Anda di halaman 1dari 4

Menakar Proyek Nahi Munkar Lintas Agama

09/05/2021/Religi/Seri Ramadan -3 (Habis)-/Ahmad A. Na’im-i

Saya yakin: tak semua hal mesti ditulis, dijelaskan, dijlentreh-jlentrehkan. Apalagi, bila
diniatkan untuk keperluan agitasi dan propaganda, tulisan tersebut tak akan bisa lepas
dari kekotoran –-sesuatu yang berlawanan dengan keikhlasan. Keyakinan saya ini juga
termasuk dalam tema tulisan ini: Proyek Nahi Munkar Lintas Agama.

Nahi munkar, secara istilah, adalah kegiatan pencegahan terhadap hal-hal yang buruk
(munkar) baik dalam pengertian adat budaya maupun pengertian etika agama Islam. Kata
kunci per definisi ini adalah pencegahan –dan karena itu, bukan tindakan kuratif.
Sebagian kalangan Islam, menurut saya, keliru memahami kata kunci ini. Dan pada level
lanjut, mereka bahkan memisahkan tindakan amar ma’ruf dengan tindakan nahi munkar
sebagai dua tindakan yang sama sekali berlainan. Kekeliruan paling puncak dari
pemahaman nahi munkar ini adalah mereka menyangka hanya umat Islam yang sanggup
melaksanakan proyek ini.

Melalui tulisan ini, saya akan mencoba membuktikan (tiga) kekeliruan ini. Meskipun
demikian, kalaupun saya tidak mampu membuktikan sama sekali, itu pun tak apa. Karena
itu, kehadiran tulisan ini sebenarnya tak perlu-perlu amat.

Ontologi Kemunkaran
Keyakinan saya tentang tak perlunya kehadiran tulisan ini sebenarnya dapat dipahami
mulai dari basis ontologis kemunkaran. Jadi, siapapun yang sudah sampai kepada
pemahaman ontologis ini sebenarnya tak perlu membaca tulisan ini.

Pemahaman ontologis ini pun tak perlu dipaksa-paksakan kepada semua pemeluk agama
manapun. Sebab, bahkan seorang Syeikh Sufi sekalipun tidak boleh turun dari jeluk
diamnya yang tak terperi untuk memaksakan pengetahuannya kepada orang lain dengan
berdebat dan berargumentasi, kecuali dia mendapat perintah secara khusus. Kalaulah
benar mendapat perintah, Ibn al-‘Arabi tetap menyatakan bahwa itu tidak harus diartikan
sebagai “kewajiban”, melainkan pilihan yang harus diserahkan kepada Sufi bersangkutan
sembari mempertimbangkan dampaknya kepada masyarakat.

Pilihan ini dimungkinkan sebab tiap manusia dituntut menjadi mufti (pemberi fatwa) bagi
dirinya sendiri. Dalam konsepsi mujtahid Ibn al-’Arabi, setiap manusia dituntut berijtihad
sekaligus menetapkan kerja ijtihad paling utama, yaitu: perenungan spritual dan
pemahaman aspek hakikat hukum. Untuk keperluan ini, setiap manusia wajib
mempersiapkan dan memformat hatinya agar menjadi kitab yang otoritatif bagi dirinya
masing-masing. Mujtahid, dalam konstruksi Ibn al-‘Arabi adalah manusia-manusia dengan
hati yang hidup, yang selalu berkomunikasi dengan hatinya, hingga dia menemukan
cahaya ilahiah yang menuntunnya memahami hakikat masalah dan persoalan-persoalan
hukum yang dihadapinya. Dalam kerja-kerja itu, mujtahid senantiasa dituntun dan di
bawah pengawasan Tuhan langsung.
Tanpa tuntunan dan kepengawasan dari Tuhan, setiap manusia –dengan demikian-- dapat
saja berbuat kemunkaran. Sebab, ia gagal menghubungkan dirinya dengan Wujud Sejati.
Perlu diketahui, manusia adalah wujud limpahan yang hanya (mumkin) eksisten sebab
mendapat limpahan wujud dari Sang Wujud Sejati –satu-satunya Sang Kebaikan yang
tanpa sekutu bagi-Nya.

Selain itu, karena manusia berada dalam kosmos dan bersentuhan dengan eksistensi
wujud limpahan yang lain, mereka dipaksa memilih alternatif kebaikan yang ada; antara
yang baik, lebih baik, buruk, lebih buruk, dan sebagainya. Maksudnya, tindakan buruk
(haram) bahkan dapat saja menjadi tindakan baik (wajib) sebab ketiadaan alternatif
tindakan yang halal pada ruang dan waktu tertentu. Ini berarti, pembebanan hukum
(taklif) bukan dikaitkan dengan entitas individu manusianya, melainkan terkait status dan
keadaannya.

Singkat kata: kemunkaran tidak mungkin tidak ada sebab ia adalah bawaan dari wujud
limpahan.

Pencegahan Kemunkaran
Kata yang sedang kita bicarakan adalah pencegahan (nahi) dan bukan pengubahan
(taghoyyur) sebagaimana dalam hadis yang bersumber dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri.
Hadis yang dimaksud adalah man ra’a> minkum munkaran falyughayyirhu bi yadihi, fa in
lam yastat}i’ fa bi lisa>nih, fa in lam yastat}i’ fa bi qalbih wa dh>alik ad}’af al-i>ma>n:
barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, hendaklah ia mengubah dengan
tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka
dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah”

Pada kitab-kitab hadis, hanya Imam Muslim yang mewajibkan amar ma’ruf dan nahi
munkar melalui pembuatan topik hadisnya. Sementara Abu Dawud dan Ibn Majah hanya
menyebutkan amar ma’ruf dan nahi munkar dan tidak mewajibkannya, bahkan Abu Dawud
dalam satu riwayatnya dan Ibn Majah justru memasukkannya pada persoalan khutbah hari
raya, dan al-Nasa’i memasukkannya pada persoalan keutamaan ahli iman. Ini berarti,
tidak semua ahli hadis memahami hadis tersebut sebagai sebuah kewajiban melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar.

Dari titik ini, siapapun yang menjadikan hadis taghoyyur sebagai dalil ghirohnya terhadap
nahi munkar (dalam arti taghoyyur, apalagi dengan jalan kekerasan) jelas telah
menunjukkan sikap berlebihan --jika bukan keliru. Setidaknya, mereka menunjukkan
kelemahan dalam memetik pemahaman spritual yang bersumber dari nas yang diturunkan
secara langsung oleh Tuhan. Pada praktiknya, tindakan berlebihan adalah kemunkaran itu
sendiri.
Kewajiban nahi munkar justru sudah dijelaskan secara eksplisit oleh al-Quran sendiri di
banyak tempat. Frase nahi munkar bahkan selalu didahului dengan frase amar ma’ruf.
Dan karena itu, kedua frase tersebut harus dilihat sebagai dua hal yang tak terpisahkan.
Dalam pandangan saya, kedua frase tersebut bahkan sebagai bukan dua tindakan yang
sama sekali berlainan. Inilah mengapa Salat dijelaskan sebagai tindakan pencegahan
kemunkaran (QS Al-Ankabut: 45). Dan siapakah yang meragukan posisi Salat sebagai
tindakan ma’ruf yang utama? Dari titik ini, jelas, siapa yang mempromosikan Salat berarti
ia telah melakukan tindakan amar ma’ruf dan tindakan nahi munkar sekaligus!

Esensi Salat adalah keterhubungan dengan Tuhan dengan jalan mengingat-Nya (dzikr).
Dan Dia adalah teman duduk bagi manusia yang mengingat-Nya (al-Hadis). Selayaknya
teman duduk, manusia mestilah mengutamakan bercakap-cakap dengan Tuhan-Nya
dibandingkan dengan yang selain-Nya. Dan selayaknya orang yang tenggelam dalam
percakapan yang akrab, ia akan lebih memperhatikan kalimat-kalimat-Nya dibanding
kalimat selain dari-Nya. Dan sebenar-benarnya hamba adalah ia yang patuh dan tunduk
terhadap kalimat-kalimat-Nya.

Kalimat dari-Nya, menurut Ibn al-Arabi, tidak terbatas pada apa yang disampaikan dalam
al-Quran dan al-Hadis. Hati seorang hamba yang suci adalah juga tempat Tuhan
menuliskan kalam-Nya. Ibn al-Arabi bersandar pada teks kataba (telah menulis) dalam
ayat: Ulâika kataba fî qulûbihim al-îmân wa ayyadahum bi rûhin minhu (QS. 58:22). Hati
seseorang adalah tempat konsultasi yang valid, ke mana setiap orang dapat mencari
jawaban dan pengetahuan. Validitas suara hati ini adalah dikarenakan hati merupakan
lokus tajalli Tuhan dan sebagai kitab wahyu.

Dengan demikian, siapapun yang ingin mengambil jalan ingin mengubah kemunkaran tidak
bisa tidak bukan disandarkan atas keinginan dirinya sendiri semata, melainkan telah
dikonsultasikan dan mendapat ijin dari Tuhannya.

Proyek Nahi Munkar Lintas Agama


Sekali lagi, proyek nahi munkar dalam konstruksi tulisan ini bukan tindakan pengubahan
(taghoyyur) kemunkaran sebagaimana dalam hadis yang bersumber dari Sahabat Abu
Sa’id al-Khudri. Dan karena sudah banyak pemikir muslim yang berijtihad menelaah dan
menguraikan proyek nahi munkar (dalam konteks pengubahan), kiranya saya tidak perlu
mengulasnya lagi.

Kalaulah ada yang perlu dibicarakan dari proyek taghoyyur, itu adalah adanya pandangan
berlebihan (sebagian) kalangan muslim yang menganggap proyek ini hanya khas umat
Islam. Seolah-olah, umat agama lain punya panduan etika sosial yang sama sekali berbeda
dengan Islam. Juga, seolah-olah, sistem tatanan di luar agama sama sekali tidak bisa
diandalkan dan tidak perlu dilibatkan dalam proyek taghoyyur. Tentu saja, sekali lagi,
tulisan ini tidak akan membahas soal ini.
Lantas, apa yang bisa diulas tentang proyek nahi munkar lintas agama ini? Jika konsisten
dengan konstruksi nahi munkar di awal tulisan ini maka proyek ini adalah semacam proyek
dengan tujuan Meninggikan Kalimat-kalimat Tuhan (li-I’la kalimatillah) melintasi sekat-
sekat agama dan kepercayaan manapun. Pertanyaannya: Adakah semua pemeluk agama
dan kepercayaan mempunyai kesiapan untuk terlibat dalam proyek ini?

##

Anda mungkin juga menyukai