Anda di halaman 1dari 5

Sikap wara’ dalam menuntut ilmu

Wara’ adalah salah satu maqam atau tingkat dalam tasawuf yang
dimana tahapan ini juga harus dimiliki oleh peserta didik dalam thalabul
ilmi. Kata wara’ berasal dari bahasa arab yang memiliki arti shaleh atau
orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dosa. 1 Adapun secara bahasa
maqam adalah tahapan, sedangkan menurut istilah maqam adalah upaya
sadar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, yakni melalui tahapan-
tahapan untuk mencapai ma’rifatullah, dimana upaya tersebut telah
menjadi sifat yang menetap pada diri seseorang. Berdasarkan pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa maqam di jalani seorang salik melalui
usaha yang sungguh-sungguh, yakni kewajiban yang harus di tempuh
dalam jangka waktu tertentu.2

Wara’ merupakan salah satu bidang kajian studi islam yang


memusatkan perhatian dalam upaya membersihkan diri pada aspek
bathiniyah yang dapat menggairahkan akhlaq mulia pada diri setiap
muslim. Namun sebagian besar orang awam menganggap wara’ adalah
persoalan kecil, pada kenyataannya sangat sulit di karenakan
penerapannya cenderung terabaikan. Sehingga wara’ menjadi sangat
penting untuk di bicarakan, mengingat wara’ mempunyai ruang lingkup dan
persoalan yang berkaitan dengan suatu tindakan dan tingkah laku
seseorang baik lahir maupun bathin sehingga usaha pengabdiannya untuk
mendekatkan diri dan mencari ridho Allah SWT menjadi maksimal. Maka
dari itu sangat penting bagi seseorang untuk mempelajari dan

1
Mukhlisin, ciri-ciri wara’ dalam al-qur’an (Studi Tafsir Al-Misbah dan Al-azhar), (Bandar Lampung:
Fakultas Ushuluddin UIN Raden intan Lampung, 2017) hal. 3
2
Ris’an Rusdi, Tasawuf dan Tarekat: studi pemikiran dan pengalaman sufi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013) hal. 54

1
mempraktikkan wara’ dan menjalankan sebagai bagian dari proses hidup
manusia menuju asal penciptaannya, yakni khalifah fil ardhi.

Wara’ merupakan bentuk menahan diri dari hal-hal yang di


haramkan, kemudian di pakai sebagai bentuk menahan diri dari hal yang
halal dan mubah. Hal tersebut bertujuan untuk mengajarkan umat islam
bahwa segala sesuatu yang di lakukan perlu adanya sikap hati-hati agar
tidak terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa.

Rasulullah menggabungkan sikap wara’ dalam sebuah kalimat yang


berbunyi:

.‫من حسن اسالم المرءة تركه ما ال يعنيه‬

Yang artinya: salah satu bentuk kebaikan islamnya seseorang adalah


ketika dia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya. 3

Hadits di atas telah mencakup semua hal yang tidak bermanfaat baik
dari perkataan, pendengaran, pandangan dan semua gerakan lahiriyah
dan bathiniyah yang di kerjakan dalam kehidupan sehari-hari.

Hakikat wara’ adalah menjauhi atau meninggalkan segala hal yang


belum jelas halal dan haramnya serta orang yang menjaga marwah (harga
diri) merupakan hakikat wara’. Hal ini berlaku dalam segala hal atau
aktifitas kehidupan manusia seperti makanan, minuman, pakaian,
pembicaraan, perjalanan dan lain-lain. 4 Dengan penerapan sikap wara’
maka seseorang dapat mengenal Allah SWT dengan menempatkan-Nya
sebagaimana mestinya, mengagungkan segala perintah dan larangan-Nya

3
Imam An Nawawi, Matan Hadits Arba’in (solo: Pustaka arafah, 2017) hal. 28
4
Ahmad Bangun nasution, dan rayani hanum siregar, akhlaq tasawuf, pengenalan, pemahaman, dan
pengaplikasiannya di sertai biografi dan tokoh-tokoh sufi (Jakarta: Rajawali perss, 2015) hal. 49

2
dengan sangat hati-hati dari setiap perkara yang dapat menyebabkan
kemurkaan Allah SWT di dunia maupun di akhirat.

Menurut para Sufi dalam jurnal ansiru Pai yang berjudul maqamat,
berpendapat bahwa wara’ di bagi menjadi dua macam yaitu wara’ segi
lahiriyah dan wara’ bathin. Wara’ lahiriyah yaitu tidak menggunakan
anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak di ridhoi, sedangkan wara’
bathin yaitu tidak mengisi hatinya kecuali hanya Allah SWT. 5

Di kutip dalam kitab Tanbihul Ghafirin karya al imam al-Faqih Abu


Laits As-Samarqandi, Al-Faqih berpendapat bahwa bukti adanya wara’
dalam diri seseorang yaitu: “jika telah menganggap adanya 10 kewajiban
ada pada dirinya” antara lain sebagai berikut: 6

a. Memelihara lisan tidak sampai ghibah (menggunjing).


b. Tidak berburuk sangka.
c. Tidak menghina (merendahkan orang).
d. Memelihara pandangan mata dari yang haram.
e. Bicara benar.
f. Mengingat nikmat Allah padanya, agar tidak sombong.
g. Menggunakan harta dalam kebenaran, bukan kebathilan.
h. Tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong.
i. Memelihara waktu shalat 5x dan menyempurnakan ruku’.
j. Istiqamah mengikuti sunnatur rasul dan jamaah umat islam.

Al ghazali membagi wara’ menjadi empat tingkatan yaitu:7

5
Miswar, maqamat (tahapan yang harus di tempuh dalam proses bertasawuf) (jurnal ansiru Pai) hal. 13
6
Al-Imam Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi, tanhibul ghafirin terj. Abi Imam Taqyuddin (Surabaya:
mutiara ilmu, 2012) hal. 529
7
Said Hawa, Intisari Ihya’ ulumuddin Al-Ghazali mensucikan jiwa (Jakarta: Robbani Press, 2004) hal. 361

3
a. Wara’ al udud (wara’ yang memiliki kelayakan moralitas) yaitu bagi
orang-orang yang adil. Orang yang memiliki sikap wara’ ini akan
meninggalkan suatu perbuatan sesuai syariat. Setiap hal yang di
haramkan, jika hal itu di langgar maka pelakunya akan di nilai
melakukan dosa yakni kefasikan dan kemaksiatan.
b. Waraus shalihin (wara’ orang-orang yang sholeh). Tingkatan ini lebih
tinggi dari wara’ al udud, orang-orang yang mempunyai sifat wara’ ini
di anjurkan untuk menjauhi perkara syubhat, baik syubhat yang tidak
wajib di jauhi tetapi di anjurkan untuk di jauhi, dan apa yang wajib di
jauhi maka hukumnya maka hukumnya menjadi haram.
c. Wara’ al muttaqin (wara’ orang-orang yang bertaqwa). Tingkatan ini
lebih tinggi dari waraus shalihin, orang yang memiliki sifat wara’ ini
akan meninggalkan perbuatan yang di perbolehkan (mubah), karena
khawatir jika hal itu membahayakan iman, seperti orang-orang yang
membahayakan, bergaul dengan orang-orang yang berbuat maksiat
dan lain sebagainya.
d. Wara’ ash-shadiqin (wara’ orang-orang jujur). Ini adalah tingkatan
tertinggi, tingkatan ini juga di sebut tingkatan muwahhidin (orang-
orang yang bertauhid) yakni orang yang terhindar dari tuntutan nafsu,
ia akan berhati-hati terhadap sesuatu meskipun tidak ada bahayanya
sedikitpun.

Dari pendapat Al-Ghazali di atas bahwa wara’ memiliki batas awal


yakni wara’ al udud sampai batas batas akhir yakni wara’ as shadiqin.
Setiap orang memiliki sifat wara’ yang berbeda-beda dengan beberapa
tingkatan, yakni menghindarinya sesuai dengan sifat wara’ yang
dimilikinya. Maksudnya adalah menghindari sesuatu yang di lakukan bukan

4
karena Allah SWT. Yakni sesuatu yang di lakukan dengan syahwat dan
dengan cara yang makruh.

Sedangkan yang di maksud tingkatan adalah semakin ketat seorang


hamba membatasi dirinya dari perkara tersebut, maka semakin ringan
bebannya di akhirat dan begitu sebaliknya. Karena akan terjadi perbedaan
kedudukan di akhirat, dan hal itu terlihat sesuai dengan perbedaan
tingkatan halal dan haram yang dia lakukan selama di dunia.

Anda mungkin juga menyukai