Konsep Adab Peserta Didik Dalam Pembelajaran Dan Pendidikan Karakter
Konsep Adab Peserta Didik Dalam Pembelajaran Dan Pendidikan Karakter
DAN PEMBELAJARAN
Krisis peradaban merupakan salah satu tema pendidikan, dan biasanya menjadi
topik bahasan serius di negeri ini. Banyak anak yang pintar, tapi tingkah lakunya
membuatnya merasa cemas. Berbicara kepada orang tua Anda sama dengan menyapa
pasangan Anda. Kata-kata adabnya kepada guru juga membuat kami mengelus dada
kami. Belum lagi kepada Allah SWT, Rasulullah SAW, tetangga, tetangga bahkan
adabnya sendiri.
Ada juga orang dewasa yang gelarnya berbaris, namun sikapnya terhadap
kerabat dan tetangga jauh dari tuntunan Alama. Ia memiliki kepribadian yang
tangguh, tidak bisa tersenyum, dan ingin menang sendiri. Hanya dia sendiri yang
benar, sedangkan yang lain dianggap bidah.
Pentingnya adab begitu besar sehingga ulama salafush salih sangat prihatin,
bahkan Imam Malik berkata: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”.
Imam Abu Hanifah mengatakan hal yang sama: “Saya suka cerita duduk dengan
ulama, bukan bab penguasaan hukum, karena dalam cerita mereka, mereka diajarkan
tentang Adam dan akhlak mulia.” Bahkan, Mahrad bin Hussein menceritakan kepada
Ibn Mubarak : “Kita perlu belajar lebih banyak tentang Adab, bukan menguasai
banyak hadits.”
Tak heran jika karya-karya ulama legendaris tak pernah lupa membicarakan
adab. Salah satunya adalah "Al-Muwaththa" karya Imam Malik, seorang ulama
Madinah, yang wafat pada tanggal 14 Rabiul Awal pada tahun 179 H (796 M).
Sebenarnya pokok bahasan buku ini adalah masalah distribusi, tetapi pasal Adab
tidak dihilangkan. Merujuk banyak hadits dari nabi SAW, atsar, qaul tabiin sahabat,
ijma ahlul Madinah dan ijtihad Imam Malik sendiri (Suara Hidayatullah edisi
Februari 2017: 51).
Islam percaya bahwa Adab bukanlah hal yang sepele. Padahal, itu telah menjadi
salah satu inti ajaran Islam. Inilah pentingnya kasus ini sampai ulama Saraf menulis
sebuah buku yang membahas pendekatan ini.
Dari penjelasan hadits tersebut sebenarnya bisa kita ambil sebuah pelajaran
bahwa umat Islam diperintahan untuk belajar tentang adab.
Secara terminologi adab adalah kebiasaan dan aturan tingkah laku praktis yang
mempunyai muatan nilai baik yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Abd. Haris, 2010:62). Menurut Abdul Muhammad AnNaquib Al-attas
(symu Muhammad AnNaquib Al-attas). Haris (2010) Adab adalah ilmu mencari
ilmu, dan tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah menanamkan kebaikan pada
manusia dan manusia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adab adalah kebiasaan dan aturan
tingkah laku, dengan muatan nilai baik yang bersumber dari Islam, bersumber dari
ajaran dan perintahnya, serta menanamkan kebaikan pada manusia, baik manusia
maupun individu.
PENDIDIKAN KARAKTER
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, karakter adalah ciri psikologis, moral
atau karakter yang membedakan orang dari orang lain: karakter dan kepribadian
(Elfindri & Lilik Hendrajaya, dsb, 2012: 27). Menurut Pusat Bahasa Kementerian
Pendidikan, karakter adalah "bawaan, batiniah, jiwa, budi pekerti, budi pekerti,
tingkah laku, budi pekerti, watak, temperamen, budi pekerti". Adapun berkarakter
adalah berkeperibadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak (Zubaidi, 2013:
8).
Jika dilihat dari asal usul kata, banyak sekali pendapat mengenai dari mana kata
karakter itu berasal. Ada yang berpendapat bahwa akar kata “karakter” ini, berasal
dari kata dalam bahasa latin, yaitu “kharakter”, “kharassein,” dan “kharax,” yang
bermakna “tools for marking,” “to engrave,” dan “pointed stake.” Kata ini konon
mulai banyak digunakan dalam bahasa prancis sebagai “caractere” pada abad ke-14.
Ketika masuk ke dalam bahasa inggris, kata “caractere” ini berubah menjadi
“charcter.” Ini mengalami perubahan menjadi “karakter” (Dani setiawan di dalam
Agus wibowo,2013:8).
Pendapat lain menunjukkan bahwa kata "karakter" berasal dari bahasa Yunani
“to mark” yang berarti "menandai", yaitu menandai perilaku atau perilaku seseorang.
Kemudian istilah tersebut banyak digunakan dalam bahasa perancis “caratere” pada
abad ke-14 dan kemudian masuk ke dalam bahasa inggris menjadi “character,” yang
akhirnya menjadi bahasa indonesia “karakter”. Menurut American Dictionary of the
English Language karakter merupakan istilah yang menunjukkan kepada aplikasi
nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Karakter juga identik
dengan keperibadian (Agus wibowo, 2013:8-9).
Lickona dalam Wibowo (2012: 32) meyakini bahwa karakter adalah kodrat
alami seseorang untuk bereaksi secara moral terhadap situasi. Lebih lanjut Likona
menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan moral,
perasaan moral, atau perasaan moralitas dan perilaku moral (E. Mulyasa, 2011: 4).
Sejalan dengan hal tersebut, Griek berkeyakinan dalam Adrianto (2011: 17) bahwa
peran diartikan sebagai peleburan seluruh kodrat manusia, fusi ini bersifat permanen
sehingga menjadi pembeda antara seseorang dan tanda khusus orang lain. Sementara
itu, Damanik mengutip Leonardo A. Sjiamsuri yang mengatakan bahwa karakter ini
adalah penggambaran jati diri Anda yang sebenarnya. Ayah, kamu benar-benar.
Alwisol juga mengutarakan pandangan bahwa karakter adalah gambaran perilaku,
yang mengungkapkan dan menyiratkan benar dan salah, dan nilai-nilai buruk
(Andrianto, 2011: 20).
Begitu pula menurut Suyanto (Suyanto), kepribadian adalah cara berpikir dan
perilaku yang menjadi ciri setiap orang yang hidup dan bekerja bersama dalam
keluarga, masyarakat, negara, dan negara. Seperti Suyoto Taryan dan Rinaldi,
karakter dibentuk melalui proses peniruan, yakni melalui proses menonton,
mendengarkan, dan mengikuti. Oleh karena itu karakter yang benar dapat diajarkan
dengan sengaja (Wibowo & Purnomo, 2013: 36). Menurut Simon Philips,
kepribadian adalah kumpulan nilai-nilai yang mengarah pada sistem yang menjadi
dasar pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Pada saat yang sama,
Koesama A. menunjukkan bahwa kepribadian sama dengan kepribadian. Imam Al-
Ghozali berkeyakinan bahwa akhlak lebih dekat dengan akhlak yaitu sikap seseorang
yang spontan atau sudah menyatu dengan tubuh manusia, sehingga ketika akhlak
muncul tidak perlu dipikirkan lagi (Muslich, 2011: 70).
Bagi para pelajar, metode yang harus diikuti saat menuntut ilmu menurut Imam
Al-Ghazali adalah:
Pertama, prioritaskan pembersihan jiwa beretika rendah. Menurut hadits Nabi
Muhammad, "agama didasarkan pada landasan yang bersih." Membersihkan pakaian
tidak berarti apa-apa, tapi membersihkan hati. Oleh karena itu, selama pikiran tidak
membersihkan hal-hal yang jahat, ia tidak akan memperoleh pengetahuan yang
berguna dalam agama, juga tidak akan diterangi oleh cahaya pengetahuan. Ibn mas'ud
(Ibn mas'ud) berkata: “Ini bukan ilmu, karena banyak orang yang meriwayatkan, tapi
ilmu adalah cahaya yang membawa ke jiwa”.
Ketiga, jangan sombong dan tidak menuruti gurunya, tapi beri dia kebebasan.
Ibarat orang yang serius, dokter memberikan kebebasan tanpa mengambil tindakan
apapun terhadapnya karena dia membutuhkan obat tertentu. Karena itu, dia cocok
untuk melayani guru. Dikatakan bahwa pengetahuan seperti air menolak mengalir ke
orang yang sombong.
Keenam, fokus pada ilmu yang paling penting, yaitu ilmu masa depan. Maksud
saya, itu bagian dari muamalat dan mukasyafah. Muakalat dapat mendorong
mukasyafah, dan mukasyafah adalah makrifatullah (mengetahui Allah). Inilah yang
Allah bersihkan hati mereka melalui ibadah dan perang suci. Mengetahui ilmu yang
paling mulia dan paling hakiki adalah mengenal Allah. Di bagian bawah adalah
lautan yang tidak bisa diakses.
Ketujuh, tujuan siswa saat ini adalah menghiasi pikirannya dengan kualitas
yang dapat disampaikan kepada Allah, dan menempati peringkat tertinggi di antara
malaikat Mukalabin (malaikat terdekat dengan Allah). Dengan ilmu ini, dia tidak
mengharapkan kepemimpinan, kekayaan dan pangkat (Al-Ghazali, 2007: 11-14).
Banyak sejarah dan narasi yang menggambarkan pentingnya perilaku. Habib al-
Jalab berkata :” aku bertanya kapada Ibnul mubarak: “apakah sebaik-baik perkara
yang diberikan kepada seseorang ? dia menjawab: “adab yang baik”. Imam asy-syafii
juga mengatakan bahwa :” barang siapa yang ingin Allah membukakan hatinnya atau
meneranginnya, hendaklah ia ber-khalwat (menyendiri), sedikit makan,
meninggalkan pergaulan denga orangorang bodoh dan membenci ahli ilmu yang tidak
memiliki inshaf (sikap objektif) dan adab.
Ibnu Sirin bersabda: “Syaraf tidak hanya belajar ilmu, tapi juga belajar ilmu.
Demikian pula menurut Al-hasan, sebenarnya ada yang keluar untuk mendalami adab
baginya selama dua tahun, lalu dua tahun. Sejalan dengan itu, kata Habib bin Asy-
Syahid kepada putranya: "Anakku, bercampur dengan para ahli hukum dan ulama;
belajarlah dari mereka dan terima adab. Sebenarnya, saya suka itu lebih dari banyak
hadits.
Ibnul Mubarak berkata: “Saya telah belajar adab selama 30 tahun, dan saya
telah belajar selama 20 tahun. Ulama yang mempelajari etiketlah yang pertama kali
mempelajari sains. Al-Qarafi ada dalam bukunya Al-faruq. Menjelaskan juga letak
adab berkata: “ketahuilah bahwa sanya sedikit adab lebih baik dari pada banyak amal.
Oleh karna itu, Ruwaiyim seorang alim yang saleh berkata kepada anaknya: “wahai
anakku, jadikanlah amalmu ibarat garam dan adabmu ibarat tepung. Yaitu
perbanyaklah adab sehingga perbandingan banyaknya seperti perbandingan tepung
dan garam dalam suatu adonan. Banyak adab dengan sedikit amal saleh lebih baik
dari pada amal dengan sedikit adab (As-sayyid Nada,2007:11).
Oleh karena itu, dalam hal ini agar pendidikan karakter sekolah dapat berhasil
maka syarat utama yang harus dipenuhi adalah: (1) Teladan dari guru, staf, pimpinan
sekolah dan pengambil keputusan sekolah; (2) Pendidikan karakter dilakukan secara
konsisten; (3) Menanamkan nilai karakter utama. Karena semua guru adalah
pendidik, maka wajib memasukkan atau menyisipkan nilai (intervensi) pendidikan
karakter dalam kegiatan pembelajarannya. Singkatnya, pendidikan karakter tidak
hanya menjadi tanggung jawab guru agama, guru PKn atau guru moral; Tapi ini
adalah tugas semua guru di sekolah. Hal ini sangat penting agar dalam proses
pendidikan karakter tidak kehilangan tanggung jawab (Wibowo, 2012: 45).
METODE
METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran menjadi posisi sentral yang penting dalam setiap kegiatan
pembelajaran. Sangat membutuhkan pendidik untuk menguasai materi. Namun, akan
lebih baik jika materi yang Anda kuasai dapat disampaikan melalui metode
pembelajaran. Karena metode ini merupakan sarana untuk memajukan pendidikan
dan pembelajaran. Dengan cara ini, pendidik juga dapat menjelaskan pembelajaran
secara sistematis, efektif dan efektif. Melalui metode pembelajaran, proses
pembelajaran akan lebih mudah dan siswa akan lebih cepat memahami pembelajaran.
Jadi metode pembelajaran sangat penting.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Mulyasa, E., 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Nada, Abdul A’ziz bin Fathi As-Sayyid. 2007. Ensiklopedia Islam menurut Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Majid, Abdul & Andayani, Dian. 2011. Pendidikan Karakter Persepektif Islam.
Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
Muhaimin, Abdul Mujib dan Mudzakkir, Jusuf. 2012. Studi Islam Dalam Rangka
Dimensi Dan Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nizar, Samsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Sukardi. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Prakteknya.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sagala, Syaiful. 2013. Konsep Dan Makna Pembelajaran, Bandung: Cv. Alfabeta.