Wara’ adalah salah satu maqam atau tingkat dalam tasawuf yang
dimana tahapan ini juga harus dimiliki oleh peserta didik dalam thalabul
ilmi. Kata wara’ berasal dari bahasa arab yang memiliki arti shaleh atau
orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dosa. 1 Adapun secara bahasa
maqam adalah tahapan, sedangkan menurut istilah maqam adalah upaya
sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, yakni melalui tahapan-
tahapan untuk mencapai ma’rifatullah, dimana upaya tersebut telah
menjadi sifat yang menetap pada diri seseorang. Berdasarkan pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa maqam di jalani seorang salik melalui
usaha yang sungguh-sungguh, yakni kewajiban yang harus di tempuh
dalam jangka waktu tertentu.2
1
Mukhlisin, ciri-ciri wara’ dalam al-qur’an (Studi Tafsir Al-Misbah dan Al-azhar), (Bandar Lampung:
Fakultas Ushuluddin UIN Raden intan Lampung, 2017) hal. 3
2
Ris’an Rusdi, Tasawuf dan Tarekat: studi pemikiran dan pengalaman sufi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013) hal. 54
1
mempraktikkan wara’ dan menjalankan sebagai bagian dari proses hidup
manusia menuju asal penciptaannya, yakni khalifah fil ardhi.
Hadits di atas telah mencakup semua hal yang tidak bermanfaat baik
dari perkataan, pendengaran, pandangan dan semua gerakan lahiriyah
dan bathiniyah yang di kerjakan dalam kehidupan sehari-hari.
3
Imam An Nawawi, Matan Hadits Arba’in (solo: Pustaka arafah, 2017) hal. 28
4
Ahmad Bangun nasution, dan rayani hanum siregar, akhlaq tasawuf, pengenalan, pemahaman, dan
pengaplikasiannya di sertai biografi dan tokoh-tokoh sufi (Jakarta: Rajawali perss, 2015) hal. 49
2
dengan sangat hati-hati dari setiap perkara yang dapat menyebabkan
kemurkaan Allah SWT di dunia maupun di akhirat.
Menurut para Sufi dalam jurnal ansiru Pai yang berjudul maqamat,
berpendapat bahwa wara’ di bagi menjadi dua macam yaitu wara’ segi
lahiriyah dan wara’ bathin. Wara’ lahiriyah yaitu tidak menggunakan
anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak di ridhoi, sedangkan wara’
bathin yaitu tidak mengisi hatinya kecuali hanya Allah SWT. 5
5
Miswar, maqamat (tahapan yang harus di tempuh dalam proses bertasawuf) (jurnal ansiru Pai) hal. 13
6
Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi, tanhibul ghafirin terj. Abi Imam Taqyuddin (Surabaya:
mutiara ilmu, 2012) hal. 529
7
Said Hawa, Intisari Ihya’ ulumuddin Al-Ghazali mensucikan jiwa (Jakarta: Robbani Press, 2004) hal. 361
3
a. Wara’ al udud (wara’ yang memiliki kelayakan moralitas) yaitu bagi
orang-orang yang adil. Orang yang memiliki sikap wara’ ini akan
meninggalkan suatu perbuatan sesuai syariat. Setiap hal yang di
haramkan, jika hal itu di langgar maka pelakunya akan di nilai
melakukan dosa yakni kefasikan dan kemaksiatan.
b. Waraus shalihin (wara’ orang-orang yang sholeh). Tingkatan ini lebih
tinggi dari wara’ al udud, orang-orang yang mempunyai sifat wara’ ini
di anjurkan untuk menjauhi perkara syubhat, baik syubhat yang tidak
wajib di jauhi tetapi di anjurkan untuk di jauhi, dan apa yang wajib di
jauhi maka hukumnya maka hukumnya menjadi haram.
c. Wara’ al muttaqin (wara’ orang-orang yang bertaqwa). Tingkatan ini
lebih tinggi dari waraus shalihin, orang yang memiliki sifat wara’ ini
akan meninggalkan perbuatan yang di perbolehkan (mubah), karena
khawatir jika hal itu membahayakan iman, seperti orang-orang yang
membahayakan, bergaul dengan orang-orang yang berbuat maksiat
dan lain sebagainya.
d. Wara’ ash-shadiqin (wara’ orang-orang jujur). Ini adalah tingkatan
tertinggi, tingkatan ini juga di sebut tingkatan muwahhidin (orang-
orang yang bertauhid) yakni orang yang terhindar dari tuntutan nafsu,
ia akan berhati-hati terhadap sesuatu meskipun tidak ada bahayanya
sedikitpun.
4
karena Allah SWT. Yakni sesuatu yang di lakukan dengan syahwat dan
dengan cara yang makruh.