempunyai penalaran moral lebih tinggi
maupun lebih rendah. Anak yang mengalami pertentangan dengan orang lain yang
memiliki penalaran moral yang lebih tinggi menunjukkan tahap perkembangan moral
yang lebih tinggi dari pada anak yang berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki
tahap penalaran moral yang sama dengannya.

Penalaran moral berhubungan dengan nilai-nilai mengenai apa yang dilakukan


seseorang dalam interaksinya dengan orang lain yang diteliti dalam 3 domain (dalam
Santrock, 2003), yaitu :
1) Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan peraturan-peraturan melakukan
tingkah laku etis.
2) Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya.
3) Bagaiamana perasaan remaja mengenai perasaan moral.Erickson (dalam Santrock, 2003)
mengemukakan bahwa ada tiga perkembangan moral yang spesifik dimasa anak-anak,
perhatian terhadap ideology pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa dewasa.
Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian identitas. Bila
remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan yang mereka peroleh selama masa
kanak-kanak, mereka merasa kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong setidaknya
untuk sementara. Hal ini dapat membawa remaja ke usaha mencari ideology yang akan
memberikan tujuan dalam hidup mereka. Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur
dan bukan sebuah isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada
lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran
moral dilihat sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis
moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal.
Penalaran moral inilah yang menjadi indicator dari tingkatan atau tahap kematangan
moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi
penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar bahwa suatu
itu salah.Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari moral adalah
bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001). Penalaran moral menurut
Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan
buruk atau benar dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas
pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan
mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan
buruk (Sarwono, 2010).
Proses penalaran moral yang terjadi pada remaja sanagt ditentukan oleh hubungan
atau aktivitasnya dengan lingkungan, selain dengan keluarga khusunya adalah dengan teman
sebaya. Hal ini sejalan dengan Kohlberg (dalam Santrock, 2011) percaya bahwa proses dalam
keluarga pada dasarnya tidak penting dalam perkembangan moral anak. Ia berpendapat
bahwa hubungan orang tua – anak biasanya tidak memberikan kesempatan kepada anak
untuk membentuk perspektif dan menerima. Menurut Kohlberg kesempatan ini justru ada
pada hubungan dengan teman sebaya. Meskipun banyak ahli lain yang lebih berfokus kepada
nilai moral orang tua mempengaruhi perkembangan penalaran moral anak.Namun mereka
juga setuju dengan Kohlberg dan Piaget, bahwa teman sebaya juga memiliki peran yang
sangat penting dalam perkembangan penalaran moral
Perubahan Konsep Moral Hurlock (2003) mengemukakan bahwa tugas perkembangan
penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok
dari padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan social
tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dilakukan pada
masa anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku dimasa
kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode
moral yang selanjutnya berfungsi sebagai pediman bagi perilakunya.

2. SPIRITUAL
A. Pengertian Spiritual
Spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit
memberikan hidup, menjiwai seseorang. Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti
mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Konsep
kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai kultur
atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain. Kedua,
kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan
tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasa, sesuatu perasaan yang memberikan
alasan tentang keyakinan dan harapan.

Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan,


pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga
memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara diri
sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan transpersonal
(hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan
kekuatan tertinggi). Jadi spiritual merupakan kepercayaan peserta didik terhadap suatu
keyakinan yang didasarkan pada adat istiadat maupun ketuhanan. Maslow mendefinisikan
spiritualitas sebagai sebuah tahapan aktualisasi diri seseorang berlimpah dengan kreativitas,
institusi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendah-hatian, serta memiliki
tujuan hidup yang jelas. Menurut Maslow, pengalaman spiritual adalah puncak tertinggi
manusia. Bahkan Maslow menyatakan bahwa pengalaman spiritual telah melewati hierarki
kebutuhan manusia.Spiritual mecakup aspek non fisik dan immaterial dari keberadaan
seseorang manusia. Ia dilengkapi dengan energi, inti jiwa, dan bagian-bagian yang lain akan
tetap bereksistensi setelah terpisah dari tubuh. Seluruh gambaran tentang kesehatan
mencakup komponen fisik, mental dan spiritual. Seseorang menganut keyakinan keagamaan
atau tidak, ia dapat menghayati hidup dan menyelidiki pengaruh spiritualitasnya untuk
kesehatan (Young, 2007).
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritual
Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Young (2007), faktor-
faktor mempengaruhi Spiritual seseorang adalah :
a. Tahap perkembangan Spiritual berhubungan dengan kekuasaan non material,
seseorang harus memiliki beberapa kemampuaan berfukir abstrak sebelum mulai
mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan dengan yang Maha Kuasa. Hal ini
bukan berarti bahwa spiritual tidak memiliki makna bagi seseorang.
b. Peran keluarga dalam perkembangan spiritual individu. Tidak begitu banyak
yangdiajarka keluarga tentang Tuhan dan agama, tapi individu belajar tentang
Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari tingkah laku keluarganya. Oleh karena itu
keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama dimanaindividu
mempunyai pandangan, pengalaman terhadap dunia yang yangdiwarnai oleh
pengalaman keluarganya.
c. Latar belakang etnik dan budaya Sikap, keyakinan dan nlai dipengaruhi oleh latar
belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi
agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama,
termaksuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai
bentuk kegiatan keagamaan.
d. Pengalaman hidup sebelumnya Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif
dapat mempengaruhi spiritual seseorang dan sebaliknya juga mempengaruhi oleh
bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual pengalaman tersebut. Peristiwa
dalam kehidupan seseorangdianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan
kepada manusia yang menguji imannya.
e. Krisis dan perubahanKrisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual
seseorang. Krisis sering dialami ketika sesorang menghadapi penyakit, penderitaan,
proses penuaan, kehilangan dan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit
terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis
yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fiskal dan
emosional. f.Terpisah dari ikatan spiritual Menderita sakit terutama yang bersifat
kronik, sering kali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan
pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah,
antara lain tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau teman dekat yang bisa
memberikan dukungan setiap saat diinginkan . g.Isu moral terkait dengan terapi
Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan untuk
menunjukkan kebesaran-Nya, walaupun ada juga agama yang menolak intervensi
pengobatan.

C. Tahap-Tahap Perkembangan Spiritualitas


Untuk dapat menerapkan pendekatan spiritual secara tepat dalam praktek pekerjaan
sosial maka ada baiknnya untuk memahami tahap perkembangan spiritual berdasarkan
rentang kehidupan. James Fowler dalam Dacey dan Travers (2004) megajukan sebuah
teori mengenai perkembangan akan keyakinan spiritual manusia yang terdiri atas 7 tahap,
yakni:
1. Primal or Undifferentiated faith (0 sampai 2 tahun). Semua orang memulai
mengembangkan pandangan akan keyakinan dan dunia dari menggaruk atau meraba.
Bayi akan belajar apakah lingkungannya dapat dipercayai atau tidak, apakah mereka
dirawat dalam kehangatan, keamanan, kenyamanan lingkungan, atau penuh dengan
abuse, penelantaran dan menyakiti. Anak mulai mempelajari makna dari hubungannya
dengan lingkungan.
2. Intiutive - Projective Faith (2 - 6 tahun). Anak terus melanjutkan mengembangkan
kemampuannya memungut makna dari lingkungan. Di sini konsep Tuhan
direfleksikan sebagai sesuatu yang gaib. Pada fase ini manusia hanya fokus pada
kualitas secara permukaan saja, seperti apa yang digambarkan oleh orang dewasa dan
tergantung pada luasnya fantasi dari manusia itu sendiri.
3. Mythical-literal faith (minimal 5 sampai 6 tahun). Pada fase ini anak butuh
pembuktian kebenaran sehingga fantasi sudah tidak lagi menjadi sumber utama dari
pengetahuan. Pembuktian kebenaran disini bukan berasal dari pengalaman aktual
yang dialami sendiri, tapi berasal dari sesuatu yang dianggap lebih ahli atau orang
yang lebih dewasa, seperti guru, orang tua, buku, dan tradisi. Kepercayaan di fase ini
mengarah pada sesuatu yang konkrit dan tergantung dari kredibilitas orang yang
menyampaikan informasi terkait sebuah keyakinan.
4. Poetic-conventional faith (minimal 12 sampai 13 tahun). Pada fase ini individu mulai
percaya pada penilaian mereka sendiri, mulai mempelajari fakta sebagai sumber
informasi meskipun demikian mereka belum sepenuhnya percaya terhadap penilaian
mereka tersebut. Kepercayaan masih tergantung pada konsensus dari opini orang lain
yakni orang yang lebih ahli.
5. Individuating-reflective faith (minimal 18 sampai 19 tahun). Pada fase yang ketiga
remaja tidak dapat menemukan area pengalaman baru karena tergantung pada orang
lain di kelompoknya yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Individu di fase
ini mulai mengambil tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku, komitmen, dan
gaya hidupnya. Tapi individu pada tahap ini tetap masih membutuhkan figur yang bisa
diteladani.
6. Paradoxical-consolidation faith (minimal 30 tahun). Pada fase ini individu mulai bisa
memahami dan mengintegrasikan elemen spiritual seperti simbolisasi, ritual, dan
kepercayaan. Individu di fase ini juga menganggap bahwa semua orang termasuk
dalam kelompok yang universal dan memiliki rasa kekeluargaan terhadap semua
orang.
7. Universalizing faithTerjadi pada usia minimal 40 tahun. Fowler menganggap bahwa
sangat sedikit orang yang mampu mencapai fase ini, sama seperti fase terakhir dari
perkembangan moral Kohlberg. Dicirikan dengan komitmen tanpa pamrih terhadap
keadilan atas nama orang lain. Pada tahap ini mencerminkan sebuah kedalaman
spiritual yang berkaitan perhatian sangat spiritual untuk kebaikan yang lebih besar,
manfaat dari massa atas diri sendiri. Komitmen untuk mengabdikan kehidupan untuk
kebaikan pada jalan Tuhan atau kemanusiaan sekalipun harus mengorbankan
kesenangan dan kesejahteraan pribadi.
DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.uinsby.ac.id/19541/6/Bab%202.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/52181/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=25043832CD23FF2DD4C0BCA7633AEA1C?sequence=4
http://etheses.uin-malang.ac.id/772/6/07410003%20Bab%202.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/52808-ID-memahami-dimensi-spiritualitas
dalam-pra.pdf

Anda mungkin juga menyukai