Anda di halaman 1dari 10

NAMA :

NIM :

KELAS :

Jalannya Komunikasi Dengan Do’a

Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya komunikasi pada tuhan.


Manusia tidak terlahir sendiri tanpa adanya campur tangan oleh sang pencipta,
dengan kekuatan dari adanya keajaiban tangan tuhan manusia dapat melakukan
segala hal dan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tuhan
memberikan manusia dengan segala kesempurnaan yang akan mampu mengubah
kehidupan manusia ke arah lebih baik, maka dari itu alangkah lebih baiknya manusia
tidak melupakan harkat dan martabatnya dengan selalu bersyukur kepada tuhan
dengan jalan berdoa.

Komunikasi sangatlah penting dalam roda kehidupan manusia. Komunikasi


dapat menjadi satu hal yang terpenting dalam perjalanan realitas kehidupan.
Komunikasi akan mempengaruhi kehidupan seseorang dimana pengaruh penting dari
adanya sebuah komunikasi cukup mempengaruhi dan mengambil andil besar bagi
perjalanan hidup seseorang dan dalam kehidupan bermasyarakat. Kesuksesan ,
kebahagiaan , kemahsyuran maupun kesusahaan dan bahkan bila itu merupakan
kegagalan dari seseorang sangat mampu dipengaruhi oleh efek atas jalannya
komunikasinya terhadap orang lain ataupun mahluk hidup lainnya.

Seseorang ataupun sebuah kelompok akan dipercaya atau dianggap


pengkhianat dan mampu dianggap benar atau salah akan juga sangat tergantung dan
melihat aspek dia akan berkomunikasi dengan orang lain. Pada hakikatnya
Komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan dari seorang yang
menjadi komunikator (orang yang menyampaikan informasi terlebih dahulu) kepada
komunikan (seseorang yang menerima komunikasi tersebut) melalui sebuah media
yang menghasilkan efekberdasarkan definisi atau pengertian inilah akan timbul
pertanyaan yang penting dimana akan mengukur bagaimana menjalin komunikasi
dengan Tuhan yang secara kasat mata tidak dapat dilihat hanya bisa diyakini dan
dirasakan keberadaannya. Bagaimana menghadirkan sosok komunikator atau
komunikan dalam proses komunikasi ini, media seperti apa yang digunakan, dan
bagaimana akan mengukur dan melihat efek yang dihasilkan dalam proses
komunikasi tersebut dalam hal ini yang terlihat adalah komunikasi.
Dilihat berdasarkan agama Islam doa merupakan salah satu bentuk
komunikasi dengan Allah swt dalam keadaan tertentu. Di samping itu, doa sebagai
roh ibadah atau sari ibadah sebagaimana yang pernah disab- dakan oleh Rasulullah
SAW. Berdasarkan pemaparan doa bukan hanya semata-mata untuk memohon
pertolongan Allah dalam memecahkan problem manusia yang dihadapinya, akan
tetapi dalam konteks secara luas sebagai suatu kebutuhan dalam rangkaian ibadah.
Istilah doa jika dipahami sebagai suatu permohonan untuk merubah kehidupan
manusia, maka muncul pertanyaan, bagaimana dengan ‘taqdîr’ yang sudah menjadi
‘ketetapan’ itu? Seorang sufi per- nah melontarkan sebuah pertanyaan “kalau hidup
ini sudah ditentukan oleh Allah, untuk apa berdo’a?’’ karena hal ini akan melahirkan
dua pertanyaan dimana , pertama, merupakan sebuah efektivitas dan kesederhanaan
dari adanya do’a dan kedua, tidak ada mampunya sebuah kekuataan seseorang dalam
mengubah takdir. Dalam hal pertama kali akan mengandaikan bahwa do’a bisa
memberi pengaruh atas hasil usaha atau nasib manusia bila Allah mengabulkan
do’anya. Sementara yang terakhir menyiratkan bahwa tak seorang pun yang dapat
mengubah ketentuan Allah, sekali Allah telah menetapkan- nya.

Persoalan ini memunculkan perdebatan yang hangat dan pan- jang dalam
sejarah perkembangan pemikiran Islam, sebagai bentuk konsep dalam melahirkan
dua kelompok yang berbeda pendapat dalam hal penentuan taqdir manusia. Hal ini
akan menjadikan pertanyaan kembali mengenai bagaimana manusia dengan
sendirinya menentukan nasibnya atau Allah yang mengatur-Nya dan manusia hanya
digerakkan oleh Allah. Kelompok pertama yang dimotori oleh kelompok mu’tazilah,
berpandangan bahwa manusialah yang menentukan perbuatannya sendiri, apakah
mau baik atau jahat.

Allah telah menciptakan kekuatan dan daya diri manusia dalam hal berbuat,
dimana akan membuat manusia dapat menentukan hal yang benar dan tidak benar.
Sementara kelompok kedua yaitu Asy’ariyah, berpan- dangan bahwa bukanlah
manusia yang mengatur perbuatannya akan tetapi Allah yang mengaturnya, jadi
dalam berbuat selalu digerakkan oleh Allah. Hanya saja kelompok ini menganggap
bahwa sekalipun Allah yang menentukan perbuatan manusia, akan tetapi manusia
tetap mendapatkan porsi untuk mengadakan perbuatannya dengan konsep 1Q kasb-
nya2 dan pada akhirnya juga kembalinya kepada Allah sebagai penentu.

Komunikasi sebagai ilmu yang multidisipliner dikembangkan melalui


dukungan dari ilmu yang lainnya, demikian dalam mengungkap realitas sebagai objek
telaah. Banyak realitas-realitas komunikasi yang harus dipotret dengan cara
kerjasama antara ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu sosiologi,
antropologi, psikologi, biologi, dan ilmu agama.
Realitas tentang hubungan antara manusia dengan Allah SWT (ibadah) misalnya,
dapat dianggap sebagai fenomena komunikasi. Namun untuk meneliti hal tersebut
tidak tuntas kalau hanya dengan mengandalakan disiplin ilmu komunikasi. Namun
hal tersebut dapat dibedah dengan adanya kerjasama antara ilmu komunikasi dengan
ilmu agama. Komunikasi antara Allah SWT dan manusia adalah suatu fenomena
komunikasi yang transendental dengan sifatnya yang sangat abstrak, dan tidak dapat
diamati secara inderawi. Oleh karena itu dibutuhkan kajian yang komprehensif
tentang dimensidimensi transendental dari unsur komunikasi yang ada (terutama
manusia sebagai salah satu partisipan komunikasi transendental/spiritual). Istilah
komunikasi transendental merupakan bidang komunikasi yang relatif baru dikenal di
wilayah studi ilmu komunikasi. Oleh karena itu, banyak interpretasi atau definisi
yang bisa diberikan pada komunikasi transendental. Pada tulisan ini sebagai kerangka
pemikiran ada beberapa perspektif yang setidaknya memberikan definisi yang
berbeda tentang komunikasi transendental, setidaknya akan memperkaya cakrawala
kita tentang apa itu komunikasi transendental.

Dalam perspektif filsafat Islam, komunikasi transendental diartikan sebagai


komunikasi antara hamba dengan sesuatu yang supranatural yang berpusat pada qalb.
Perspektif Antropologi Metafisik memaknai komunikasi transendental sebagai
komunikasi dengan sesuatu yang ‘esensi’, sesuatu yang ‘ada’ di balik ‘eksistensi.’
Berdasarkan berbagai perspektif tersebut, menurut Prof.Nina Syam, bahwa
komunikasi transendental adalah komunikasi yang berlangsung di dalam diri, dengan
sesuatu “di luar diri” yang disadari keberadaannya oleh individu (tersebut).

Komunikasi yang melibatkan manusia dengan Tuhannya itulah yang sering


disebut komunikasi transendental. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak
dapat berdiri sendiri, ia membutuhkan orang lain untuk mempertahankan
eksistensinya. Manusia harus membangun hubungan horisontal yakni dengan
manusia lainnya dan vertikal dengan Tuhannya. Hubungan itu akan membawa
seorang menjadi lebih baik.

Dilansir dari https://www.gerejayesuskristus.org/berkomunikasi-dengan-


tuhan-dalam-doa Doa adalah suatu komunikasi dua arah. Sewaktu kita mengakhiri
doa kita, kita hendaknya meluangkan waktu untuk berhenti sejenak dan
mendengarkan. Saat seperti itu adalah perlu bagi Bapa Surgawi untuk menasihati,
membimbing, atau menghibur kita sementara kita berlutut. Tanggapan-Nya sering
kali datang melalui suara Roh Kudus yang tenang dan lembut atau, bergantung pada
keadaan kita, itu dapat juga datang melalui tindakan-tindakan kebaikan dari mereka
di sekitar kita. 
Dalam konteks Komunikasi Transendental, pesan (perintah) shalat dari Allah,
disampaikan dengan cara yang berbeda kepada nabi Muhammad SAW dan kepada
manusia. Kalau dalam menyampaikan pesan shalat kepada nabi Muhammad SAW,
Allah SWT melakukannya lewat ‘komunikasi interpersonal’. Sedangkan pesan shalat
kepada manusia disampaikan secara tidak langsung lewat ‘media’ atau firmannya
dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang shalat,
tersebar dalam 92 ayat Al- Qur’an. Namun terdapat beberapa ayat yang secara
langsung (eksplisit) berbicara tentang perintah (pesan) Allah untuk melaksanakan
shalat. Di antara ayat-ayat tersebut adalah: Surat Al-Baqarah ayat 43: Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.5 Surat Huud
ayat 114: Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatanperbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.6 Surat Ibrahim ayat 31: Katakanlah kepada hamba-hamba-
Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan
sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi atau pun
terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli
dan persahabatan.
Dalam Agama Budha Nichiren menyampaikan ajarannya dengan tetap
mempertahankan tradisi Jawa dalam praktek yaitu menempatkan keyakinan agama
Budha Nichiren dan keyakinan abangan dalam tatanan yang masuk akal, untuk
mereka sendiri maupun masyarakat luas. Agama Budha Nichiren Menyampaikan
ajarannya melaui logika Dharma dan menekankan upacara upacara agama dengan
mengacu pada upacara tradisi abangan sehingga masuk akal dan mantap dalam
keyakinan para penganut Budha Nichiren yang semula adalah abangan.
Kesesuaian antara upacara abangan dengan upacara Budha Nichiren dicapai
melalui kesesuaian dalam penekanan upacara yaitu tindakan tindakan yang
menekankan hubungan yang harmonis antara pelaku dengan dunia gaib dan dengan
kehidupan mereka , yaitu dengan cara saling memberi. Yang dalam keyakinan
abangan, disamping doa doa diwujudkan dengan saling pemberian melalui sesaji
kepada tokoh tokoh dunia gaib. Sedangkan dalam agama Budha Nichiren disamping
persembahan sesaji yang berupa makanan juga melakukan daimoku dan melafalkan
myohorengekyo yaitu jiwa raga untuk Saddharma Pundarika Sutra.
Persembahan hidangan dalam upacara abangan di desa Jawa dilakukan
dengan diiringi doa sebagai pengantar maksud baik ditujukan kepada roh roh, para
dewa, nabi nabi Islam, tokoh tokoh Hindu Budha dan Jawa asli; seperti kepada nabi
Adam dan Hawa, nabi Muhammad dengan isteri, anak dan para sahabat, kepada
danyang desa, kepada dua roh penjaga, kepada nenek moyang, kepada bidadari
penjaga dapur, kepada Tuhan yang disebut Pangeran dan Allah, kepada wali wali,
penjaga bumi, kepada mahluk mahluk halus. Sebagai penutup diucapkan doa sebagai
orang Islam yaitu tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
(Suparlan,1976; Geertz,1981).
Persembahan dalam agama Budha Nichiren dalam sesaji berupa makanan dan
buah buahan yang khusus diiringi dengan doa dan myohorengekyo yang
merepresentasikan sutra dan berarti kenyataan tertinggi atau satuan hukum gaib.
Daimoku adalah melaksanakan mantra dengan melafalkan judul dari lotus sutra (yaitu
ajaran agama yang benar ) yang berbunyi myohorengekyo. Dalam melafalkan
daimoku yang diucapkan adalah namu-myohorengekyo yang diinterpretasi sebagai
penyerahan diri mutlak berupa jiwa dan raga kepada hukum tertinggi atau kenyataan
yang absolut yang menjadi dasar dari seluruh fenomena di alam semesta. Dengan
melafalkan namu- myohorengekyo diyakini sebagai satu satunya cara, atau dapat
dinamakan kendaraan tunggal, bagi individu yang meyakininya untuk dapat mencapai
tanah suci yang akan menjadi tempat penantian sebelum lahir kembali ke dunia.
Pelaksanaan doa tersebut, daimoku namu-myohorengekyo diperlakukan sebagai
praktek Dharma. Maksudnya, ini adalah kendaraan tunggal untuk mencapai tanah
suci bagi siapa saja yang melakukan daimoku. Di dalam Dharma tidak berlaku
diskriminasi yang berdasarkan pada baik dan buruk.
Agama Budha Nichiren merupakan salah satu sekte agama Budha yang
muncul di Jepang sebagai pengembangan dari sekte Tendai sebagai salah satu sekte
tertua dari agama Budha di Jepang. Budha Nichiren muncul berkembang pada abad
ke enam sebagai pelopor yang mengawali pemikiran tentang Saddharmapundarika-
sutra sebagai sutra yang unggul dibandingkan dengan sutra sutra lain dari seluruh
ajaran Budha Sakyamuni. Upaya Budha Nichiren menyederhanakan ajaran Budha
dengan menekankan hanya pada satu sutra dipilih sebagai yang unggul mengacu pada
pemikiran hongaku (pencerahan) sebagai dasar dari praktek dharma agar manusia
dapat meraih tujuan hidup. Di dalam Nichiren ada yang disebut dengan ajaran sejati
(honmon) yaitu sandaiho atau tiga hukum rahasia agung. Sandaiho sebagai salah satu
unsur ajaran Nichiren yang utama, merupakan kesatuan dari ajaran tentang Dharma
yang terdiri dari melakukan daimoku (doa mengucapkan sutra lotus), memiliki
gohonzon (objek pemujaan) dan kaidan (tempat gohonzon).
Ajaran Nichiren yang berdasarkan hongaku (pencerahan) mencari kesesuaian
di dalam kehidupan rakyat yaitu menerima dan menempatkan kepercayaan asli
Jepang yang sudah ada sebelumnya berupa tradisi pemujaan terhadap dewa dewa
yang ada di alam semesta pada tatanan yang layak Dharma dalam Budha Nichiren
mengakui keberadaan semua Budha dari berbagai periode dan yang berasal dari
sepuluh penjuru arah; Bodhisattva yaitu mahluk yang berupaya mencapai tingkat
kebudhaan dalam kehidupan untuk kepentingan mahluk lain, dewa Brahma, dewa
Indra, Amaterasu Oomikami dan semua dewa dewa lain seperti Hachiman (dewa
Shinto) serta seluruh dewa yang ada di Jepang. Seluruh kekuatan suci tersebut di
dalam keyakinan ajaran Budha Nichiren mengawasi dan melindungi setiap orang
yang melafalkan sutra lotus.
Myohorengekyo diinterpretasi sebagai wadah dari seluruh sutra sutra lain dan
merupakan wadah dimana seluruh Dharma berada di dalamnya.(Stone,1990) Isi dari
Dharma sebagai wadah adalah lima karakter daimoku (doa) yaitu namu-
myohorengekyo; menyerahkan jiwa raga kepada sutra lotus sebagai hukum tertinggi
yang gaib yang tiada awal dan tiada akhir. Interpretasi ini menghasilkan pemahaman
bahwa kebajikan dan rahmat pada seorang individu dapat diperoleh melalui
lingkungan yang sesuai dimana orang tersebut berada. Dharma menekankan bahwa
praktek keagamaan berfungsi untuk mengidentifikasi setiap gejala dan
menghubungkannya dengan kenyataan akhir yang absolut, memberikan penegasan
akan dunia serta kehidupan dan takdirnya dan menerima kenyataan mengenai segala
sesuatu sampai dengan kehidupan yang gelap dari manusia. Dharma, yaitu
mengucapkan mantra namu-myohorengekyo dan menjaga gohonzon (objek
penyembahan) dengan pikiran suci memberi kemungkinan bagi setiap orang yang
melakukan dapat menuju pada kebudhaan. Pelafalan doa atau mantra namu-
myohorengekyo dengan menghadap ke arah gohonzon (objek penyembahan) dan
adanya kaidan (tempat diletakkannya gohonzon) merupakan upaya untuk
menghindari malapetaka dan segala kesengsaraan, dan sebaliknya memperoleh
keselamatan dan rahmat (rezeki, kesehatan dan kesejahteraan pada umumnya).
Sedangkan dalam agama Hindu , Masyarakat Hindu khususnya yang
berdomisili di Bali dalam berkomunikasi dengan Tuhan-nya tidak pernah lepas dari
penggunaan banten (sajen) dan sarananya yang merupakan simbol-simbol buana
agung dan buana alit. Dalam setiap upacara Agama Hindu di Bali dalam tingkatan
tertentu baik Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, Bhuta Yadnya, maupun
Pitra Yadnya selalu banten-nya dilengkapi dengan sarana berupa isi alam ini terutama
tumbuh- tumbuhan dan hewan (binatang) yang kalau diperhatikan dengan saksama
mengandung tattwa (filosofi) yang sangat dalam.
Secara kasat mata, umumnya sarana banten tersusun sedemikian rupa,
sehingga kelihatan sangat indah dan menarik. Namun sangat disayangkan, masih
banyak umat Hindu pemahaman tattwa (filosofi)-nya tentanng banten tersebut masih
kurang (lemah) termasuk penggunaan hewan sebagai sarana upakara banten. Ahli
banten, Wiana (2013: 2) menyebutkan bahwa orang-orang suci telah menganjurkan
agar setiap upacara dapat menimbulkan vibrasi ketuhanan untuk meningkatkan
kualitas kesehatan jiwa atau rohani umat Hindu maka sepatutnya memiliki lima unsur
terpadu yaitu sebagai berikut ini.

a. Mantra: adalah syair suci sabda Tuhan untuk meningkatkan kualitas atau
kemurnian pikiran.

b. Tantra: adalah niat suci dengan membangun struktur diri yang ideal.

c. Yantra: simbul sebagai sarana sakral (berupa banten di Bali).

d. Yadnya: adalah sikap ikhlas dari hati sanubari yang paling dalam berkorban
untuk tujuan suci.

e. Yoga: adalah kesatuan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan (Tri Hita
Karana), dan pikiran, perkataan, dan perbuatan (Tri Kaya Parisudha), serta kita
semuanya sama di hadapan Tuhan (Tat Twam Asi). Makna dari kelima keterpaduan
unsur ini dapat menumbuhkan rasa dekat (arti harfiah dari upacara) pada manusia,
alam, dan Tuhan. Namun sangat disayangkan, sekarang ini rasa kasih pada alam
lingkungan sangat kurang, sehingga terjadi berbagai kerusakan alam lingkungan
termasuk hewan yang ada di dalamnya, karena kurangnya komunikasi secara batin
antara manusia dan alam lingkungannya.

Umat Hindu di negeri asalnya, India, dalam acara (tradisi) agama penggunaan
daging hewan sebagai perlengkapan jamuan disebut Anna Seva hampir tidak ada
dikenal adanya makanan dengan lauknya daging hewan. Pada dasarnya, mereka
hanya mempersembahkan yang bersifat inti saja dari suatu persembahan suci sebagai
rasa bakti mereka pada Tuhan yaitu bunga, buah dan air yang segar, serta api yang
suci, tidak menyembelih hewan/tanpa daging (ahimsa). Secara filosofis bunga itu
adalah lambang bunga pikiran yang suci/ murni, buah adalah lambang buah hati yang
suci/ murni, air adalah lambang air mata kebahagiaan, dan api adalah lambang
energi/kekuatan suci Tuhan. Demikian wacana Maha Guru Sathya Narayana kepada
para bhakta-Nya pada suatu kesempatan di Putaparthi, Andhra Pradesh, India
beberapa tahun yang lalu.
Komunikasi dengan Alam Lingkungan Sebagaimana halnya manusia, ternak
yang dipakai sarana upacara dan ternak lainnya pun mempunyai hari istimewa yang
disebut Tumpek Kandang. Pada hari tersebut ternak- ternak peliharaan dibuatkan
sajen dan sajen itu dibawa langsung oleh peternaknya ke kandang ternak tersebut
dengan tujuan dapat berkomunikasi langsung dengan alam sekitarnya khususnya
ternak tersebut (walau dengan bahasa isyarat) dan sekaligus untuk memuliakan Tuhan
melalui pemberian perhatian, penghormatan, penghargaan kepada ternak tersebut dan
juga pemberian makanan pada berbagai hewan lainnya (menjaga hubungan harmonis
antara manusia dan lingkungannya).

Di India (asal agama Hindu) hari raya tersebut disebut Sangkara Puja, yaitu
hari raya pemuliaan kepada Dewa Sangkara sebagai manifestasi Tuhan yang
memiliki fungsi sebagai pengayom semua hewan (fauna) dan tumbuh-tumbuhan
(flora). Tuhan tidak saja menciptakan dan mengayomi semua yang telah ada dan yang
akan nada di dunia ini, tetapi juga mengembalikan pada asalnya (sang Pencipta,
Tuhan Yang Maha Esa) tanpa istirahat sedetikpun. Sungguh betapa sempurnanya
tugas- tugas Beliau. Manusia mahluk tertinggi derajatnya yang dikaruniai pikiran
cerdas sedangkan yang lainnya tidak, sudah sewajarnya manusia menjadi tauladan
dan menghormati sesama untuk merajut sebuah kesatuan dalam kebhinekaan.

Orang-orang suci sering menyebutkan bahwa pelayanan suatu pemujaan yang


dilakukan seseorang dengan penuhpengorbanan suciberarti melayani Tuhan juga.
Dengan demikian, ia tidak percuma dipilih Tuhan menjadi alat-Nya, karena
kepercayaan yang diberikan sudah teruji dan layak sebagai pengikut-Nya (Tuhan
maha tahu). Ada sebuah ungkapan “layani semua kasihi semua”. Ungkapan ini adalah
sadhana tertinggi di mata Tuhan. Untuk itu, manusia harus tetap sehat agar dapat
melayani dan mengasihi semuanya di mana pun dan kapan pun. Melayani sesama
adalah melayani Tuhan juga. Namun sang Buddha mengatakan bahwa hidup di dunia
ini adalah penderitaan. Bagaimana kita bisa melayani dan mengasihi semua atau pun
Tuhan ketika penderitaan itu datang silih- berganti menimpa kita? Agar kita selalu
dapat melayani dan mengasihi semua, seorang Maha Guru Dunia, Sathya Narayana,
menyarankan:

1).berkomunikasi dan datanglah kepada Tuhan (di mana pun boleh, Tuhan ada
di mana- mana), bawalah segala keluhan, permasalahan, dan penderitaan yang
dialami, ambilah kasih sebanyak-banyaknya dari-Nya, karena Ia adalah sumber dari
kasih itu sendiri;

2).serahkanlah segalanya (apa yang kita miliki) kepada Tuhan dengan tulus,
Beliau akan melindungi apa yang kita miliki dan memberikan segala apa yang kita
butuhkan (termasuk kesehatan);
3).berdoalah setiap hari untuk menyucikan pikiran dan hati serta kesejahteraan
lahir dan batin semuanya. Bila semua hal tersebut dapat dilakukan dengan baik,
benar, dan tulus Tuhan menjamin tidak ada yang tidak bisa dilakukan demi kebaikan
bersama. Selanjutnya, secara lahiriah untuk berjaga- jaga agar badan tetap sehat
diperlukan makanan sebagai sumber energi berkelanjutan untuk berbagai aktivitas.
Artinya, manusia hidup di dunia ini butuh makanan untuk hidup secara fisik (badan)
maupun non-fisik (hati dan pikiran). Secara biologis, manusia termasuk pemakan
segala (omnivora). Artinya, apa pun yang bisa dimakan akan dimakan. Dengan
kemajuan teknologi, ilmu pengatahuan dan seni (IPTEKS) berbagai jenis bahan
makanan dapat diolah untuk menjadi makanan siap saji yang rasanya enak dan
menyehatkan. Namun, jangan lupa bahwa dari semua bahan makanan yang ada di
dunia ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga (dari segi spiritual) yaitu:

1) Satwika (kacang-kacangan, sayur-sayuran, buah-buahan segar, umbi-


umbian, dan susu menghasilkan ketenangan, kedamaian dan menyehatkan). Orang
vegetarian menggunakan semua bahan ini dengan menyesuaikan rasa yang hampir
sama dengan produk daging. Pada umumnya orang vegetarian mudah berkomunikasi
dengan Tuhan-nya, karena makanan satwika yang dikonsumsi memurnikan hati,
pikiran, dan fisik yang sehat. Di mana ada kemurnian hati, pikiran, dan fisik yang
sehat di sana Tuhan hadir.

2) Rajasika (bermacam-macam daging termasuk ikan yang baunya amis,


berbagai bumbu pedas dan merangsang dapat menyebabkan agresif, hiper aktif, dan
sebagainya). Bila dimakan secara berlebihan badan dan pikiran menjadi tidak sehat
karena berbagai penyakit yang ditimbulkannya (penyakit jantung koroner, asam urat,
arteriosklerosis, obesitas, strok, dan lain- lain.

3) Tamasika (makanan yang telah basi, kotor, bau, dan sebagainya


menyebabkan orang malas, tidak ada gairah hidup, tidak memiliki rasa peduli, apatis,
dan lain sebagainya).
DAFTAR PUSTAKA

Puja, G. dan Sudharta, T. R. 1973. Manava Dharmasastra. Depag RI. Jakarta.

Puja, Gede. 1975. Pengantar Agama Hindu III Weda. Mayasari, Jakarta.

Puja, G dan Sudharta, Tjokorda Rai. 2002. Manawa Dharmasastra. CV. Pelita
Nursatama Lestari, Jakarta.

Sathya Narayana. 2008. Weda yang Agung Sumber dari Semua Dharma
(Terjemahan) Paramita: Surabaya.

Sathya Narayana. 2005. Sri Sathya Sai Veda Vani. SSS Books & Publikations
Trust, Prasanthi Nilayam, PO Box 155134, Anantapur District, Andhra Pradesh,
India.

Nina Winangsih Syam dan Dadang Sugiana, Perencanaan Pesan dan Media,
(Jakarta: Universitas Terbuka, 2004), hal. 14

Deddy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi; Meneropong Politik Dan


BudayaKomunikasi Masyarakat Kontemporer (Remaja Rosdakarya, Bandung: 1999)
h. 49

Rijardus A.Van Koiij, dkk., Menguak Fakta Menata Karya Nyata (Jakarta:

GunungMulia, 2008), h.101.

A. Sudiarja, dkk., Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir


YangTerlibat Penuh Dalam PerjuanganNBangsanya (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006), h.687.

Anda mungkin juga menyukai