Anda di halaman 1dari 14

Adab Adab adalah satu istilah bahasa Arab yang berarti adat kebiasaan.

Kata ini menunjuk pada suatu kebiasaan, etiket, pola tingkah laku yang dianggap sebagai model. Selama dua abad petama setelah kemunculan Islam, istilah adab membawa implikasi makna etika dan sosial. Kata dasar Ad mempunyai arti sesuatu yang mentakjubkan, atau persiapan atau pesta. Adab dalam pengertian ini sama dengan kata latin urbanitas, kesopanan, keramahan, kehalusan budi pekerti masyarakat kota. Dengan demikian adab sesuatu berarti sikap yang baik dari sesuatu tersebut. Bentuk jamaknya adalah db al-Islam, dengan begitu, berarti pola perilaku yang baik yang ditetapkan oleh Islam berdasarkan pada ajaran-ajarannya. Dalam pengertian seperti inilah kata adab. Sumber Adab Adat kebiasaan di dalam banyak kebudayaan selain kebudayaan Islam sangat ditentukan oleh kondisi-kondisi lokal dan oleh karena itu tunduk pada perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kondisi-kondisi tersebut. Menurut W.G. Summer, dari berbagai kebutuhan yang timbul secara berulang-ulang pada satu waktu tertentu tumbuh kebiasaankebiasaan individual dan adat kebiasaan kelompok. Tetapi kebiasaan-kebiasaan yang muncul ini adalah konsekuensi-konsekuensi yang timbul secara tidak disadari, dan tidak diperkirakan lebih dulu atau tidak direncanakan. Ahlak dan adab Islam tidaklah bersifat tanpa sadar seperti dalam pengertian di atas. Adab dan kebiasaankebiasaan Islam itu berasal dari dua sumber utama Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah, perbuatan-perbuatan dan kata-kata Nabi serta perintah-perintahnya yang tidak langsung. Oleh karena itu akhlak Islam itu jelas berdasarkan pada wahyu Alloh SWT. Read more: http://agussyafii.blogspot.com/2009/02/pengertian-adab.html#ixzz1p2hgCFF8

Pengertian Adab menurut bahasa ialah kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, akhlak. Adapun menurut M. Sastra Praja, adab yaitu tata cara hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah, adab ialah: Adab ialah suatu ibarat tentang pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah. Dengan demikian dapatlah diambil pengertian bahwa adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang. Maka jelaslah bahwa seseorang itu bisa mulia dan terhormat di sisi Allah dan manusia apabila ia memiliki adab dan budi pekerti yang baik. Seseorang akan menjadi orang yang beradab dengan baik apabila ia mampu menempatkan dirinya pada sifat kehambaan yang hakiki. Tidak merasa sombong dan tinggi hati dan selalu ingat bahwa apa yang ada di dalam dirinya adalah pemberian dari Allah swt. Sifat-sifat tersebut telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan sempurna. Oleh sebab itu Allah swt. memuji beliau dengan firmannya yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Menurut al-Ghazali akhlak mulia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan Allah swt. yaitu para Nabi dan Rasul dan merupakan amal para shadiqin. Akhlak yang baik itu merupakan sebagian dari agama dan hasil dari sikap sungguh-sungguh dari latihan yang dilakukan oleh para ahli ibadah dan para mutaqin. Al-Ghazali sangat menaruh perhatian kepada pendidikan akhlak. Hal ini dapat dilihat dari perkataan beliau: Ketahuilah, bahwa tasawuf itu adalah dua hal, yaitu ketulusan kepada Allah swt. dan pergaulan yang baik dengan sesama manusia. Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah (ketekunan) dan latihan jiwa. Mujahadah dan riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut al-Ghazali ialah membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau: Barangsiapa yang

ingin dirinya mempunyai akhlak pemurah, maka ia harus melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan pemurah, yakni dermawan, dan gemar bersedekah. Jika beramal bersedekah dilakukan secara istiqamah, maka akan jadi kebiasaan. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt.: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali tentang pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama. Pandangan al-Ghazali tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al Jumbulati menyatakan: Pendidikan moral terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus-menerus. Oleh karena itu pendidikan akhlak menurut John Dewey adalah pendidikan dengan berbuat dan berkegiatan (learning to do), yang terdiri dari sikap tolong-menolong, berbuat kebajikan dan melayani orang lain, dapat dipercaya dan jujur. Ahli pendidikan Amerika ini berpendirian bahwa akhlak tidak dapat diajarkan melalui cara lain kecuali dengan pembiasaan melakukan perbuatan yang berproses. Dengan demikian adalah pasti jika dikatakan bahwa akhlak baik tidak akan dapat terbentuk kecuali dengan membiasakan seseorang berbuat suatu pekerjaan yang sesuai dengan sifat akhlak itu. Jika seseorang mengulangulangi berbuat sesuatu tertentu maka berkesanlah pengaruhnya terhadap perilakunya dan menjadi kebiasaan moral dan wataknya. DAFTAR PUSTAKA PENGERTIAN ADAB 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Dep. Pend. Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990 M. Sastra Praja, Kamus istilah Pendidikan dan Umum, Usaha Nasional, Surabaya, 1991 Imam Jurjani, Attarifat, Al Haramain, Singapor Khadim al Haramain asy Syarifain Raja Fahd ibn Abd al Aziz al Saud, Al-Quran dan Terjemahnya, Juz. 29, Al Qalam, Ayat. 4, Mujamma, Madinah, 1971 Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Suntingan Abu Fajar Al Qalami, Gitamedia Press, Surabaya, 2003 Imam Al-Ghazali, Samudera Hikmah Al-Ghazali (Majmuah Rasail al-Ghazali), terjemahan Kamran A Irsyadi, Pustaka Al Furqan, Yogyakarta, 2007 Ali Al Jumbulati & Abdul Futuh At Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1994 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1988) memiliki dua pengertian, yaitu : 1. Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang yang dapat digunakan suatu bidang untuk yang disusun gejala-gejala

secara bersistem menurut metode-metode tertentu, tertentu dibidang sebagainya. 2.

menerapkan

(pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu

pendidikan, ilmu ekonomi dan

Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang soal ilmu akhlak, ilmu

duniawi, akhirat,

lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, Dari pengertian diatas dapat disimpulkan :

bathin, ilmu sihir, dan sebagainya.

Ilmu : merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, dengan menggunakan metodemetode tertentu. KARAKTERISTIK ILMU Menurut Randall dan Buchker (1942) mengemukakan beberapa ciri umum ilmu diantaranya : 1. Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama. karena yang menyelidiki

2. Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan adalah manusia.

3. Ilmu bersifat obyektif, artinya prosedur kerja atau cara penggunaan metode tergantung kepada yang menggunakan, tidak tergantung pada pemahaman secara pribadi. Menurut Ernest van den Haag (Harsojo, 1977), mengemukakan ciri-ciri ilmu, yaitu : 1. 2. 3. 4. selanjutnya. Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal oleh panca terkecuali. objek

ilmu

tidak

(rasio). indera.

Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan sekitar pengalaman Bersifat umum, hasil ilmu dapat dipergunakan oleh manusia tanpa Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat dipergunakan untuk dijadikan

penelitian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, 2001, ilmu artinya adalah pengetahuan atau kepandaian. Dari penjelasan dan beberapa contohnya, maka yang dimaksud pengetahuan atau kepandaian tersebut tidak saja berkenaan dengan masalah keadaan alam, tapi juga termasuk kebatinan dan persoalan-persoalan lainnya. Sebagaimana yang sudah kita kenal mengenai beberapa macam nama ilmu, maka tampak dengan jelas bahwa cakupan ilmu sangatlah luas, misalnya ilmu ukur, ilmu bumi, ilmu dagang, ilmu hitung, ilmu silat, ilmu tauhid, ilmu mantek, ilmu batin (kebatinan), ilmu hitam, dan sebagainya. Kata ilmu sudah digunakan masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Di Indonesia, bahkan sebelum ada kata ilmu sudah dikenal kata-kata lain yang maksudnya sama, misalnya kepandaian, kecakapan, pengetahuan, ajaran, kawruh, pangrawuh, kawikihan, jnana, widya, parujnana, dan lain-lain. Sejak lebih dari seribu tahun yang lampau nenek moyang bangsa kita telah menghasilkan banyak macam ilmu, contohnya kalpasastra (ilmu farmasi), supakasastra (ilmu tataboga), jyotisa (ilmu perbintangan), wedastra (ilmu olah senjata), yudanegara atau niti (ilmu politik), wagmika (ilmu pidato), sandisutra (sexiology), dharmawidi (ilmu keadilan), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Menuntut Ilmu adalah Ibadah yang Agung Di antara ibadah yang agung dan utama adalah menuntut ilmu syar'i. Adapun ilmu syar'i adalah firman-firman Allah dan sabda-sabda Rasul-Nya. Sesungguhnya menuntut ilmu merupakan di antara amalan pendekatan diri kepada Allah yang paling utama yang seorang hamba dapat mendekatkan diri dengan amalan tersebut kepada Rabbnya, dan termasuk ketaatan yang paling baik yang akan mengangkat kedudukan seorang muslim dan meninggikan derajatnya di sisi Allah Ta'ala. Dan sungguh Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya agar berilmu dan belajar, tafakkur (memikirkan ayatayat-Nya yang syar'iyyah yaitu Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah dan ayat-ayat-Nya yang kauniyyah yaitu alam semesta ini), tadabbur (memikirkan akibat-akibat dari amalan-amalan yang dikerjakannya); dan memperingatkan dari kebodohan dan mengikuti hawa nafsu; serta menerangkan bahwasanya ilmu yang akan memberikan manfaat bagi pemiliknya pada hari kiamat adalah ilmu yang seorang hamba mengikhlashkan padanya untuk penolongnya yaitu Allah; dan dia mengharap untuk mendapatkan ridha-Nya di dalam menuntut ilmu tersebut, serta beradab dengan adab Islam dan berakhlak dengan akhlaknya pemimpin manusia yaitu Rasulullah yang akhlaknya adalah AlQur`an. Pentingnya Adab dalam Menuntut Ilmu Oleh karena itulah, perhatian Rasulullah dalam mengajarkan adab kepada para shahabatnya tidaklah mengurangi perhatian beliau dalam mengajarkan ilmu kepada mereka, demikian juga perhatian beliau dalam mendidik dan mensucikan / membersihkan jiwa-jiwa mereka tidaklah mengurangi perhatian beliau dalam menjelaskan dan menerangkan hukum-hukum Islam kepada mereka. Maka bisa disimpulkan bahwa ilmu tanpa disertai adab tidak akan bermanfaat dan ilmu yang tidak disertai dengan jiwa yang bersih dan suci sungguh akan menghujat pemiliknya pada hari kiamat, pada hari tidak akan bermanfaat harta maupun anak-anak kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat / lurus. Dan dari sini muncullah perhatiannya Salafush shalih dengan mendidik para penuntut ilmu dan membersihkan jiwa-jiwa mereka serta mengobati penyakit-penyakit hati mereka, sehingga mereka (salafush shalih) memberikan adab kepada para penuntut ilmu sebelum memberikan ilmu itu sendiri, dan mengawasi keadaan-keadaan mereka layaknya seorang dokter yang mengobati pasien, maka dia akan mencari seluruh obat yang bermanfaat untuk pasiennya tersebut sampai dia bangkit dari kelemahannya dan sembuh dari sakitnya. Dan tidaklah mengherankan apabila kita mendapatkan berpuluh-puluh tulisan yang telah ditulis oleh para ulama yang mulia ini yang membicarakan akhlak-akhlak seorang penuntut ilmu dan adab-adabnya, serta metode mendidik para pelajar dan memberikan adab kepada mereka, sehingga keluarlah melalui tangan-tangan mereka generasi-generasi yang diberkahi yang membawa ilmu yang disertai dengan pengamalan dan penerapan adabadabnya, di mana mereka menerapkan ilmu tersebut dengan sebaik-baiknya, sehingga terbentuklah masa depan Islam yang dianggap sebagai kebanggaan ummat, dan semakin jelaslah kewibawaan para ulama dan kedudukan mereka, melebihi kedudukan para penguasa, dan jadilah kemuliaan ilmu dan ulama sebagai sifat yang jelas dan nampak di tengah-tengah masyarakat muslimin.

Adab-adab Seorang Penuntut Ilmu Di antara adab-adab yang mendasar yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu adalah sebagai berikut: 1. Ikhlash dalam menuntut ilmu 2. Beramal dengan ilmu yang telah dipelajari dan menjauhi maksiat 3. Tawadhu' (rendah hati) 4. Menghormati ulama dan majlis ilmu 5. Sabar dalam menuntut ilmu 6. Berlomba-lomba dalam menuntut ilmu 7. Jujur dan amanah

8. Menyebarkan ilmu dan mengajarkannya 9. Zuhud terhadap dunia 10. Bersungguh-sungguh dalam menjaga waktu dan memanfaatkannya semaksimal mungkin 11. Mengulang pelajaran supaya tidak lupa 12. Adanya kewibawaan dan rasa malu 13. Berteman dengan orang shalih Adab-adab ini merupakan senjata yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu syar'i dan harus diterapkan dalam kehidupannya agar ilmunya membuahkan hasil berupa pembersihan terhadap jiwa dan keistiqomahan dalam akhlak serta penerimaan di tengah-tengah manusia, sehingga manusia mengikuti dan meneladani mereka. Kita meminta kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan lalu mengikuti yang terbaiknya, dan agar memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, sesungguhnya Dia adalah Dzat yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia, aamiin. Wallaahu A'lam wa Huwal Muwaffiq. Disadur dari Aadaabu Thaalibil 'Ilmi hal. 5-9.

Adab-adab dalam menuntut ilmu yang harus kita ketahui agar ilmu yang kita tuntut berfaidah bagi kita dan orang yang ada di sekitar kita sangatlah banyak. Adab-adab tersebut di antaranya adalah : 1. Ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Taala Hendaknya niat kita dalam menuntut ilmu adalah karena Allah Azza Wa Jalla dan untuk negeri akhirat. Apabila seseorang menuntut ilmu hanya untuk mendapatkan gelar agar bisa mendapatkan kedudukan yang tinggi atau ingin menjadi orang yang terpandang atau niat yang sejenisnya, maka Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam telah memberi peringatan tentang hal ini dalam sabdanya : Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, tidaklah ia mempelajarinya melainkan untuk memperoleh harta dunia, dia takkan mendapatkan harumnya bau surga di hari kiamat. [Dekeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang hasan] Tetapi kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan syahadah (MA atau Doktor, misalnya) bukan karena ingin mendapatkan dunia, tetapi karena sudah menjadi peraturan yang tidak tertulis kalau seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, segala ucapannya menjadi lebih didengarkan orang dalam menyampaikan ilmu atau dalam mengajar. Niat ini - insya Allah - termasuk niat yang benar. 2. Untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain. Semua manusia pada mulanya adalah bodoh. Kita berniat untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita, setelah kita menjadi orang yang memiliki ilmu kita harus mengajarkannya kepada orang lain untuk menghilang kebodohan dari diri mereka, dan tentu saja mengajarkan kepada orang lain itu dengan berbagai cara agar orang lain dapat mengambil faidah dari ilmu kita.

Apakah disyaratkan untuk memberi manfaat pada orang lain itu kita duduk dimasjid dan mengadakan satu pengajian ataukah kita memberi manfaat pada orang lain dengan ilmu itu pada setiap saat? Jawaban yang benar adalah yang kedua; karena Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam bersabda : Sampaikanlah dariku walaupun cuma satu ayat (HR: Bukhari) Imam Ahmad berkata: Ilmu itu tidak ada bandingannya apabila niatnya benar. Para muridnya bertanya: Bagaimanakah yang demikian itu? Beliau menjawab: ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari orang lain. 3. Berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syariat. Sudah menjadi keharusan bagi para penuntut ilmu berniat dalam menuntut ilmu untuk membela syariat. Karena kedudukan syariat sama dengan pedang kalau tidak ada seseorang yang menggunakannya ia tidak berarti apa-apa. Penuntut ilmu harus membela agamanya dari hal-hal yang menyimpang dari agama (bidah), sebagaimana tuntunan yang diajarkan Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam. Hal ini tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar, sesuai petunjuk Al-Qoran dan As-Sunnah. 4. Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat. Apabila ada perbedaan pendapat, hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu dengan lapang dada selama perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan persoalaan aqidah, karena persoalan aqidah adalah masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan salaf 1). Berbeda dalam masalah ijtihad, perbedaan pendapat telah ada sejak zaman shahabat, bahkan pada masa Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam masih hidup. Karena itu jangan sampai kita menghina atau menjelekkan orang lain yang kebetulan berbeda pandapat dengan kita. 5. Mengamalkan ilmu yang telah didapatkan. Termasuk adab yang tepenting bagi para penuntut ilmu adalah mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, karena amal adalah buah dari ilmu, baik itu aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Karena orang yang telah memiliki ilmu adalah seperti orang memiliki senjata. Ilmu atau senjata (pedang) tidak akan ada gunanya kecuali diamalkan (digunakan). 6. Menghormati para ulama dan memuliakan mereka. Penuntut ilmu harus selalu lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Jangan sampai ia mengumpat atau mencela ulama yang kebetulan keliru di dalam memutuskan suatu masalah. Mengumpat orang biasa saja sudah termasuk dosa besar apalagi kalau orang itu adalah seorang ulama.

7. Mencari kebenaran dan sabar Termasuk adab yang paling penting bagi kita sebagai seorang penuntut ilmu adalah mencari kebenaran dari ilmu yang telah didapatkan. Mencari kebenaran dari berita berita yang sampai kepada kita yang menjadi sumber hukum. Ketika sampai kepada kita sebuah hadits misalnya, kita harus meneliti lebih dahulu tentang keshahihan hadits tersebut. Kalau sudah kita temukan bukti bahwa hadits itu adalah shahih, kita berusaha lagi mencari makna (pengertian ) dari hadits tersebut. Dalam mencari kebenaran ini kita harus sabar, jangan tergesa-gasa, jangan cepat merasa bosan atau keluh kesah. Jangan sampai kita mempelajari satu pelajaran setengah-setengah, belajar satu kitab sebentar lalu ganti lagi dengan kitab yang lain. Kalau seperti itu kita tidak akan mendapatkan apa dari yang kita tuntut. Di samping itu, mencari kebenaran dalam ilmu sangat penting karena sesungguhnya pembawa berita terkadang punya maksud yang tidak benar, atau barangkali dia tidak bermaksud jahat namun dia keliru dalam memahami sebuah dalil.Wallahu Alam. Dalam penulisan agung Ihya `Ulum al-Din karangan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, beliau telah membuat satu garis panduan adab pelajar dalam menuntut ilmu. Dalam penulisannya, beliau telah mengenalpasti 10 panduan yang boleh dijadikan asas pedoman kepada para pelajar. Asas-asas ini perlu dihayati dan dicernakan dalam diri para pelajar dalam usaha mereka menuntut ilmu sama ada di peringkat rendah atau di peringkat pengajian tinggi. 1. menjauhi perkara-perkara yang boleh merosakkan akhlak yang murni, kerana ilmu amat mudah mendekati orang yang baik budi pekertinya dan jiwa yang sentiasa bersih dan tenang. Sekiranya, hati seseorang itu dicemari dengan elemen-elemen yang negatif yang boleh merosakkan kemurnian hati dan jiwa menyebabkan pelajar tersebut sukar untuk menguasai ilmu. Ini kerana secara prinsipnya, ilmu itu bersifat suci. Sebagaimana firman Allah dalam alQuran yang bermaksud: Sesungguhnya orang-orang musyriq itu najis (at-Taubah:28). Istilah najis yang dijelaskan oleh al-Quran merupakan simbolik yang mengertikan sifat kotor tersebut mesti dijauhi dan dihindari disebabkan sifat tersebut boleh merosakkan manusia. 2. para pelajar disarankan tidak terlalu terikat dengan hal-hal keduniaan yang berkecenderungan melalaikan fikiran daripada menumpukan perhatian sepenuhnya terhadap pelajaran. Unsur-unsur ini boleh menyebabkan pelajar tidak dapat menunaikan tanggungjawabnya sebagai pelajar yang hakiki dan memalingkan fikirannya dalam usaha menuntut ilmu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam al-Quran yang bermaksud: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua organ hati dalam rongganya (al-Ahzab:4). Oleh yang demikian, sekiranya fikiran para pelajar dipengaruhi oleh elemen-elemen yang boleh mencemari mentalitinya menyukarkan untuk mengetahui hakikat ilmu. Menurut Imam al-Ghazali, Seseorang itu tidak dapat menguasai ilmu secara sebahagian, melainkan ia memberi perhatian dan tumpuan yang sepenuhnya. Beliau memberi perumpamaan terhadap pemikiran yang dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak berkait dengan ilmu seperti air yang mengalir dari sungai kecil, sebahagiannya diserap oleh tanah dan sebahagian lagi diserap oleh udara sehingga tidak ada lagi yang sampai ke ladang. 3. para pelajar tidak boleh bersikap angkuh dan bongkak terhadap golongan intelektual dan guru. Adalah menjadi kewajipan pelajar untuk menyerahkan segala urusan berkaitan ilmu dan mematuhi serta menghormati guru seperti orang sakit yang mematuhi arahan dan nasihat doktor. Para pelajar dituntut bersifat rendah diri, baik sangka dan

setia kepada guru serta sedia menawarkan perkhidmatan kepadanya. Oleh yang demikian, pelajar tidak boleh bersikap sombong dengan guru seperti tidak mengambil manfaat ilmu yang disampaikannya dengan alasan antaranya, beranggapan guru tersebut tidak mempunyai kelayakan akademik yang tinggi. Sikap seperti ini menunjukkan kebodohan dan kedangkalan pemikiran yang ada dalam diri seseorang pelajar. Sebaliknya, para pelajar seharusnya merasa terhutang budi terhadap guru yang mencurahkan ilmu yang memandunya ke arah kebenaran. 4. orang yang bersifat tekun dalam menuntut ilmu pada tahap awalnya perlu mengelakkan diri mendengar perselisihan dan perbezaan pendapat di kalangan manusia sama ada yang melibatkan ilmu keduniaan atau ilmu akhirat. Secara rasionalnya, ia boleh mengelirukan pemikirannya terhadap disiplin ilmu yang baru dipelajarinya dan membantutkan usahanya untuk membuat penyelidikan yang mendalam. Namun begitu, bagi seseorang yang telah menguasai sesuatu bidang disiplin ilmu secara mahir dan mendalam tidak menjadi halangan untuk mengkaji perbezaan pendapat tentang sesuatu perkara. Ini kerana, perbezaan pendapat tentang sesuatu perkara merupakan salah satu daripada metodologi medan penyelidikan ilmu. 5. seseorang pelajar tidak boleh meninggalkan sesuatu disiplin ilmu yang terpuji melainkan ia telah mempertimbangkan dengan sebaik mungkin. Sekiranya faktor usia mengizinkan untuk menuntut ilmu, ia harus mengambil peluang untuk meningkatkan kepakarannya ke peringkat yang lebih tinggi. Sebaliknya jika faktor usia menjadi kekangan terhadap usaha menimba ilmu pengetahuan maka seseorang itu perlu mengetahui perkara asas dan penting dalam ilmu yang dikuasainya berdasarkan kemampuannya. 6. tidak memaksa untuk menguasai semua disiplin ilmu secara sekaligus. Tindakan yang bijak ialah dengan menguasai sesuatu bidang ilmu itu mengikut tahap dan tingkatan ilmu berdasarkan kemampuan dan keupayaan yang ada pada diri seseorang. Kompetensi yang ada pada manusia adalah terbatas oleh pelbagai faktor dari aspek pengalaman, realiti semasa, kepakaran dan keupayaan mentaliti seseorang. 7. seseorang tidak boleh mencampuradukkan sesuatu cabang ilmu sebelum menguasai dan memahami dengan mahir cabang ilmu yang sebelumnya. Ini kerana tertib dalam ilmu adalah tersusun dan berkait rapat antara satu sama lain. Oleh yang demikian, sekiranya seseorang pelajar memahami sesuatu ilmu dengan tertib dan tersusun maka ia dapat menguasai sesuatu konsep ilmu dengan baik. Pemahaman manusia tentang konsep ilmu akan lebih sempurna dan konsisten jika setiap cabang ilmu dihadam dan dicernakan mengikut tahap-tahap dan fasa yang tersusun dan terancang. 8. seseorang pelajar perlu mengetahui hakikat dan objektif sesuatu disiplin ilmu yang dipelajari. Ia bertujuan untuk menilai sesuatu kepentingan ilmu dan faedahnya kepada para pelajar supaya ilmu tersebut dapat diaplikasi dalam kehidupan dan memberi manfaat kepada masyarakat. Matlamat utama ilmu yang dipelajari itu tidak bertentangan dengan syariat dan membawa kemudharatan kepada umat manusia. 9. para pelajar perlu bersikap ikhlas dalam menuntut ilmu. Kepentingan nilai ikhlas bertujuan untuk membersihkan jiwa seseorang yang bersifat riak dan takabur sesama manusia. Hakikatnya, manusia yang berilmu memiliki jiwa yang bersih dan sentiasa mendekatkan diri kepada Allah. Meskipun manusia dituntut menguasai ilmu-ilmu agama, namun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keduniaan tidak boleh diabaikan, kerana ia sebahagian daripada fardhu kifayah. Dalam era globalisasi ini, ilmu yang dikategorikan sebagai fardhu kifayah sangat penting bagi masyarakat Islam kerana ia dianggap sebagai satu kemaslahatan ( keperluan ) yang perlu dikuasai oleh umat Islam. Sekiranya manusia mengabaikan bidang disiplin ilmu ini menyebabkan umat Islam ketinggalan dalam zaman yang serba canggih. Dalam al-Quran, Allah berfirman yang bermaksud: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa darjat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (al-Mujadalah:11) 10. setiap pelajar perlu mengetahui perkaitan ilmu yang dipelajari bertujuan supaya mengutamakan keperluan ilmu yang perlu didahulukan daripada ilmu yang berbentuk sampingan. Keutamaan ilmu ini penting kerana ia dapat mengukuhkan pemahaman pelajar tentang sesuatu perkara. Di samping itu, ia menjadi asas utama untuk

mempelajari disiplin ilmu yang lain disebabkan ia mempunyai kesinambungan di antara satu cabang ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Berdasarkan garis panduan yang telah diberikan oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya `Ulum al-Din diharapkan dapat memberi pedoman yang berfaedah kepada mereka yang bergelar pelajar. Mutiara kata-kata yang dicurahkan oleh ulama silam perlu diambil perhatian dan diamalkan oleh individu yang bergelar pelajar, agar ilmu yang dipelajari diberkati oleh Allah dan dapat memberi faedah besar kepada umat sejagat. http://www.nurulfalahpm.jigsy.com/entries/general/adab-menuntut-ilmuADAB MENUNTUT ILMU (BELAJAR) Oleh: Dede Alimuddin Dalam keseluruhan proses pendidikan di lembaga formal atau non formal kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Berhasil tidaknya mencapai tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh penuntut ilmu. Pandangan tradisional, belajar adalah menambah dan mengumpulkan sejumlah pengetahuan. (Abu Ahmadi, 1991:14). Pendapat ini yang dipentingkan adalah pendidikan intelektual sehingga proses belajarnya dengan memberi para penuntut ilmu bermacam-macam mata pelajaran untuk menambah pengetahuan yang dimilikinya, terutama dengan bahan menghafal. Dalam kepustakaan psikologi, belajar merupakan terjemahan dari learning yang secara sederhana diartikan sebagai proses belajar atau learning process. Learning process adalah merupakan aktivitas individu, sehingga belajar didefinisikan sebagai suatu perubahan yang terus-menerus terjadi dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman. (Noehe Nasution, 1992:77) Sedangkan menurut Ahli Pendidikan Modern, belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Tingkah laku yang baru itu misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian baru, timbul dan berkembangnya sifatsifat sosial, susila, dan emosional. Dari definisi-definisi di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan sesorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan. Sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Tentu saja yang diinginkan adalah perubahan yang berencana dan yang bertujuan. Belajar atau menuntut ilmu sebagai suatu proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan bisa berlangsung dengan dua metode sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya di atas. Pertama, ilmu diperoleh dengan upaya manusia Ilm Al-Kasbi, Kedua, diperoleh tanpa upaya manusiaIlm Al-Mukasyafah. Tapi ada juga dengan sebutan Ilmu Ladunni. Yaitu proses mendapatkan ilmu dengan jalan mendekatkan diri (Taqarrub) kepada Allah secara total. Yakni dengan cara mensucikan diri, mendekatkan diri, beribadah kepada Allah dengan total untuk memperoleh ilmu. Kemudian dengan kedekatannya kepada Allah, maka Allah akan memberi apa yang ia minta. Sebenarnya metode ini biasa dilakukan oleh orang-orang khusus seperti para Nabi, Waliyu Allah (Kekasih Allah) dan Ulama-ulama Khos (Benar-benar Alim). Kedua metode tersebut mengandung pengertian bahwa proses belajar itu akan berhasil apabila terjadi interaksi harmonis, baik secara horizontal maupun vertikal, dan antara pribadi penuntut ilmu (intern) dan guru serta lingkungannya (ekstern). Oleh karena itu menurut Hadratu Syaikh K.H. Hasyim Asyari[1] keberhasialan proses belajar sangat dipengaruhi oleh tatakrama (etika) penuntut ilmu terhadap dirinya sendiri maupun guru, lingkungan, bahkan Tuhannya.

Adapun konsep tatakrama (etika) bagi penuntut ilmu yang dikemukakan oleh Hadratu Syaikh K.H. Hasyim Asyari, dalam kitabnya Adab Al-Alim wa Al-Mutaallim, diantaranya sebagai berikut: I. Konsep Tatakrama Penuntut Ilmu Dengan Dirinya Sendiri 1.Hendaknya ia mensucikan hatinya dari segala macam sifat-sifat yang tidak terpuji. Seperti menjauhkan diri dari akidah yang jelek, perilaku kotor, hasud, dengki, dan sebagainya. 2.Hendaklah penuntut ilmu dalam menuntut ilmu memiliki niat yang baik dengan mengharap ridha Allah Swt, mengamalkan ilmu, menghidupkan syariat Islam, menerangi hatinyadengan berdzikir, membersihkan jiwa, dan mendekatkan diri kepada Allah Swt Penuntut ilmu wajib memiliki niat yang baik pada saat menuntut ilmu. 3. Hendaknya penuntut ilmu memanfaatkan waktu mudanya dengan menggunakan seluruh waktunya untuk mencari ilmu. Dan janganlah ia tertipu oleh banyak lamunan dan angan-angan. Sebab waktu terus berjalan, tidak akan berulang dan tidak akan berganti lagi. Maka apabila ia tergantung dengan kesibukan dan hal-hal yang menghambat dalam mencari ilmu maka hal tersebut akan memutuskan jalan mendapat ilmu. 4. Hendaknya seorang penuntut ilmu bersifat qanaah dalam makanan dan pakaian. Sebab dengan sifat sabar dan qanaah maka ia akan memperoleh keluasan ilmu dan dapat mengonsentrasikan hatinya untuk menggapai semua cita-cita dan pada gilirannya ia akan memperoleh sumber-sumber ilmu yang bermanfaat. 5. Imam As-Syafii berkata Tidak akan berbahagia (sukses) orang yang mencari ilmu dengan mengandalkan kemuliaan diri dan banyaknya harta tetapi akan sukses orang yang akan mencari ilmu dengan kehinaan diri dan sempitnya harta benda serta mengabdikan diri pada ulama. 6. Penuntut ilmu hendaklah dapat membagi waktu antara malam dan siang serta selalu memanfaatkan waktu dari umurnya. Karena umur seseorang itu tidak ternilai harganya. 7. Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah waktu sahur. Waktu untuk membahas adalah waktu pagi. Waktu untuk menulis adalah tengah hari (siang hari). Dan waktu untuk muthalaah dan mudzakarah adalah malam hari. 8. Tempat yang paling baik untuk menghafal adalah ruangan khusus (kamar) dan tempat-tempat yang jauh dari keramaian. Tidak baik menghafal di bawah pohon, di tepi sungai, dan di tempat gaduh. 9. Penuntut ilmu hendaknya tidak banyak makan dan minum. Sebab kekenyangan makan dapat menghambat kegiatan beribadah dan memberatkan badan. 10. Termasuk keuntungan atau faedah, sedikit makan adalah menyehatkan badan dan menolak berbagai macam penyakit badan, dan sebab banyaknya penyakit adalah karena banyak makan dan minum. 11. Di dalam maqolah disebutkan Sesungguhnya penyakit yang banyak kita lihat itu adalah disebabkan oleh makanan dan minuman. 12. Makan sedikit juga menyebabkan sehatnya hati dari penyakit (durhaka) dan sombong. 13. Penuntut ilmu hendaknya selalu menanamkan dirinya untuk bersifat wara dan berhati-hati terhadap semua perilaku dan tingkah lakunya serta selalu mencari yang halal dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan dalam semua kebutuhannya. Supaya hatinya selalu terang dan dapat menerima ilmu pengetahuan yang bermanfaat. 14. Penuntut ilmu hendaknya mengurangi mengonsumsi makanan yang menyebabkan bodoh (pelupa) dan lemah hafalannya seperti makan sayur-sayuran dan minum khamr.

10

15. Penuntut ilmu hendaknya mengurangi tidur selama tidak menimbulkan bahaya bagi badan dan pikirannya. Janganlah penuntut ilmu tidur lebih dari delapan jam sehari semalam. Apabila mampu maka ia bisa mengurangi lagi. 16. Penuntut ilmu hendaknya meninggalkan bercanda. Lebih-lebih pada lawan jenis. Sebab bahaya dari bercanda adalah menyia-nyiakan waktu tanpa ada manfaatnya dan menghilangkan nilai agama pada dirinya. Apabila ia membutuhkan kawan maka carilah kawan yang baik (saleh) agamanya, taqwanya, wirainya, banyak kebaikannya, sedikit perintah jeleknya serta suka mengingatkan apabila terlupa dan suka menolong. II. Konsep Tatakrama Penuntut Ilmu Dengan Guru 1. Sebelum penuntut ilmu menetapkan guru hendaklah ia berpikir dulu serta beristikharah kepada Allah untuk memilih orang yang akan memberi bimbingan (guru) dalam memperoleh ilmu kemudian memperlakukan guru dengan akhlaq yang baik dan sopan santun. Hendaklah ia memilih orang-orang yang profesional, ahli dalam bidang keilmuannya, memiliki rasa kasih sayang, tampak kewibawaannya dan tampak jelas perilakunya. Sebagaimana ulama salaf berkata, Ilmu itu adalah agama maka lihatlah (angan-anganlah) dari siapa engkau memperoleh (mengambil) agamamu. 2. Penuntut ilmu harus bersungguh-sungguh memilih guru yang mengerti benar tentang syariat, dan bisa dipercaya kemahiran ilmunya (hukum syariatnya). Jangan berasal dari orang yang memperoleh ilmu hanya sebatas kulitnya. Imam As-Syafii berkata, Barang siapa belajar dari pinggir-pinggirnya kitab maka ia menyia-nyiakan hukum. 3. Penuntut ilmu hendaknya patuh dan taat kepada gurunya. Penuntut ilmu harus berusaha mencari ridha gurunya dan dengan sepenuh hati, menaruh rasa hormat kepadanya, disertai mendekatkan diri kepada Allah dalam berkhidmat kepada guru. 4. Penuntut ilmu hendaknya memandang guru dengan penuh kehormatan dan keagungan terhadapnya. Dan meyakini akan besarnya derajat kesempurnaan seorang guru. Sebab keterangan tersebut akan lebih dekat terhadap manfaat ilmu yang diperolehnya. Abu Yusuf berkata, Barang siapa yang tidak meyakini keagungan gurunya maka ia tidak akan sukses. 8. Hendaklah penuntut ilmu mengerti hak-hak guru dan jangan lupa mengutamakannya. Sebaiknya penuntut ilmu mengenang guru pada waktu hidup atau sesudah mati, penuntut ilmu juga seyogyanya menjaga keluarga guru serta kerabat dan orang yang dikasihi guru. Penuntut ilmu hendaknya sering berziarah ke makam gurunya apabila ia sudah meninggal dan memohonkan ampun untuknya serta bersedekah baginya. 9. Penuntut ilmu hendaknya harus bersabar dalam menghadapi guru yang berwatak keras dan kurang baik dan janganlah menolaknya dengan kasar sebab sifat kerasnya seorang guru semata-mata karena sayangnya guru kepada muridnya dalam membimbing dan memberi petunjuk kepada penuntut ilmu. 10. Penuntut ilmu hendaknya jangan masuk ke tempat atau kediaman guru kecuali atas izinnya dan janganlah lewat dihadapannya baik ketika ia sendiri atau bersama orang lain tanpa izin darinya. Ketika penuntut ilmu hendak berkunjung ke kediamannya maka ucapkanlah salam tidak lebih dari tiga kali dan apabila mengetuk pintu maka ketuklah dengan pelan-pelan, ketika ia memasuki rumahnya, hendaknya ia bersikap yang baik dan berbusana yang baikmenurut Islam, bersih dan rapi terlebih ketika hendak menuntut ilmu. Penuntut ilmu juga harus menjaga untuk tidak memulai berbicara sebelum diperintahkan, dan janganlah duduk atau pergi kecuali atas izin guru. Apabila guru itu sedang istirahat maka sabarlah menunggu sampai terbangun. 11. Ketika penuntut ilmu duduk di hadapan gurunya hendaklah ia memilih adab tatakrama, dan hendaklah ia seperti saat tasyahud pada waktu shalat atau duduk bersila dengan penuh tawadhu, tenang dan khusyu, penuntut ilmu jangan menoleh sekalipun mendengar sesuatu kecuali bila ada keperluan lebih-lebih ketika membahas tentang ilmu. Penuntut ilmu harus memuliakan dan menghormati kerabat, teman dari guru. Karena pada hakikatnya menghormati

11

mereka berarti menghormati guru. Termasuk menghormati guru adalah jangan duduk di tempat guru, di mushallanya, di tempat tidurnya dan jangan pergi dari sisinya kecuali ada izin darinya. 12. Hendaknya penuntut ilmu selalu berbicara yang sopan dan baik. Dan hendaknya penuntut ilmu berhadapan dengan guru dengan wajah berseri-seri. 13. Apabila mendengar keterangan guru tentang masalah-masalah hukum atau berita-berita maka dengarkan dengan penuh perhatian sekalipun ia sudah mendengar sebelumnya. Imam Atho r.a. berkata, Sesungguhnya aku tetap akan mendengarkan hadis dari orang lain sekalipun aku lebih tahu (alim) dari orang tersebut. 14. Hendaknya penuntut ilmu tidak mendahului guru untuk menjelaskan sesuatu atau menjawab pertanyaan, jangan pula membarengi guru dalam berkata, jangan memotong pembicaraan guru dan jangan berbicara dengan orang lain pada saat guru berbicara. Hendaknya penuntut ilmu penuh perhatian terhadap penjelasan guru mengenai suatu hal atau perintah yang diberikan guru. Sehingga guru tidak perlu mengulangi penjelasan untuk kedua kalinya. 15. Apabila guru memberi sesuatu, maka terimalah dengan tangan kanan, bila guru meminta buku untuk dibaca maka berikan buku itu dalam keadaan siap dibaca. Sehingga guru tidak kesulitan untuk membacanya. Dan jangan menyimpan sesuatu yang ada di dalam buku. Apabila penuntut ilmu berjalan bersama guru maka hendaklah ia berada di depan guru pada malam hari dan di belakang guru pada siang hari, kecuali bila ada keperluan lain. Apabila hendak berteduh dan berbincang-bincang dengan guru maka hendaknya penuntut ilmu berada di sebelah kanan guru. Apabila bertemu dengan guru di jalan maka ucapkanlah salam tetapi bila jaraknya jauh jangan memanggil, jangan mengucapkan salam dan jangan memberi isyarat, akan tetapi dengan menundukan kepala. III. Konsep Tatakrama Penuntut Ilmu Dalam Memilih Pelajaran dan Teman Belajar 1.Ketika belajar penuntut ilmu hendaknya mendahulukan pelajaran yang wajib, yaitu : 1) Ilmu Tauhid tentang hal-hal yang berhubungan dengan dzat Tuhan (Hakikat Tuhan/ Tauhid) 2) Ilmu tentang sifat-sifat wajib bagi Tuhan yang dua puluh dan sifat-sifat mustahil-nya 3) Ilmu Fiqih yang membahas tata cara ibadah, seperti thaharah, shalat, dan puasa 4) Ilmu tentang sikap dan tingkah laku serta maqam-maqam (tingkat kedudukan) ibadah dan hal-hal yang memengaruhi jiwa manusia baik pengaruh negatif maupun positif. 1.Penuntut ilmu hendaknya selalu melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan dengan belajar Al-Quran, memahami tafsirnya dan semua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran. Sebab Al-Quran adalah induk dan sumber berbagai macam ilmu. Penuntut ilmu hendaknya menghafalkan ilmu pendukung Al-Quran terdiri dari hadis, ilmu hadis, ilmu ushul, nahwu, dan sharaf. Tetapi jangan sampai meninggalkan mempelajari Al-Quran, memegang teguh prinsip-nya dan selalu rutin membaca-nya. Penuntut ilmu harus berusaha menghindari lupa dan alpa dari sesuatu yang telah dihafalkan dengan tetap selalu setor hafalan kepada guru. Hendaknya penuntut ilmu menghindari hanya berpegang atau terpaku pada satu ilmu saja. Tetapi harus berpegang kepada semua jenis ilmu dan mendalaminya. Penuntut ilmu hendaknya selalu wirai atau menjaga adab sopan santun terhadap guru-gurunya lebih-lebih guru agama, dan bersikap kasih sayang padanya. Penuntut ilmu selalu berusaha sekuat tenaga untuk menghafal dan mencari penjelasan tanpa mengenal lelah dan bosan. 2.Hendaknya penuntut ilmu menghindari pelajaran tentang masalah-masalah khilafiyah (beda pendapat). Hal tersebut menyebabkan membingungkan akal dan menyusahkan hati, tetapi mulailah dengan satu macam kitab melalui pembahasan dengan guru. Apabila guru memulai sesuatu dengan masalah-masalah khilafiyah maka menurut Imam al-Ghazali sebaiknya penuntut ilmu menghindar darinya karena hal tersebut lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya. Demikian pula penuntut ilmu menghindari memulai belajar atau membaca bermacam-macam yang berbeda-beda karena hal tersebut menyia-nyiakan umur dan membuat orang tidak mempunyai pendirian. Penuntut ilmu hendaknya menghindari berpindah-pindah membahas kitab sebelum terlebih dahulu ia memahami dengan sempurna. Mulailah dengan pelajaran yang penting terlebih dahulu kemudian jangan lupa untuk menghafalkannya. 3.Setelah penuntut ilmu memahami apa yang telah dibacanya maka hendaknya ia mentashihnya kepada guru atau

12

kepada orang yang dipercaya. Kemudian ia menghafalkannya dengan baik, setelah ia menghafalkan hendaknya ia mengulangi dan sebaiknya penuntut ilmu memahami pelajaran dengan sempurna dan menguasai bahasanya seperti irabnya. 4.Hendaknya penuntut ilmu belajar tepat pada waktunya. Terlebih ketika memulai belajar hadis. Dan janganlah menyia-nyiakan waktu. Pelajarilah hadis beserta ilmu hadis, sanad, hukum, faedah, tata bahasa dan sejarah hadis. Mulailah dengan mempelajari hadis Bukhari dan Muslim. Kemudian hadis-hadis yang lain yang masyhur dan mutamad seperti Muaththo dan Ashabus Sunan. Janganlah memotong materi hadis kemudian pindah ke materi lain, sebaik-baik dasar fiqih adalah kitab-kitab hadis, sebab hadis adalah ilmu syariat dan dasar pokok dari sendisendi ilmu yaitu Al-Quran. Imam As-Syafii berkata, Barang siapa mempelajari hadis maka kuat hujjahnya (hadisnya/wacananya). 5.Apabila penuntut ilmu hendak menjelaskan suatu materi pelajaran atau meringkas materi-materi tersebut maka hendaknya mengambil dari pembahasan kitab-kitab besar (kitab yang luas pembahasannya) dengan melalui muthalaah dan menggali masalah-masalah yang penting serta mengupas masalah-masalah yang sulit. Dan memisahkan hukum-hukum yang subhat (yang belum jelas). Hendaknya penuntut ilmu memiliki kemampuan dan semangat yang tinggi, penuntut ilmu tidak cukup memiliki ilmu yang sedikit kalau masih mungkin baginya ilmu yang banyak. Janganlah ia puas dengan ilmu yang sedikit dan jangan menunda-nunda mencari ilmu karena menunda-nunda waktu belajar itu sangat berbahaya baginya, pergunakanlah waktu luang, waktu muda, waktu sehat, dan waktu senggang sebelum datangnya hal-hal yang mengahambat. Dan hindarilah menganggap dirinya lebih sempurna dari pada gurunya. Karena sifat itu menunjukan kebodohan dan kedangkalan pada dirinya. Sayyid said bin Jubair r.a, berkata, Seseorang itu disebut alim selagi selalu belajar, apabila meninggalkan belajar dan menganggap ia lebih mampu, maka ia sebodoh-bodohnya manusia. 6.Hendaknya penuntut ilmu belajar bersama guru dan bersama teman bila memungkinkan. Sebab kebersamaan tersebut akan menambah kebaikan, tatakrama dan keutamaan. Hendaknya penuntut ilmu selalu berusaha untuk mengabdi kepada guru, sebab pengabdian itu adalah suatu kemuliaan, janganlah penuntut ilmu mengurangi jam pelajaran. Bahkan bila mampu selalu berusaha mencari ilmu. Apabila tidak mampu maka carilah ilmu yang terpenting saja. Seyogyanya penuntut ilmu selalu membiasakan diskusi bersama teman. Pada saat berdialog dengan guru dengan tujuan mencari manfaatnya pada dasar hukum tersebut, penuntut ilmu selalu mendiskusikan kembali sesuatu yang dijelaskan guru karena diskusi banyak manfaatnya. Sunan Khatib Al-Baghdadi berkata, Sebaik-baik waktu diskusi adalah diskusi di waktu malam. Diceritakan bahwa jamaah Ulama Salaf memulai diskusi (musyawarah) mulai dari waktu Isya dan terkadang mereka tidak berhenti sampai akhirnya mendengar adzan subuh. Apabila penuntut ilmu tidak ada teman untuk berdiskusi hendaknya ia mengulang-ngulang pelajarannya sendiri dengan memperdalam apa yang telah didengar sehingga benar-benar tertanam dalam akal pikiran dan hatinya. 7.Ketika penuntut ilmu hadir di Majlis Talim hendaknya mengucapkan salam yang didengar oleh hadirin, khususnya kepada guru demi penghormatan dan memuliakan. Demikian pula ketika hendak meninggalkan majlis talim maka ia harus mengucapkan salam. Ketika ia mengucap salam dan berjalan maka janganlah ia melangkahi hadirin untuk mendekati guru, tetapi duduklah di tempat dimana ia berada. Kecuali bila diperintahkan oleh gurunya untuk maju (berdiri). 8.Hendaknya penuntut ilmu bertanya sesuatu yang belum jelas dan minta penjelasan sesuatu yang tidak masuk akal dengan cara yang halus, kata-kata sopan dan adab bertanya. Diceritakan, Barang siapa takut ketika bertanya maka tampak kurangnya ketika berkumpul dengan orang lain. Imam Mujahid r.a. berkata, Tidak belajar orang yang pemalu dan sombong. Dewi Aisyah r.a. berkata, Wanita-wanita Anshar itu tidak malu bertanya ketika berbicara tentang masalah agama. 9.Hendaknya penuntut ilmu menjaga kesempatan dan janganlah mendahului kesempatan orang lain tanpa izin. Imam Khatib berkata, Disunnahkan bagi orang yang datang lebih awal untuk maju terlebih dahulu kemudian giliran orang yang datang berikutnya. Demikian pula apabila ada orang datang terakhir, tapi ia tergesa-gesa untuk maju dan tahu ada orang lain yang datang lebih awal maka hendaknya ia minta izin terlebih dahulu kepada orang tersebut atau izin dari gurunya. Kesempatan untuk menempati tempat di depan, maka yang terdepan itu ditentukan oleh kehadiran seseorang, apabila ia datang terlebih dahulu, maka ia berhak menempati tempat yang dekat dengan guru. 10.Tempat duduk penuntut ilmu hendaknya di hadapan guru dengan jarak yang pantas -memerhatikan adab sopan santun. Hendaknya kitab yang akan dibaca sudah dalam keadaan siap -ketika membaca hendaknya kita jangan meletakan kitab di tanahdi bawah tetapi peganglah dengan tangan. Janganlah memulai membaca kecuali setelah mendapat izin dari guru. Janganlah membaca ketika guru dalam keadaan sedih, bosan, marah, atau sedang susah dan lain-lain. 11.Penuntut ilmu hendaknya berpegang teguh pada suatu kitab dan jangan sampai meninggalkannya. Berpegang pada satu macam ilmu dan jangan sibuk dengan cabang ilmu yang lain sebelum benar-benar yakin dengan yang

13

pertama. Penuntut ilmu hendaknya tetap berada di suatu negarasatu tempat lembaga pendidikan dan janganlah pindah-pindah ke tempat lain kecuali darurat. Sebab berpindah-pindah tempat itu menyusahkan hati dan menyia-nyiakan waktu. Penuntut ilmu hendaknya tawakkal kepada Allah. Janganlah menyesal dan mengeluh masalah rezeki. Penuntut ilmu jangan berdebat dan bertengkar dengan orang lain karena akan menyebabkan dendam, hasud, dan permusuhan. Hendaknya penuntut ilmu menjauhi orang-orang yang banyak bicara, ahli kemaksiatan, dan ahli kebatilan. Sebab mendekati mereka pasti akan membawa dampak terhadap pribadinya. Dan, hindarilah ghibah. 12.Penuntut ilmu hendaknya memberi dorongan semangat kepada teman-teman lain dan mengajak serta menunjukan mereka untuk serius mencari ilmu dan mengajak mereka untuk meninggalkan dan memudahkan (membantu) mereka. Mengingatkan mereka untuk selalu mencari sesuatu yang berfaedah dengan menggali hukum-hukum, kaidah-kaidah, dan nasihat-nasihat serta peringatan. Dengan demikian hati akan lebih senang dan ilmunya akan diberkahi serta besar pahalanya. Penuntut ilmu hendaknya memuliakan teman-teman lain dengan mengucapkan salam, menampakan rasa kasih sayang dan penghormatan, serta penuntut ilmu menjaga hak-hak persahabatan. Penuntut ilmu juga hendaknya melupakan kekurangan mereka dan memaafkan kesalahan mereka, menutupi aib mereka, dan lain-lain. Memahami pemikiran Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asyari tentang etika, adab dalam kitab Adab Al-Alim wa AlMutaallim, kita dapat menilai bahwa tulisan beliau mengandung pernyataan yang secara dramatik memperlihatkan dobrakan yang sangat radikal tentang etika menuntut ilmu, baik pada diri sendiri, guru, teman, dan lingkungan sebagai perwujudan status kekhalifahan manusia maupun terhadap Allah sebagai status kehambaan manusia. Secara garis besar kitab Adab Al-Alim wa Al-Mutaallim mengandung pokok-pokok pikiran mendasar sebagai berikut: 1.Bahwa konsep etika dalam tulisan K.H. Hasyim Asyari secara mendetail mempunyai hubungan yang erat dan tak terpisahkan dari pandangan ke-tuhan-an (akidah) sebagai moral dari setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, pertama-tama ditentukan oleh eksistensi keimanan kepada ke-Esaan Tuhan (monotheisme) dan kepada kebenaran wahyu. Nilai-nilai adab dalam tulisan K.H. Hasyim Asyari itu mengandung elemen fundamental yang bersifat Theologies Spiritual dalam arti keberadaannya tidak hanya ditentukan oleh bentuk dan akibat langsung dari perbuatan itu sendiri melainkan juga oleh situasi batin dan motivasi pelakunya. 2.Bahwa ukuran tertinggi dan evaluasi moral dalam kitab Adab Al-Alim wa Al-Mutaallim adalah bersumber dari ketentuan-ketentuan Allah yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadis serta dalil-dalil aqli. Sebab Al-Quran dan Sunnah Nabi merupakan konsep yang komprehensif. Melalui ayat-ayatnya sendiri Al-Quran telah dengan tegas menyatakan diri sebagai petunjuk jalan yang mengarahkan pesan-pesan-nya kepada segenap manusia. 3.Bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam kitab tersebut berisikan tentang nilai moral yang komprehensif dan mengatur hubungan antara penuntut ilmu dengan Tuhan, dengan guru, dan penuntut ilmu dengan lingkungannya. Sehingga terwujud hubungan harmonis baik secara vertikal (dengan Tuhannya) maupun secara horizontal (dengan sesama manusia) 4.Pada prinsipnya orientasi pemikiran kitab Adab Al-Alim wa Al-Mutaallim bersumber dari pola pikir sufistik yang rasional (walau terkadang tidak rasional) dan radikal. Secara substansial kalau kita kaji lebih mendalam orientasi pemikiran K.H. Hayim Asyari dalam kitab Adab Al-Alim wa Al-Mutaallim sejalan dengan pemikiran ulamaulama terdahulu bahkan terkesan kitab beliau sebagai wujud ringkasan sistematik dari pemikiran Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam An-Nawawi dalam Muroqi Al-Ubudiyah, dan Imam Al-Zarnuji dalam Talim Al-Mutaallim sekalipun, metodologi pembahasan, kelugasan dan kedalaman isinya disajikan lebih tertib berdasarkan urutan yang lebih sistematik. Menurut Ishom Hadziq, kitab Adab Al-Alim wa Al-Mutaallim merupakan adaptasi dari karya Ibnu Jamaah Alkinani yang bertajuk Tadzkirt Al Sam wa Al-Mutakallim.

14

Anda mungkin juga menyukai